BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA OCH2CHCH2 OCH3. 3-(o-Metoksifenoksi)-1,2-propanadiol [ ] : Larut dalam air, dalam etanol, dalam kloroform dan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam dosis tertentu dapat digunakan untuk preventif (profilaksis), rehabilitasi,

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sintetis dalam dosis atau kadar tertentu dapat dipergunakan untuk preventif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. metilselulosa atau bahan lain yang cocok (Anief, 1994).

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asetaminofen. Kandungan : tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 %

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam bahan obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke Tujuan Pemberian Obat Dalam Bentuk Kapsul

BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan jaringan pelindung yang lentur dan elastis, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

BAB III METODE PENELITIAN. ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam buku British pharmacopoeia (The Departemen of Health, 2006) dan

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas, sifat kohetivitas, kecepatan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C

atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempercantik wajah. Kosmetik yang berbahaya mengandung komposisi dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian bersifat eksperimental yaitu dilakukan pengujian pengaruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai (Ditjen POM RI, 1995).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

Lampiran 1. Perhitungan Pembuatan Tablet Asam Folat. Sebagai contoh F1 (Formula dengan penambahan Pharmacoat 615 1%).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

Lampiran 1. Flowsheet Rancangan Percobaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan zat tambahan yang cocok, digranulasikan, jika perlu digunakan zat. basah tergantung dari sifat obatnya (Admar, 2004).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

FORMULASI SEDIAAN TABLET PARASETAMOL DENGAN PATI BUAH SUKUN (Artocarpus communis) SEBAGAI PENGISI

KETOKONAZOL TABLET PREFORMULASI DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 (SATU) C S1 FARMASI 2013

Zubaidi, J. (1981). Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistiawati. Jakarta: UI Press. Halaman 172 Lampiran 1. Gambar Alat Pencetak Kaplet

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Minuman energi adalah minuman ringan non-alkohol yang dirancang

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Pemeriksaan Bahan Baku Pemeriksaan bahan baku ibuprofen, HPMC, dilakukan menurut Farmakope Indonesia IV dan USP XXIV.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.. HCl. Tablet piridoksin mengandung piridoksin hidroklorida, C 8 H 11 NO 3.HCl tidak

Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel

2.1.1 Keseragaman Ukuran Kekerasan Tablet Keregasan Tablet ( friability Keragaman Bobot Waktu Hancur

kurang dari 135 mg. Juga tidak boleh ada satu tablet pun yang bobotnya lebih dari180 mg dan kurang dari 120 mg.

Spektrofotometri uv & vis

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau lebih dengan atau zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembuatan Amilum Biji Nangka. natrium metabisulfit agar tidak terjadi browning non enzymatic.

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pot III : Pot plastik tertutup tanpa diberi silika gel. Pot IV : Pot plastik tertutup dengan diberi silika gel

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. VII/71 mendefinisikan bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3: UJI SEDIAAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Farmakologi Dimenhidrinat (mabuk perjalanan) mabuk perjalanan dan muntah karena kehamilan. Berdasarkan mekanisme

4 Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyembuhkan atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Meskipun

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak berbentuk rata. Karbonat dan zat lain yang cocok.

BAB I PENDAHULUAN. menyerupai flubiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat

FORMULASI TABLET PARACETAMOL SECARA KEMPA LANGSUNG DENGAN MENGGUNAKAN VARIASI KONSENTRASI AMILUM UBI JALAR (Ipomea batatas Lamk.) SEBAGAI PENGHANCUR

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul 2.1.1 Kapsul secara umum Kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 1989). Gelatin merupakan bahan yang sesuai untuk pembentukan cangkang kapsul karena edible dan larut, membentuk cangkang yang kuat, lapis tipis dan berubah dari bentuk larutan menjadi bentuk gel sedikit diatas temperatur lingkungan. Gelatin segera larut dalam air pada temperatur tubuh, dan tidak larut jika temperatur turun dibawah 30 C (Agoes, 2008). 2.1.2 Pembagian Kapsul Menurut Ansel (1989), ada 2 jenis kapsul: a. Kapsul Gelatin Keras Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis dimana Cangkang kapsul kosong dibuat dari campuran gelatin, gula dan air, jernih tidak berwarna dan pada dasarnya tidak mempunyai rasa. Gelatin dihasilkan dari hidrolisis sebagian dari kolagen yang diperoleh dari kulit, jaringan ikat putih dan tulang binatang-binatang. Dalam perdagangan didapat gelatin dalam

bentuk serbuk halus, serbuk kasar, parutan, serpihan-serpihan atau lembaran-lembaran. b. Kapsul Gelatin Lunak Kapsul gelatin lunak mempunyai cangkang yang dibuat dari gelatin dimana gliserin atau alkohol polivalen dan sorbitol ditambahkan supaya gelatin bersifat elastis seperti plastik. Kapsul-kapsul ini yang mungkin bentuknya membujur seperti elips atau seperti bola dapat digunakan untuk diisi cairan, suspensi, bahan berbentuk pasta atau serbuk kering. Biasanya pada pembuatan kapsul ini, mengisi dan menyegelnya dilakukan secara berkesinambungan dengan suatu mesin khusus. 2.1.3 Penyimpanan Kapsul Penyimpanan kapsul ditempat yang lembab akan menyebabkan kapsul menjadi lunak dan lengket serta sukar dibuka, karena kapsul tersebut menyerap air dari udara yang lembab. Sebaliknya, bila kapsul disimpan ditempat yang terlalu kering, maka kapsul akan kehilangan air dan cangkangnya menjadi rapuh dan mudah pecah. Oleh sebab itu kapsul disimpan pada ruangan yang kelembabannya sedang dan tidak terlalu kering, dan disimpan dalam botol kaca atau botol plastik yang tertutup rapat dan diberi pengering (silika) (Dirjen POM, 1995). 2.1.4 Persyaratan Kapsul Kapsul mempunyai beberapa syarat untuk menjamin mutunya, menurut Agoes (2008), persyaratan kapsul adalah sebagai berikut:

1. Keseragaman Sediaan Kesreragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu keseragaman bobot dan kesragaman kandungan. Jika bahan aktif dari sediaan tidak kurang dari 50% dari bobot sediaan atau kapsul dan lebih besar dari 50 mg persyaratannya dapat ditetapkan dengan keseragaman bobot. Jika kandungan bahan aktifnya lebih kecil dapat digunakan persyaratan keseragaman kandungan (Ditjen POM, 1995). 2. Waktu Hancur Pengujian kehancuran adalah suatu pengujian untuk mengetahui seberapa cepat tablet hancur menjadi agregat atau partikel lebih halus. Pengujian dilakukan berdasarkan asumsi bahwa jika produk hancur dalam periode waktu singkat, misal dalam 5 menit, maka obat akan dilepas dan tidak ada antisipasi masalah dalam hal kualitas produk obat. Waktu hancur setiap tablet atau kapsul dicatat dan memenuhi persyaratan spesifikasi waktu (dalam 15 menit). 3. Disolusi Disolusi adalah larutnya zat berkhasiat dalam suatu media disolusi. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa persentasi zat aktif dalam obat yang dapat terlarut dan terabsorpsi dan masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi pada tubuh. 4. Kadar Zat Berkhasiat Pengujian ini merupakan versi kuantitatif dari pengujian identifikasi. 10-20 kapsul, isinya di gerus dan bahan aktif yang larut diekstraksi menggunakan pelarut yang sesuai menurut prosedur yang sudah ditetapkan. Umumnya

rentang kadar bahan aktif yang ditentukan berada diantara 90-110% dari pernyataan pada etiket. Ada tiga kegunaan uji disolusi, yaitu dapat menjamin keseragaman satu batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan juga uji disolusi diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman kandungan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi kapsul (Agoes, 2008). 2.2 Antibiotika Antibiotika pertama kali dikemukakan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 yang secara kebetulan menemukan suatu antibakteri yang sangat efektif yaitu penisilina. Defenisi antibiotika ialah suatu bahan kimia yang dikeluarkan oleh jasad renik yang dapat merintangi/memusnahkan pertumbuhan jasad renik lainnya. Antibiotika merupakan obat yang sangat penting dan dipakai untuk memberantas berbagai penyakit infeksi, misalnya radang paru-paru, tifus, luka yang berat dan sebagainya. Pemakaian antibiotika harus di bawah pengawasan seorang dokter, karena obat ini dapat menimbulkan kerja ikutan yang tidak dikehendaki dan dapat mendatangkan kerugian yang cukup besar bila pemakaiannya tidak dikontrol dengan betul (Widjajanti,1998).

Umumnya efek suatu antibiotika terhadap mikroba tergantung pada dosis; dalam dosis rendah mungkin menunjukkan sifat bakteriostatik sedangkan pada dosis besar bersifat sebagai bakterisida. Antibiotika biasanya digolongkan menurut spektrum keaktifannya, yaitu menurut kelas mikrobia yang diganggunya. Oleh karena itu ada antibiotika yang disebut antiviral, antibakteria, antifungi, antiprotozoa. Sensitivitas bakteria terhadap antibiotika tergantung pada struktur dinding selnya, karena ini menentukan kemampuan antibiotika untuk menembus sel tersebut. Oleh karena itu antibiotika dapat dibagi secara umum menurut aktivitasnya terhadap bakteri gram-positif atau bakteri gram negatif. Bakteria gram-positif lebih telus (permeable) adalah lebih sensitif terhadap beberapa antibiotika (Hadisahputra, S., 1994). Berdasarkan luas kegiatan (efek terhadap mikrobia), Tjay (2007) membagi antibiotik atas 2 golongan: a. Antibiotik dengan kegiatan sempit (Narrow spectrum) Antibiotik yang hanya aktif terhadap jenis bakteri tertentu. b. Antibiotik dengan kegiatan luas (Broad spectrum) Antibiotik yang berkhasiat terhadap banyak jenis bakteri gram positif maupun gram negatif (Tjay,2007).

2.3 Kloramfenikol Gambar 1. Struktur kloramfenikol Menurut Dirjen POM (1995), kloramfenikol memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul : C 11 H 12 Cl 2 N 2 O 5 Nama Umum : Kloramfenikol Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis netral terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral atau larutan agak asam. Kelarutan : Sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol, dalam propilen glikol, dalam aseton dan dalam etil asetat. Persyaratan : Pada sediaan kapsul kloramfenikol mengandung kloramfenikol, C 11 H 12 Cl 2 N 2 O 5, tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tahan cahaya. Indikasi : Sebagai antibiotik. Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik broad spectrum yang aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh Streptomyces venezuela dan merupakan antibiotik yang digunakan sebagai obat

penyakit tifus dan penyakit infeksi lainnya. Berbagai turunan kloramfenikol berhasil disintesis akan tetapi tidak ada senyawa yang khasiatnya melampaui khasiat kloramfenikol (Widjajanti,1998). Kloramfenikol akan terasa pahit apabila diberikan secara oral tanpa dimasukkan ke dalam kapsul atau disalut. Sebaliknya, ester palmitat dari antibiotik ini relatif tidak berasa, jadi dapat digunakan untuk anak-anak dan untuk pasien yang tidak dapat menelan kapsul (Hadisahputra, S., 1994). Kloramfenikol diabsorpsi cepat dan hampir sempurna dari saluran cerna, karena obat ini mengalami penetrasi membran sel secara cepat. Setelah absorpsi, kloramfenikol didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh. Metabolit utama kloramfenikol adalah glukuronida nya yang bekerja antibiotik, yang dibuat di hati dan diekskresikan melalui ginjal. (Katzung, B. G., 2004) Kloramfenikol bekerja menghambat pertumbuhan bakteri, mekanisme kerja antibiotik ini ialah menghambat sintesis protein yang dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel bakteri sehingga kloramfenikol menghambat fungsi RNA dari bakteri (Widjajanti,1998). Efek samping kloramfenikol yang umum terjadi antara lain gangguan lambung-usus, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat berbahaya yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada sumsum tulang belakang sehingga produksi sel-sel darah merah menjadi terganggu. Karenanya penggunaannya ditujukan hanya untuk penyakit tifus dan penyakit berat saja (Tjay, 2007).

2.4 Disolusi Disolusi didefenisikan proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan (proses zat padat melarut). Kecepatan disolusi obat merupakan tahap sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, bahan berkhasiat harus terlarut, sesudah itu barulah obat tersebut dapat melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat dan berdifusi secara pasif. Sebaliknya, obat yang kelarutannya kecil kecepatan disolusi tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif karena pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif (Syukri, 2002). 2.4.1 Alat Uji Disolusi Menurut Dirjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi: a. Alat 1 (Metode Basket) Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu Tablet atau kapsul Granul atau agregat Partikel Halus Obat dalam larutan Obat dalam darah, cairan, dan dalam jaringan lain dalam wadah 37 ± 0,5 C selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder

dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan alat. b. Alat 2 (Metode Dayung) Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. 2.4.2 Media Disolusi Menurut Agoes (2008), media disolusi yang biasa digunakan adalah: 1. Air Suling Pelarut air digunakan untuk uji penetapan pelarutan beberapa tablet. Pengujian menggunakan cairan air memberikan hasil yang sangat berbeda dengan cairan fisiologik, terutama untuk senyawa ionik yang sangat dipengaruhi oleh ph. 2. Larutan Ionik Larutan ionik banyak digunakan untuk menyesuaikan ph organ tubuh :

a. Larutan asam (ph 1,2) dibuat dari asam klorida encer baik ditambah atau tidak ditambah dengan larutan natrium atau kalium klorida, sehingga ph cairan mendekati komposisi cairan lambung. b. Larutan dapar alkali (ph 7-8) paling sering digunakan untuk meniru ph usus dalam pengujian sediaan dengan aksi diperpanjang atau aksi terjaga setelah melewati cairan yang asam. 2.4.3 Prosedur Pengujian Disolusi Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan dibiarkan media disolusi mencapai temperatur C. Satu kapsul dicelupkan dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Kapsul harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Dirjen POM, 1995). 2.4.4 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap.

Pada tahap 1 (S 1 ), 6 kapsul diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S 2 ). Pada tahap ini 6 kapsul tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S 3 ). Pada tahap ini 12 kapsul tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini. Tabel. 1. Penerimaan Hasil Uji Disolusi Jumlah Tahap Sediaan yang diuji S 1 6 S 2 6 S 3 12 Kriteria Penerimaan Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5% Rata rata dari 12 unit (S 1 + S 2 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q 15% Rata rata dari 24 unit (S 1 + S 2 + S 3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q 25% Keterangan: S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali

dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm (Lachman, 1994). 2.4.5 Faktor yang Mempengaruhi Disolusi Zat Aktif Menurut Syukri (2002), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan, antara lain: a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi : kelarutan zat aktif, bentuk kristal, kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat fisikokimia lain seperti kekentalan dapat menimbulkan masalah disolusi. b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Penggunaan bahan tambahan sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi dapat menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung bahan tambahan yang digunakan. Cara pengolahan bahan baku, bahan tambahan dan prosedur yang dilakukan dalam formulasi sediaan padat peroral juga berpengaruh terhadap laju disolusi. Waktu pengadukan lama pada granulasi basah dapat menghasilkan granulgranul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang

mempengaruhi laju disolusi diantaranya: kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan. c. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji Faktor ini dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan meliputi: kecepatan pengadukan, suhu medium, ph medium dan metode uji yang digunakan. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Zat yang kelarutannya tidak tergantung ph, perubahan ph medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi ph pada percobaan in vitro penting karena kondisi ph akan berbeda pada lokasi obat disaluran cerna. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi sama atau berbeda, tergantung pada metode uji yang digunakan. 2.5 Penetapan Kadar Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar, 2008). Penetapan kadar dipilih berdasarkan sifat senyawa. Untuk penetapan kadar dapat dilakukan dengan metode fisikokimia yaitu spektrofotometri UV-Visibel, fluorometri dan konduktometri (Devissaquest, 1993). Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi kapsul Kloramfenikol yaitu Spektrofotometri Ultraviolet. Spektrofotometri Ultraviolet adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini

biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum Ultraviolet mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004). Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat dan sangat cocok untuk digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai gugus kromofor. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993). Menurut Dachriyanus (2004), umumnya spektrofotometri ultraviolet dalam analisis senyawa organik digunakan untuk: 1. Menetukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonyugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik. 2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang serapan maksimum suatu senyawa. 3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Umumnya pelarut yang sering dipakai untuk analisis Spektrofotometri adalah air, etanol, sikloheksana dan isopropanol. Dalam pemilihan pelarut, yang perlu diperhatikan yaitu polaritas pelarut yang dipakai karena sangat berpengaruh terhadap pergeseran spektrum molekul yang dianalisis (Mulja, 1995). Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah: a. Pemilihan panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. b. Pembuatan kurva kalibrasi Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi berupa garis lurus. c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal.