IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Salami Daging Kelinci Hasil penelitian penggunaan starter yogurt terhadap total bakteri Salami daging kelinci disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Total Bakteri Salami Daging Kelinci dengan Berbagai Perlakuan Konsentrasi Starter Yogurt Ulangan P1 P2 P3.( x 10 9 CFU/g) 1 215,00 183,00 200,00 2 113,25 68,00 95,20 3 127,00 63,60 139,30 4 300,00 67,20 228,00 5 100,00 100,00 88,75 6 247,00 150,00 220,00 Rata-rata 183,71 105,30 161,89 Keterangan : P1: Salami dengan penggunaan starter yogurt 1 % P2: Salami dengan penggunaan starter yogurt 2 % P3: Salami dengan penggunaan starter yogurt 3 % Berdasarkan data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan total bakteri paling rendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi 2 % starter yogurt (P2) yaitu 105,30 x 10 9 CFU/gram dan paling tinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi 1 % starter yogurt (P1) yaitu 183,71 x 10 9 CFU/gram. Rendahnya jumlah total bakteri salami pada konsentrasi starter 2 % menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut telah mampu menekan bakteri bukan pembentuk asam laktat. Berlainan halnya pada konsentrasi starter 1 % nampaknya belum mampu sepenuhnya menekan jumlah bakteri bukan pembentuk asam laktat, sedangkan peningkatan bakteri pada konsentrasi starter 3 % karena meningkatnya jumlah bakteri pembentuk asam laktat. Sebagaimana pernyataan Noowroozi dkk. (2004) bahwa starter yogurt memiliki senyawa organik,
bakteriosin dan antimikroba yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri asam laktat yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Hasil penelitian Conter dkk. (2005) menunjukan bahwa mikroflora yang dapat ditemukan pada sosis fermentasi selain bakteri asam laktat adalah Enterobactericeae, Stapylococcus, Staphylococcus Coagulase positive, Enterococci, Pseudomonas, kapang dan khamir. Analisis statistik untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan dilakukan melalui sidik ragam (Lampiran 2). Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan starter yogurt tidak memberikan pengaruh berbeda nyata. Hal ini berarti total bakteri pada salami daging kelinci dengan perlakuan konsentrasi starter yogurt 1 %, 2 % dan 3 % memberikan pengaruh yang sama. Hal ini disebabkan karena metode TPC mengukur semua bakteri didalam sampel dan tidak bisa memisahkan bakteri asam laktat maupun bakteri bukan asam laktat. Faktor lainnya adalah perbedaan konsentrasi yang terlalu sempit sehingga perlakuan starter tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total bakteri.
4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Derajat Keasaman (ph) Salami Daging Kelinci Hasil penelitian penggunaan starter yogurt terhadap derajat keasaman Salami daging kelinci disajikan pada Tabel 3. Keterangan : Tabel 3. Derajat Keasaman Salami Daging Kelinci pada Berbagai Perlakuan Ulangan Konsentrasi Starter Yogurt P1 P2 P3 1 4,39 4,16 4,16 2 4,39 4,21 4,15 3 4,50 4,31 4,25 4 4,47 4,16 4,19 5 4,46 4,23 4,16 6 4,43 4,30 4,25 Rata-rata 4,44 4,23 4,19 P1: Salami dengan penggunaan starter yogurt 1 % P2: Salami dengan penggunaan starter yogurt 2 % P3: Salami dengan penggunaan starter yogurt 3 % Data pada Tabel 3. menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi persentase dosis starter yogurt maka diikuti dengan penurunan ph salami. Nilai rata-rata derajat keasaman Salami (sosis fermentasi) daging kelinci yaitu berkisar antara 4,19-4,44. Ini sesuai dengan pendapat Bacus (1984) bahwa fermentasi selama 2-5 hari menghasilkan salami dengan mutu terbaik dengan nilai ph antara 4,0-4,5, hal ini tergantung pada aktivitas mikroba yang ditambahkan. Analisis statistik untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan melalui sidik ragam (Lampiran 3). Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh dosis starter yogurt memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap nilai derajat keasaman Salami (sosis fermentasi) daging kelinci. Uji Tukey dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan berbagai dosis penggunaan
starter yogurt terhadap nilai derajat keasaman Salami (sosis fermentasi) daging kelinci dimana hasil dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji Tukey Pengaruh Perlakuan Terhadap ph Salami Daging Kelinci Perlakuan ph Salami Signifikan (α 0,05) Starter Yogurt 1% (P1) 4,44 a Starter Yogurt 2% (P2) 4,23 b Starter Yogurt 3% (P3) 4,19 b Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama kearah kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ph terendah salami daging kelinci (4,19) pada perlakuan pemberian starter yogurt 3 % mempunyai pengaruh yang sama terhadap perlakuan dosis 2 % (4,23), namun keduanya nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan ph salami yang mendapatkan perlakuan starter yogurt 1 % (4,44). Hal ini disebabkan karena proses fermentasi menyebabkan keasaman meningkat sehingga mengakibatkan penurunan ph (Rochman dan Srikandi, 1990). Semakin banyak starter yogurt yang ditambahkan pada perlakuan maka ph akan turun. Sebagaimana dibuktikan dari hasil penelitian bahwa perlakuan dosis 1 % (P1) mampu menurunkan ph hanya sampai 4,44 karena jumlah starter yang diberikan lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga mampu menurunkan ph salami lebih rendah lagi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis starter 2 % merupakan dosis optimal, karena bila dosis starter ditingkatkan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap ph salami. 4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Awet Salami Daging Kelinci
Hasil penelitian penggunaan starter yogurt terhadap daya awet Salami daging kelinci disajikan pada Gambar 1. Penyimpanan 3 Hari Penyimpanan 14 Hari Penyimpanan 21 hari Dosis 1 % Dosis 2 % Dosis 3 % Gambar 1. Penampilan Salami Daging Kelinci pada Berbagai Hari Penyimpanan Salami daging kelinci dengan berbagai perlakuan pada berbagai penyimpanan (Gambar 1) menunjukkan bahwa pada penyimpanan selama 3 hari, penampilan salami masih segar dan tekstur kompak pada berbagai perlakuan konsentrasi starter yogurt (1 %, 2 % dan 3 %). Semakin lama penyimpanan akan
diikuti dengan penurunan mutu bahan pangan sesuai dengan pendapat Rizal dan Harriyadi (1992) bahwa selama penyimpanan atau pemasaran produk makanan mengalami penurunan mutu. Dibuktikan pada penelitian ini, tampak bahwa pada lama penyimpanan 14 hari kondisi salami sudah mulai pucat dan tidak segar lagi,namun masih belum menunjukkan kebusukan dan masih bisa dikonsumsi. Daya awet bahan pangan selama penyimpanan bervariasi dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah komponen antimikroba. Menurut Srikandi (1992) makanan mengandung komponen yang dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Komponen antimikroba tersebut terdapat di dalam makanan salah satunya dengan cara ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan. Starter yang ditambahkan merupakan komponen antimikroba. Penyimpanan salami kelinci selama 21 hari pada suhu kamar mengakibatkan terjadinya kebusukan dengan kondisi yang berbeda pada berbagai perlakuan. Kondisi kebusukan salami ditandai dengan adanya lendir serta bau busuk menyengat. Pada dosis 1 % salami memiliki tekstur yang sudah ditumbuhi jamur berwarna putih dan berlendir demikian halnya pada dosis 2 % dan 3 %. Menurut Leni (2010), bahan pangan dinyatakan mengalami kerusakan jika telah mengalami perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki dari sifatnya. Kerusakan dapat terjadi karena kerusakan fisik, kimia, dan enzimatis. Kerusakan pada daging akan menghasilkan bau menyimpang, lendir, perubahan warna pada area tertentu dan rasa yang tidak diinginkan (Mielmann A, 2006). Pendapat tersebut sesuai karena saat terjadi pembusukan pada salami saat dilakukan uji daya awet yaitu permukaan salami berlendir, bau busuk dan tumbuh jamur.
Kebusukan terjadi karena tumbuhnya mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah nutrisi. Menurut Soeparno (2009), sebagian besar mikroorganisme membutuhkan nutrient nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk pertumbuhannya. Sumber energi mikroorganisme adalah karbohidrat. Diduga kebusukan salami disebabkan oleh mikroorganisme proteolitik karena salami daging kelinci mengandung karbohidrat dalam jumlah yang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan protein. Farrel dan Rahardjo (1984) menyatakan bahwa daging kelinci mempunyai kadar protein lebih tinggi yaitu 20,8 % dibandingkan daging domba yaitu 13,7 % pada domba. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada salami adalah ph. Ketiga perlakuan salami setelah disimpan pada suhu kamar selama 21 hari mengalami kebusukan pada kisaran ph 7,20. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2009) bahwa sebagian besar bakteri tumbuh optimal pada ph kira-kira 7,0, sedangkan jamur dapat tumbuh pada ph yang lebih luas yaitu antara 2,0 8,0 sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan salami 21 hari yang tumbuh adalah bakteri dan jamur. Faktor lain yang mempengaruhi daya awet salami adalah senyawa kimia yang terdapat dalam asap. Senyawa kimia tersebut adalah asam formiat, asetat, butirat, kaprilat, vanilat dan asam siringat, dimetoksinefol, metil glioksal, furfural, methanol, etanol, oktanal, asetaldehid, diasetil, aseton, dan 3,4-benzpire (Lawrie, 1985). Menurut Urbain (1971) formaldehid dari asap mempunyai pengaruh preservatif yang besar, sedangkan fenol mempunyai aktivitas sebagai antioksidan yang menghambat ransiditas oksidatif, senyawa ini ikut menentukan karakteristik flavor daging asap. Aldehid, keton, fenol dan asam-asam organik dari asap
memiliki daya bakteriostatik dan/ atau bakterisidal pada daging asap). Oleh karena itu, daging asap mempunyai stabilitas yang lebih besar dan masa simpan yang lebih lama daripada daging segar.