BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tabel 4 Data Pasien TBC di Kecamatan Pasar Rebo Periode Februari-Mei 2008

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TUBERKULOSIS. Fransiska Maria C. Bag. FKK-UJ

UNTUK PENGOBATAN TUBERKULOSIS DI UNIT PELAYANAN KESEHATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium. mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

S T O P T U B E R K U L O S I S

FARMAKOTERAPI TUBERCULOSIS (TBC) Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB I PENDAHULUAN. aerob yang tahan asam. Sifat aerob pada kuman M.tuberculosis ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Arti tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk. termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. M. Tuberculosis merupakan kelompok bakteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) secara teratur dievaluasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAGI PENDERITA TBC/TUBERCULOSIS DI KOTA BANDUNG. yakni menyerang berbagai organ tubuh (Wahyu, 2008, h.2).

PEMBAHASAN. 1. Air beroksigen 2. Pemakaian masker 3. Rokok elektronik 4. Iklan kanker paru 5. MDR TB

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan erat dengan penderita (Amiruddin. et al. Dokter Paru Indonesia, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. yang utama. Penyakit infeksi ini menyerang jutaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2007). Terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai,

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU X TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

I. PENDAHULUAN. prevalensi tuberkulosis tertinggi ke-5 di dunia setelah Bangladesh, China,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

Aplikasi Kalender Minum Obat TBC Berbasis Adroid

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TUBERKULOSIS 1. Definisi Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya kronis dan bahkan dapat terjadi selama hampir seumur hidup. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron. Meskipun dapat menginfeksi banyak organ, kuman ini lebih sering menyerang paru (2). Hal ini disebabkan karena kuman ini bersifat aerob, sedangkan paru-paru merupakan organ tubuh yang paling banyak menyuplai oksigen. Kuman golongan Mycobacterium ini agak sulit untuk diwarnai, tetapi sekali berhasil diwarnai, sulit untuk dihapus dengan larutan asam. Oleh karena itu, disebut juga kuman batang tahan asam (BTA) (7). 2. Cara Penularan. Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-

anak, sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan berkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru. Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dan patogenisitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang menghirup udara yang mengandung kuman tersebut. Kuman TBC sangat sensitif terhadap cahaya ultra violet. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TBC berbasis keluarga atau wilayah (2). 3. Gejala-gejala (2,4) Keluhan yang dirasakan pasien TBC dapat bermacammacam, bahkan banyak pasien ditemukan TBC paru tanpa

keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejalagejala yang terjadi antara lain: a. Demam. Demam berlangsung pada sore dan malam hari, disertai keringat dingin meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. b. Batuk. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif), kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Batuk bisa berlangsung terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. c. Sesak napas. Sesak napas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut. d. Nyeri dada. Gejala ini jarang ditemukan. Hal ini terjadi apabila infeksi sudah mengenai pleura. e. Malaise. Gejala malaise bersifat berkepanjangan kronik, disetai rasa tidak fit, tidak enak badan, lemah lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

4. Diagnosis Mengacu pada program nasional penanggulangan TBC, diagnosis pada orang dewasa ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung untuk mendapatkan BTA. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya tiga kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu penderita datang ke tempat pengobatan dan dicurigai menderita TBC, kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan paginya. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Hasil tersebut diperkuat dengan melakukan pemeriksaan radiologis dada. Karena tingginya prevalensi TBC di Indonesia, maka tes tuberculin pada dewasa tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis TBC pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi, dan uji tuberkulin (2). B. PRINSIP PENGOBATAN Pengobatan TBC dibagi dalam dua tahap, yaitu: 1. Tahap intensif (initial phase), dengan memberikan 4-5 macam obat antituberkulosis per hari dengan tujuan: a. mendapatkan konversi sputum dengan cepat

b. menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut c. mencegah timbulnya resistensi obat 2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan dua macam obat per hari atau secara intermitten dengan tujuan menghilangkan bakteri yang tersisa dan mencegah kekambuhan. C. PADUAN PENGOBATAN Rejimen pengobatan TBC mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis obat anti tuberkulosis (OAT), cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh: 2HRZE/4H3R3. Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang digunakan, yaitu: H = Isoniazid R = Rifampisin Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin

Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekuansi. Angka 2 di depan seperti pada 2HRZE artinya digunakan selama 2 bulan, satu kali tiap hari. Sedangkan untuk angka di belakang huruf, seperti pada 4H3R3 artinya digunakan tiga kali seminggu (8). Paduan pengobatan TBC pada orang dewasa, yaitu (4): 1. Kategori 1: 2HRZE/4H3R3 Diberikan kepada: a. penderita baru TBC paru BTA positif b. penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat. 2. Kategori 2: HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada: a. penderita kambuh b. penderita gagal terapi c. penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat. 3. Kategori 3: 2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada: Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif. Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan pada anak, yaitu: 1. 2HR/7H2R2 2. 2HRZ/4H2R2

Ditambahkan etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH. Di samping kombipak, saat ini tersedia juga obat TBC yang disebut Fix Dose Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat kombipak, yaitu rejimen dalam bentuk kombinasi, namun di dalam tablet yang ada sudah berisi 2, 3, atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. Keuntungan penggunaan OAT-FDC: 1. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalan satu kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita. 2. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita. 3. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi maka penderita tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan. 4. Dari segi aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya. Beberapa hal yang mungkin terjadi dan perlu diantisipasi dalam pelaksanaan pemakaian OAT-FDC:

1. Salah persepsi, petugas akan menganggap dengan OAT- FDC, kepatuhan penderita akan terjadi secara otomatis, karenanya pengawasan minum obat tidak diperlukan lagi. 2. Jika kesalahan peresepan benar terjadi dalam OAT-FDC, maka akan terjadi kelebihan dosis pada semua jenis OAT dengan risiko toksisitas atau kekurangan dosis yang memudahkan berkembengnya resistensi obat. 3. Bila terjadi efek samping sulit menentukan OAT mana yang merupakan penyebabnya. Jenis OAT-FDC yang tersedia di program penanggulangan TBC terdiri dari tablet 4FDC, yang mengandung INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol, digunakan pada saat fase intensif, serta tablet 2FDC, yang mengandung INH dan rifampisin, digunakan pada saat fase lanjutan. Sedangkan, untuk pengobatan dengan menggunakan kategori 2, ditambahkan injeksi streptomisin sebagai pelengkapnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis OAT-FDC yang tersedia di program penanggulangan TBC Tablet OAT-FDC Komposisi Pemakaian 4FDC 75 mg INH 150 mg rifampisin Tahap intensif/ awal dan sisipan harian 400 mg pirazinamid 275 mg etambutol 2FDC 150 mg INH 150 mg rifampisin Tahap lanjutan 3 kali seminggu Pelengkap paduan kategori 2: Tablet etambutol @400 mg Injeksi (vial) streptomisin 750 mg Aquabidest dan spuit Paduan pengobatan OAT-FDC yang tersedia saat ini di Indonesia terdiri dari: 2(HRZE)/4(HR)3 untuk kategori 1 dan kategori 3 2(HRZE)S/1(HRZE)/5(HR)3E3 untuk kategori 2 Pengobatan dengan menggunakan OAT-FDC ditentukan dosisnya berdasarkan berat badan. Untuk berat badan antara 30 sampai 37kg, diberikan 2 tablet tiap kali minum, untuk berat badan antara 38 sampai 54kg, diberikan 3 tablet, untuk berat badan antara 55 sampai 70kg, diberikan 4 tablet, dan untuk berat badan lebih daari 70kg diberikan 5 tablet. Untuk lebih jelasnya, pada Tabel 2 disampaikan dosis pengobatan kategori 1 dan kategori 3: 2(HRZE)/4(HR)3.

Tabel 2 Dosis Pengobatan kategori 1 dan kategori 3 Berat badan Tahap intensif (tiap hari selama 2 bulan) Tahap lanjutan (3 kali seminggu selama 4 bulan) 30-37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC 38-54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC 55-70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC >70 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC Sedangkan untuk dosis pengobatan kategori 2: 2(HRZE)S/1(HRZE)/5(HR)3E3, pada dasarnya sama dengan pengobatan menggunakan kategori 1, namun diberikan tambahan injeksi streptomisin selama 2 bulan pertama dan satu bulan berikutnya dilanjutkan dengan pemberian obat sisipan, yaitu berupa tablet 4FDC (8). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Dosis Pengobatan Kategori 2 Berat badan Tahap intensif (tiap hari selama 3 bulan) Tahap lanjutan (3 kali seminggu tiap hari selama tiap hari selama selama 5 bulan) 2 bulan 1 bulan 30-37 kg 2 tablet 4FDC + 500 mg streptomisin 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC + 2 tablet etambutol injeksi 38-54 kg 3 tablet 4FDC + 750 mg streptomisin 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC 3 tablet etambutol

injeksi 55-70 kg 4 tablet 4FDC + 1 g streptomisin 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC 4 tablet etambutol injeksi >70 kg 5 tablet 4FDC + 500 mg streptomisin injeksi 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC 5 tablet etambutol *) dosis maksimal 1g, untuk penderita >60 tahun, dosis 500mg- 750mg D. OBAT-OBAT TUBERKULOSIS (9) Penanganan tuberkulosis menggunakan regimen beberapa macam antibiotik dengan durasi selama 6 sampai 12 bulan. Regimen tunggal sebaiknya tidak digunakan untuk pengobatan karena kecenderungan untuk menyebabkan resistensi obat sangat tinggi. Resistensi terhadap obat tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan. Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok berdasarkan khasiat dan efek sampingnya, yaitu kelompok obat primer dan sekunder. Kelompok obat primer, yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan

toksisitas yang dapat diterima. Antituberkulosis sekunder adalah etionamid, paraaminisalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin, dan kanamisin. 1. Isoniazid Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH, bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. INH kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Asam mikolat merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Nama dagang: INH, Isonex. Sediaan: isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400 mg.dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan vitamin B6. Sekarang juga telah tersedia dalam bentuk kombinasi obat. Dosis: Dosis umumnya 5mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk pencegahan, diberikan dosis 300mg/hr sampai dengan 1 tahun. Untuk anak diberikan dosis 5-10 mg/kgbb. Isoniazid jaga dapat diberikan secara intermitten 2 kali seminggu dengan dosis 15

mg/kgbb/hari. Piridoksin harus diberikan juga dengan dosis 10 mg/hari. Farmakokinetik: INH mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi. Masa paruh antara 1-3 jam. INH mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan rubuh. Antara 75-95% INH dieksresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Kontraindikasi: Isoniazid dikontraindikasikan bagi pasien dengan penyakit hati kronis dan gagal ginjal, serta penderita dengan riwayat hipersensitifitas, termasuk cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi kehamilan (kecuali risiko terjamin). Efek samping: Nausea, mual, fatigue, anemia, agranulositosis, erupsi kulit, demam, limfadenopati, vaskulitis. 2. Rifampisin Rifampisin memiliki spectrum aktivitas antimikroba yang luas. Mekanisme kerjanya menghambat DNA-

dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Nama dagang: rifampin, rifadin, rimactane, rimactazid. Sediaan: rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 Beberapa sediaan telah dikombinasi dengan isoniazid. Dosis: Untuk dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 600 mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari. Untuk anak dan dewasa juga dapat diberikan 2 atau 3 kali seminggu dengan dosis 15 mg/kgbb dengan dosis maksimal 900 mg. Farmakokinetik: Pemberian secara oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam. Obat ini cepat dieksresi melalui empedu dan mengalami siklus enterohepatik. Obat ini cepat mengalami deasetilasi. Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun

bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pada pemberian berulang. Masa paruh eliminasi antara 1,5-5 jam. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh. Kontraindikasi: Hipersensitifitas terhadap obat ini. Efek samping: Gangguan pada saluran cerna berupa rasa mual, muntah, dan diare. Gangguan pada saraf berupa sakit kepala, vertigo, ataksia, gangguan virus, parestesia. Gangguan hipersensitivitas berupa urtikaria, kulit memerah, hepatitis. Juga dapat terjadi trombositopenia berupa leukopenia, anemia hemolitik. 3. Etambutol Etambutol berkhasiat tuberkulostatik. Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Nama dagang: abbutol, bacbutol, corsabutol. Sediaan: di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Ada pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap.

Dosis: Dosis biasanya 25 mg/kgbb, diberikan sekali sehari. Ada pula yang menggunakan dosis 30-40 mg/kgbb diberikan tiga kali seminggu. Untuk fase lanjutan dianjurkan pemberian dosis 15 mg/hr. Farmakokinetik: Kadar puncak dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian secara oral. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan dieksresi dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap obat ini. Efek samping: Neuritis retrobulbar bilateral ditandai dengan : penurunan visus, hilangnya daya diskriminasi warna, penyempitan lapang pandang, skotoma sentral atau perifer, buta warna sebagian. Selain itu dapat juga terjadi disorientasi, halusinasi, sakit kepala, malaise, jaundise, dan gangguan gastrointestinal.

4. Pirazinamid Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Pirazinamid juga dapat berpenetrasi dan membunuh bakteri tuberkulosis. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh antituberkulosis lainnya. Nama dagang: pirazinkarboksamida, pezeta, prazina Sediaan: Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis: Untuk dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 1,5 g/hari atau 2 g dengan pemberian sebanyak tiga kali seminggu atau 3 g dengan pemberian sebanyak dua kali seminggu. Sedangkan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 2 g/hari atau 2,5 g dengan pemberian sebanyak tiga kali seminggu atau 3,5 g dengan pemberian sebanyak dua kali seminggu. Farmakokinetik: Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Kadar puncak tercapai dalam waktu 2

jam setelah pemberian oral. Ekresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Bentuk aktifnya, asam pirazinoat, dihidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat. Masa paruh eliminasi obat ini antara 10-16 jam. Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap pirazinamid dan penderita dengan gangguan faal hati. Pada penderita ginjal pemberiannya harus sangat hati-hati. Efek samping: Hepatotoksik:, seperti hepatomegali, splenomegali, dan jaundise sering sekali dan dapat fatal. Selama terapi sebaiknya kadar serum transaminase dipantau tiap 2-4 minggu. Efek samping lain yaitu anorexia, nausea, mual, malaise, demam, dan disuria. 5. Streptomisin Streptomisin merupakan bakterisidal yang pada ph netral dalam lingkungan ekstraselular bekerja dengan cara menghambat sintesis protein. Sediaan: Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram, yang diberikan secara oral.

Dosis: Dosisnya 15-20 mg/kgbb secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuansi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu. Farmakokinetik: Streptomisin menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. 50-60% obat ini yang diberikan secara parenteral dieksresi melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 24 jam. Masa paruh obat ini antara 2-3 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida lainnya. Efek samping: Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Streptomisin bersifat neurotoksik bila diberikan dalam dosis besar dan jangka lama. E. RESISTENSI TERHADAP OBAT-OBAT TBC Drug Resistance Tuberculosis (DR-TB) adalah resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap salah satu

komponen obat antituberkulosis. Sedangkan Multi Drug Resistance Tuberculosis (DR-TB) didefinisikan sebagai resistensi menyeluruh terhadap komponen obat antituberkulosis atau setidak-tidaknya resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa resistensi terhadap obat antituberkulosis lain (10). Pemilihan regimen yang efektif untuk kemoterapi TBC merupakan tulang punggung terhadap suksesnya terapi TBC. Prinsip yang utama dalam pemilihan regimen ini adalah terapi dengan menggunakan paling sedikit dua macam obat. Penggunaan kombinasi obat tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya resistensi pada bakteri. Penggunaan bermacam-macam jenis obat menurunkan kemumgkinan terjadinya resistensi karena kemungkinan terjadinya resistensi bakteri terhadap dua jenis obat sekaligus sangat kecil. Ketika resistensi terhadap suatu jenis obat terjadi, akan dianjurkan untuk menggunakan kombinasi obat. Prinsip lain yang juga paling penting adalah kepatuhan pasien dalam menjalani terapi obat. Pemakaian obat yang tidak sesuai dengan aturan pakai dapat memicu terjadinya resistensi pada bakteri TBC tersebut. Hal inilah yang merupakan faktor tingginya tingkat kegagalan dalam terapi obat pada pasien TBC paru.

Berikut mekanisme terjadinya resistensi pada obatobat antituberkulosis (11): 1. Isoniazid Mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai. 2. Rifampisin Resistensi pada obat ini terjadi dengan agak cepat. 3. Etambutol Insiden terjadinya resistensi pada obat ini cenderung lebih rendah. Oleh karena itu obat ini digunakan untuk mencegah timbulnya resistensinkuman terhadap antituberkulosis lain. 4. Pirazinamid Resistensi pirazinamid dapat timbul dengan cepat bila digunakan sebagai monoterapi. 5. Streptomisin Resistensi mungkin disebabkan oleh mutasi yang terjadi secara kebetulan. Secara umum dikatakan bahwa makin lama terapi dengan streptomisin berlangsung, makin meningkat resistensinya. Penggunaan streptomisin bersama

antituberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi, tapi ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka panjang dapat juga terjadi resistensi terhadap kedua obat itu. F. KONSEP KEPATUHAN Berkaitan dengan pengadaan pelayanan kesehatan, konsep kepatuhan dapat dikaji secara luas, jika dihubungkan dengan instruksi yang berkenaan dengan makanan (diet), latihan, istirahat, dan lain-lain, sebagai tambahan pada penggunaan obat. Dalam konteks ini, kepatuhan dapat didefinisikan sebagai tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasihat media atau kesehatan (12). Obat TBC harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat. Oleh karena itu, untuk menjamin kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat, WHO mencetuskan suatu program agar pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). G. KONSEP KONSELING

1. Definisi Konseling yang dilakukan apoteker merupakan komponen pharmaceutical care dan harus ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi, dengan memaksimalkan penggunaan obat-obat yang tepat. Apoteker, dalam bekerja sama dengan professional pelayanan kesehatan yang lain, jika perlu, harus menetapkan informasi dan konseling khusus yang diperlukan dalam tiap situasi pelayanan pasien. Terapi obat yang aman dan efektif, paling sering terjadi apabila pasien diberi informasi yang cukup tentang obatobatannya serta cara penggunaannya. Pasien yang berpengetahuan tentang obatnya, menunjukkan peningkatan ketaatan pada regimen obat yang tertulis dan mengakibatkan hasil terapi yang meningkat. Oleh karena itu, apoteker mempunyai tanggung jawab untuk memberi informasi yang tepat tentang terapi obat mereka kepada pasien (2). 2. Metode Konseling (12) Berikut ini beberapa teknik komunikasi penting dan teknik pembelajaran yang perlu dikuasai oleh farmasis untuk memaksimalkan efisiensi dan keefektifan dalam konseling pasien tentang terapi obat: 1) Fase Pengkajian

Fase permulaan sesi konseling adalah suatu waktu bagi apoteker untuk mengkaji pengertian pasien individu, tentang proses penyakitnya, dan bagaimana hubungannya dengan terapi obat. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan terbaik untuk memulai sesi edukasi. Pertanyaan terbuka, mensyaratkan partisipasi yang maksimal pada pihak pasien. Teknik berguna lain yang berguna untuk mengonseling pasien adalah pertanyaan pantulan. Jenis pertanyaan ini memberi kesempatan pasien, untuk menjelaskan pertanyaan terdahulu secara lebih rinci. Sebaliknya, jenis pertanyaan tertutup dan pertanyaan bersifat usul harus dihindari dalam proses konseling karena pertanyaan tersebut tiodak mendorong partisipasi aktif dari pihak pasien. 2)Fase Perencanaan dan Penerapan Sasaran fase kedua ini adalah untuk mendorong modifikasi perilaku pada pihak pasien, guna memastikan ketaatan pada regimen terapi. Ada berbagai metode yang sangat berguna dan dapat digunakan, yaitu: a. Komunikasi verbal Konseling verbal memungkinkan farmasis menyajikan intruksi pengobatan kepada pasien dalam suatu cara

yang tepat bagi seorang pasien tertentu, dengan mempertimbangkan karakteristik perilaku sosial individu pasien tersebut. Selain itu, farmasis juga diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan berkenaan dengan sejarah pengobatannya. b. Komunikasi nonverbal Farmasis harus tetap memperhatikan berbagai tanda nonverbal, seperti tanda, semas, marah, atau malu. c. Mendengarkan 3)Fase Evaluasi Fase ini penting untuk memastikan bahwa pasien telah mempelajari butir penting yang dicakup selama sesi konseling. Pertanyaan tindak lanjut meminta pasien meringkas butir-butir tertentu dari regimen terapi yang merupakan hal berguna. Pertanyaan ini dapat diberikan pada pasien untuk mengulang materi yang telah disajikan.