TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

ESTIMASI FUNGSI KONSUMSI PANGAN DAN NON PANGAN PENDUDUK PERKOTAAN PROPINSI JAMBI. Adi Bhakti ABSTRACT

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013

BPS PROVINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. PTPN IV merupakan perseroan yang bergerak pada bidang usaha agroindustri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

Jurnal Ekonomi Volume 18, Nomor 1 Maret 2010 PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DI DAERAH RIAU. Nursiah Chalid

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2016

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

SUSTAINABLE DIET FOR FUTURE

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan salah satu padian paling penting di dunia untuk konsumsi

BAB III METODE PENELITIAN. belum mampu memenuhi kebutuhan hidup sebagian besar petani di Indonesia. Hal

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

BADAN PUSAT STATISTIK

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Perkebunan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman. Pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok yakni : 1. Padi- padian Terdiri dari beras, jagung, terigu. 2. Makanan berpati atau umbi- umbian Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas dan umbi- umbian lain. 3. Pangan hewani Terdiri dari ikan, daging, susu, telur. 4. Minyak dan lemak Terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit dan margarin. 5. Buah dan biji berminyak Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat. 6. Kacang- kacang lainnya. 7. Gula Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya.

8. Sayur dan buah Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi. 9. Lain- lain Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman beralkohol. (BKP, 2010). Kemiskinan Penentuan batas kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada kebutuhan minimal yang setara dengan kebutuhan energi sebesar 2.100 kalori per kapita per hari ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimum non-makanan. Patokan 2.100 kalori ditentukan berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi yang menyatakan bahwa hidup sehat ratarata setiap orang harus mengkonsumsi makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari (BPS Sumut, 2009). Berdasarkan kriteria BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar, yaitu penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Penentuan dibawah garis kemiskinan didasarkan pada pengukuran pendapatan/ pengeluaran penduduk untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu berupa kebutuhan untuk konsumsi energi sebesar 2100 kalori perkapita perhari, sehingga apabila penghasilannya ada dibawah konversi tersebut maka termasuk pada kategori penduduk miskin. Besaran garis kemiskinan akan berada antar waktu, antar wilayah karena adanya tingkat kemahalan antar wilayah dan antara desa dan kota (Todaro, 2000).

Konsep kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan menurut Inpres nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Program Raskin, dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengeluaran keluarga yang terdiri atas 4 anggota keluarga. 1. Golongan sangat miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai dengan 1.900 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.120.000,- per minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.480.000,- per rumah tangga per bulan. 2. Golongan miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai 2.100 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.150.000,- per minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.600.000,- per rumah tangga per bulan. 3. Golongan hampir miskin yaitu mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai dengan 2.300 kalori per hari, yang senilai sampai dengan Rp.175.000,- per minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.700.000,- per rumah tangga per bulan (Asa ad, 2007). Pengeluaran Rumah Tangga Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/ permintaan (demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi

pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BKP, 2010). Pergeseran komposisi dan pola pengeluaran tersebut terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan secara umum rendah, sedangkan elastisitas terhadap kebutuhan bukan makanan relatif tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan, sedangkan sisa pendapatan dapat disimpan sebagai tabungan (saving) atau diinvestasikan (BKP, 2010). Uraian di atas dapat menjelaskan bahwa pola pengeluaran merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan (ekonomi penduduk), sedangkan pergeseran komposisi pengeluaran dapat mengindikasikan perubahan tingkat kesejahteraan penduduk (BKP, 2010). Faktor - faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan rumah tangga miskin: 1. Pendapatan Keluarga Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan dalam jumlah maupun jenisnya. Keluarga atau masyarakat yang berpenghasilan rendah mempergunakan sebagian besar dari penghasilannya untuk membeli makanan, dan semakin tinggi penghasilan semakin menurun proporsi yang digunakan untuk membeli makanan. Rumah tangga yang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan akan berakibat buruk pada status gizi anggota rumah tangganya. Pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi

pangan dimana perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli (Hardiansyah, 1985). Menurut Suhardjo (1989) hubungan pekerjaan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Jelas ada hubungan antara pendapatan dengan gizi yang didorong oleh pendapatan yang meningkat. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Berg (1986) bahwa terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi, dimana peningkatan pendapatan akan memperbaiki kesehatan dan gizi. Namun pengeluaran pangan yang bertambah tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanannya. Orang yang lebih banyak membelanjakan uang yang dimiliki untuk pangan mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu mutu makanannya lebih baik. Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya pendapatan rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta tingkat pendidikannya (Soekirman, 2000). Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan

untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 2000). Pengeluaran rumah tangga sebagai proksi dari pendapatan mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total mengakibatkan konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain apabila pengeluaran total rumah tangga bertambah maka pertambahan tersebut digunakan untuk memenuhi kekurangan konsumsi energi (Arifin dan Sudaryanto,1991). Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan daya beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh tidak terpenuhi (Apriadji, 1986). 2. Tingkat Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan dapat juga dijadikan cerminan keadaan sosial ekonomi di dalam masyarakat (Hidayat, 2005). Semakin tinggi pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang semakin tinggi investasi yang diperlukan. Dan tingkat pendidikan istri, disamping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola makan keluarga. Hidayat (2005) juga berpendapat bahwa pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat perawatan kesehatan, hygiene, kesadaran terhadap keluarga, disamping berpengaruh pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan,

makan dan perumahan. Ibu memegang peranan penting pada pengelolaan rumah tangga. Tingkat pendidikan ibu terutama dapat menentukan sikap pengetahuan dan keterampilannya dalam menentukan makanan keluarga. Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab kekurangan gizi oleh Unicef 1998 tercantum bahwa meski secara tidak langsung namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi. Dari sudut sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Tingkat pendidikan formal seorang ibu seringkali berhubungan positif dengan peningkatan pola konsumsi makanan rumah tangga. Hal ini termasuk upaya mencapai status gizi yang baik pada anakanaknya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita, 2004). 3. Jumlah Anggota Keluarga Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota rumah tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6

bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut, dianggap sebagai anggota rumah tangga (BPS, 2004). Keluarga yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanan apabila anggota keluarganya kecil. Keluarga yang mempunyai jumlah anggota besar apabila persediaan pangan cukup belum tentu dapat mencegah gangguan gizi, karena dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anggota keluarganya berkurang. Sedangkan Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan perkapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Nilai absolut belanja pangan akan meningkat pada jumlah anggota keluarga yang besar tetapi belanja pangan perkapita menurun sejalan dengan ukuran ekonomi yang ada. Pendapatan perkapita menurun dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 juga menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, akan semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein per kapita per hari yang ditunjukkan dengan prevalensi tertinggi pada rumah tangga yang beranggotakan diatas enam orang. 4. Jumlah Beras Raskin yang Diterima Pada 2002, pemerintah mengganti nama OPK (Operasi Pasar Khusus) menjadi Program Raskin agar lebih mencerminkan sifat program, yakni sebagai bagian dari program perlindungan sosial bagi RTM (Rumah Tangga Miskin), tidak lagi sebagai program darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi. Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada 2009 menjadi 15 kg.

Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada 2007 sampai sekarang ini kembali menjadi 12 kali per tahun. Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp. 1600,00/Kg (Netto) (BPS,2004). 5. Jarak Rumah dengan Pasar/ Sumber Pangan Akses fisik pangan dapat berupa jumlah maupun jarak pasar ataupun warung, serta ketersediaan pangan secara fisik di warung/ pasar. Dan tentunya semakin baik/ semakin dekat akses untuk mendapatkan pangan maka semakin kecil juga pengeluaran pangan untuk mendapatkan pangan tersebut ( Anonimous, 2011 ).

Landasan Teori Teori Konsumsi John Maynard Keynes John Maynard Keynes (1969) dalam General Theory nya membuat fungsi konsumsi sebagai pusat fluktuasi ekonominya dan teori itu telah memainkan peran penting dalam analisis makro ekonomi sampai saat ini. Keynes membuat dugaan tentang fungsi ekonomi berdasarkan intropeksi dan observasi kasual. Dugaan pertama Keynes adalah bahwa kecendrungan mengkonsumsi marginal adalah antara nol dan satu. Ia menulis bahwa hukum psikologis fundamental, dengan apa kita dinisbikan untuk tergantung pada keyakinan yang besar adalah bahwa manusia diatur, sebagai peraturan atau berdasarkan rata-rata, untuk meningkatkan konsumsi ketika pendapatan mereka naik, tetapi tidak sebanyak kenaikan dalam pendapatan mereka. Dugaan kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan yang disebut kecendrungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan sehingga ia berharap orang kaya menabung proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin. Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Keynes mengatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori (Nanga, 2001).

Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hipothesis) Teori konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif dikemukakan oleh James Duesenberry dengan bukunya Income, Saving, and the Theory of Consummer Behavior, bermaksud merekonsiliasi hubungan yang tidak proporsional dan yang proporsional antara konsumsi dengan pendapatan dengan maksud agar diperoleh gambaran mengenai alasan sebab- sebab timbulnya perbedaan tersebut. Di dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yang digunakan untuk mengamati faktor- faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi seseorang. a) Selera rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya, pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya (tetangga). Jadi faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi. b) Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya, pola pengeluaran pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan. Di dalam hal ini dikatakan bahwa pengeluaran konsumsi seseorang dalam jangka pendek dapat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan relatif. Pendapatan relatif disini adalah merupakan pendapatan tertinggi yang pernah dicapai oleh seseorang. Sebagai misal, apabila pendapatan seseorang mengalami kenaikan maka secara otomatis konsumsi juga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, dan sebaliknya bila pendapatan mengalami penurunan maka akan diikuti juga oleh penurunan

konsumsinya. Akan tetapi, proporsi penurunannya lebih kecil dibandingkan proporsi akibat kenaikan pendapatan tadi (Waluyo, D. E., 2002). Hukum Engel Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan permintaan yang progresif. Berdasarkan hal tersebut dengan asumsi harga pangan yang dibayar rumah tangga adalah sama, maka menurut hukum Engel pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan. Untuk lebih jelasnya kurva Engel dapat dilihat pada Gambar 1 Berikut ini : Jumlah (X) X 2 X 1 0 M 1 M 2 Pendapatan (M) Gambar 1. Kurva Engel untuk Barang Kebutuhan Pokok Perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan. Bahkan jika pendapatan terus meningkat, permintaan terhadap barang tersebut perubahannya makin kecil dibanding perubahan pendapatan. Jika dikaitkan dengan konsep elastisitas, maka elastisitas pendapatan

dari barang kebutuhan pokok makin kecil bila tingkat pendapatan nominal makin tinggi (Deaton dan Muelbauer, 1980). Kerangka Pemikiran Tingkat kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari seberapa besar rumah tangga tersebut mengeluarkan uang mereka untuk mengkonsumsi kebutuhan makanan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Banyak hal yang dapat mempengaruhi tingkat pengeluaran suatu rumah tangga miskin untuk mengkonsumsi makanan itu sendiri. Beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengeluaran untuk mengkonsumsi pangan itu sendiri dapat kita bagi menjadi dua kelompok yaitu faktor ekonomi ( pendapatan keluarga dan jumlah beras raskin yang diterima) dan faktor sosial (tingkat pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, dan jarak rumah tangga dengan pasar/ sumber pangan). Dengan berorientasi pada faktor-faktor tersebut diatas diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang diperlukan kelak dalam mengurangi tingkat kemiskinan rumah tangga terkhusus di Kecamatan Medan Belawan.

Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut : Rumah Tangga Miskin Faktor Ekonomi : Pendapatan Keluarga Jumlah Beras Raskin yang Diterima Faktor Sosial : Tingkat Pendidikan Ibu Jumlah Anggota Keluarga Jarak Rumah Tangga dengan Pasar/ Sumber Pangan Pengeluaran untuk Konsumsi Pangan Pangsa Pengeluaran Pangan (PP) Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan: : Menyatakan hubungan : Menyatakan pengaruh

Hipotesis Penelitian 1. Faktor pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan Ibu, jumlah anggota keluarga, jumlah beras raskin yang diterima, dan jarak rumah dengan pasar/sumber pangan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Belawan. 2. Pangsa pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga miskin di wilayah penelitian 60 %.