PENERAPAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN HAPPINESS PADA REMAJA PANTI ASUHAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

KEBAHAGIAAN PADA SINGLE MOTHER. Disusun oleh: Ratih Permata Putri Fakultas Psikologi 2016 Pembimbing: Warda Lisa, M.Psi., Psi.

PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI PADA SISWA KELAS XI SMK

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang bahagia. Kebahagiaan menjadi harapan dan cita-cita terbesar bagi setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II LANDASAN TEORI

Pedoman Observasi (Observation Guide) 1. Mengamati dari dekat kondisi lokasi penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. setiap anak. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua anak dapat merasakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

BAYU ADHY TAMA K

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

PEMBERIAN INFORMASI KARIR UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PEMILIHAN PROGRAM JURUSAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. data bersifat kuantitatif statistik, dan bertujuan untuk menguji hipotesis yang telah

BAB II LANDASAN TEORI. Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memiliki kesimpulan sebagai berikut : c) Ada hubungan antara kebahagiaan dengan kepuasan hidup.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. kepekaan dan kepedulian mereka terhadap masalah sosial. Rendahnya

HUBUNGAN PERSEPSI SISWA TERHADAP MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH DENGAN PRESTASI BELAJAR

ALTRUISME DENGAN KEBAHAGIAAN PADA PETUGAS PMI NASKAH PUBLIKASI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai. Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

TINGKAT KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

EFFECTIVENESS OF GROUP COUNSELING SERVICES TO IMPROVE EMOTIONAL INTELLIGENCE

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. positif dengan kepuasan yang tinggi dalam hidup, memiliki tingkat afek positif

PENINGKATAN PENGENDALIAN EMOSI MELALUI BIMBINGAN KELOMPOK PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN AISYIYAH MUHMMADIYAH SUNGAI PENUH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

Oleh : Novita Sari. Fitria Kasih Rahma wira Nita. Mahasiswa Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumatera Barat

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

UPAYA MENINGKATKAN TANGGUNG JAWAB BELAJAR MELALUI KONSELING KELOMPOK REALITA PADA SISWA KELAS VIII SMPN 1 PRAMBON NGANJUK TAHUN PELAJARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebahagiaan yang menjadi tujuan seseorang. Kebahagiaan autentik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEMATANGAN EMOSI DAN PERSEPSI TERHADAP PERNIKAHAN PADA DEWASA AWAL: Studi Korelasi pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan anugerah Tuhan dan juga aset bangsa yang sangat berharga.

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

Transkripsi:

PENERAPAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN HAPPINESS PADA REMAJA PANTI ASUHAN Zainul Anwar Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang zainulanwarumm@yahoo.com Pengasuhan secara masal, seperti halnya panti asuhan membawa dampak tersendiri karena kurang mendapatkan bimbingan pada saat perubahan fisik maupun mental terjadi pada dirinya, sehingga merasa cemas, bingung, tidak percaya diri lebih jauh lagi merasa kurang mendapat kasih sayang, perhatian dan pengawasan, membuat remaja panti asuhan kurang memiliki happiness. Menyimak kondisi tersebut, perlu kiranya dilakukan penanganan terhadap remaja panti asuhan agar memiliki happiness yang lebih baik. Metode yang digunakan yaitu konseling kelompok untuk meningkatkan happiness pada remaja panti asuhan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh konseling kelompok dalam meningkatkan happiness pada remaja panti asuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dan standar deviasi happiness antara pre dan post dapat diketahui bahwa pada saat sebelum diberikan konseling kelompok rata-rata tingkat happiness nya adalah 57,38, sedangkan rata-rata happiness setelah diberikan konseling kelompok adalah 55,00. Oleh karena nilai p-value statistic uji t adalah sebesar 0,503 (p> 0,05), maka kesimpulannya adalah hipotesis ditolak, berarti tidak terdapat pengaruh konseling kelompok terhadap peningkatan happiness pada remaja panti asuhan. Kata kunci: Konseling kelompok, happiness Parenting mass rearing, as well as orphanages bring a disparate impact because the current lack of guidance on the physical and mental changes occur to him, so feel anxious, confused, insecure furthermore feel lack of love, attention and supervision, making teens home care have less happiness. Observing these conditions, it would need to do the handling of juvenile orphanage in order to have a better happiness. The method used is group counseling to increase happiness in adolescents orphanage. The purpose of the study was to determine the effect of group counseling in increasing happiness in adolescents orphanage. The results showed that the mean and standard deviation of happiness between the pre and post can be seen that at the time before being given counseling group average of its happiness level is 57.38, while the average happiness after being given counseling group was 55.00. Because p-value of t test statistic is equal to 0.503 (p> 0.05), then the conclusion is the hypothesis is rejected, meaning there is no effect on the improvement of group counseling on adolescent happiness orphanage. Keywords: Group counseling, happiness 144

Sebuah keluarga yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak, merupakan wadah yang ideal bagi persiapan sosok manusia yang kelak akan melanjutkan tongkat estafet sebuah kehidupan. Keluarga adalah basis yang memberi stabilitas pokok bagi kehidupan manusia dan tempat dimana anak-anak diasuh serta dikembangkannya ketrampilan sosialnya. Namun pada kenyataannya, tidak semua manusia beruntung mendapatkan keluarga yang ideal dalam perjalanan hidupnya. Sebagian dari mereka harus rela terlepas dari rengkuhan orang tuanya. Pertikaian, bencana alam, perceraian, faktor ekonomi dan berbagai faktor lainnya menyebabkan mereka harus menjalani kerasnya kehidupan tanpa orang tua, keluarga dan sanak saudara. Kenyataan tersebut menempatkan panti asuhan menjadi memiliki makna yang mendalam karena di setiap panti asuhan dipertaruhkan masa depan puluhan, ratusan bahkan ribuan anak-anak. Panti asuhan, dua kata sederhana dengan fungsi yang sangat luar biasa atau paling tidak menjadi sebuah terobosan memecahkan permasalahan masa depan bagi anak-anak terlantar, anak-anak tidak mampu serta anak-anak yang berasal dari keluarga yang bermasalah. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1989), panti asuhan merupakan suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang pembangunan nasional. Namun demikian, dalam kenyataannya ternyata menimbulkan berbagai permasalahan psikologis bagi anak panti asuhan, karena banyak kebutuhan-kebutuhan psikologis yang belum terpenuhi seperti kebutuhan rasa aman, kasih sayang, serta harapan yang kabur tentang masa depan, hidup di panti asuhan membuat mereka merasa rendah diri dan pesimis tentang masa depan mereka, karena merasa tidak memiliki kemampuan dan keterampilan seperti remaja yang tinggal dengan orangtua sehingga menimbulkan unhappiness pada remaja panti asuhan. Problematika lain yang membuat munculnya unhappiness remaja yang tinggal dipanti asuhan adalah mereka tidak mendapatkan rasa aman yang seharusnya didapat dari orangtua sebagai kebutuhan, kurangnya stimulasi emosional dan sosial, kurang memiliki kesempatan untuk membina hubungan dengan orang lain, perkembangan persepsi, intelektual dan kognitif yang lambat karena kurangnya fasilitas yang mendukung, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat. Menunjukkan sikap menghindar, menarik diri dan tidak bersahabat terhadap orang lain, karena tidak adanya rasa aman sebagai dasar yang kuat bagi kepercayaan diri dan harga diri, menunjukkan adanya ketergantungan dengan pengasuh, bila remaja tinggal sejak lahir atau sejak kecil di panti asuhan. Pengasuhan secara masal pun membawa dampak yang buruk bagi mereka karena mereka kurang mendapatkan bimbingan pada saat perubahan fisik maupun mental terjadi pada diri mereka, sehingga mereka merasa cemas, bingung, tidak percaya diri lebih jauh lagi merasa kurang mendapat kasih sayang, perhatian dan pengawasan, kurang memperoleh kesempatan melihat sendiri berbagai model dari orangtua atau orang dewasa lainnya yang dijadikan identifikasi dalam pemahaman terhadap dirinya sendiri, apalagi bila pengasuh dalam panti kurang dapat berperan sebagai orangtua atau keluarga pengganti 145

dalam mengantikan fungsi keluarga membuat remaja panti asuhan kurang memiliki happiness dan cenderung bermasalah. Menyimak kondisi tersebut, perlu kiranya dilakukan penanganan terhadap remaja panti asuhan agar memiliki tingkat happiness yang lebih baik. Adapun metode yang digunakan berupa penerapan konseling kelompok untuk meningkatkan happiness pada remaja panti asuhan. Terdapat beberapa hasil penelitian terkait dengan keberhasilan konseling kelompok, seperti penelitian yang mengemukakan bahwa konseling kelompok mampu untuk meningkatkan kepercayaan diri pada siswa SMA, penelitian lain mengemukakan bahwa konseling kelompok mampu untuk meningkatkan harga diri pada remaja putri yang umumnya sangat memperhatikan penampilannya dan menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya (Rouse, 2010). Adapun Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh konseling kelompok dalam meningkatkan happiness pada remaja panti asuhan Happiness Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai oleh individu tersebut. Seligman kemudian membagi emosi positif tersebut menjadi tiga macam yaitu emosi yang diarahkan atau datang dari masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Puas, bangga, dan tenang adalah emosi yang berorientasi pada masa lalu. Optimisme, harapan, kepercayaan, keyakinan dan kepercayaan diri adalah emosi yang berorientasi pada masa depan. Semangat, riang, gembira, ceria serta merujuk pada aktivitas yang disukai merupakan emosi positif yang berasal dari masa sekarang. Happiness atau kebahagiaan menurut Diener dkk (1999) merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah perasaan positif yang berasal dari kualitas keseluruhan hidup manusia yang ditandai dengan adanya kesenangan yang dirasakan oleh seorang individu ketika melakukan sesuatu hal yang disenangi di dalam hidupnya dengan tidak adanya perasaan menderita. Aspek-Aspek Happiness Menurut Seligman (2005) lima aspek utama yang dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati, yaitu : 1. Terjalinnya hubungan positif dengan orang lain Hubungan positif atau positive relationship bukan sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun anak, tetapi dengan menjalin hubungan yang positif dengan individu yang ada disekitar. Status perkawinan dan kepemilikan anak tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang. 2. Keterlibatan Penuh Keterlibatan penuh bukan hanya pada karir, tetapi juga dalam aktivitas lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Dengan melibatkan diri secara penuh, bukan hanya fisik yang beraktivitas, tetapi hati dan pikiran juga turut serta dalam aktivitas tersebut. 146

3. Penemuan makna dalam keseharian Dalam keterlibatan penuh dan hubungan positif dengan orang lain tersirat satu cara lain untuk dapat bahagia, yakni menemukan makna dalam apapun yang dilakukan. 4. Optimisme yang realistis Orang yang optimis ditemukan lebih berbahagia. Mereka tidak mudah cemas karena menjalani hidup dengan penuh harapan. 5. Resiliensi Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang dialami. Melainkan sejauh mana seseorang memiliki resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang tidak menyenangkan sekalipun. Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Kebahagiaan 1. Faktor External Seligman (2005) memberikan delapan faktor eksternal yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang, namun tidak semuanya memiliki pengaruh yang besar. Selain itu, Carr (2004) juga mengemukakan beberapa hal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan. Berikut ini adalah penjabaran dari faktor-faktor eksternal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan seseorang menurut Seligman (2005) yang didukung oleh Carr (2004): a. Uang. Keadaan keuangan yang dimiliki seseorang pada saat tertentu menentukan kebahagiaan yang dirasakannya akibat peningkatan kekayaan. Individu yang menempatkan uang di atas tujuan yang lainnya juga akan cenderung menjadi kurang puas dengan pemasukan dan kehidupannya secara keseluruhan (Seligman, 2005). b. Pernikahan. Pernikahan memiliki dampak yang jauh lebih besar dibanding uang dalam mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Individu yang menikah cenderung lebih bahagia daripada mereka yang tidak menikah (Seligman, 2005). Lebih bahagianya individu yang telah menikah bisa karena pernikahan menyediakan keintiman psikologis dan fisik, konteks untuk memiliki anak, membangun rumah tangga, dan mengafirmasi identitas serta peran sosial sebagai pasangan dan orangtua (Carr, 2004). c. Kehidupan Sosial. Individu yang memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi umumnya memiliki kehidupaan sosial yang memuaskan dan menghabiskan banyak waktu bersosialisasi. Pertemanan yang terjalin juga sebaiknya terbuka antar satu sama lain sehingga berkontribusi terhadap kebahagiaan, karena pertemanan tersedia dukungan sosial dan terpenuhinya kebutuhan akan affiliasi (Carr, 2004). Mempertahankan beberapa hubungan dekat dipercayai telah ditemukan berkorelasi dengan kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif (Argyle, 2001, 2000 dalam Carr, 2004). d. Kesehatan. Kesehatan yang dapat berpengaruh terhadap kebahagiaan adalah kesehatan yang dipersepsikan oleh individu (kesehatan subjektif), bukan kesehatan yang sebenarnya dimiliki (kesehatan obyektif) (Seligman, 2005; Carr, 2004). e. Agama. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang religius lebih bahagia dan lebih puas dengan kehidupannya dibandingkan individu yang tidak religius. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, efek psikologis yang ditimbulkan oleh religiusitas cenderung positif, mereka yang religius memiliki tingkat penyalahgunaan obat-obatan, kejahatan, perceraian dan bunuh diri yang rendah. Kedua, adanya keuntungan emosional dari agama berupa dukungan sosial dari 147

mereka yang bersama-sama membentuk kelompok agama yang simpatik. Ketiga, agama sering dihubungkan dengan karakteristik gaya hidup sehat secara fisik dan psikologis dalam kesetiaan perkawinan, perilaku prososial, makan dan minum secara teratur, dan komitmen untuk bekerja keras (dalam Carr, 2004) f. Emosi Positif. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Norman Bradburn (dalam Seligman, 2005) diketahui bahwa individu yang mengalami banyak emosi negatif akan mengalami sedikit emosi positif, dan sebaliknya Lafreniere (1999) menyatakan bahwa emosi positif merupakan emosi yang dikehendaki seseorang, seperti a) Gembira; kegembiraan, keriangan dan kesenangan timbul akibat rangsangan seperti keadaan fisik yang sehat atau keberhasilan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada berbagai macam ekspresi kegembiraan, dari yang tenang sampai meluap-luap. Seiring dengan bertambahnya usia, lingkungan sosial akan memaksa individu untuk mampu mengendalikan ekspresi kegembiraannya agar dapat dikatakan dewasa atau matang b). Rasa ingin tahu; rangsangan yang menimbulkan emosi ingin tahu sangat banyak. Contohnya sesuatu hal yang aneh dan baru akan menyebabkan seseorang berusaha mencari tahu hal tersebut. c). Cinta; perasaan yang melibatkan rasa kasih sayang baik terhadap benda maupun manusia. d). Bangga; suatu perasaan yang dapat meningkatkan identitas ego seseorang misalnya dengan cara berhasil mencapai sesuatu yang bernilai atau dapat mewujudkan keinginan, seperti meraih prestasi (Lewis dalam Lafreniere, 1999). g. Usia. Sebuah studi mengenai kebahagiaan terhadap 60.000 orang dewasa di 40 negara membagi kebahagiaan ke dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek menyenangkan, dan afek tidak menyenangkan. Kepuasan hidup yang meningkat perlahan seiring dengan usia, afek menyenangkan menurun sedikit, dan afek tidak menyenangkan tidak berubah (Seligman, 2005). h. Pendidikan, Iklim, Ras dan Gender. Keempat hal ini memiliki pengaruh yang tidak cukup besar terhadap tingkat kebahagiaan seseorang. Pendidikan dapat sedikit meningkatkan kebahagiaan pada mereka yang berpenghasilan rendah karena pendidikan merupakan sarana untuk mencapai pendapatan yang lebih baik. Iklim di daerah dimana seseorang tinggal dan ras juga tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan. Sedangkan jender, antara pria dan wanita tidak terdapat perbedaan pada keadaan emosinya, namun ini karena wanita cenderung lebih bahagia sekaligus lebih sedih dibandingkan pria (Seligman, 2002) i. Produktivitas Pekerjaan. Carr (2004) menyatakan bahwa individu yang bekerja cenderung lebih bahagia daripada yang menganggur, terutama jika tujuan yang dicapai merupakan tujuan yang memiliki nilai tinggi bagi individu. Hal ini disebabkan oleh adanya stimulasi menyenangkan, terpuasnya rasa keingintahuan dan pengembangan keterampilan, dukungan sosial, serta identitas diri yang didapat dari pekerjaan (Carr, 2004). 2. Faktor Internal Menurut Seligman (2005), terdapat tiga faktor internal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan, yaitu kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang. Ketiga hal tersebut tidak selalu dirasakan secara bersamaan, seseorang bisa saja bangga dan puas dengan masa lalunya namun merasa getir dan pesimis terhadap masa sekarang dan yang akan datang. a. Kepuasan Terhadap Masa Lalu. Kepuasan terhadap masa lalu dapat dicapai melalui tiga cara, pertama melepaskan pandangan masa lalu sebagai penentu 148

masa depan seseorang. Kedua, Gratitude (bersyukur) terhadap hal-hal baik dalam hidup akan meningkatkan kenangan-kenangan positif, dan ketiga Forgiving dan forgetting (memaafkan dan melupakan). Perasaan seseorang terhadap masa lalu tergantung sepenuhnya pada ingatan yang dimilikinya. Salah satu cara untuk menghilangkan emosi negatif mengenai masa lalu adalah dengan memaafkan. Defenisi memaafkan menurut Affinito (dalam Seligman, 2005) adalah memutuskan untuk tidak menghukum pihak yang menurut seseorang telah berlaku tidak adil padanya, bertindak sesuai dengan keputusan tersebut dan mengalami kelegaan emosi setelahnya. Memaafkan dapat menurunkan stress dan meningkatkan kemungkinan terciptanya kepuasan hidup. b. Optimisme Terhadap Masa Depan. Optimisme didefinisikan sebagai ekspektasi secara umum bahwa akan terjadi lebih banyak hal baik dibandingkan hal buruk di masa yang akan datang (Carr, 2004). c. Kebahagiaan Masa Sekarang. Kebahagiaan masa sekarang melibatkan dua hal, yaitu pertama Pleasure merupakan kesenangan yang memiliki komponen sensori dan emosional yang kuat, sifatnya sementara dan melibatkan sedikit pemikiran. Pleasure terbagi menjadi dua, yaitu bodily pleasures yang didapat melalui indera dan sensori, dan higher pleasures yang didapat melalui aktivitas yang lebih kompleks. Ada tiga hal yang dapat meningkatkan kebahagiaan sementara, yaitu menghindari habituasi dengan cara memberi selang waktu cukup panjang antar kejadian menyenangkan; savoring (menikmati) yaitu menyadari dan dengan sengaja memperhatikan sebuah kenikmatan; serta mindfulness (kecermatan) yaitu mencermati dan menjalani segala pengalaman dengan tidak terburu buru dan melalui perspektif yang berbeda, dan kedua yaitu Gratification yaitu kegiatan yang sangat disukai oleh seseorang namun tidak selalu melibatkan perasaan tertentu, dan durasinya lebih lama dibandingkan pleasure, kegiatan yang memunculkan gratifikasi umumnya memiliki komponen seperti menantang, membutuhkan keterampilan dan konsentrasi, bertujuan, ada umpan balik langsung, pelaku tenggelam di dalamnya, ada pengendaian, kesadaran diri pupus, dan waktu seolah berhenti. Konseling Kelompok Konseling kelompok (group counseling) merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar. Konseling kelompok pada hakekatnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika kelompok (group dynamic). Sedangkan menguraikan bahwa konseling kelompok merupakan suatu proses interpersonal yang dinamis, memusatkan pada usaha dalam berpikir dan bertingkah laku, serta melibatkan pada fungsi-fungsi terapi yang dimungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenyataan, membersihkan jiwa, saling percaya mempercayai, pemeliharaan, pengertian, penerimaan dan bantuan. Klien-klien konseling kelompok menggunakan interaksi kelompok untuk meningkatkan pengertian dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan tertentu dan untuk mempelajari atau menghilangkan sikap-sikap serta perilaku tertentu (Gazda, 1989; Latipun, 2005). Konseling kelompok memiliki struktur yang sama dengan terapi kelompok pada umumnya. Struktur kelompok yang dimaksud menyangkut orang yang terlibat dalam kelompok, jumlah orang yang menjadi partisipan, banyak waktu yang diperlukan bagi suatu terapi kelompok, dan sifat kelompok (Corey, 1995; Gazda, 1989; Ohlsen, 1977; dan Yalom, 1977; dalam Latipun, 2005). Konseling kelompok dilaksanakan secara 149

bertahap. Terdapat enam tahap dalam konseling kelompok, yaitu tahap pembentukan kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, serta tahap evaluasi dan tindak lanjut (Corey, 1995; Yalom, 1977; dalam Latipun, 2005). Hipotesa Berdasarkan kajian teori dan fenomena yang ada, dapat dibuat hipotesis bahwa konseling kelompok dapat meningkatkan happiness pada remaja panti asuhan. Rancangan Penelitian METODE PENELITIAN Rancangan penelitian menggunakan metode eksperimental. Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan manipulasi yang diamati. Manipulasi yang digunakan dapat berupa situasi atau tindakan tertentu yang diberikan kepada individu atau kelompok, dan setelah itu dilihat pengaruhnya. Jenis desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu desain within-subject atau within participant. Desain within subject menggunakan kontrol kondisi dengan memberikan urutan pemberian (variabel bebas) yang berbeda. Dalam eksperimen ini, menggunakan satu kelompok subjek, maka jumlah subjek yang digunakan pada desain within-subject lebih sedikit dibandingkan between subject. Pretest-Posttest Design. Pada desain ini, di awal penelitian, dilakukan pengukuran terhadap variable terikat yang telah dimiliki subjek. Setelah diberikan manipulasi, dilakukan pengukuran kembali terhadap variable terikat dengan alat ukur yang sama. Di mulai dari pengukuran, manipulasi, kemudian pengukuran kembali. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah remaja panti asuhan. Dalam pengambilan subjek digunakan teknik purposive sampling dengan mempertimbangkan karakteristik dari sifat sampel, yaitu berusia remaja dan tinggal di panti asuhan. Subjek penelitian ditentukan dengan pemberian skala Authentic Happiness yang bertujuan untuk mengetahui tingkat happiness pada remaja panti asuhan. Variabel dan Instrumen Penelitian Variabel bebas berupa konseling kelompok, merupakan pemberian intervensi dengan pendekatan kelompok. sedangkan variabel terikat yaitu happiness dan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah berupa skala Authentic Happines yang merupakan hasil adaptasi Authentic Happiness Questionnaire dari hak cipta Christopher Peterson dan Seligman. Skala happiness ini berfungsi sebagai pengukuran sejauh mana tingkat happiness pada subjek penelitian. Perangsangnya adalah pernyataan respon yang diharapkan diberikan oleh subjek berupa kondisi sangat positif dan sangat negatif dalam variasi A (sangat negatif), B (negatif), C (netral), D (positif), E (sangat positif). Jumlah keseluruhan itemnya adalah 24 item dan masing-masing kategori menggambarkan manifestasi yang spesifik. Pada setiap pernyataan dalam satu kategori telah dituliskan bobot masing-masing pernyataan berupa pilihan jawaban A, B, C, D, dan E. Pada masing-masing pilihan jawaban telah ditentukan rentangan skor dalam lima kategori. Sehingga indikator yang menjadi tolak ukur untuk dijadikan skala sebagai alat untuk mengungkap rumusan 150

masalah dalam penelitian ini adalah a) kepuasan akan masa lalu, b) kebanggaan atau penghargaan terhadap diri dan kenikmatan atau gratifikasi masa sekarang, c) optimisme dan tujuan serta makna hidup akan masa depan. Prosedur dan Analisa Data Penelitian Penelitian ini diawali dengan screening subjek dengan memberikan skala happiness, kemudian menentukan skor skala happiness dan subjek penelitian yang memiliki skor rendah dari skala happiness. Selanjutnya dilakukan konseling kelompok yang terdiri dari empat tahapan yaitu tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja kohesi dan produktivitas, dan tahap terakhir yaitu konsolidasi dan terminasi. Setelah dilakukan konseling kelompok, tahap berikutnya adalah memberikan kembali skala happiness untuk mengukur apakah ada perbedaan yang terjadi setelah pemberian intervensi konseling kelompok dengan hasil pre-test diawal pelaksanaan. Analisa data yang digunakan, yaitu paired sample t-test merupakan prosedur yang digunakan untuk membandingkan dua variabel dalam satu group, artinya analisis ini berguna untuk melakukan pengujiian terhadap dua sampel yang berhubungan atau dua sampel berpasangan. Analisis ini digunakan untuk melihat pengaruh dari Variabel bebas yaitu konseling kelompok terhadap Variabel terikat yaitu Happiness. HASIL PENELITIAN Subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian awalnya sebanyak 10 remaja, kemudian terdapat 2 remaja yang mengundurkan diri, sehingga tinggal 8 remaja panti asuhan yang menjadi subjek penelitian yang terdiri dari 3 remaja yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama, dan 5 remaja berpendidikan Sekolah Menengah Atas. Semua subjek berkisar usia antara 12 16 tahun dengan jenis kelamin perempuan semua. Hasil analisa menunjukkan bahwa rata-rata dan standar deviasi tingkat happiness antara pre dan post dapat diketahui bahwa pada saat sebelum diberikan konseling kelompok rata-rata tingkat happiness nya adalah 57,38, sedangkan rata-rata happiness setelah diberikan konseling kelompok adalah 55,00. Oleh karena nilai p-value statistic uji t adalah sebesar 0,503 (p> 0,05), maka kesimpulannya adalah hipotesis ditolak. Hal tersebut berarti tidak terdapat pengaruh konseling kelompok terhadap peningkatan happiness pada remaja panti asuhan. Data ini menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan happiness pada remaja panti asuhan setelah diberikan perlakuan berupa konseling kelompok. DISKUSI Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada pengaruh untuk meningkatkan happiness remaja panti asuhan dengan menggunakan konseling kelompok. Hasil analisis untuk perbedaan skor pre-test dan post-test subjek adalah nilai beda (t) sebesar 0,706 dengan p=0,503(p>0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada skor subjek antara skor pre-test dengan post-test, walaupun tidak terdapat perbedaan skor yang signifikan pada skor subjek antara sebelum dan setelah dilakukannya konseling kelompok, namun terjadi penurunan nilai rerata skala happiness pada skor pre-test dan post-test dari 57,4 menjadi 55 pada rerata post-test setelah dilakukannya konseling kelompok. Berdasarkan hasil analisis, maka hipotesa penelitian ditolak, yaitu penerapan 151

konseling kelompok untuk meningkatkan happiness pada remaja panti asuhan tidak memiliki pengaruh. Happiness merupakan keadaan dimana seseorang lebih banyak merasakan emosi dan pikiran positif berupa kepuasan akan masa lalunya, merasa senang, nyaman dan menikmati hidupnya sekarang serta memiliki tujuan dan makna hidup untuk masa depan. Aristoteles yang dikuti oleh Adler (2003) menguraikan bahwa happiness atau kebahagiaan berasal dari kata happy atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having agood time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Sedangkan Biswas, Diener dan Dean (2007) menjelaskan bahwa kualitas dari keseluruhan hidup manusia, apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan, seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi, ataupun pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah perasaan positif yang berasal dari kualitas keseluruhan hidup manusia yang ditandai dengan adanya kesenangan yang dirasakan oleh seorang individu ketika melakukan sesuatu hal yang disenangi didalam hidupnya dengan tidak adanya perasaan menderita. Sedangkan konseling kelompok adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu dalam suasana kelompok agar mampu menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang sedang dihadapi dengan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki secara optimal. Berdasarkan tahapan proses konseling yang telah dilakukan kepada para subjek, menunjukkan bahwa latarbelakang keluarga dengan berbagai permasalahan ekonomi, social, pendidikan, dan budaya yang ada menyebabkan para subjek memiliki keengganan dalam menyampaikan pengalaman, isi pikiran, maupun pendapatnya. Namun demikian, seiring dengan adanya intensitas bertemu konselor dan suasana yang mendukung sehingga para subjek menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan isi pikirannya. Tidak adanya pengaruh konseling kelompok terhadap peningkatan happiness pada remaja panti asuhan secara teoritis memang belum ada hasil penelitian yang sejenis, namun terdapat penelitian tentang adanya pengaruh konseling kelompok terhadap peningkatan penyesuaian diri dan resiliensi pada remaja, yaitu adanya peningkatan penyesuaian diri dan resiliensi pada remaja melalui konseling kelompok (Mahfudah, 2005; Nurdian & Anwar, 2014). Banyak faktor yang mempengaruhi happiness, Seligman (2005) menguraikan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi happiness, seperti budaya, kehidupan sosial, agama atau religiusitas, pernikahan, usia, uang, kesehatan, jenis kelamin. Faktor-faktor tersebut juga berpengaruh terhadap subjek sehingga sangat mungkin tidak adanya pengaruh dalam konseling kelompok untuk meningkatkan happiness karena terlalu kompleknya variabel yang mempengaruhi happiness. Selain itu, makna happiness bagi remaja juga masih belum jelas sehingga sangat mungkin pemahaman akan kebagahiaan masih dalam proses pemahaman. SIMPULAN DAN IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak, artinya tidak ada pengaruh penerapan konseling kelompok untuk meningkatkan happiness pada remaja panti asuhan. Adapun nilai beda (t) sebesar 0,706 dengan p=0,503(p>0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada skor subjek antara 152

skor pre-test dengan post-test. Sedangkan implikasi dari penelitian yaitu penggunaan konseling kelompok pada remaja, khususnya remaja panti asuhan tidak selalu memberikan pengaruh, terutama variable terikat yang memiliki banyak pengaruh pada diri remaja, seperti halnya happinees. REFERENSI Carr, A. (2004). Positive psychology the science of happiness and human strengths. New York. Desmita, (2006), Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Diener, dkk (1999). Subjective Well-being: There Decades of Progress, Psychological Bulletin, 125, (2), 276-302 Janiati, Dhika Dwi (2010) Psikodrama untuk Meningkatkan Happiness Pada Remaja yang tinggal di Panti Asuhan, Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang Latipun. (2005). Psikologi konseling. Malang: UMM Press Mahfudzoh, D. (2005) Keefektifan Konseling Kelompok dalam Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa Di SMA Teuku Umar Semarang. Skripsi Jurusan Bimbingan & Konseling. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang Monks,(1991). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurdian D. M, Anwar Z., (2014) Konseling Kelompok Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Remaja Penyandang Cacat Fisik (Difable). Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2 (1), 36 49. Rouse, M. L. (2010), Building self-esteem of female youth in group counseling: a review of literature and practice. Graduate Journal of Counseling Psychology, 2 (1), 4. Santrock, J. W. (2003). Adolecence (perkembangan Remaja). Erlangga: Jakarta Seligman, M. E. P. (2005). Authentic happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Alih Bahasa: Eva Yulia Nukman. Bandung: PT. Mizan Pustaka. 153