BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian adalah Rehabilitasi Medik.

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di klinik dan bangsal THT-KL dan laboratorium

BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. Penelitian ini dilakukan di Poltekkes YRSU Dr.Rusdi. Jl.H Adam Malik

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB 4 METODE PENELITIAN. Prijonegoro Sragen dan Puskesmas Sidoharjo Sragen. Penelitian ini berlangsung bulan Maret-Juni 2014.

BAB V HASIL PENELITIAN. Karekteristik sampel penelitian dipaparkan dalam Tabel 5.1 diskripsi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kontrol (hanya terapi empirik). Dua biomarker yaitu kadar TNF- serum diukur

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kronik di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Penelitian dilakukan selama 2 minggu.

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di klinik RSUD Gunung Jati Cirebon, dengan populasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

Nama Jurnal : European Journal of Ophthalmology / Vol. 19 no. 1, 2009 / pp. 1-9

III. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN. ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) terhadap jumlah sel NK dan kadar

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup disiplin Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, dan Ilmu

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II STUDI PUSTAKA

BAB V HASIL PENELITIAN. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 30 perempuan penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. belah lintang (cross sectional) untuk mengetahui korelasi antara faktor-faktor

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dikendalikan sepenuhnya seperti aktivitas fisik sehari-hari.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei cross-sectional,

Statistik Non-Parametrik. Saptawati Bardosono

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

SURAT PERSETUJUAN MENJADI SAMPEL PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimental untuk

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Tabel 1 : Data ph plak dan ph saliva sebelum dan sesudah berkumur Chlorhexidine Mean ± SD

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

BAB 4 MATERI METODE PENELITIAN. Surakarta / Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta. 1. Populasisasaran:Pasien DM tipe 2.

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf dan ilmu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I.PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Masalah. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi yang. paling sering dijumpai pada masyarakat dan jumlah

METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terminal yang menjalani hemodialisa rutin di unit hemodialisa RS

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yang berjumlah 96 pasien sesuai

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen, yaitu. tertentu (Notoatmodjo, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB II. METODE PENELITIAN

5. ANALISIS HASIL PENELITIAN

Efektiitas Terapi Musik Klasik Untuk Mengurangi Kecemasan Pada Ibu Bersalin Seksio Sesarea Di RSUD dr.pirngadi Medan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB III METODE PENELITIAN. dalam waktu yang bersamaan (Sastroasmoro, 2008). Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisis RSUD Dr.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 40 pasien di mana 20 pasien di antaranya kelompok kontrol diberi larutan salin isotonik dan 20 pasien yang lain kelompok perlakuan diberi larutan salin hipertonik. Perbaikan tingkat keluhan gejala klinis yang diukur dengan skor Visual Analogue Scale (VAS) diamati sebagai parameter untuk mengevaluasi hasil eksperimen. 1. Karakteristik Subjek Sebagian besar variabel yang dapat merancu hasil eksperimen sudah dikontrol melalui prosedur inklusi dan eksklusi. Variabel yang masih dapat menunjukkan heterogenitas sampel hanya karakteristik demografis yang meliputi usia dan jenis kelamin. Deskripsi usia dan jenis kelamin pasien dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Karakteristik Isotonik (n = 20) Hipertonik (n = 20) Usia (tahun) 1 35,95 10,40 39,15 11,87 0,370 Jenis Kelamin 2 Keterangan: Laki-laki Perempuan 11 (55,0) 9 (45,0) 8 (40,0) 12 (60,0) p 0,342 1 Usia dinyatakan dengan nilai mean SD dan diuji beda antara dua kelompok dengan independent samples t test. 2 Jenis kelamin dinyatakan dengan angka frekuensi (prosentase) dan diuji beda antara dua kelompok dengan chi square test.

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa terdapat sedikit perbedaan karakteristik demografis antara kedua kelompok pasien. Usia kelompok yang diberi larutan salin isotonik (35,95 10,40 tahun) relatif lebih muda dibandingkan usia kelompok yang diberi larutan salin hipertonik (39,15 11,87 tahun). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan (p=0,370; p>0,05). Pada kelompok yang diberi larutan salin isotonik jumlah pasien laki-laki (55,0%) lebih banyak dibandingkan jumlah pasien perempuan (45,0%), sedangkan pada kelompok yang diberi larutan salin hipertonik jumlah pasien laki-laki (40,0%) lebih sedikit dibandingkan jumlah pasien perempuan (60,0%). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan distribusi tersebut tidak signifikan (p=0,342; p>0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakteristik demografis pasien pada kedua kelompok eksperimen termasuk homogen. 2. Skor VAS pada Kelompok yang Diberi Larutan Salin Isotonik Ada 4 jenis gejala klinis yang dikeluhkan pasien yang diamati dalam penelitian ini yaitu hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan penghidu. Tingkat keluhan gejala klinis dinyatakan dengan skor VAS yang dideskripsikan dengan nilai mean dan standar deviasi. Uji beda skor VAS antara sebelum dan sesudah pemberian larutan salin isotonik dilakukan dengan paired samples t test (apabila data memenuhi syarat normalitas) atau wilcoxon signed rank test (apabila data tidak memenuhi syarat normalitas). Deskripsi skor VAS sebelum dan sesudah pemberian larutan salin isotonik dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Skor VAS Sebelum dan Sesudah Pemberian Larutan salin Isotonik Gejala Klinis Sebelum Terapi Sesudah Terapi p 1 Hidung tersumbat 4,80 2,07 3,60 1,82 < 0,001* Pilek 4,35 2,35 2,85 1,95 < 0,001* Nyeri wajah 4,20 2,28 3,30 2,03 < 0,001* Gangguan penghidu 2,05 2,33 1,60 1,79 0,007* Keterangan: 1 Uji beda pada keempat gejala klinis dilakukan dengan wilcoxon signed rank test karena data tidak memenuhi syarat normalitas berdasarkan uji shapirowilk (uji normalitas direkomendasikan untuk sampel < 50). * p < 0,05 artinya perbedaan signifikan. Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa skor VAS keempat gejala klinis pada kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik mengalami penurunan dari sebelum ke sesudah terapi. Rata-rata skor VAS gejala hidung tersumbat menurun dari 4,80 menjadi 3,60 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). Rata-rata skor VAS gejala pilek menurun dari 4,35 menjadi 2,85 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). Rata-rata skor VAS gejala nyeri wajah menurun dari 4,20 menjadi 3,30 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). Rata-rata skor VAS gejala gangguan penghidu menurun dari 2,05 menjadi 1,60 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,007). Dengan demikian diketahui bahwa larutan salin isotonik terbukti efektif dapat menurunkan keluhan hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan penghidu. 3. Skor VAS pada Kelompok yang Diberi Larutan Salin Hipertonik Sebagaimana pada kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik, prosedur dan rincian pengamatan serta analisis yang sama dilakukan pada kelompok pasien yang diberi larutan salin hipertonik. Deskripsi skor VAS

sebelum dan sesudah pemberian larutan salin hipertonik dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Skor VAS Sebelum dan Sesudah Pemberian Larutan Salin Hipertonik Gejala Klinis Sebelum Terapi Sesudah Terapi p 1 Hidung tersumbat 4,75 2,24 2,15 1,14 < 0,001* Pilek 4,75 2,02 1,95 0,89 < 0,001* Nyeri wajah 4,15 2,52 2,10 1,37 < 0,001* Gangguan penghidu 2,55 2,78 1,25 1,83 0,002* Keterangan: 1 Uji beda pada gejala klinis hidung tersumbat dan nyeri wajah dilakukan dengan paired samples t test karena data memenuhi syarat normalitas berdasarkan uji shapiro-wilk. Adapun uji beda pada gejala klinis pilek dan gangguan penghidu dilakukan dengan wilcoxon signed rank test karena data tidak memenuhi syarat normalitas. * p < 0,05 artinya perbedaan signifikan. Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa skor VAS keempat gejala klinis pada kelompok pasien yang diberi larutan hipertonik mengalami penurunan dari sebelum ke sesudah terapi. Rata-rata skor VAS gejala hidung tersumbat menurun dari 4,75 menjadi 2,15 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). Rata-rata skor VAS gejala pilek menurun dari 4,75 menjadi 1,95 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). Rata-rata skor VAS gejala nyeri wajah menurun dari 4,15 menjadi 2,10 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). Rata-rata skor VAS gejala gangguan penghidu menurun dari 2,55 menjadi 1,25 dan penurunan ini secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,002). Dengan demikian diketahui bahwa larutan salin hipertonik terbukti efektif dapat menurunkan keluhan hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan penghidu.

4. Perbandingan Penurunan Skor VAS antara Kelompok yang Diberi Larutan Salin Isotonik dengan Hipertonik Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan efektifitas pengaruh larutan salin isotonik dan hipertonik dalam mengurangi keluhan pasien dilakukan perbandingan penurunan skor VAS antara kedua kelompok. Uji beda penurunan skor VAS antara kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik dengan kelompok pasien yang diberi larutan salin hipertonik dilakukan dengan independent samples t test (apabila data memenuhi syarat normalitas) atau mannwhitney test (apabila data tidak memenuhi syarat normalitas). Perbandingan penurunan skor VAS antara kedua kelompok pasien dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Perbandingan Penurunan Skor VAS antara Kelompok Pasien yang Diberi Larutan Salin Isotonik dengan Kelompok Pasien yang Diberi Larutan Salin Hipertonik Gejala Klinis Isotonik Hipertonik p 2 Hidung tersumbat 1,20 0,70 2,60 1,31 < 0,001* Pilek 1,50 0,76 2,80 1,36 0,001* Nyeri wajah 0,90 0,55 2,05 1,36 0,003* Gangguan penghidu 0,45 0,60 1,30 1,22 0,026* Keterangan: 1 Angka-angka deskripsi dalam tabel menyatakan penurunan skor VAS yang diperoleh dari selisih skor VAS sebelum dan sesudah terapi. 2 Uji beda pada keempat gejala klinis dilakukan dengan mann-whitney test karena data tidak memenuhi syarat normalitas berdasarkan uji shapiro-wilk. * p < 0,05 artinya perbedaan signifikan. Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa pada semua gejala klinis rata-rata penurunan skor VAS pada kelompok yang diberi larutan salin hipertonik lebih besar dibandingkan rata-rata penurunan skor VAS pada kelompok yang diberi larutan salin isotonik.

1. Untuk keluhan hidung tersumbat, rata-rata penurunan skor VAS pada kelompok larutan salin isotonik adalah 1,20 sedangkan pada kelompok larutan salin hipertonik adalah 2,60 dan perbedaan tersebut secara statistik dinyatakan signifikan (p < 0,001). 2. Untuk keluhan pilek, rata-rata penurunan skor VAS pada kelompok larutan salin isotonik adalah 1,50 sedangkan pada kelompok larutan salin hipertonik adalah 2,80 dan perbedaan tersebut secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,001). 3. Untuk keluhan nyeri wajah, rata-rata penurunan skor VAS pada kelompok larutan salin isotonik adalah 0,90 sedangkan pada kelompok larutan salin hipertonik adalah 2,05 dan perbedaan tersebut secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,003). 4. Untuk keluhan gangguan penghidu, rata-rata penurunan skor VAS pada kelompok larutan salin isotonik adalah 0,45 sedangkan pada kelompok larutan salin hipertonik adalah 1,30 dan perbedaan tersebut secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,026). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan larutan salin hipertonik lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan larutan salin isotonik dalam menurunkan skor VAS atau mengurangi keluhan hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan penghidu pada pasien rinosinusitis kronik.

B. Pembahasan Rinosinusitis kronik merupakan penyakit multifaktorial dengan beberapa gejala klinis yang ditimbulkannya. Banyak penderita yang mendapat pengobatan medis untuk mengurangi gejala klinis tersebut. Penggunaan cuci hidung menjadi perhatian pada penelitian ini dalam memperbaiki gejala klinis dan kualitas hidup penderita rinosinusitis kronis. Pada data demografi yaitu usia dan jenis kelamin. Usia kelompok yang diberi larutan salin isotonik (35,95 10,40 tahun) relatif lebih muda dibandingkan usia kelompok yang diberi larutan salin hipertonik (39,15 11,87 tahun). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan (p=0,370; p>0,05). Pada kelompok yang diberi larutan salin isotonik jumlah pasien laki-laki (55,0%) lebih banyak dibandingkan jumlah pasien perempuan (45,0%), sedangkan pada kelompok yang diberi larutan salin hipertonik jumlah pasien laki-laki (40,0%) lebih sedikit dibandingkan jumlah pasien perempuan (60,0%). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan distribusi tersebut tidak signifikan (p=0,342; p>0,05). Rinosinusitis kronik lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan pria dengan rasio 6:4. Di Kanada dilaporkan penderita rinosinusitis kronik berkisar antara umur 20-39 tahun atau 50-59 tahun. Setelah usia 60 tahun dijumpai prevalensi dari rinosinusitis kronik mulai menurun hingga 50% (Fokkens et al. 2012). Patogenesis pasti mengenai predileksi jenis kelamin dan usia ini masih belum begitu jelas. Pada beberapa teori dikatakan bahwa hormon estrogen dan hormon pertumbuhan memiliki korelasi dengan keadaan mukosa hidung. Pada

keadaan hormon yang tidak stabil, vaskularisasi dari mukosa hidung dapat terganggu, sehingga terjadi kerusakan sel, gangguan oksigenasi dan gangguan fungsi dari mukosa hidung. Selain efek hormon, zat-zat polutan yang ada lingkungan di sekitar kita dapat bersifat sebagai iritan yang merusak epitel pernafasan sehingga terjadi gangguan pada mukosiliar klirens, fungsi hidung dan sinus paranasal. Hal tersebut yang menjadi alasan pada usia produktif sering menderita RSK akibat sering terpaparnya dengan zat polutan di lingkungan sekitar (Dousary et al. 2012). Cuci hidung dengan larutan salin hipertonik dan isotonik dapat mengurangi keluhan hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan penghidu pada pasien rinosinusitis kronik. Rinosinusitis kronik merupakan proses inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal. Cuci hidung dilakukan pada rongga hidung dengan tujuan memperbaiki gejala klinis pada rinosinusitis kronik. Cuci hidung tidak hanya membersihkan sekret yang menumpuk dan memperbaiki mukosiliar klirens pada rongga hidung, akan tetapi cuci hidung juga berpotensial memperbaiki fungsi dari sinus dengan menekan proses inflamasi pada mukosa kompleks osteomeatal sehingga drainase udara di dalam sinus dan fungsi mukosiliar klirens mengalami perbaikan (Hoffmans et al. 2010). Cuci hidung dengan menggunakan larutan salin isotonik maupun isotonik dapat memperbaiki keluhan hidung tersumbat, pilek, gangguan penghidu pada pasien rinosinusitis kronik namun tidak untuk keluhan nyeri wajah (Berjis et al. 2011).

Terdapat perbaikan gejala klinis dari rinosinusitis kronik setelah diberikan cuci hidung menggunakan larutan salin isotonik dan hipertonik selama 14 hari. penggunaan cuci hidung dengan larutan salin isotonik memberikan perbaikan terhadap gejala klinis setelah pemberian 14 hari. Namun terdapat beberapa pendapat lain yang menyatakan waktu 4-12 minggu merupakan waktu yang cukup memberikan perbaikan terhadap gejala klinis rinosinusitis kronik (Wei and Sykes 2011). Penelitian yang dilakukan Rabago et al. (2006) memberikan larutan salin hipertonik selama 6 bulan. Penilaian gejala klinik menggunakan EQ (exit questionnaire) didapatkan penurunan keluhan gejala klinik penderita rinosinusitis kronik. Larutan salin hipertonik lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan larutan salin isotonik dalam mengurangi keluhan hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan penghidu pada pasien rinosinusitis kronik. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Culig et al. (2010) larutan salin hipertonik lebih efektif dalam menurunkan gejala klinis terutama keluhan hidung tersumbat, hidung berair, batuk dan sakit kepala dibandingkan penggunaan larutan salin isotonik (Culig et al. 2010). Gejala klinis merupakan suatu keluhan yang bersifat subyektif. Kelemahan pada penelitian ini, peneliti tidak menggunakan pemeriksaan objektif lain sebagai alat untuk menilai perbaikan gejala klinis penderita rinosinusitis kronik setelah cuci hidung dilakukan. Untuk gejala hidung tersumbat biasanya beberapa peneliti melakukan pemeriksaan secara objektif dengan menggunakan rinomanometri

akustik. Selain itu beberapa pemeriksaan objektif lain yang digunakan antara lain; pemeriksaan waktu mukosiliari klirens dengan menggunakan sakarin, ciliary beat frequency (CBF) dengan menggunakan mikroskop elektron, diary card sebagai follow up gejala klinis perhari, quality of life questionnaire, dan sebagainya.