Vol 2 No. 2 April Juni 2013 ISSN :

dokumen-dokumen yang mirip
REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

RESPON REGENERASI EKSPLAN KALUS KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP PEMBERIAN NAA SECARA IN VITRO

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc.

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

III. METODE PENELITIAN A.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TEKNOLOGI KULTUR JARINGAN PERBANYAKAN TANAMAN SELAIN BENIH. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Pertama BBP2TP Surabaya

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1)

Staf pengajar PS Pemuliaan Tanaman, Jurusan BDP FP USU Medan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

Induksi Kalus dan Embrio Somatik Tanaman Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Callus and Somatic Embryo Induction of Guava (Psidium guajava L.

KULTUR JARINGAN TANAMAN

Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai Keriting (Capsicum annuum L.) secara In Vitro pada beberapa Konsentrasi BAP dan IAA

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN NILAM (Pogestemon cablin Benth) IN VITRO

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Ekosistemnya dalam pasal 20 ayat 1 dan 2 serta Peraturan Pemerintah No. 77

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

Pengaruh Jenis Eksplan dan Komposisi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Induksi Kalus Pada Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten.

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP ABSTRACT

Embriogenesis somatik pada kultur in vitro daun kopi robusta (coffea canephora var. Robusta chev.)

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 TIPE KULTUR JARINGAN TANAMAN

III. METODE PENELITIAN A.

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS

PENGGANDAAN TUNAS KRISAN MELALUI KULTUR JARINGAN MULTIPLICATION OF CRISAN BUD THROUGH TISSUE CULTURE. Yekti Maryani 1, Zamroni 1

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

tekanan 17,5 psi. Setelah itu, media disimpan selama 3 hari pada suhu ruangan, untuk memastikan ada tidaknya kontaminasi pada media tersebut.

Regenerasi Tanaman secara In Vitro dan Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus.

INDUKSI KALUS EKSPLAN DAUN DURIAN (Durio zibethinus Murr. cv. Selat Jambi) PADA BEBERAPA KOMBINASI 2,4-D DAN BAP

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tugas Akhir - SB091358

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

TINJAUAN PUSTAKA. Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

Pengaruh Retardan dan Aspirin dalam Menginduksi Pembentukan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum) Secara In Vitro

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var

METODOLOGI PENELITIAN

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Fakultas

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang

Pengaruh Hormon Kinetin Terhadap Pertumbuhan Kalus Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Melalui Kultur In Vitro

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu:

PERKEMBANGAN PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR JARINGAN DARI EKSPLAN ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut sesuai

PRODUKSI BIBIT PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR JARINGAN DENGAN EKSPLAN ANAKAN DAN BUNGA

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor

Transkripsi:

REGENERASI EMBRIOSOMATIK TENGKAWANG (SHOREA STENOPTERA BURCK) PADA BEBERAPA KONSENTARSI ZAT PENGATUR TUMBUH GA3 DAN BAP ( Somatic Embryos Regeneration of Tengkawang (Shorea stenoptera Burck.) at Various Concentrations of Plant Growth Regulator GA3 and BAP) Neliyati Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Mendalo Darat, Jambi email: neliyati.sigan@yahoo.com ABSTRACT This research was aimed to indentify the effect of varies type and concentration of plant growth regulators for induce callus embryo somatic regeneration from Tengkawang plantlets. The type of plant growth regulators are GA3 and BAP and the concentration of GA3 are 0.1, 0.5 and 1.0 ppm and BAP are 1.0, 3.0, 5.0 ppm. The result of this experiment showed all treatment could induced the regeneration of callus somatic embryos to form a new root organs but failure to induced shoot formation. The highest percentage of root formation was achieved at plant growth regulator BAP 3.0 ppm. Culture which failure to regenerate the new organ, still induced callus with compact structure and at GA3 treatment the colour. Was dominan with sulfur colour dan brown at BAP treatment.. Key word: Tengkawang, growth regulator,regenaration PENDAHULUAN Shorea stenoptera Burck. merupakan jenis pohon dari famili dipterocarpaceae yang dikenal sebagai tengkawang tungkul atau biasa disebut meranti merah yang menghasilkan biji tengkawang. Biji tengkawang menghasilkan minyak nabati yang dalam dunia industri digunakan sebagai bahan pengganti lemak coklat, bahan farmasi dan kosmetik. Selain menghasilkan biji, famili dipterocarpaceae juga menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi.tengkawang jenis ini banyak tumbuh di tanah aluvial di hutan hujan tropis dan wilayah dataran rendah sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Habitat pohon tengkawang berupa hutan hujan tropis dataran rendah menyebabkan keberadaan jenis ini di alam menurun drastis, karena hutan hujan tropis dataran rendah merupakan tipe ekosistem hutan yang mengalamai degradasi dan deforestasi besar-besaran akibat kegiatan illegal logging dan konversi lahan menjadi perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan. Menurut data dari IUCN (International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources) versi 2010, Shorea stenoptera Burck. termasuk kategori Endangered (EN) (genting atau terancam) yang artinya status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 82

Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 692/KPTS-II/1998 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 menegaskan bahwa tengkawang adalah pohon langka dan dilindungi. Perbanyakan tengkawang dapat dilakukan secara generatif dan vegetatf. Namun cara perbanyakan tersebut mempunyai beberapa kelemahan sehingga ketersedian bibit tengkawang sangat terbatas. Secara generatif keterbatasan utama disebabkan oleh musim berbunga dan berbuah tidak terjadi setiap tahun tetapi bervariasi tiap 4-5 tahun, bahkan ada yang 13 tahun baru berbuah lebat. Kedua, buah yang dihasilkan tidak dapat disimpan lama karena bersifat rekalsitran dan teknik penyimpanannya belum dikuasai, sementara itu daya kecambahnya menurun dengan cepat (Yasman dan Smits, 1988). Mengingat sulitnya mendapatkan bibit tengkawang secara konvensional maka perlu dilakukan terobosan dengan menerapkan teknologi perbanyakan tanaman yang cepat dan dalam waktu yang singkat agar didapat bibit tengkawang yang berkualitas tinggi sehingga kebutuhan bibit tengkawang dapat terpenuhi dan plasma nutfah tengkawang dapat diselamatkan dari kepunahan. Alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Perbanyakan dengan teknik kultur jaringan dapat dilakukan melalui embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik adalah suatu proses berkembangnya sel somatik menjadi tanaman tanpa melalui fusi gamet, maksudnya bukan zigot tetapi berasal dari sel tubuh tanaman (Gunawan 1992). Keuntungan dari proses regenerasi embrio somatik (embriogenesis) dibandingkan deng- an regenerasi tunas (organogenesis) antara lain kecepatan multiplikasi embrio somatik lebih tinggi dan proses embrio somatik dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama sehingga tidak tergantung pada sumber eksplan. Raemaker et al (1995), melaporkan proses embrio genesis dapat dipertahankan dalam waktu relatif lama melalui pembentukan kalus embriogenik. Embriogenesis mempunyai beberapa tahap spesifik, yaitu (1) induksi sel dan kalus embriogenik,(2) pendewasan, (3) perkecambahan, dan (4) hardening. Pada tahap induksi kalus embriogenik dilakukan isolasi eksplan dan penanaman pada media tumbuh. Untuk induksi kalus embriogenik kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2,4-D dan pikloram merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adedin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan, 1989). Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan auksin pada konsentrasi rendah. Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada media perkecambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan sangat rendah atau bahkan tidak diberikan sama sekali. Tahap hardening, yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 83

vitro ke lingkungan baru di rumah kaca dengan penurunan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya. Sampai saat ini, penelitian mengenai kultur jaringan teng-kawang masih sangat terbatas. Hasil penelitian Scott et al. (1987) yang mengkulturkan embrio Shorea roxburghii G. Don. Dapat membentuk tunas pada media MS yang mengandung BAP 5 mgl - 1. Akar terbentuk dari tunas tersebut dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan IBA masing-masing 0.1 mgl - 1. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang dapat meregenerasikan/mengecambahkan kalus embriosomatik tanaman tengkawang menjadi tanaman lengkap yang mempunyai tunas dan akar (planlet) BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Dilaksanakan pada bulat Februari sampai November 2012 Bahan tanaman yang digukan adalah daun muda (umur 30-35 hari) dari bibit Shorea stenoptera Burck. Bahan kimia komposisi media WPM, sukrosa, bakto agar, 2,4-D, pikloram, BAP, GA3, asam amino prolin, bahan sterilan (agrept, benlox, clorox, alkohol 96% ). Penelitian ini dilakukan dengan 3 tahapan, yaitu (1) Pembentukan kalus (2) Induksi embriosomatik dan (3) regenerasi embriosomatik. Pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap 1. Pembentukan kalus Seluruh alat yang digunakan harus disterilkan. Botol kultur dicuci dengan deterjen dan bilas hingga bersih, setelah itu direndam dengan bayclin 5 ml/l air selama 1 malam. Alat penanaman seperti pinset, pisau scalpel dan cawan petri terlebih dahulu dibungkus dengan kertas lalu disterilisasi bersama dengan botol kultur dalam autoclave pada tekanan 1 atmosfer dengan suhu 121 C selama 30 menit. Setelah disterilisasi, alat tersebut diovenkan pada suhu 75 C sampai saat digunakan. LAFC dan rak kultur disemprot terlebih dahulu dengan alkohol 70% setiap akan digunakan. Ruang inkubasi juga disterilkan dengan alkohol 70% 2 hari sebelum digunakan. Media yang digunakan untuk induksi kalus adalah media WPM + 3 ppm pikloram + 1 ppm 2,4-D + 1 ppm BAP. Media dipadatkan dengan penambahan 7 g/l agar bakto dan 30 g sukrosa. Medium diatur ph-nya menjadi sekitar 5,8 kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf selama 25 menit dengan suhu 121 o C menggunakan tekanan 1 atmosfer. Selanjutnya eksplan daun yang sudah disterilkan dipotong dengan ukuran 1-1,5 cm ditanam pada media tersebut dan dikultur sampai umur 12 minggu. Selanjutnya kalus disubkultur ke media embriosomatik yaitu media WPM + 25 µm asam amino prolin. selama 12 minggu. Selanjutnya disubkultur ke media regenerasi sesuai perlakuan. Tahapan/langkah kegiatan ditampilkan pada Gambar 1. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 84

Tahap II. Induksi embriosomatik Kalus yang yang dihasilkan dari tahap I yang berumur 12-14 minggu setelah tanam dipotong dengan ukuran ± 4-6 mm selanjutkan disub kultur pada media embriosomatik yaitu media WPM +25 µm asam amino prolin (tahap II) sampai 12 minggu. Tahap III. Regenerasi embriosomatik Kalus embriosomatik disubkultur ke media regenerasi, yaitu : a. WPM + 25 µm aa prolin b. WPM + 0,1 ppm GA3 c. WPM + 0,5 ppm GA3 d. WPM + 1,0 ppm GA3 e. WPM + 1,0 ppm BAP f. WPM + 3,0 ppm BAP g. WPM + 5,0 ppm BAP Setiap perlakuan terdiri atas 9 botol kultur, setiap botol kultur terdapat satu unit kalus embriosomatik berukuran ± 5 mm. Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan embriosomatik apakah terbentuk tunas (shootlet), akar (rootlet), tunas dan akar (planlet) atau menjadi kalus. Kondisi lingkungan di mana kultur dipelihara memiliki suhu 25 1 o C, lama pencahayaan adalah 16 jam per hari yang diperoleh dari lampu fluorescence dengan intensitas 50 µmol m -2 s -1. Data yang dihasilkan diolah secara diskriptif, tabulasi dan ratarata, ditampilkan dalam bentuk tabel dan foto. Eksplan daun tengkawang sterilisasi potong Tanam ke Media induksi kalus subkultur ke media embrio Organ akar Embriosomatik Potongan kalus Gambar 1. Prosedur pelaksanaan regenerasi sembriosomaik tanaman tengkawang (Shorea stenoptera Burck) menggunakan eksplan daun. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan pada kultur yang berasal dari media embriosomatik (WPM + 25 µm asam amino prolin) disubkultur pada media WPM yang ditambah zat pengatur tumbuh GA 3 dan BAP pada semua konsentrasi secara tunggal beregenerasi membentuk akar (rootlet) Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 85

dan begitu pula kultur yang disubkultur ke media yang sama pada saat induksi embriosomatik yaitu media WPM + 25 µm asam amino prolin juga beregenerasi membentuk akar. Regenerasi kultur membentuk akar mulai terlihat 4 minggu setelah sub kultur. Sampai 16 minggu setelah sub kultur. Persentase kultur yang membentuk akar terbanyak terjadi pada perlakuan media WPM + BAP 3 ppm yaitu 77,78 % dan persentase pembentukan akar terkecil dari perlakuan WPM + 0,5 ppm GA3 yaitu 33,33%. Persentase kultur membentuk akar pada semua perlakuan ditampilkan pada Tabel 1 dan Gambar 2. Tabel 1. Persentase kultur membentuk akar berdasarkan perlakuan Perlakuan Persentase kultur berakar Jumlah kultur WPM + 25 µm aa Prolin 55,56 5/9 WPM + 0,1 ppm GA3 66,67 6/9 WPM + 0,5 ppm GA3 33,33 3/9 WPM + 1,0 ppm GA3 44,44 4/9 WPM + 1,0 ppm BAP 66,67 6/9 WPM + 3,0 ppm BAP 77,78 7/9 WPM + 5,0 ppm BAP 66,67 6/9 Terjadinya regenerasi kultur membentuk akar pada semua perlakuan diduga oleh adanya respon embriosomatik terhadap pemberian GA3 dan BAP. GA3 merupakan zat pengatur tumbuh yang secara fisiologis berfugsi memecahkan dormansi embrio untuk berkecambah. Menurut Wattimena (1988) salah satu efek fisiologi GA3 adalah mendorong aktivitas enzim hidrolitik dalam proses perkecambahan biji. GA3 dalam medium dapat memacu perkecambahan melalui perannya dalam pemecahan pati oleh enzim amilase serta mengaktifkan auksin pada ujung batang. Demikian juga dengan sitokinin pada kondisi tertentu dapat menggantikan peranan asam giberelik pada proses perkecambahan. Hasil penelitian Oktavia et al. (2003) pada kultur jaringan kopi arabika embriosomatik yang berasal dari eksplan daun, hipokotil, kotiledon dan akar mampu berkecamnah menjadi planlet pada media dasar MS dengan penambahan GA3. Embriosomatik yang berkecambah dengan persentase tertinggi diperoleh dengan penambahan GA3 5 μm. Semakin tinggi konsentrasi GA3 persentase embriosomatik yang berkecambah semakin menurun. Disamping itu terjadinya regenerasi embriosomatik menjadi akar dan tidak beregenerasi membentuk tunas (shootlet) pada tanaman tengkawang ini diduga adanya habituasi auksin yang disebabkan oleh pengaruh auksin pada saat induksi kalus yang menggunakan auksin ganda yaitu 3 ppm pikloram dan 1 ppm 2,4-D dan adanya auksin endogen. Hal ini dibuktikan dengan tetap terbentuknya akar pada embriosomatik yang disubkultur pada media yang sama dengan induksi embriosomatik yaitu media WPM + 25 µm asam amino prolin atau tanpa pernambahan GA3 maupun BAP. Dengan dominannya pertumbuhan akar diduga dapat menyebabkan tertekannya pembentukan tunas pada embrio tersebut sehingga penambahan sitokinin (BAP) sampai konsentrasi 5 ppm pada penelitian ini belum mampu mengubah perbandingan auksin dan sitokinin dalam embrio untuk dapat memacu pembentukan tunas. Sitokinin BAP dan GA3 lebih berperan kepada pembelahan Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 86

dan pemanjangan sel pada organ akar sehingga pembentukan dan pemanjangan akar pada media WPM yang ditambah GA3 dan BAP lebih cepat. George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa pembelahan sel akan terhambat spabila kadar sitokinin dalam medium kultur tidak memadai. Menurut Laslo and Vicas (2008), keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen terhadap eksogen sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Pierik (1997) juga telah menyatakan, bahwa pada umumnya auksin berperanan meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif. Senyawa ini juga menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun dibutuhkan untuk induksi embriogenesis pada kultur suspensi sel. Hasil penelitian Oktavia et al. (2003) pada kultur jaringan kopi arabika peningkatan auksin 2,4-D dari 1 μm menjadi 5 μm pembentukan embriosomatik berkurang dan pembentukan kalus lebih banyak dan dari kalus tersebut terbentuk akar adventif. Kultur yang tidak beregenerasi membentuk akar ataupun tunas terus berkembang membentuk kalus kembali dengan struktur kompak dan warna menjadi lebih dominan kuning-hijau terutama pada perlakuan media yang mengandung GA3, sedangkan pada media yang ditambahkan BAP kalus masih mengarah kepada kalus embriogenik dengan warna lebih dominan coklat (Tabel 2.). Penampilan kultur pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 2, 3, 4 dan 5. Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap warna dan struktur kalus Perlakkuan Warna Kalus Dominan Struktur Kalus WPM + 25 µm aa Prolin Kuning coklat Kompak WPM + 0,1 ppm GA3 Kuning-hijau Kompak WPM + 0,5 ppm GA3 Kuning-hijau Kompak WPM + 1,0 ppm GA3 Kuning-hijau Kompak WPM + 1,0 ppm BAP Kuning-coklat Kompak WPM + 3,0 ppm BAP WPM + 5,0 ppm BAP Kuning-coklat Kuning-coklat Kompak Kompak Gambar 2. Kultur umur 12 minggu pada media embriosomatik (WPM + 25µM aa prolin) dan disubkultur pada media regenerasi setelah 14 minggu. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 87

BAP 1 ppm BAP 3 ppm 25 µm aa Prolin Gambar 3. Contoh kultur yang beregenerasi membentuk akar pada media yang ditambah BAP dan aa.prolin GA3 0,1 ppm GA3 0,5 ppm GA3 1 ppm Gambar 4. Contoh kultur yang beregenerasi membentuk akar pada media yang ditambah GA3 GA3 1,0 ppm BAP 1 ppm GA3 0,5 Gambar 5. Contoh kultur yang belum beregenerasi membentuk organ KESIMPULAN 1. Semua perlakuan yang dicobakan dapat meregenerasikan embriosomatik yang berasal dari eksplan daun muda tanaman tengkawang (Shorea stenoptera Burck.) membentuk organ akar. 2. Regenerasi membentuk akar terbanyak diperoleh dari perlakuan media WPM yang ditambah zat pengatur tumbuh BAP 3 ppm yairu 77,78 % 3. Semua perlakuan yang dicobakan belum mampu meregenerasikan kultur menjadi tunas dan planlet. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 88

Vol 2 No. 2 April-Juni 2013 ISSN : 2302-6472 4. Kultur yang tidak beregenerasi membentuk akar, tunas ataupun planlet tetap tumbuh membentuk kalus dengan struktur dominan kompak dan warna kuning, hijau dan coklat. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jenis zat pengatur tumbuh yang lain yaitu jenis zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dengan beberapa konsentrasi maupun dengan menggunakan jenis asam amino yang lain. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemeterian Pendidikan Nasional melalui Penelitian Hibah Bersaing lanjutan sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian Hibah Bersaing Lanjutan Nomor: 10/UN21.6/PL/2012 tanggal 15 Februari 2012 yang telah membiayai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Bhojwani, S.S., dan M.K., Rhazdan. 1989. Plant Tissue Culture. Theory and Practice. Develop. In Crop Science 5. Elsevier. Tokyo. 562p. George, E.F. and P.D. Sherringtong. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics. Ltd. England. Gunawan L. W. 1992. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 165hal. Laslo,V. Dan S. Vicas. 2008. The Inflluence of certain phytohor- mons on organogenesis process for in vitro culture of apricot (Armeniaca vulgaris). Analele Universitas Oradea, Fascicula: Protectia Mediului 13: 200-2005. Oktavia, F., Siswanto., A. Budiani., dan Sodarsono. 2003. Embriogenesis somatik langsung dan regenerasi planlet kopi arabika (Coffea arabica) dari berbagai eksplan. Menara Perkebunan, 2003, 71(2), 44-55. Pierik. R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ. Netherlands. 344p Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 89

Vol 2 No. 2 April-Juni 2013 ISSN : 2302-6472 Raemakers C.J.J.M., E. Jacobsen., R.G.F.Visser. 1995. Secondary Somatic Embryogenesisi and Application in Plant Breeding. Euphytica 81:93-107. Scott. E.S,. C.S. Loh dan A.N. Rao. (1987). Production of Plantlets of Shorea roxburghii G. Don. from Embryonic Axes Cultured In Vitro. Wattimena, G. A. (1988). Zat pengatur tumbuh tanaman. Bogor, Pusat Antar Universitas IPB. Yasman,I dan W.T.M.Smits, 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Balai Penelitian Kehutanan. Samarinda. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 90