Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015

dokumen-dokumen yang mirip
I. Pendahuluan. II. Penyesuaian Besarnya PTKP

Proyeksi pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu pendapatan terbesar Negara berasal dari pajak. Pembangunan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pos peerimaan terbesar, seperti halnya Indonesia. Menurut Rochmat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena dibutuhkan biaya yang sangat besar.

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

Antiremed Kelas 10 Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2014 SEBESAR 4,24 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

Meningkatkan Tax Ratio Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan negara, salah satunya pendanaan negara didapatkan dari pajak.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BAB 3 GAMBARAN UMUM SEJARAH BESARAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (TAHUN )

SUPPLY-SIDE ECONOMICS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BABEL Sebuah Tinjauan Teoritis dan Proposal Tahun Investasi di Babel

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan dan keamanan; b. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang publik,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi pajak yang ada dapat dipungut secara optimal. Langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi

BAB I PENDAHULUAN. negara. Inflasi itu sendiri yaitu kecenderungan dari harga-harga untuk menaik

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran

Pertanyaan: Isi semua kolom tersebut (sertakan perhitungannya di bawah tabel)

BAB I PENDAHULUAN. maju dan sejahtera. Dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan

B. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. Memperhatikan perkembangan perekonomian nasional yang saat ini sedang

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Tantangan Menghadapi Resiko Global

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sudah sering mengalami

Fokus Negara IMF. Fokus Negara IMF. Ekonomi Asia yang Dinamis Terus Memimpin Pertumbuhan Global

Pengeluaran Agregat yang direncanakan (AE) dan Ekuilibrium Output

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya

BAB IV GAMBARAN UMUM. Secara geografis Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5 40 dan 8 30

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

Perekonomian Suatu Negara

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perekonomian Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI

UMKM & Prospek Ekonomi 2006

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. negara. Saat jumlah uang beredar tidak mencukupi kegiatan transaksi pada satu

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 SEBESAR 6,30 PERSEN

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi

Analisa Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak Pada Penerimaan Pajak Penghasilan

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

Analisis Perkembangan Industri

BAB 4 : KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional demi kesejahteraan masyarakat. Menurut Rochmat Soemitro

CATATAN ATAS APBN-P 2015 DAN PROSPEK APBN 2016

IV. FUNGSI PENDAPATAN (Penerapan Fungsi Linear dalam Teori Ekonomi Makro)

Transkripsi:

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara I. Pendahuluan Pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN-P 2015 telah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 5.8%. Di sisi lain, beberapa lembaga lainnya seperti IMF dan World Bank telah melakukan koreksi negatif pertumbuhan global di tahun 2015. Pelemahan perekonomian Cina sebagai kekuatan ekonomi kedua dan penurunan harga beberapa komoditas di pasar internasional, merupakan beberapa faktor penyebab perlambatan ekonomi di awal tahun 2015. Dari fakta yang terjadi, hingga triwulan I tahun 2015 Indonesia mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi apabila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ekonomi Indonesia triwulan I tahun 2015 terhadap triwulan I tahun tahun 2014 tumbuh 4.71% (y-on-y), sedangkan pada periode yang sama di tahun 2014 tumbuh lebih besar yaitu 5.14%. Sementara itu ekonomi Indonesia di triwulan I 2015 dibandingkan triwulan sebelumnya, (triwulan IV tahun 2014), turun sebesar 0.18% (q-to-q). Daya beli masyarakat juga mengalami penurunan yang disebabkan karena beberapa faktor, seperti pelemahan mata uang rupiah dan kenaikan harga beberapa komoditas yang merupakan kebutuhan primer masyarakat luas. Memperhatikan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2015 tersebut serta menurunnya tingkat daya beli masyarakat, maka perlu adanya upaya untuk mempercepat dan mendorong tingkat pertumbuhan pada level yang diharapkan. Dari sudut pandang kebijakan fiskal, langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi tersebut adalah melalui kebijakan stimulus fiskal baik melalui kebijakan sisi belanja maupun kebijakan dari sisi pendapatan. Dari sisi pendapatan, salah satu kebijakan stimulus yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan perpajakan. Terdapat beberapa instrumen perpajakan yang dapat digunakan sebagai instrumen stimulus perekonomian. Dalam rangka mendongkrak performa investasi sektor riil, kebijakan perpajakan yang dapat dan telah dilakukan antara lain adalah pemberian fasilitas tax allowance untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan penurunan tarif PPh untuk Wajib Pajak go public dan UMKM. Dalam rangka menjaga arah pertumbuhan ekonomi untuk jangka pendek-menengah, serta untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dapat dilakukan melalui pemberian tax cut kepada Wajib Pajak orang pribadi, yang salah satunya melalui peningkatan PTKP. Pemberian tax cut pada Wajib Pajak orang pribadi tersebut akan mendorong tingkat konsumsi yang pada akhirnya memberikan dampak multiplier pada pertumbuhan ekonomi. Dalam bagian selanjutnya pada tulisan ini akan dipaparkan kondisi makro ekonomi Indonesia hingga awal Tahun 2015 dan dilanjutkan dengan mekanisme transmisi pemberian tax cut berupa penyesuaian penghasilan tidak kena pajak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, serta ekspektasi dampak pertumbuhan ekonomi yang terjadi dengan pemberian tax cut tersebut. Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 1

II. Perkembangan Perekonomian Indonesia Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia telah terjadi pada beberapa tahun terakhir sejak tahun 2011. Pada tahun 2010 pertumbuhan GDP Indonesia mencapai 6,8%. Namun, pada tahun 2011 dan 2012, pertumbuhan GDP melambat hingga pada angka 6%. Perlambatan pertumbuhan terus berlanjut pada tahun 2013 dengan tumbuh hanya sebesar 5,6% dan kemudian sebesar 5.02% di tahun 2014 Di triwulan pertama 2015, indikasi perlambatan ekonomi Indonesia juga masih nampak dimana pertumbuhan kuartal pertama (y on y) hanya sebesar 4,7%. Gambar II.1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sumber: BPS, diolah PKPN-BKF. Namun demikian memperhatikan kondisi ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi dunia juga menunjukkan adanya perlambatan. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar II.2., ekonomi dunia secara rata-rata juga mengalami perlambatan sejak tahun 2010. Perlambatan paling besar terjadi di tahun 2011, yang kemudian dilanjutkan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi secara perlahan di tahun 2012 hingga 2014. Kondisi yang sama juga terjadi di kawasan Asia maupun Asia Tenggara. Dari sudut pandang besaran pertumbuhan ekonomi, di tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi kawasan Asia maupun Asia Tenggara. Namun demikian, meskipun pada tahun-tahun berikutnya terjadi perlambatan baik di Indonesia maupun di kawasan, besarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 hingga 2014 masih di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia maupun Asia Tenggara. Di kawasan Asia, pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh Cina dengan tingkat pertumbuhan masih di atas 7% sejak tahun 2010. Meskipun perlambatan merupakan kondisi dunia, namun demikian Pemerintah Indonesia masih menargetkan pertumbuhan ekonomi di tahun 2015 cukup tinggi yaitu sebesar 5,8%. Hal ini sedikit berbeda dengan prediksi yang dikeluarkan oleh World Bank yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya pada level 5,2% dan International Monetary Fund (IMF) yang juga memprediksi pertumbuhan Indonesia hanya pada angka 5,3% (y-on-y). Tentu saja target 5,8% Pemerintah tersebut bukan merupakan suatu yang tidak mungkin dicapai, dengan mengingat program-program Pemerintah pada sisi belanja yang fokus pada belanja modal, khususnya belanja pembangunan infrastruktur yang Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 2

tentu saja akan menghasilkan dampak multiplier yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan belanja subsidi yang mulai dikurangi oleh Pemerintah secara drastis. Gambar II.2. Gambaran GDP Global Pertumbuhan GDP Dunia 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 2010 2011 2012 2013 2014 World 4.32 2.98 2.49 2.47 2.65 Asia 7.81 4.81 4.68 4.79 4.40 East Asia 7.61 4.57 4.46 4.70 4.17 Southeast Asia 7.75 4.87 5.97 4.96 4.81 Africa 5.07 1.12 5.47 3.62 4.45 Sumber: IMF, diolah PKPN-BKF Meskipun target 5,8% tersebut bukan hal yang mustahil, tetapi dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama, maka Pemerintah perlu untuk waspada dan perlu melakukan kebijakan untuk menjaga target pertumbuhan pada level yang ditargetkan. Ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2015 terhadap triwulan I tahun tahun 2014 tumbuh hanya sebesar 4,71% (y-on-y), sedangkan pada triwulan I tahun 2014 tumbuh lebih tinggi yaitu sebesar 5.14%. Sementara itu di triwulan I 2015, dibandingkan triwulan sebelumnya (triwulan IV tahun 2015), ekonomi Indonesia turun sebesar 0.18% (q-to-q). Gambar II.3. Sumber Pertumbuhan GDP Menurut Pengeluaran. Sumber: BPS. Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 3

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi pada triwulan I tahun 2015 dicapai dari komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) sebesar 5,01%, diikuti oleh pengeluaran modal tetap bruto (PMTB) atau investasi sebesar 4,36% dan komponen pengeluaran pemerintah sebesar 2,21%. Apabila dilihat dari penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun 2015, maka komponen konsumsi rumah tangga merupakan komponen dengan pertumbuhan yang paling tinggi yaitu sebesar 2,75% diikuti komponen PMBT sebesar 1,4% dan sumber pertumbuhan lainnya sebesar 0,56%. Ekonomi Indonesia pada periode triwulan I 2015 terhadap triwulan IV tahun 2014 (q-to-q) terkontraksi sebesar 0,18%, yang terjadi hampir di seluruh komponen GDP, kecuali komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 0,11%. III. PTKP Sebagai Instrumen Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Dengan menghadapi tantangan pertumbuhan ekonomi yang kurang memuaskan di triwulan I 2015 tersebut di atas, maka Pemerintah melalui kebijakan fiskal nya perlu untuk melakukan tindakan untuk mengarahkan pertumbuhan ekonomi pada level yang ditargetkan. Kebijakan fiskal yang dapat ditempuh dapat dilakukan melalui pendekatan belanja pemerintah atau melalui pemotongan pajak (tax cut). Secara teori, dampak kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dampak pada sisi permintaan (demand side effect) dan dampak pada sisi penawaran (supply side effect). Dampak kebijakan fiskal dari sisi penawaran mempunyai implikasi jangka panjang, dengan mengatasi masalah keterbatasan kapasitas produksi. Kebijakan belanja negara juga dapat memberikan dampak jangka menengah panjang, dalam hal belanja tersebut digunakan pada belanja modal yang dapat mendukung perekonomian, seperti pembangunan infrastruktur. Dari sisi permintaan, sebagaimana pendekatan Keynesian, dalam kondisi resesi perekonomian yang berbasis mekanisme pasar tidak akan mampu untuk pulih tanpa intervensi dari Pemerintah. Kebijakan fiskal akan mampu menggerakkan perekonomian karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable income dan pada akhirnya akan mempengaruhi kecenderungan permintaan rumah tangga untuk meningkatkan konsumsi dengan meningkatkan marginal propensity to consume (mpc), yang kemudian melalui rantai perekonomian akan meningkatkan output yang lebih tinggi. Besarnya multiplier effect yang ditimbulkan dari kenaikan disposable income adalah sebesar (mpc/(1-mpc). Dengan demikian setiap adanya penurunan beban pajak sebesar 1 rupiah dengan mpc sebesar 0,6 akan menyebabkan efek pengganda terhadap GDP sebesar 1,5 rupiah. Dampak kebijakan fiskal melalui pemotongan pajak dapat dilihat pada gambar III.1. di bawah ini. Kebijakan pemberian tax cut pada intinya adalah mengurangi beban pajak yang harus dibayar masyarakat kepada Pemerintah. Dengan adanya pengurangan beban pajak bagi masyarakat, maka masyarakat akan memiliki daya beli yang lebih tinggi atau akan meningkatkan disposable income mereka. Pemberian tax cut dapat diberikan dengan mengurangi tarif pajak ataupun mengurangi objek pajak nya. Fleksibilitas pemberian tax cut di Indonesia sangat dibatasi dengan Undang-Undang. Beberapa bentuk tax cut yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan antara lain adalah pemberian penurunan tarif PPh untuk perusahaan go-public sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (2b), penurunan tarif untuk Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 4

Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu (UMKM) yang diatur di pasal 31E, pemberian tax allowance sebagaimana diatur dalam Pasal 31A, penyesuaian lapisan penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3), dan penyesuaian penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3). Tax cut melalui Pasal 17 ayat (2b), Pasal 31A, dan Pasal 31E merupakan tax cut yang ditujukan kepada wajib pajak badan, sedangkan tax cut yang diberikan kepada wajib pajak orang pribadi diberikan melalui Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (3). Gambar III.1. Transmisi Tax Cut terhadap Pertumbuhan Ekonomi KENAIKAN TAX CUT PTKP Disposable Income (+) Konsumsi (+) Inflasi (- ) % Konsumsi RT (+) Saving (+) Credit (+) % PDB (+) % PMTB (+) Penyerapan Tenaga Kerja (+) Sumber: PKEM-BKF. Memperhatikan keterbatasan pemberian tax cut melalui Undang-Undang ini, maka Pemerintah hanya memiliki sedikit pilihan dalam melaksanakan expansionary fiscal policy melalui kebijakan perpajakan. Ketentuan pemberian tax cut untuk wajib pajak badan, telah diberikan Pemerintah tanpa memperhatikan adanya kontraksi ekonomi dan perlunya expansionary fiscal policy. Dalam kondisi perlambatan ekonomi, dengan mengingat fasilitas untuk wajib pajak badan sudah diberikan dalam kondisi ekonomi normal tersebut, maka hanya tersisa kebijakan expansionary fiscal policy melalui pemotongan pajak yang diberikan kepada wajib pajak orang pribadi, yaitu berupa perubahan lapisan penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan dan penyesuaian PTKP. Pemberian tax cut melalui perubahan lapisan penghasilan wajib pajak orang pribadi, pada prinsipnya akan mengurangi beban pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Namun demikian, pemberian pemotongan pajak melalui cara ini akan menyebabkan pengurangan beban pajak hanya akan dinikmati untuk lapisan penghasilan tertentu saja, tergantung dari skema lapisan penghasilan yang diubah. Dengan perubahan lapisan penghasilan dapat berdampak pada wajib pajak dengan level penghasilan tertentu, maka kebijakan ini dapat digunakan dalam hal target kebijakan adalah perbaikan income inequality. Dalam hal arahan kebijakan adalah memberikan tax cut untuk seluruh lapisan masyarakat, maka ketentuan yang ada dan tersisa adalah kebijakan penyesuaian besaran PTKP. Dengan Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 5

menaikkan PTKP pada tingkat tertentu, maka dapat meningkatkan disposable income seluruh lapisan masyarakat dan dengan tingkat multiplier nya akan mengkoreksi tingkat pertumbuhan ekonomi. Penyesuaian PTKP sendiri dapat dilakukan tanpa perlu melakukan amandemen Undang-Undang, karena cukup dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan DPR. Dalam sejarah nya, Pemerintah Indonesia pernah melalkukan beberapa kali penyesuaian PTKP melalui perubahan Peraturan Menteri Keuangan. Tabel III.1. memberikan gambaran penyesuaian PTKP yang pernah dilakukan sejak tahun 2001 hingga 2013. Tabel III.1. Perubahan Besaran PTKP UU 17/2000 PMK PMK UU 36/2008 PMK Dasar Hukum PTKP 564/KMK.03/ 2004 137/PMK.03/ 2005 162/PMK.01 1/2012 Tahun Berlaku 2001-2004 2005 2006-2008 2009-2012 2013- Besarnya PTKP: Rp Rp Rp Rp Rp untuk diri WP OP 2,880,000 12,000,000 13,200,000 15,840,000 24.300.000 tambahan untuk WP Kawin tambahan untuk istri yang penghasilan nya digabung dengan penghasilan suami tambahan untuk setiap tanggungan (maksimal 3 orang tanggungan) Sumber: penulis 1,440,000 1,200,000 1,200,000 1,320,000 2.025.000 2,880,000 12,000,000 13,200,000 15,840,000 24.300.000 1,440,000 1,200,000 1,200,000 1,320,000 2.025.000 Selain merupakan instrumen expansionary fiscal policy, penyesuaian besarnya PTKP juga dilakukan dalam rangka atau dengan mempertimbangkan harga kebutuhan pokok masyarakat. Salah satu instrumen sebagai indikator kebutuhan harga masyarakat adalah penetapan besaranya upah minimum bagi pekerja Pada tahun 2015, Pemerintah Daerah telah melakukan penetapan penyesuaian besarnya upah minimum provinsi (UMP) ataupun upah minimum kabupaten/kota (UMK). Besarnya UMP atau UMKK sendiri dihitung dan ditetapkan berdasarkan tingkat kebutuhan hidup layak dan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Kebutuhan hidup layak, sesuai peraturan pecundang-undangan di bidang ketenagakerjaan adalah mencakup kebutuhan oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk hidup layak baik secara fisik, non fisik, dan sosial. Besarnya UMP tahun 2015 berkisar antara Rp1.25 juta di Nusa Tenggara Timur dan tertinggi di DKI Jakarta sebesar Rp2.7 juta per bulan. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY tidak menetapkan UMP pada tahun 2015 melainkan masing-masing Pemerintah kota/kabupaten menetapkan UMK. Diantara UMK yang telah ditetapkan, paling tinggi terjadi di Kerawang yaitu sebesar Rp2,96 juta dan terendah di Banyumas yaitu sebesar Rp1,1 juta sebulan. Dibandingkan dengan kondisi UMP tahun Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 6

2013, yaitu saat terakhir dilakukan penyesuaian PTKP, maka secara rata-rata telah terjadi kenaikan UMP sebesar 31%. Tabel III.2 menggambarkan UMP/UMK di beberapa daerah. Tabel III.2. UMP/UMK 2015 Beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota Provinsi / Kota UMP/UMK Sebulan UMP/UMK Disetahunkan Nanggroe Aceh Darussalam 1.900.000 22.800.000 Sumatera Utara 1.625.000 19.500.000 DKI Jakarta 2.700.000 32.400.000 Banten 1.600.000 19.200.000 Nusa Tenggara Barat 1.330.000 15.960.000 Nusa Tenggara Timur 1.250.000 15.000.000 Kalimantan Barat 1.560.000 18.720.000 Kalimantan Tengah 1.896.367 22.756.404 Gorontalo 1.600.000 19.200.000 Papua Barat 2.015.000 24.180.000 Karawang (UMK) 2.957.450 35.489.400 Banyumas (UMK) 1.100.100 13.201.200 Sumber: Peraturan Daerah, dirangkum Penulis. Rata-rata UMP di tahun 2015 apabila disetahunkan adalah sebesar Rp20.2 juta. Dibandingkan dengan PTKP yang berlaku sejak tahun 2013 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi yang sebesar Rp24,3 juta, maka besarnya UMP rata-rata disetahunkan 2015 telah mendekati rata-rata UMP di tahun 2015. Memperhatikan hal tersebut, mengingat bahwa UMP merupakan gambaran dari kebutuhan hidup layak, maka dengan adanya peningkatan UMP/UMK tersebut perlu juga diimbangi dengan penyesuaian besarnya PTKP. IV. Ekspektasi Dampak Kebijakan PTKP Terhadap Ekonomi Dalam sejarahnya, penyesuaian PTKP tidak menyebabkan penurunan penerimaan PPh orang pribadi secara nominal. Namun demikian secara pertumbuhan, dengan adanya kenaikan PTKP akan berdampak pada penurunan pertumbuhan pencapaian penerimaan PPh orang pribadi. Gambar IV.1 menunjukkan data histori dari penerimaan PPh orang pribadi secara nominal dan pertumbuhan penerimaan PPh orang pribadi yang terjadi saat dilakukannya penyesuaian PTKP. Dalam hal PTKP disesuaikan mendekati angka UMP/UMK terbesar yaitu Rp 2.96 juta, sehingga PTKP dibulatkan menjadi Rp3 juta sebulan atau Rp36 juta setahun, maka dengan menggunakan data SUSENAS dan realisasi penerimaan PPh orang pribadi tahun 2014, dapat diperkirakan akan adanya dampak pada penurunan penerimaan PPh orang pribadi sebesar Rp14,5 triliun dibandingkan proyeksi penerimaan yang seharusnya dapat diperoleh apabila tidak dilakukan penyesuaian PTKP. Namun demikian dengan adanya penurunan beban pajak yang ditanggung Wajib Pajak orang pribadi tersebut, akan ada peningkatan disposable income masyarakat, yang berarti juga akan meningkatkan basis objek Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 7

Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Lebih lanjut, dengan adanya demand side effect, maka PPh Badan pun berpotensi dapat meningkat dengan adanya peningkatan demand masyarakat yang dapat ditanggapi dengan penyesuaian atau peningkatan supply dari kegiatan swasta dalam negeri Gambar IV.1. Reaksi Penerimaan PPh Orang Pribadi terhadap Penyesuaian PTKP. Miliar Rupiah 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 - Kenaikan PTKP Kenaikan PTKP Kenaikan PTKP 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun 40.00% 35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% Persentase Penerimaan PPh OP % Growth PPh OP Sumber: DJP, diolah PKPN-BKF Adanya tax cut yang diperkirakan sebesar Rp14,5 triliun tersebut akan membawa multiplier effect pada ekonomi. Dengan menggunakan mpc sebesar 0.56, maka diperkirakan akan meningkatkan volume konsumsi rumah tangga dan menyebabkan peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang diperkirakan sebesar 0,08%. Dengan mempertimbangkan adanya dampak pada kenaikan inflasi yang sebesar 0,01%, maka peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga netto diperkirakan akan sebesar 0.07% dari base line nya. Dengan asumsi bahwa saving sama dengan investasi, dengan marginal propensity to saving (mps) sebesar 0,44%, maka penurunan beban pajak masyarakat akan mendorong saving atau investasi, dan melalui transmisi yang terjadi, diperkirakan akan dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan investasi sebesar 0,19 dari base line nya. 1 V. Kesimpulan. Perlambatan ekonomi yang sudah terjadi sejak tahun 2011 nampaknya terus akan terjadi di tahun 2015. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya indikasi pelemahan ekonomi yang terjadi di triwulan I 2015. Dengan memperhatikan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah, maka Pemerintah perlu mengambil langkah untuk menjaga agar target pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Kebijakan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dari sisi belanja atau pendapatan negara. Melalui belanja, Pemerintah telah merencanakan adanya belanja modal khususnya belanja di bidang infrastruktur yang tentu saja akan menimbulkan dampak multiplier yang lebih besar dan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Untuk jangka pendek dan menengah, expansionary fiscal policy yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan pendapatan negara. Salah satu bentuk kebijakan yang dapat dilakukan adalah adalah pemberian tax cut. 1 Penghitungan dampak penerimaan dan makroekonomi atas penyesuaian PTKP menggunakan teknik micro simulation yang dihitung oleh Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 8

Berdasarkan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, ketentuan pemberian tax cut dapat dibilang tidak terbatas dan tidak fleksibel. Terdapat beberapa ketentuan mengenai pemberian tax cut untuk Wajib Pajak badan yang telah diberikan pada kondisi normal (mengabaikan ada tidaknya kontraksi ekonomi) yaitu pengurangan tarif untuk Wajib Pajak perusahaan go public dan Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu (UMKM), serta pemberian fasilitas tax allowance untuk penanaman modal pada bidang usaha/daerah tertentu. Yang masih dimungkinkan digunakan sebagai instrumen stimulus fiskal berdasarkan Undang-Undang PPh adalah tax cut kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam bentuk perubahan lapisan penghasilan kena pajak orang pribadi dan penyesuaian lapisan penghasilan kena pajak dan penyesuaian PTKP. Secara teori penyesuaian PTKP akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, melalui transmisi peningkatan disposable income dan dampak multiplier nya kepada GDP. Dengan pemberian tax cut berupa penyesuaian PTKP pada angka mendekati UMP/UMK terbesar di Indonesia yaitu menjadi sebesar Rp3 juta sebulan, maka akan terdapat dampak penurunan PPh yang diperkirakan sebesar Rp 14,5 triliun. Namun demikian secara teori, pengurangan beban PPh bagi masyarakat akan terkompensasi dengan adanya kenaikan konsumsi, yang merupakan basis PPN dari tambahan konsumsi masyarakat maupun PPh badan dari dampak peningkatan investasi dan demand side effect yang ditimbulkan. Adanya tax cut tersebut juga diperkirakan akan dapat meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga neto sebesar 0,07% dari base line nya, pertumbuhan investasi sebesar 0,19% dan pertumbuhan GDP sebesar 0,09% dari base line nya. Dengan demikian penyesuaian PTKP diharapkan tidak hanya memberikan insentif pengurangan beban PPh kepada masyarakat, tapi juga berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II- PKPN, BKF 9