DAMPAK FAKTOR EKOLOGIS TERHADAP SEBARAN PENYAKIT ICE-ICE

dokumen-dokumen yang mirip
DAMPAK FAKTOR EKOLOGIS TERHADAP SEBARAN PENYAKIT ICE-ICE

LAJU KECEPATAN PENYERANGAN ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN BLUTO SUMENEP MADURA

Keywords : infection, ice-ice, Kappaphycus alvarezii

Oleh : ONNY C

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

POLIKULTUR RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DENGAN BANDENG DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH

Dampak Infeksi Ice-ice dan Epifit terhadap Pertumbuhan Eucheuma cottonii

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

FENOMENA FAKTOR PENGONTROL PENYEBAB KERUGIAN PADA BUDIDAYA KARAGINOFIT DI INDONESIA. Oleh. Kresno Yulianto 1)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

PERTUMBUHAN EKSPLAN RUMPUT LAUT, Gracillaria verrucosa HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN TEBAR BERBEDA DI TAMBAK

Dampak Infeksi Ice-ice dan Epifit terhadap Pertumbuhan Eucheuma cottonii

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

SELEKSI KLON BIBIT RUMPUT LAUT, Gracilaria verrucosa

PENGEMBANGAN KULTUR JARINGAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) Specific Pathogen Free (SPF).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Pertumbuhan Rumput Laut

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

Kandungan Klorofil-a dan Karaginan Eucheuma cottonii yang Ditanam pada Kedalaman Berbeda di Desa Palasa, Pulau Poteran

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp dengan Metode Rak Bertingkat di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

Kajian Pengembangan Usaha Budidaya Rumput Laut Di Pantai Kutuh, Badung, Provinsi Bali

STUDI KARAKTERISTIK BIOLOGI RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) TERHADAP KETERSEDIAAN NUTRIEN DIPERAIRAN KECAMATAN BLUTO SUMENEP

STUDI KELAYAKAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma Cottonii) DI KECAMATAN BLUTO SUMENEP MADURA JAWA TIMUR

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 1: Metode lepas dasar

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

5 AGRIBISNIS RUMPUT LAUT

The growth of regenerated tissue culture of Kappaphycus alvarezii with different planting spaces

Bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii )

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp. dengan Metode Penanaman yang Berbeda di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) - Bagian 2: Metode longline

Pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perbedaan kedalaman dan berat awal di perairan Talengen Kabupaten Kepulauan Sangihe

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengaruh Berat Bibit Awal Berbeda terhadap Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii di Perairan Teluk Tomini

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PEDOMAN UMUM BUDIDAYA RUMPUT LAUT

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun

Effect of NPK ferlilizer (nitrogen, phosphorus, potassium) on seaweed, Kappaphycus alvarezii, growth and white spot desease prevention

Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume II, Nomor 1, Maret 2014

Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

3.3 Teknik Budidaya Rumput Laut (Gracillaria verrucosa) dengan Metode Longline Rumput laut adalah salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai

MANAJEMEN KUALITAS AIR

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) Rumput laut segar

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

STUDI LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Euchema spinosum DAN Eucheuma cottoni DI PERAIRAN DESA KUTUH, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG-BALI

Jurnal KELAUTAN, Volume 4, No.1 April 2011 ISSN :

PENGARUH PERBEDAAN STRAIN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN SPESIFIK. Dodi Hermawan 1) ABSTRACT

YUDI MIFTAHUL ROHMANI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar 1 m. Dengan adanya bakteri Rhizobium, bintil

Studi Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Berbagai Metode Penanaman yang berbeda di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

I. PENDAHULUAN. Rumput laut atau seaweeds adalah tanaman air dikenal dengan istilah alga atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

HASIL DAN PEMBAHASAN

KANDUNGAN KLOROFIL, FIKOERITRIN DAN KARAGINAN PADA RUMPUT LAUT Eucheuma spinosum YANG DITANAM PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

TEKNIK BUDIDAYA RUMPUT LAUT Euchema cottonii DENGAN METODE LONGLINE DAN Gracilaria sp DENGAN METODE BROADCAST

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

MODEL PENERAPAN IPTEK PENGEMBANGAN KEBUN BIBIT RUMPUT LAUT, Kappaphycus alvarezii, DI KABUPATEN MINAHASA UTARA, SULAWESI UTARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.)

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KARAGINAN RUMPUT LAUT

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

1025 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

Transkripsi:

DAMPAK FAKTOR EKOLOGIS TERHADAP SEBARAN PENYAKIT ICE-ICE Oleh: Apri Arisandi; Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo e-mail: apri_unijoyo@yahoo.com ABSTRAK Faktor ekologis berperan terhadapsebaran infeksi penyakit ice-ice. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi of Kappaphycusalvarezii dan sebaran infeksi penyakit ice-ice. Penelitian dilakukan menggunakan metode budidaya dalam rakit apungdan diamati setiap 15 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi mulai terlihat sejak awal tanam dan dipengaruhi oleh faktor ekologis. Kata kunci: ice-ice, sebaran, Kappaphycus alvarezii PENDAHULUAN Rumput laut sebagai bahan pasokan produk dalam negeri maupun internasional dan secara langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pantai dan tambak (Nurdjana, 2006). Pengembangan budidaya rumput laut meningkat cepat terutama pada tahun 1999 di NTB dan tahun 2000 di Sulawesi Tengah. Walaupun demikian hasil produksi tersebut sebenarnya masih dapat meningkat lagi, hal ini antara lain disebabkan terjadinya kesalahan manajemen, bibit kurang baik dan serangan penyakit (Anonim, 2005). Jenis rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia umumnya Eucheuma(Kappaphycus sp) dan Gracilaria. Luas efektif lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya 222.000 ha dan potensi produksi sekitar 4.400.000 ton berat kering,dengan pemanfaatan lahan baru sekitar 60.000 hadan produksi 228.000 ton berat kering (sekitar 5% dari potensi produksi) (Nurdjana, 2007). Keberhasilan budidaya rumput laut selain tergantung dari kesesuaian lahan dan penguasaan teknologi budidaya juga sangat tergantung dengan musim. Penyediaan benih dan hasil budidaya yang tidak kontinu, khususnya pada masa pertumbuhan rumput laut tidak baik dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung pada bulan-bulan tertentu, merupakan masalah yang sering dihadapi oleh pembudidaya rumput laut. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pada spesies rumput laut E. cottonii dan E. denticulatum menunjukkan bahwa pertumbuhan rumput laut memberikan respon berbeda pada musim dan jenis rumput laut yang berbeda. Hal tersebut juga terjadi pada E. cottonii dan E. spinosum yang banyak dibudidayakan di perairan Indonesia, sehingga biomass yang dihasilkan dan kandungan karaginannya sangat fluktuatif (Parenrengi, Madeali, dan Rangka, 2007). Beberapa masalah yang ditemukan dalam pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia adalah: 1. Belum berkembangnya seaweed centeryang mendukung pengembangan budidaya. 2. Banyaknya gangguan hama dan penyakit rumput laut terutama ice-ice,serta keterbatasan informasi teknik pengendaliannya (Nurdjana, 2006). 92

Melalui pengamatan parameter kualitas air, morfologi dan pertumbuhan rumput laut secara berkala pada setiap musim diharapkan diketahui keterkaitannya. Diketahuinya pengaruh dan hubungan antara variasi musiman parameter kualitas air dengan sebaranice-ice dan pertumbuhan, maka dapat dijadikan sebagai acuan dalam penetapan pola musim tanam rumput laut. METODOLOGI Kualitas bibit sangat menentukan produktivitas, kualitas produk dan ketahanan terhadap penyakit. Penggunaan bibit unggul merupakan cara yang sangat penting untuk pengendalian penyakit ice-ice.parameter penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi dalam kaitannya dengan manajemen kesehatan rumput laut antara lain; suhu 20 28 o C,kecepatan arus 20 40 cm/detik, dasar perairan karang dan berpasi, kedalaman air minimal 2 m saat air surut terendah dan maksimum 15 meter, salinitas 28 35 ppt, kecerahan perairanharus dapat mencapai posisi rumput laut, lokasi bebas cemaran (Nurdjana, 2007). Teknik budidaya menyesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan yaitu metode budidaya rakit apung. Pembersihan terhadap kotoran yang melekat pada thallus dan biofouling harus dilakukan secara rutin. Pembersihan dilakukan sesering mungkin (sebaiknya setiap hari) dengan cara digoyang di dalam air sampai kotoran lepas (Nurdjana, 2006). Pengambilan data dilakukan setiap 15 hari, dengan melakukan pengamatan morfologi pada thallus rumput laut. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor ekologis Parameter ekologis yang perlu diperhatikan antara lain: arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran, dan ketersediaan bibit dan tenaga kerja yang terampil. Rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 28 o C. Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut. Besarnya kecepatan arus yang baik antara: 20 40cm/detik. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik biasanya ditumbuhi karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah. Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik, sedangkan bila dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras, menunjukkan dasar itu terkena gelombang yang besar dan bila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 30 60cm pada waktu surut terendah untuk (lokasi yang ber arus kencang) metoda lepas dasar, dan 2-15m untuk metoda rakit apung, metode rawai (long-line) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Eucheuma cotonii (sinonim: Kappaphycus alvarezii)adalah alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 28-35 ppt dengan nilai optimum adalah 33 93

ppt. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.rumput laut memerlukan cahaya matahari sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya yang normal. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 (satu) m. Air yang keruh biasanya mengandung lumpur yang dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air, sehingga kotoran dapat menutupi permukaan thallus, yang akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Nilai suhu perairan yang optimal untuk laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis. Secara prinsip suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan rumput laut, seperti kehilangan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respirasi. Kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput laut Eucheuma adalah 27 30 o C.Keasaman atau derajat ph merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan alga laut, sama halnya dengan faktor-faktor lainnya. Kisaran ph maksimum untuk kehidupan organisme laut adalah 6,5-8,5.Lokasi yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut harus dihindari (Nurdjana, 2006). Pola sebaran penyakit ice-ice Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang rumput laut. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih. Thallus menjadi rapuh dan mudah putus. Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi putih thallus menjadi putih dan membusuk (Largo, Fukami and Nishijima, 1995). Stress yang diakibatkan perubahan kondisi lingkungan yang mendadak yaitu perubahan salinitas, suhu air dan intensitas cahaya, merupakan faktor utama yang memacu timbulnya penyakit ice-ice. Ketika rumput laut mengalami stress akan memudahkan infeksi patogen. Pada keadaan stress, rumput laut (misalnya: Gracilaria, Eucheuma atau Kappaphycus) akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah. Kejadian penyakit ice-ice bersifat musiman dan menular (Largo, Fukami and Nishijima, 1995). Faktor predisposisi atau pemicu lain adalah serangan hama seperti ikan baronang (Siganus spp.), penyu hijau (Chelonia midas), bulu babi (Diadema sp.) dan bintang laut (Protoneostes) menyebabkan luka pada thallus. Luka akan memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Pertumbuhan bakteri pada thallus akan menyebabkan bagian thallus tersebut menjadi putih dan rapuh. Selanjutnya, pada bagian tersebut mudah patah, dan jaringan menjadi lunak yang menjadi ciri penyakit ice-ice. Infeksi ice-ice menyerang pangkal thallus, batang dan ujung thalus muda, menyebabkan jaringan menjadi berwarna putih (Gambar 1). Umumnya penyebarannya secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui perantaraan air (Musa and Wei, 2008). 94

Gambar 1. ThallusEucheuma yang terinfeksi ice-ice Infeksi akan bertambah berat akibat serangan epifit yang menghalangi penetrasi sinar matahari sehingga tidak memungkinkan thallus rumput laut melakukan fotosintesa (Largo, Fukami and Nishijima, 1995) (Gambar 2). Gambar 2. Rumput laut yang mengalami infestasi epifit Bakteri yang dapat diisolasi dari rumput laut dengan gejala ice-ice adalah Pseudoalteromonasgracilis, Pseudomonas spp., dan Vibrio spp. Agarase dari bakteri merupakan salah satu faktor virulen yang berperan terhadap infeksi iceice(largo, Fukami and Nishijima, 1995).Pemilihan spesies budidaya rumput laut perlu mempertimbangkan aspek teknis, musim pemeliharaan serta nilai ekonomisnya. Spesies rumput laut penghasil karaginan yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah K. alvarezii (varietas coklat dan hijau), E. denticulatum dan E. edule. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pada spesies rumput laut yakni K. alvarezii (varietas coklat dan hijau) dan E. denticulatum menunjukkan bahwa pertumbuhan rumput laut memberikan respon berbeda pada musim dan ice-ice (Parenrengi, Madeali dan Rangka, 2007). Pola pertumbuhan tahunan pada rumput laut yang dipelihara dengan metode long line di Kabupaten Polman, Sulbar disajikan pada Gambar 3. 95

Gambar 3. Pola pertumbuhan rumput K. alvarezii (coklat dan hijau) dan E. denticulatum yang dibudidayakan di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat pada priode tahun 2006-2007 selama tujuh siklus budididaya (Parenrengi, Madeali dan Rangka 2007). Pertumbuhan rumput laut cenderung menurun pada priode pemeliharaan bulan Mei sampai dengan Juni khususnya K. alvarezii yang hal ini disebabkan dengan munculnya penyakit ice-ice. Sedangkan E. denticulatum memperlihatkan pola pertumbuhan yang relatif stabil. Hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam hal pemilihan spesies budidaya dimana spesies E. denticulatum merupakan spesies alternatif yang dapat digunakan saat K. alvarezii tidak memungkinkan untuk dibudidayakan. Pengamatan pertumbuhan terhadap budidaya rumput laut yang dilakukan tersebut merupakan salah satu model pemantauan yang dapat diterapkan pada beberapa daerah budidaya raumput laut. Penerapan model tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan spesies dan penentuam pola/musim tanam rumput laut. Hasil pengamatan tersebut memberikan indikator bahwa sebaiknya penanaman rumput laut dibatasi pada musim-musim tertentu untuk menghindari kegagalan panen akibat cuaca ekstrim dan wabah penyakit (Parenrengi, Madeali dan Rangka, 2007). Pemantauan budidaya rumput laut secara berkala dapat diketahui beberapa parameter atau permasalahan yang dihadapi pembudidaya. Masalah yang dihadapai dapat menjadi pertimbangan dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang akhirnya dapat dijadikan acuan dalam penetapan pola/kalender musim tanam rumput laut. Permasalahan budidaya rumput laut akan bervariasi antar lokasi, karena itu pengamatan sebaiknya dilakukan pada beberapa sentra produksi rumput laut(parenrengi, Madeali dan Rangka, 2007). Salah satu contoh pengamatan masalah yang dihadapi pada budidaya rumput laut di Kabupaten Polman seta alternatif pemecahannya disajikan pada Tabel 1. 96

Tabel 1. Identifikasi permasalahan dan aternatif pemecahannya pada budidaya rumput laut K. alvarezii di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Sumber: Parenrengi, Madeali dan Rangka (2007) Kerusakan yang ditimbulkan Ice-ice adalah banyak menyerang tanaman rumput laut Eucheuma sp. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di Philipina. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya thallus tersebut terputus. Penyakit ini timbul karena adanya mikroba yang menyerang tanaman rumput laut yang lemah. Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi putih thallus menjadi putih dan membusuk. Terjadinya perubahan warna thallus dari coklat kekuning-kuningan menjadi putih selanjutnya menyebar keseluruh thallusserta bagian tanaman membusuk dan rontok (Largo, Fukami and Nishijima, 1995). Adanya perubahan lingkungan seperti; arus, suhu, dan kecerahan di lokasi budidaya dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Tingkat penyerangannya terjadi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Largo, Fukami and Nishijima, (1995), bahwa: penyebab Ice-ice ini adalah perubahan lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan yang menyebabkan menurunnya daya tahan rumput laut tersebut. Musa and Wei (2008) mengatakan bahwa: kemungkinan penyebab terjadinya penyakit ini karena adalah bakteri patogen tertentu. Hal ini menjadikan bahwa sebenarnya timbulnya bakteri tersebut merupakan serangan sekunder. Kemungkinan efektifitas serangan bakteri hanya terjadi pada saat pertumbuhan tanaman tidak efektif. Pemberantasan penyakit pada rumput laut spesies Grachilaria sp dilakukan dengan mengganti air tambak seminggu dua kali. Apabila dalam 97

seminggu air tambak tidak diganti, maka pada thallus (batang) rumput laut akan terjadi bercak putih yang akan menghambat pertumbuhan rumput laut, bahkan dapat menyebabkan kematian (Musa and Wei, 2008). Penyakit ice-ice biasanya terjadi pada bulan April atau Mei yaitu pada saat kecerahan perairan tinggi. Pada kondisi ini tingkat kelarutan unsur Nitrat tidak tercukupi untuk keperluan fotosintesa sehingga berakibat terjadinya perubahan warna secara nyata. Penyakit ini dapat ditanggulangi dengan cara menurunkan posisi tanaman lebih dalam dari posisi semula untuk mengurangi penetrasi sinar matahari. Cara lain juga dapat dilakukan dengan pemberian pupuk Nitrogen. Akan tetapi saran ini masih perlu dikaji lebih lanjut (Largo, Fukami and Nishijima, 1995). KESIMPULAN Infeksi penyakit ice-ice mulai terlihat sejak awal tanam dan sangat dipengaruhi oleh faktor ekologis.bakteri yang dapat menyebabkan gejala penyakit ice-ice pada rumput laut adalah Pseudoalteromonasgracilis, Pseudomonas spp., dan Vibrio spp. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pedidikan Nasional yang telah memberikan dana Ipteks bagi Masyarakat sehinggaartikel ini dapat terselesaikan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005. Profil rumput laut Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, 152 pp. Ask, E.I. dan R.V. Azanza, 2002. Advances in cultivation technology of commercial eucheumatoid species: a review with suggestions for future research. Aquaculture 206:257-277. Largo, DB., Fukami, K., and Nishijima, T. 1995. Occasional Pathogenic Bacteria Promoting ice-ice Disease in The Carrageenan-Producing Red Algae Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phyciology 7: 545-554. Musa, N. And Wei, LS. 2008. Bacteria Attached on Cultured Seaweed Gracilaria changii at Mangabang Telipot, Terengganu. Academic Journal of Plant Sciences 1 (1): pp. 01-04. Nurdjana, M.L., 2006. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia. Makalah disampaikan pada Diseminasi Teknologi Dan Temu Bisnis Pengembangan Budidaya Rumput Laut serta Pemasarannya di Hotel Clarion, 12 September 2006, 25 pp. Nurdjana, M.L., 2007. Revitalisasi Budidaya dan Ekspor Rumput Laut. Makalah disampaikan pada Workshop rumput laut dan budidaya kepiting lunak. Macasar, 15 Mei 2007, 54 pp. Parenrengi, A., Sulaeman, E. Suryati dan A. Tenriulo, 2006. Karakterisasi genetika rumput laut Kappaphycus alvarezii yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur, Vol 1 (1):01-11. 98

Parenrengi, A., M. I. Madeali, dan N. A. Rangka, 2007. Penyediaan benih dalam menunjang pengembangan budidaya rumput laut. Makalah disampaikan pada Workshop Rumput Laut, Sangiaseri Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 23 pp. Salvador, R.C., and A.E. Serrano, 2005. Isolation of protoplast from tissue fragments of Philippine cultivars of Kappaphycus alvarezii (Solierenceae, Rhodophyta). J. of Applied Phycology 17:15-22. Sulaeman, A. Parenrengi, Emma Suryati dan Andi Tenriulo, 2005. Genetical and morphological differences of two different variety of seaweed Kappaphycus alvarezii. Paper presented at World Aquaculture Society, Denpasar 9-13 May 2005, 5 pp. 99