BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ.

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

Gambar 1. Diagram TS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali 80361, Indonesia. Abstrak

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

I. INFORMASI METEOROLOGI

Analisis Potensi Arus Lintas Indonesia Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Wilayah Kabupaten Halmahera Timur

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Musim Hujan. Musim Kemarau

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

ANALISIS KORELASI MULTIVARIABEL ARLINDO DI SELAT MAKASSAR DENGAN ENSO, MONSUN, DAN DIPOLE MODE TESIS

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu

VARIABILITAS THERMOHALINE DAN ARUS LAUT DI JALUR ARLINDO DAN HUBUNGANNYA DENGAN EL-NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) JON ARIFIAN

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

Transpor Volume Massa Air Di Selat Sunda Akibat Interaksi Enso, Monsun dan Dipole Mode

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

Pengembangan Energi terbarukan dengan identifikasi kecepatan Arus Lintas Indonesia di wilayah Timur Indonesia

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS AKIBAT PENGARUH ANGIN DI SELAT MAKASSAR

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DEPRESI DAN SIKLON PENGARUHI CUACA INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan. Fenomena ENSO ini melibatkan interaksi dua fenomena yang saling berlawanan fasa. Dimana fasa panas disebut sebagai kondisi El Niño dan fasa dingin disebut sebagai kondisi La Niña di daerah Niño 3.4 (Gambar 2.1). Kejadiannya bersifat periodik dan umumnya terjadi dalam kurun waktu 2-10 tahunan. Gambar 2.1 Daerah Indikator Anomali Sea Surface Temperature (SST) di Niño 3.4 (Sumber: www.jamstec.go.jp) Gambar 2.2a dan 2.2b menggambarkan Anomali SST di daerah Niño 3.4 yang menunjukkan kejadian EL Niño (anomali SST positif) dan kejadian La Niña (anomali SST negatif).

Gambar 2.2. Grafik enam kejadian terbesar (a) El Niño dan (b) La Niña ditunjukkan dengan nilai Anomali SST di Niño 3.4 (sumber: http://iri.columbia.edu/climate/) Tabel berikut ini menunjukkan catatan kejadian El Niño dan La Niña yang diperoleh dari situs http://www.cdc.noaa.gov/enso. Tabel 2.1 Tabel Kejadian El Niño- La Niña El Niño La Niña 1951-1952 1950-1951 1953-1954 1955-1956 1957-1958 1965-1966 1969-1970 1970-1971 1972-1973 1973-1974 1976-1977 1975-1976 1977-1978 1982-1983 1986-1987 1988-1989 1991-1992 1994-1995 1995-1996 1997-1998 1998-1999 2002-2003 1999-2000 2004-2005 2005-2006

2.1.1 El Niño dan La Niña El Niño dan La Niña adalah fenomena variabilitas iklim yang pengaruhnya melanda kawasan Indonesia, Pasifik khatulistiwa, dan di belahan dunia lainnya. Salah satu dampak negatif yang dirasakan secara langsung berupa kemarau yang berkepanjangan dan kebakaran hutan di suatu tempat dan di tempat lainnya terjadi hujan yang berkepanjangan dan banjir. El Niño berarti anak kristus dalam bahasa Spanyol. Fenomena El Niño terkait dengan terjadinya anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, yaitu meningkatnya suhu permukaan laut di daerah tengah dan pantai timur Pasifik akibat bergeraknya kolam air hangat ke arah timur menjauhi perairan Indonesia (Gambar 2.2). Pada saat terjadi La Niña terjadi kondisi yang berlawanan, yaitu terjadi penurunan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian timur akibat pergerakan kolam air hangat ke arah barat memasuki Perairan Indonesia (Gambar 2.2). Mekanisme El Niño : Pada kondisi El Niño, angin pasat melemah dan yang asalnya bergerak dari daerah Tahiti ke Darwin (dari tekanan tinggi ke tekanan rendah) akan berubah menjadi dari Darwin ke Tahiti dan kolom air panasnya bergerak menjauhi perairan Indonesia, selanjutnya akan merubah termoklin menjadi lebih dalam di daerah Peru dan lebih dangkal di Indonesia dari keadaan normalnya.

Gambar 2.3 Perbandingan keadaan normal dan kondisi ketika El Niño (sumber:http://www.msc-smc.ec.gc.ca) Mekanisme La Niña: Pada kondisi La Niña, angin pasat menguat dan tekanan udaranya bertambah besar dan bergerak dari Tahiti ke daerah Darwin. Dengan adanya sirkulasi Walker kolom air dingin mulai bergerak ke arah timur sehingga garis termoklinnya menjadi lebih dangkal (upwelling lebih kuat) di daerah Peru dan lebih dalam di daerah Indonesia dibandingkan dengan pada saat keadaan normalnya. Gambar 2.4 Perbandingan keadaan pada saat normal dan La Niña (Sumber: http://www.msc-smc.ec.gc.ca)

Fenomena El Niño dan La Niña dapat diketahui berdasarkan indikator berikut ini : 1. Anomali temperatur permukaan laut (SST Anomali). El Niño terjadi jika ada kenaikan temperatur permukaan laut di daerah tropik timur Lautan Pasifik sekitar 0.5 C. 2. Indeks Osilasi Selatan (IOS) yaitu perbedaan tekanan udara di Lautan Pasifik (dipantau di Tahiti) dan di Lautan India (dipantau di Darwin). IOS ekstrim negatif berhubungan erat dengan kejadian El Niño. 3. Level atau elevasi permukaan laut (Sea Surface Topograhy). Hasil penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa elevasi muka laut rerata pada tahun El Niño di perairan barat Pasifik, khususnya di Pantai Mindanao dan Halmahera lebih rendah dari nilai normalnya, sedangkan rerata muka laut di Pantai Amerika tengah lebih tinggi dari nilai normalnya. 2.1.2 Osilasi Selatan Schove dan Berlage (1965) dalam Magetsari (2005) meneliti tentang fenomena Osilasi Selatan, khususnya di daerah Indo-Australian sebagai pusat dari Osilasi Selatan. Fluktuasi tekanan yang diteliti oleh Schove dan Berlage (1965) dinamakan sebagai indeks osilasi selatan, yaitu merupakan perubahan fasa tekanan atmosfer dengan pola jungkat-jangkit antara Greenland dan daerah Samudera Hindia (Magetsari, 2005). Troup (1965) dalam Magetsari (2005) menganalisis kembali mengenai Osilasi Selatan dengan meneliti struktur global tekanan muka air laut ratarata yang dikorelasikan dengan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index/SOI) dan menemukan pola lag (keterlambatan) dari hasil korelasi tersebut dengan menggunakan perbedaan tekanan muka laut rata-rata yang dinormalisasikan

antara Tahiti dan Darwin. Indeks ini telah menjadi standar pengukuran fenomena Osilasi Selatan hingga saat ini. Data ( C) Anomali Temperatur Permukaan Laut di NINO 3.4 4 3 SST NINO 3.4 2 1 0 1994-1 1995 1997 1998 1999 2001 2002 2004 2005 2006 2008-2 -3 Waktu (Tahun) Anomali Tekanan di Daerah Tahiti dan Darwin 40 20 SOI Nilai IOS 0 1994 1995 1997 1998 1999 2001 2002 2004 2005 2006 2008-20 -40 Gambar 2.5 Waktu (Tahun) Indeks yang menjadi standar pengukuran fenomena ENSO (Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov/, http://www.longpaddock.gov) Dengan kata lain, Osilasi Selatan merupakan pola jungkat-jungkit tekanan udara yang terjadi antara tekanan udara di Samudera Pasifik dan di Samudera Hindia, (Yayu, 2002). Pada saat terjadinya El Niño, nilai Indeks Osilasi Selatan negatif dalam jangka waktu yang lama, terjadi penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Tahiti dan terjadi peningkatan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Darwin. Sebaliknya pada saat nilai Indeks Osilasi Selatan positif dalam jangka waktu yang lama (fasa La Niña), terjadi kenaikan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Tahiti dan terjadinya penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Darwin, (Gambar 2.5). Pola inilah yang dinamakan pola jungkat-jangkit, dimana

posisi kedua ujungnya akan selalu berlawanan. Fenomena Osilasi Selatan ini berkaitan dengan kejadian El Niño, maka disebut sebagai ENSO. Pada gambar 2.5 menunjukkan diantara tahun 2004-2005 terjadi El Niño lemah dan diantara tahun 2005-2006 terjadi La Niña lemah yang telah yang merupakan perioda penelitian INSTANT. Gambar 2.6 Southern Oscillation Index dan tahun-tahun El Niño dan La Niña (Sumber : Gordon, 2007) 2.2 Kaitan antara ENSO dan Arlindo Skema sirkulasi arus telah dibuat oleh Godfreys pada tahun 1996 dengan menggunakan model numerik yang menjelaskan bahwa aliran massa air utama dari Samudera Pasifik menuju Samudera India merupakan arus Mindanao (Mindanao current) melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, dan menuju Laut Timor (Sudjono, 2004).

Selain berdasarkan indikator-indikator yang sudah disebutkan di atas, terdapat indikator lainnya untuk mempelajari fenomena El Niño dan La Niña, nilai transpor Arlindo. Secara umum memang terjadi perbedaan elevasi muka air laut rerata antara Lautan Pasifik sebelah barat dengan Lautan Hindia. Perbedaan elevasi ini membangkitkan arus yang melewati perairan Indonesia, dikenal sebagai Arlindo. Jalur utama Arlindo adalah Selat Makassar. Perairan Indonesia yang dilalui Arlindo memiliki struktur geografi yang khas, dimana terdapat banyak pulau besar dan kecil membagi wilayah perairan menjadi laut-laut yang berbeda satu dengan yang lainnya, dihubungkan dengan banyak lintasan ditambah dengan struktur batimetri yang dikarakteristikan dengan palung yang dalam, basin laut dan tak terhitung kepulauan karang yang membentuk dinamika massa air yang kompleks di kawasan tersebut. Arlindo mempengaruhi perubahan iklim global, memicu kehadiran variabilitas iklim ekstrem, seperti El Niño dan La Niña, serta berdampak pada kondisi pertanian, perikanan, dan kebakaran hutan. Variabilitas Arlindo diperkirakan akan diikuti dengan perubahan suhu permukaan laut di bagian barat khatulistiwa Pasifik. Kejadian El Niño diduga berkaitan erat dengan kekuatan Arlindo. Pada kondisi normal elevasi muka air rerata di Lautan Pasifik, khususnya di pantai Papua Utara dan Halmahera lebih tinggi dibandingkan dengan elevasi muka air di Lautan Hindia, khususnya pantai barat Sumatera dan Selatan Jawa, maka perbedaan elevasi ini akan menimbulkan Arlindo. Pada saat terjadi El Niño, dimana elevasi muka air rerata di bagian barat Lautan Pasifik Turun, maka Arlindo akan cederung melemah. Dengan demikian dapat diduga apabila Arlindo melemah terjadilah El Niño. Variabilitas suhu permukaan laut di perairan Indonesia terutama di bagian timur diperkirakan akan mengikuti fluktuasi Arlindo, pada saat El Niño suhunya akan turun dan saat La Niña suhunya akan lebih tinggi daripada periode El Niño.

Pada Gambar 2.7 menunjukkan jalur massa air Arlindo. Gambar 2.7 Jalur Arlindo. Keterangan: panah yang berwarna merah merupakan jalur utama Arlindo, panah yang berwarna merah garis putus-putus adalah jalur kedua Arlindo. (sumber: Gordon, 2005) Massa air Pasifik masuk Kepulauan Indonesia melalui dua jalur utama, yaitu : 1. Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makassar. Sebagian massa air tersebut akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokkan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor. 2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda. Dari Laut Banda, menurut Gordon dkk (2005) massa air akan mengalir mengikuti dua rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timur dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia.

Arlindo yang melewati hamparan pulau besar dan kecil di wilayah perairan Indonesia Timur yang memiliki struktur batimetri yang menunjukkan adanya palung, basin laut, dan banyaknya karang-karangan sehingga Arlindo memiliki dinamika dan pergerakan massa air yang komplek di kawasan tersebut (Pranowo, dkk., 2006). Variabilitas transpor Arlindo pada kedalaman tertentu akan berkaitan dengan fenomena ENSO dimana net transpor pada saat La Niña pada periode 1988-1989 akan membesar menuju Samudera Hindia sedangkan pada fasa El Niño periode 1986-1987 dan 1991-1994 net transpor akan mengecil menuju Samudera Hindia (Meyers dalam Maharani, 2006). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai nilai transpor rata-rata sebesar 11,6 Sv terjadi pada bulan Agustus dan nilai minimum sebesar 6 Sv yang terjadi pada bulan Januari. Berdasarkan hasil penelitan Fleux dkk., 1994 dalam Susanto (1999) diperoleh nilai transpor Arlindo terbesar adalah 18,6 ± 7 Sv pada bulan Agustus 1989 (tahun La Niña kuat) dan nilai terendah sebesar 2,6 ± 7 Sv pada bulan Februari-Maret 1992 (tahun El Niño kuat). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat korelasi antara nilai transpor Arlindo dengan fenomena ENSO. 2.3 Kondisi Oseanografi di Selat Lifamatola Lifamatola adalah selat yang terletak antara Pulau Lifamatola (bagian dari Kepuluan Sula) dengan Pulau Obi yang merupakan bagian dari gugusan pulau-pulau di barat Maluku Utara. Lokasi penelitian dilakukan di daerah Selat Lifamatola pada koordinat 1 49 05,88 LS dan 126 57 50,80 BT.. Perairan yang merupakan bagian dari Basin Maluku ini ditutupi dengan di bagian selatan oleh sebuah gili (ridge) yang melintas dari Sulawesi hingga New Guinea dimana pulau-pulau seperti Taliabu, Sanana, Mangole, dan Obi berada (Umasangaji, 2005).

Gambar 2.8. Gambar penampang 3 dimensi Sill Selat Lifamatola Selat Lifamatola merupakan salah satu jalur Arlindo bagian timur yang berasal dari aliran dalam Laut Banda. Perairan Pasifik memasuki perairan Indonesia sepanjang sill dengan kedalaman sekitar 2000 m di daerah Selat Lifamatola ini dan keluar melewati selat antara Kepulauan Sunda dan Laut Banda. Talley (2005) menyatakan di daerah perairan Indonesia memiliki aliran rata-rata transpor Arlindonya yang melewati Selat Lifamatola berkisar 3 Sv dan melewati lautan yang cukup dalam, sedangkan di bawah Basin Makassar dengan sill kurang lebih pada kedalaman 0-680 m, Arus Arlindo akan mengalir 1.8-2.3 Sv ke daerah Samudera Hindia dengan rata-ratanya 2.1 Sv. (Aken, 2007), tetapi tidak semua transpor Arlindo menuju Samudera Hindia hanya sebesar 1.5 Sv saja. Selat Lifamatola mempunyai kedalaman sill 1940 m. Massa air yang keluar dari Sill lifamatola ini menunjukkan adanya pencampuran massa air pada kedalaman 500 m yang menuju ke Laut Banda dan Laut Seram. Karena bentuk geometri dari Selat Lifamatola, terjadi fluktuasi temperatur antara Selat Lifamatola dan Selat Banda. Fluktuasi ini diduga karena penyebab dari adanya gelombang internal dan pasut yang

dapat mendorong isopiknal di daerah sill. Massa air akan mengalami overflow menyusuri sill Lifamatola dan naik dengan lambat ke Laut Banda untuk menyeimbangkan antara difusi eddy dan overflow dari massa air di Selat Lifamatola. 2.3.1. Kecepatan Arus Selat Lifamatola Arus permukaan dekat Lifamatola memiliki modulasi musiman dikarenakan adanya efek dari monsoon (Wyrtki dalam Van Aken, 1988). Pada bulan Agustus arus permukaan rata-rata memiliki komponen utara bernilai maksimum, arus barotropik musiman disuperposisi oleh aliran baroklinik. Rata-rata kecepatan arus di dasar juga menunjukkan modulasi monsoon dengan aliran daerah selatan pada bulan Agustus bernilai minimum ke arah utara dan maksimum dengan aliran ke arah selatan pada bulan Februari. Variasi kecepatan arus vertikal dan temporal Pada kedalaman di bawah 1250 m terjadi overflow dengan kecepatan rata-rata maksimumnya mencapai 70 cm/s. Ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini terlihat kenaikan kecepatam rata-rata pada pertambahan kedalaman. 1000 Mean velocity profile 129 deg. 1200 Depth (m) 1400 1600 1800 Overflow! 2000-20 0 20 40 60 80 Velocity (cm/s) Gambar 2.9. Profil arus vertikal pada komponen kecepatan rata-rata arus utara-selatan (Aken, 2007)

Arah arus di Selat Lifamatola berubah dengan pola waktu tertentu. Pada musim peralihan I tahun 2004 arus akan bergerak dengan kecepatan berkisar 0,5 m/det dan arah arusnya didominasi oleh arus menuju barat daya. Pada musim timur 2004 didominasi oleh arus yang cukup kuat berkisar lebih dari 0,5 m/det menuju tenggara. Musim peralihan II pada 2004 arah arus tidak terlihat jelas pola arahnya. Musim baratnya hampir serupa kondisinya dengan pola arus musim timur. Kecepatan arus terlihat cukup kuat signifikan pada musim timur dan musim barat (Krisnoto, 2007). Gambar 2.10. Gambar fluktuasi kecepatan komponen arus musiman di Selat Lifamatola (A) musim peralihan I 2004, (B) musim timur 2004, (C) musim peralihan II 2004 (D) musim barat 2004/2005, (E) musim peralihan I 2005 (Krisnoto, 2007)

Pasang Surut Arus pasutnya bertipe diurnal merupakan interaksi komponen O1 dan K1 diurnal dengan kecepatan pasutnya sebesar 0,5 m/s dan keterlambatan fasanya sekitar 60-90. 100000 Power Spectrum (cm/s) 2 /cpd 10000 1000 100 10 1 f Mf (a) 1000 m 1500 m 1950 m O 1 K 1 M 2 S 2 0.1 0.01 0.1 1 10 Frequency (cpd) 40 40 40 30 30 30 20 20 20 309 o cm/s) 10 0-10 309 o cm/s) 10 0-10 (b) 309 o cm/s) 10 0-10 -20-20 -20-30 -40 K 1-30 O 1-40 -30-40 Mf -40-30 -20-10 0 10 20 30 40 129 o (cm/s) 1000m 1100m 1200m 1300m 1400m 1500m 1600m 1700m 1800 m 1900m 2000m 309 o cm/s) 40 30 20 10 0-10 -20-30 -40-40 -30-20 -10 0 10 20 30 40 129 o (cm/s) M 2-40 -30-20 -10 0 10 20 30 40 129 o (cm/s) 309 o cm/s) 40 30 20 10 0-10 -20-30 -40-40 -30-20 -10 0 10 20 30 40 129 o (cm/s) S 2-40 -30-20 -10 0 10 20 30 40 129 o (cm/s) Gambar 2.11. (a) Grafik energi spektrum pada komponen arah utara-selatan pada beberapa kedalaman (b) Gambar ellips komponen-komponen pasut pada komponen arus arah timur-barat di semua kedalaman (Aken, 2007).

2.3.2. Variabilitas Temperatur dan Salinitas Kedalaman dari Selat Lifamatola mencapai 1940 m dengan temperatur rata-rata dibawah 2,8 C. Semakin dalam di perairan Selat Lifamatola maka fluktuasi suhu air laut semakin rendah hingga pada kedalaman tertentu umumnya suhu konstan sampai dasar perairan. Fluktuasi suhu air laut pada musim timur lebih kuat dibandingkan dengan musim-musim lainnya. Pada musim timur suhu air laut relatif berfluktuasi dengan periode perulangan dominan dalam waktu dua mingguan. Kondisi ini juga diperkuat oleh dorongan sirkulasi air laut yang lebih besar terjadi pada musim timur dan kemungkinan besar karena menguatnya transport Arlindo pada musim timur (Wyrtki, 1961). 400 600 Temperature (deg. C) 800 800 8.5 8.0 1000 7.5 7.0 Depth (m) 1200 Mean Temperature profile. Depth (m) 1200 1400 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 1600 1600 3.5 3.0 Overflow? 1800 2.5 2000 2 4 6 8 10 Temp ( o C) 2000 200 400 600 800 1000 Day number (1 Jan. 2004 = 1) Gambar 2.12. Gambar profil vertikal dan temporal temperatur rata-rata (Aken, 2007) Salinitasnya pada setiap musim berkisar pada 34,6 psu. Salinitas pada masing-masing kedalaman tidak jauh berbeda dikarenakan sirkulasi air laut berlangsung lambat yang mengakibatkan kondisi salinitas yang seragam. Salinitas di Selat Lifamatola ini diperkirakan berasal dari massa air Pasifik Selatan yang masuk ke perairan dalam Indonesia Timur melalui lapisan di bawah termoklin (Gordon dan Fine dalam Krisnoto, 2007).

2.3.3. Karakteristik Massa Air Arlindo Gambar 2.13 Jalur-jalur Arlindo dan Selat Lifamatola. Keterangan: panah hitam adalah massa air dari North Pacific Termocline, panah hitam garis putus-putus adalah massa air dari South Pacific Termocline. (sumber: Sprintal, 2004) Gambar 2.13 memperlihatkan massa air yang masuk ke perairan Indonesia dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia pada lapisan permukaan yang dipengaruhi oleh angin monsun (Armondo) sehingga akan terjadi pembalikan arah arus permukaan pada saat periode monsun yang berbeda, Arlindo banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik bagian utara (North Pacific Thermocline) yang mengalir melalui Selat Makassar, kontribusi tambahan Arlindo dari Lower Thermocline water dan deep water masses yang berasal dari Samudera Pasifik bagian selatan (South Pacific Lower Thermocline) melalui rute bagian timur Laut Maluku dan Halmahera, dengan air yang lebih berat mengalir melalui Terusan Lifamatola. Panah putih merepresentasikan kelimpahan air yang lebih berat dari Pasifik melintasi terusan Lifamatola menuju Laut Banda dengan transport berkisar 1 Sv.

(a) Tahun Normal (b) Tahun El Niño (c) Tahun La Niña Gambar 2.14. Diagram θ S dan S-O 2 di Laut Maluku (1 N -2 S; 123 E-128 E) (sumber: Mardiansyah, 2003). Karakteristik massa air Arlindo di perairan ini dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan massa air yang hampir mirip dengan Laut Banda dan Laut Maluku. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.14 terlihat pada tahun normal bahwa adanya kesamaan kontribusi dari massa air NPSW dan SPSW, masih teridentifikasi AAIW dengan jelas. Untuk laut Maluku pada saat terjadinya La Niña karakteristik AAIW (Antartic Intermediate Water) sudah tidak teridentifikasi lagi yang pada umumnya dicirikan oleh Salinitas minimum (S min, sekitar 34.55 psu), kemudian muncul juga massa air dari Laut Banda di lower Thermocline. Sedangkan pada tahun El Niño, kontribusi dari massa air SPSW lebih besar daripada NPSW membuat massa air AAIW dan massa air Laut Banda masih teridentifikasi dengan jelas (Mardiansyah, 2003).

2.4 Review Penelitian Terdahulu Daerah Selat Lifamatola merupakan daerah yang masih jarang dikaji. Selat lifamatola ini merupakan bagian dari perairan timur Indonesia. Selat Lifamatola di Sulawesi Timur ini memiliki rute perairan dalam. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di daerah ini antara lain : Van Aken, et.al., (1988), melakukan penelitian di daerah basin di daerah timur kepulauan Indonesia dengan mempelajari massa airnya, arus, dan model teoritisnya. Struktur vertikal dari basin Aru dan Palung Timor lebih kompleks karena adanya kehadiran massa air dari Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan Laut Banda. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari adanya proses flushing laut dalam dan mengamati distribusi dari jejak yang dapat disimulasikan secara kualitatif dan kuantitatif, untuk mendapatkan perkiraan kuantitatif waktu paruh dan estimasi parameter lainnya. Observasinya dilakukan pada bulan Januari dan minggu pertama Februari 1985, diletakkan CTD di 47 posisi yang berbeda. Gambar 2.15. Stasiun CTD ketika survei TYRO pada bulan Januari dan Februari tahun 1985 (sumber : Aken, et.al., 1988)

Pada Gambar 2.15 ditemukan adanya massa air South Pacific Intermediate Water di stasiun 33, di daerah atas Laut Seram (stasiun 35) terlihat adanya hubungan dengan air bersalinitas tinggi yang ditemukan di Laut Halmahera. Pemasukan massa air ke Laut Halmahera memiliki ciri massa air Pasifik dengan salinitas tinggi di atas 700 m. Sedangkan, sistem inflow ke Laut Banda sangatlah rumit dikarenakan berasal dari basin-basin utama seperti Laut Seram dengan Basin Burunya dan Basin Seram, Laut Banda dengan Basin Banda Selatan, Basin Weber dengan Basin Flores dan ditambah dengan sejumlah basin kecil lainnya. Sistem perairan Banda laut dalam berasal dari aliran Samudera Pasifik yang melalui sill Selat Lifamatola yang kedalamannya mencapai 1950 sampai 2000 m yang merupakan kombinasi antara percampuran vertikal. Sedangkan, Selat Lifamatola mendapatkan salinitas yang berasal dari Laut Buru dan Laut Bacan. Mooring yang dipasang dekat dengan sill Selat Lifamatola (1 48.8 S, 126 56.7 E) pada kedalaman 1940 m didesain dengan kecepatan maksimum 0,5 m/s yang telah diobservasi oleh Broecker dalam Aken, et.al., (1988) dan menemukan kecepatan dalam sill tidak boleh melebihi kecepatan sebesar 0,3 m/s. Arus permukaan yang digambarkan oleh Wyrtki dalam Aken, et.al., (1988) menunjukkan bahwa arus permukaan dekat Lifamatola memiliki modulasi musiman dikarenakan adanya efek dari monsun. Temperatur potensial isotermal Laut Banda di bawah kedalaman 2500 m berasal dari sill dekat Lifamatola yang menuju Basin Buru ke Laut Banda, dikarenakan adanya aliran ke arah selatan dan percampuran vertikal. Salinitas di laut dalam diabaikan mulai dibawah kedalaman 1500 m. Pada kedalaman 2000 m di Laut Banda salinitasnya antara 34,615 dan 34,620. Oksigen juga menunjukkan bahwa sill di daerah Selat Lifamatola secara efektif menghalangi massa air laut dalam dari Samudera Pasifik dengan kandungan oksigen sebanyak 120 μmol.dm -3. Di dekat sill yang dipisahkan oleh Laut Banda, isolines antara temperatur, salinitas, dan konsentrasi oksigen berbentuk horizontal. Hal ini mengindikasikan bahwa Laut

Banda yang dalam memungkinkan terjadinya upwelling dan percampuran dan berhubungan dengan adanya lower termocline water. Disimpulkan bahwa distribusi oksigen, temperatur dan salinitas dari sistem Laut Banda berasal dari aliran sill di Selat Lifamatola (Postma dalam Aken, et.al., 1988). Massa air Pasifik yang dalam yang memasuki bagian bawah dari Laut Banda memiliki temperatur potensial sebesar 3,5 C ditemukan di bawah kedalaman 1500 m. Kemudian ada juga yang masuk berasal dari massa air North Pacific Intermediate Water. Observasi arus di sekitar Lifamatola disebabkan adanya kehadiran dari pasut internal di sekitar Laut Webber dan Basin Banda bagian selatan dengan kecepatan lebih dari 0,1 m/s pada kedalaman sampai 1000 m. Van Aken, et.al., (1991), menjelaskan penyebaran konsentrasi silika, oksigen terlarut, dan temperatur potensial di daerah Selat Lifamatola. Temperatur potensial antara kedalaman 1500-2000 sepanjang Selat Lifamatola dari Selat Buru menuju Selat Bacan adalah θ 2,3 C dan S 34,62. Pada penelitian ini Aken, et.al., (1991) memperkirakan waktu tinggal, kecepatan vertikal di Laut Banda dan membandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dari pengukuran arus di Selat Lifamatola didapatkan inflow yang berasal dari kedalaman lebih dari 1500 m sebesar 1,5 x 10 6 m 3 /s. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model adveksi-difusi satu dimensi untuk mengamati distribusi vertikal antara kedalaman 1000 m sampai 3500 m di Basin Banda. Umasangaji (2005) melakukan penelitian pada musim barat di perairan Selat Lifamatola dan membuktikan adanya massa air yang memiliki suhu permukaan relatif hangat dengan salinitas air tawar. Lebih lanjut dilaporkan pada kedalaman sebesar

1940 m dapat memberikan inflow Arlindo sebanyak 1,5 Sv ke daerah bagian laut dalamnya. Ffield, et.al., (2005), melakukan penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara temperature finestructure variability dengan variabilitas suhu di daerah Selat Lifamatola dan Laut Timur. Finestructure variability ini dapat mempengaruhi pula pencampuran vertikal yang ada di suatu perairan atau laut. Penelitian ini menggunakan data temperatur selama 18 tahun yaitu pada tahun 1985-2003 yang diambil dari dataset expendable bathythermographic (XBT) pada daerah 114 E- 135 E dan 12 S ke 2 N. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa di Selat Lifamatola terdapat banyak struktur temperatur terhadap kedalaman dalam interval skala vertikalnya dari 2-100 m, sedangkan Laut Timor mempunyai profil temperatur yang lebih halus terhadap kedalaman. Finestructure lebih rendah 33% daripada normalnya di kedalaman 30 m dan 29% lebih besar di kedalaman 550 m. Hal ini juga menjelaskan alasan terjadinya peningkatan (penurunan) stratifikasi temperatur secara vertikal di atas 100 m (di bawah 100 m) selama El Niño. Dengan adanya finestructure yang semakin besar di Selat Lifamatola membuat pencampuran vertikalnya pun menjadi lebih besar dibandingkan dengan Laut Timor yang finestructure-nya lebih rendah. Van Aken, et.al., (2007), melakukan penelitian di daerah Selat Lifamatola yang merupakan penghubung terdalam dengan Samudera Pasifik dengan menggunakan data INSTANT pada tahun 2004-2006 dan menunjukkan adanya komponen pasang surut jenis diurnal di aerah Selat Lifamatola, kecepatan rata-rata yang tinggi (>50 cm/s) ditemukan di bawah kedalaman 1800 m. Transport rata-rata yang melalui Selat Lifamatola sebesar 2.9 ± 1.2 Sv dengan temperatur rata-rata 3.1 C. Krisnoto (2007) melakukan penelitian sebagai tugas akhirnya dengan menggunakan data kecepatan arus, temperatur dan salinitas di Selat Lifamatola dan mengamati

keragaman suhu, salinitas, dan kecepatan arus pada Maret 2004 sampai Mei 2005 berdasarkan INSTANT leg 4 yang berlangsung pada tanggal 15-24 Juli 2005. Krisnoto (2007) melaporkan bahwa fluktuasi suhu air laut periode dua mingguan hingga delapan bulanan terdapat pada kedalaman 496 m, 799 m, 1100 m, dan 1417 m di Selat Lifamatola dengan energi tertinggi pada kedalaman 496 m, sedangkan untuk periode 8 bulanan terlihat pada kedalaman 1100 dan 1417 m. Data variasi temporal menunjukkan pula suhu akan mengalami penurunan pada saat musim timur dan musim barat. Arah arus menunjukkan pada kedalaman 798 m di Selat Lifamatola tidak tetap sepanjang tahun tetapi berubah dengan arah arus dominan menuju tenggara. 2.4. Perbedaan Antara Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Akan Dilakukan Untuk meneliti sinyal ENSO maka diperlukan data kecepatan arus. Data yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah hampir sama dengan data yang dipakai pada penelitian ini hanya studi difokuskan pada kedalaman yang cukup dalam di kedalaman 1000 sampai 2000 m. Pada penelitian ini dikaji variasi Arlindo yang dikaitkan dengan sinyal ENSO yang terdapat di Selat Lifamatola dengan menggunakan metode Low Pass Filter, analisa spektrum, nilai korelasi silang terhadap SOI.