DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1

dokumen-dokumen yang mirip
PROFIL INDUSTRI BAJA

HILIRISASI PEMBANGUNAN INDUSTRI BERBASIS MINERAL TAMBANG

HILIRISASI PEMBANGUNAN INDUSTRI BERBASIS MINERAL TAMBANG

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi saat ini, pertumbuhan industri dunia yang mencapai

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. ada baru mampu memproduksi 4 juta ton per tahun.

BAB I PENDAHULUAN. sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual

BAB III PROFIL PERUSAHAAN

Konsumsi Baja per Kapita Tahun 2014

Prospek PT Inalum Pasca Pengambilalihan oleh Pemerintah. Oleh: Hilman Qomarsono 1

BAB I PENDAHULUAN. Hasil tambang baik mineral maupun batubara merupakan sumber

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

Uraian Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ Edisi April/I/2018

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Neraca kebutuhan aluminium ingot (batangan) di dalam negeri hingga kini

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI DESEMBER 2014

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Baja dan Paduannya 1.1 Proses Pembuatan Baja

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI MARET 2014

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND BULAN : JANUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. industri adalah baja tahan karat (stainless steel). Bila kita lihat di sekeliling kita

Analisis Perkembangan Industri

PETA PANDUAN (Road Map) Tahun

NEURAL NETWORK PREDIKSI INDUSTRI HILIR ALUMINIUM UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH (PT INALUM ASAHAN)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

Kajian SUPPLY DEMAND MINERAL

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. boehmite, diaspore, dan lain-lain). Sulit menemukan Aluminium murni di

Nabila Dyah Anggraini (11/312797/TK/37649) 1 Devi Swasti Prabasiwi (11/319052/TK/38187)

BAB I: PENDAHULUAN. dengan negara lain, seperti Filipina yang mencapai 72 kg/kapita, Malaysia sudah

BAB V GAMBARAN UMUM NEGARA-NEGARA TUJUAN EKSPOR. tersebut juga menjadi tujuan ekspor utama bagi Indonesia.

BAB V ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PENGARAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA FORUM DIALOG DENGAN PIMPINAN REDAKSI JAKARTA, 30 JUNI 2015

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perbedaan Keramik Konvensional dengan Advanced Ceramics Karakteristik Konvensional Advanced Temperatur maksimal C

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI SEPTEMBER 2015

Market Brief. Peluang Produk Sepeda di Jerman. ITPC Hamburg

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

Ekspor Bulan Juni 2014 Menguat. Kementerian Perdagangan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Baja merupakan bahan baku penting dalam proses industri sehingga

KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Jakarta, Mei 2010

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ekonomi nasional. Hasil analisis lingkungan industri menunjukkan bahwa industri

BAB VI L O G A M 6.1. PRODUKSI LOGAM

aluminium dari kebanyakan bahan itu masih belum ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem perdagangan dunia di samping isu lingkungan, produk bersih, HAM, pekerja anak, dan pengupahan (Ramli, 2010).

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

RINGKASAN LAPORAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN BULAN JULI 2011

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JUNI 2015

BAB III DAYA SAING INDUSTRI OTOMOTIF INDONESIA, PELUANG DAN TANTANGANYA

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 2011

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

Kinerja Ekspor Nonmigas November 2010 Memperkuat Optimisme Pencapaian Target Ekspor 2010

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU JUNI 2011

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 591 /PMK.010/2004 TENTANG

Kontribusi Ekonomi Nasional Industri Ekstraktif *) Sekretariat EITI

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB)

I. PENDAHULUAN. 26, Unsur ini mempunyai isotop alam: Al-27. Sebuah isomer dari Al-26

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR JAWA TIMUR JULI 2017

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGAH

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA BULAN FEBRUARI 2002

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

FGD PENYELARASAN ROADMAP INDUSTRI DAN PASAR BAJA NASIONAL

1. Fabrikasi Struktur Baja

Market Brief. Beras di Jerman

Metode Evaluasi dan Penilaian. Audio/Video. Web. Soal-Tugas. a. Writing exam skor: 0-100(PAN)

PERAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DALAM MENDORONG INOVASI PRODUK DI INDUSTRI PULP DAN KERTAS

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JULI 2014

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR JAWA TIMUR DESEMBER 2016

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak tambang mineral yang

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification)

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

Soal-soal Open Ended Bidang Kimia

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI PAPUA BULAN APRIL 2017*

BERITA RESMI STATISTIK

Transkripsi:

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 DAFTAR GAMBAR... 4 DAFTAR TABEL... 6 KATA PENGANTAR... 8 1. PENDAHULUAN... 1-1 1.1 Latar Belakang... 1-1 1.2 Maksud dan Tujuan... 1-3 1.3 Sasaran Kajian... 1-3 1.4 Hasil yang Diharapkan dari Kajian... 1-3 1.5 Sistematika Penulisan... 1-3 2. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL... 2-1 2.1 Produk Logam... 2-1 2.1.1 Baja... 2-2 2.1.2 Aluminium...2-7 2.1.3 Tembaga... 2-13 2.2 Produksi Logam Nasional... 2-18 2.2.1 Baja... 2-19 2.2.2 Aluminium... 2-22 2.2.3 Tembaga... 2-25 2.3 Konsumsi Produk Logam Nasional... 2-26 2.3.1 Baja... 2-27 2.3.2 Aluminium... 2-29 DAFTAR ISI 1

2.3.3 Tembaga... 2-32 2.4 Ekspor dan Impor Produk Logam Nasional...2-33 2.4.1 Data Top 10 Ekspor dan Impor HS10 Digit... 2-34 2.4.2 Data TOP 10 Ekspor dan Impor Logam HS10 Digit... 2-37 2.4.3 Perbandingan Ekspor - Impor HS10 Digit...2-38 2.5 Perkembangan Industri Logam di Luar Negeri... 2-40 2.5.1 Baja... 2-40 2.5.2 Aluminium... 2-43 2.5.3 Tembaga... 2-45 2.6 Perkembangan Investasi dan Tenaga Kerja Industri Logam Nasional... 2-48 2.6.1 Lingkungan Hidup... 2-48 2.6.2 Energi...2-50 2.6.3 Globalisasi... 2-52 3. SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL... 3-1 3.1 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Logam... 3-1 3.1.1 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Nasional... 3-1 3.1.2 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Baja... 3-2 3.1.3 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Non Ferro... 3-5 3.2 Industri Logam Sebagai Pendukung Driver Sektor Industri... 3-6 3.3 Kedalaman Struktur Industri Logam Saat Ini... 3-7 3.3.1 Kedalaman Struktur Industri Baja...3-7 3.3.2 Kedalaman Struktur Industri Logam Non Ferro... 3-9 3.4 Kekuatan dan Kelemahan Industri Logam Nasional... 3-12 3.4.1 Kekuatan dan Kelemahan Industri Baja... 3-12 3.4.2 Kekuatan dan Kelemahan Industri Alumunium... 3-14 3.4.3 Kekuatan dan Kelemahan Industri Tembaga... 3-16 4. PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL... 4-1 4.1 Peluang bagi Industri Logam Nasional... 4-1 4.1.1 Bilateral... 4-1 4.1.2 Regional... 4-7 4.1.3 Multilateral... 4-19 4.2 Ancaman bagi Industri Logam Nasional... 4-21 4.2.1 Bilateral... 4-21 4.2.2 Regional... 4-22 4.2.3 Multilateral... 4-23 5. ANALISIS DAN REKOMENDASI PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL.. 5-1 5.1 Analisis... 5-1 5.1.1 Daya Saing... 5-1 2 DAFTAR ISI

5.1.2 Kedalaman Struktur Industri... 5-17 5.1.3 Kebijakan Pengembangan Industri... 5-21 5.2 Rekomendasi... 5-32 5.2.1 Daya Saing... 5-32 5.2.2 Kedalaman Struktur... 5-32 5.2.3 Kebijakan Pengembangan Industri... 5-33 DAFTAR PUSTAKA...A LAMPIRAN... C DAFTAR ISI 3

DAFTAR GAMBAR Gambar 2-1 Beberapa Contoh Jenis Baja dan Penggunaannya... 2-3 Gambar 2-2 Skema Pohon Industri Baja... 2-3 Gambar 2-3 Proses Blast Furnace... 2-5 Gambar 2-4 Blast Furnace... 2-5 Gambar 2-5 Proses Besi Spons... 2-6 Gambar 2-6 Pohon Industri Aluminium... 2-8 Gambar 2-7 Pohon Industri Aluminium... 2-8 Gambar 2-8 PT INALUM... 2-9 Gambar 2-9 Proses Pengolahan Aluminium... 2-11 Gambar 2-10 Beberapa Contoh Produk Hasi Die Casting... 2-12 Gambar 2-11 Penggunaan Aluminium Ekstrusi... 2-13 Gambar 2-12 Contoh Produk Tembaga...2-14 Gambar 2-13 Pohon Industri Tembaga... 2-15 Gambar 2-14 Skema Pohon Industri Tembaga... 2-15 Gambar 2-15 Proses Produksi Tembaga PT Smelting... 2-16 Gambar 2-16 Beberapa Contoh Produk Berbahan Dasar Tembaga... 2-17 Gambar 2-17 Market Share Aluminium Dalam Negeri... 2-22 Gambar 2-18 PT Smelting... 2-25 Gambar 2-19 Produksi Tahunan Katoda Tembaga... 2-26 Gambar 2-20 Gambar Konsumsi Produk Baja Negara-negara ASEAN... 2-27 4 DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-21 Konsumsi Per Kapita... 2-28 Gambar 2-22 Konsumsi Produk Logam Baja dalam Negeri... 2-29 Gambar 2-23 Perbandingan Konsumsi Perkapita Logam Aluminium Indonesia dan Negara lainnya. 2-30 Gambar 2-24 Produksi dan Permintaan Cooper Cathode PT Smelting... 2-33 Gambar 2-25 Penjualan Cooper Cathode... 2-33 Gambar 3-1 Bangun Industri Nasional (sumber: Kementerian Perindustrian)... 3-2 Gambar 3-2 Pohon Industri Baja... 3-8 Gambar 3-3 Pohon Industri Alumunium... 3-10 Gambar 3-4 Struktur Industri Alumunium Indonesia tahun 2008... 3-11 Gambar 3-5 Pohon Industri Tembaga... 3-12 DAFTAR GAMBAR 5

DAFTAR TABEL Tabel 2-1 Gambaran Industri Logam Nasional... 2-2 Tabel 2-2 Kelompok Industri Hulu... 2-4 Tabel 2-3 Kelompok Industri Antara... 2-4 Tabel 2-4 Kelompok Industri Hilir... 2-4 Tabel 2-5 Kelompok Unwrought Aluminum (aluminium bukan tempaan)... 2-9 Tabel 2-6 Kelompok Industri Antara... 2-9 Tabel 2-7 Kelompok Industri Hilir... 2-9 Tabel 2-8 Pemenuhan Bahan Baku Aluminium... 2-11 Tabel 2-9 Kelompok Industri Hulu Tembaga... 2-16 Tabel 2-10 Kelompok Industri Antara... 2-16 Tabel 2-11 Kelompok Industri Hilir... 2-16 Tabel 2-12 Produksi Logam (dalam ribu ton)... 2-18 Tabel 2-13 Produksi Non Ferro (dalam ribu ton)... 2-18 Tabel 2-14 Perbandingan Sebelum dan Setelah Globalisasi Produksi... 2-19 Tabel 2-15 Prediksi Peningkatan Permintaan Aluminium Dalam Negeri... 2-23 Tabel 2-16 Permintaan Domestik atas Aluminium... 2-30 Tabel 2-17 Data TOP 10 Ekspor HS 72-73... 2-34 Tabel 2-18 Data TOP 10 Ekspor HS 74... 2-34 Tabel 2-19 Data TOP 10 Ekspor HS 76... 2-35 Tabel 2-20 Data TOP 10 Impor HS 72-73... 2-36 6 DAFTAR TABEL

Tabel 2-21 Data TOP 10 Impor HS 74... 2-36 Tabel 2-22 Data TOP 10 Impor HS 76... 2-37 Tabel 2-23 TOP 10 Ekspor HS 72, 73, 74 dan 76 tahun 2009... 2-37 Tabel 2-24 TOP 10 Impor HS 72, 73, 74 dan 76 tahun 2009... 2-38 Tabel 2-25 Data dan Perbandingan Ekspor HS10 Digit tahun 2009... 2-38 Tabel 2-26 Perbandingan Impor HS10 Digit tahun 2009... 2-39 Tabel 2-27 Perusahaan Baja Dunia... 2-40 Tabel 2-28 Negara Eksportir Baja Teratas Tahun 2006... 2-42 Tabel 2-29 Top Eksportir Baja Bersih Tahun 2006... 2-42 Tabel 2-30 Daftar Perusahaan Penghasil Aluminium Terbanyak di Dunia... 2-43 Tabel 2-31... 2-44 Tabel 2-32 Perusahaan Tambang Berdasarkan Kapasitas, 2006... 2-45 Tabel 2-33 Dua puluh Perusahaan Smelter Dunia... 2-46 Tabel 3-1 Rencana Aksi Industri Baja (sumber: Peraturan Menteri Perindustrian No. 103/M- IND/PER/10/2009)... 3-2 Tabel 3-2 Industri Logam Pendukung ke-3 Driver Sektor Industri... 3-7 Tabel 4-1... 4-4 Tabel 5-1 Ekspor, Impor dan ISP Produk Besi Baja Berdasarkan Kelompok Tahun 2004-2008... 5-2 Tabel 5-2 Ekspor dan ISP HRC/P Pada HS 10 Digit Tahun 2005-2008... 5-3 Tabel 5-3 Volume, Nilai Ekspor,Impor dan Harga Satuan Produk Baja Tahun 2006... 5-5 Tabel 5-4 Ekspor, Impor dan ISP Produk Alumunium Berdasarkan Kelompok... 5-6 Tabel 5-5 Ekspor, ISP Produk Alumunium Sheet Pada HS 10 Digit Tahun 2005-2008... 5-7 Tabel 5-6 Ekspor, ISP Al-Batangan Pada HS 10 Digit Tahun 2005-2008... 5-9 Tabel 5-7 Volume, Nilai Ekspor,Impor dan Harga Satuan Produk Alumunium Tahun 2006... 5-10 Tabel 5-8 Ekspor, Impor dan ISP Produk Tembaga Berdasarkan Kelompok Tahun 2004-2008... 5-11 Tabel 5-9 Ekspor dan ISP Tembaga Lembaran Pada HS 10 Digit Tahun 2005-2008... 5-12 Tabel 5-10 Volume, Nilai Ekspor,Impor dan Harga Satuan Produk Tembaga Tahun 2006...5-15 Tabel 5-11 Struktur Tarif Bea Masuk Produk Logam Tahun 2009... 5-19 Tabel 5-12 Program Penurunan Tarif/Harmonisasi Tarif Bea Masuk... 5-26 DAFTAR TABEL 7

KATA PENGANTAR D i tengah krisis global saat ini, relasi yang harmonis dan simetris antar negara menjadi sebuah keniscayaan dan keharusan. Hubungan persahabatan yang erat antara Indonesia Jepang terutama melalui sejarah panjang pertalian - ekonomi-sosial-budaya telah menjadi faktor yang cukup penting bagi kedua negara. Jepang menduduki rangking pertama dalam besarnya investasi negara-negara asing ke Indonesia. Akan tetapi dilihat dari total investasi Jepang ke luar negeri Jepang, Indonesia cuma menempati urutan ke-9 saja. Namun, menurut catatan-catatan yang ada, jumlah investasi Jepang di Indonesia perioda belakangan ini terus mengalami penurunan. Sudah cukup banyak Investor Jepang banyak yang hijrah ke Malaysia, Vietnam, Thailand dan Cina. Sementara jumlah investasi perusahaan Indonesia di Jepang kenyataannya adalah yang paling kecil dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kondisi ini diantaranya ketidakstabilan politik dan keamanan; lemahnya kepastian hukum; intensitas unjuk rasa buruh; buruknya infrastruktur; kebijakan pajak dan korupsi. Meskipun sesungguhnya ada juga beberapa faktor signifikan yang ditengarai akan mampu mempertahankan hubungan Indonesia Jepang seperti catatan historis hubungan antara kedua negara; jumlah penduduk dan besarnya potensi pasar di Indonesia, serta upaya untuk menanamkan/mempertahankan pengaruh Jepang di Asia; isu pentingnya stabilitas keamanan Selat Malaka, dimana 80 persen kebutuhan energi Jepang didistribusikan melalui selat ini; faktor kekayaan alam Indonesia. 8 KATA PENGANTAR

Pemerintah Indonesia saat ini terus mendorong perbaikan kinerja hubungan bilateral Indonesia Jepang melalui kegiatan implementasi EPA yang telah disepakati. Dari kajian internal Tim IJEPA DEPPERIN diperkirakan potensi kesempatan bisnis yang akan tercipta melalui implementasi EPA bisa mencapai US $ 65 milyar pada tahun 2012 (dengan catatan/asumsi tanpa ada gejolak perekonomian global ). Selain daripada itu kegiatan implementasi EPA juga memiliki peluang kerjasama bilateral yang prospektif. dimana melalui kesepakatan pilar liberalisasi pasar, kedua negara sepakat untuk menghapuskan beberapa hambatan tarif seperti penghapusan tarif produk kehutanan, udang dan hampir semua produk industri Indonesia. Sebaliknya, Indonesia juga sepakat untuk menghapuskan tarif untuk berbagai produk industri Jepang. Terkait dengan adanya kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang dalam bidang perekonomian yang tertuang pada Indonesia Japan Economic Partnership Agreement IJEPA yaitu kerjasama ekonomi yang dilandasi oleh tiga pilar: Liberalisasi Pasar, Fasilitasi dan Kerjasama dalam rangka industrial capacity building, salah satu kegiatan utama yang diprioritaskan oleh Departemen Perindustrian adalah implementasi Manufacturing Industry Development Center (MIDEC) untuk 13 sektor industri (metal working, welding, mold & dies, energy conservation, export & investment promotion, SMEs, automotive, electric/ electronics, steel/ steel products, textile, petrochemical & oleochemicals, non ferrous dan food & beverages). Kegiatan dalam penyusunan buku kajian ini merupakan kelanjutan dari buku kajian sebelumnya berjudul Pendalaman Struktur Industri yang mempunyai Daya Saing Di Pasar Global - Perkembangan Daya Saing Industri Kendaraan Bermotor, Elektronika, Alat Berat dan Peralatan Listrik, yang diterbitkan pada tahun 2007 dan Studi Kedalaman Struktur Industri Yang Mempunyai Daya Saing Di Pasar Global - Kajian Capacity building Industri Manufaktur Melalui Implementasi MIDEC-IJEPA, yang diterbitkan tahun 2008. Untuk kegiatan tahun 2009 akan dikaji Pengaruh Implementasi MIDEC terhadap Penguatan Struktur Industri. Mengingat cakupan yang dikaji pada seri-seri studi IJEPA ini cukup luas, sehingga dipandang perlu untuk melibatkan rekan rekan yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang mendalam dari berbagai bidang/sektor terkait, berasal dari kalangan dunia usaha/asosiasi, perguruan tinggi, pejabat perindustrian yang sudah purnabakti dan rekan pejabat maupun dari pihak swasta/asosiasi terkait yang masih aktif di bidangnya terutama para pelaku aktif yang terlibat erat ikut dalam proses negosiasi dan implementasi IJEPA. Dalam penyusunan seri kajian-kajian berlatar belakang negosiasi dan implementasi IJEPA (edisi tahun 2009 adalah seri ke-3) secara sadar kami berusaha untuk memasukan berbagai sumber referensi, data, catatan perundingan, analisis, hasil KATA PENGANTAR 9

rangkuman dari berbagai workshop/fgd/diskusi teknis terkait, dengan maksud menjadikan seri-seri terbitan buku ini bisa menjadi catatan dan referensi lengkap berkait dengan sejarah perundingan dan implementasi IJEPA, dengan harapan bisa menjadi referensi yang berguna bagi para pengambil keputusan dan terutama juga bagi generasi muda pelanjut pembangunan Industri di Indonesia. Selanjutnya, tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada rekan rekan yang telah berpartisipasi aktif dan menyumbangkan waktu, pikiran, tulisan, saran dan tenaganya sampai selesainya kajian ini. Pada kesempatan ini kami juga mengharapkan masukan, saran, dan kritik dari para pembaca yang kami hormati untuk didapatkannya kesempurnaan tulisan sehingga hasil studi ini dapat menjadi referensi yang handal dan berguna dalam rangka implementasi IJEPA terutama terkait program program implementasi MIDEC di tahun-tahun yang akan datang. Jakarta, Desember 2010 Achdiat Atmawinata Staf Ahli Menteri Perindustrian RI 10 KATA PENGANTAR

1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I ndustri logam merupakan sektor strategis di dalam perekonomian nasional, karena merupakan salah satu motor penggerak bagi sektor-sektor industri lainnya, dan pada akhirnya pertumbuhan industri memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu kebijakan untuk pengembangan industri logam nasional yang penting untuk dilakukan adalah pengembangan industri logam dasar. Pengembangan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang besar dalam penyediaan bahan baku dan komponen-komponen standar, serta memberikan rangsangan positif pada daya tumbuh sektor-sektor industri lainnya. Sektor-sektor industri hilirnya yang terkait dengan Pengembangan industri logam dasar diantaranya meliputi kelompok-kelompok industri bahan logam dan produk dasar, industri motor, mesin dan perlengkapan pabrik, industri peralatan listrik, industri alat angkutan dan alat berat, dan lain-lain. Pengembangan ini menjadi cukup kritikal saat ini karena meningkatnya kebutuhan bahan baku di sektor industri hilirnya. Oleh karena itu, diperlukan Program Pengembangan Industri Logam Dasar Nasional yang Tepat dan Kuat. Program Pengembangan industri logam dasar ini merupakan tindak lanjut dari kajian sebelumnya yang terkait dengan program peningkatan kapasitas industri dalam kerangkan MIDEC. Kajian sebelumnya mencakup: PENDAHULUAN 1-1

Pendalaman Struktur Industri yang mempunyai Daya Saing Di Pasar Global; Perkembangan Daya Saing Industri Kendaraan Bermotor, Elektronika, Alat Berat dan Peralatan Listrik (kajian tahun 2007); Studi Kedalaman Struktur Industri Yang Mempunyai Daya Saing Di Pasar Global; Pembangunan Kapasitas Industri Manufaktur melalui MIDEC-IJEPA (kajian tahun 2008) ; dan Pengaruh Implementasi MIDEC terhadap penguatan Struktur Industri (kajian tahun 2009). Studi mengenai Industri Prioritas Baja dan Non Ferro Industri diperlukan karena baja (bersama alumunium dan tembaga) adalah salah satu dari 13 sektor MIDEC yang berfungsi sebagai motor untuk pembangunan kapasitas. Baja dan logam non-fero lainnya bahkan menjadi bahan baku penting bagi sebagian besar sektor prioritas dalam MIDEC. Baja telah lama diakui sebagai bahan dasar vital untuk pengembangan industri dan infrastruktur, bahkan sebagai peralatan penunjang pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Hampir pada semua segmen kehidupan mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan bahan baku baja dan logam non-fero lainnya. Dari berbagai sumber yang ada, diproleh data bahwa konsumsi baja per kapita Indonesia pada tahun 2007 baru mencapai 29 Kg, dan pada saat yang sama rata-rata konsumsi baja per kapita dunia mencapai 170 kg. Dengan pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia yang semakin tinggi dimasa yang akan datang, maka pasar domestik berpeluang besar pada pertumbuhan pasar industri baja. Namun demikian, industri logam nasional saat ini masih memiliki banyak kekurangan termasuk missing link pada rantai nilai dari industri hulu, industri antara dan industri hilir, terutama pada industri Non Ferro. Sehingga diharapkan dengan adanya kajian ini akan dapat diidentifikasi berbagai permasalahan yang ada atau yang akan dihadapi di masa depan agar selanjutnya dapat digunakan untuk melengkapi dan memperbaiki rantai nilai industri logam nasional. Dala kaitan ini, visi, misi, tujuan, dan sasaran serta arah industri Indonesia ke depan termasuk yang terkait dengan industri logam, telah dirancang dalam Peraturan Presiden Indonesia no. 28 tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional (KIN). Dalam KIN disebutkan bahwa visi perindustrian Indonesia pada tahun 2025 adalah membawa Indonesia menjadi negara industri tangguh dunia yang bertumpu pada tiga industri andalan masa depan yaitu industri agro, industri alat angkut, dan industri telematika, dan hal ini 1-2 PENDAHULUAN

berarti menjadikan industri logam sebagai tulang punggung industri Indonesia. Rancangan strategis ini merupakan landasan penting untuk melakukan kajian Program Pengembangan Industri Logam Dasar Nasional yang Tepat dan Kuat sebagai satu langkah penting untuk mencapai tujuan menjadi Negara industri tangguh dunia pada tahun 2025. Mengingat tingkat kekritisan pada sasaran industri tersebut, program ini juga perlu dilakukan secara tepat waktu untuk perioda jangka pendek (cepat). 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari kajian ini adalah untuk : Mengetahui Kondisi Industri Logam Nasional Mengetahui Tingkat daya saing produk logam nasional. Memberikan rekomendasi untuk Pengembangan Industri Logam Dasar Nasional. 1.3 Sasaran Kajian Sasaran dari kegiatan ini adalah tersedianya hasil kajian penguatan struktur industri prioritas pada sektor industri baja dan non ferro (aluminium dan tembaga). 1.4 Hasil yang Diharapkan dari Kajian Sesuai dengan maksud dan tujuan kegiatan, hasil yang diharapkan adalah tersusunnya rekomendasi untuk Pengembangan Industri Logam Dasar Nasional dalam rangka mencapai penguatan struktur industri. 1.5 Sistematika Penulisan 1. Pendahuluan Memberikan gambaran perkembangan industri nasional sektor baja, alumunium dan tembaga secara umum untuk pengembangan industri dalam kerangka studi kedalaman stuktur industri prioritas. 2. Kondisi Industri Logam PENDAHULUAN 1-3

Menjelaskan Kondisi industri logam nasional, perkembangan industri logam nasional dengan melihat trend ke depan dan melihat tantangan industri logam nasional dalam globalisasi 3. Sasaran Pengembangan Industri Logam Menjelaskan target dan sasaran pengembangan industri logam nasional sesuai dengan KIN 2008, dengan driver sector untuk kebutuhan logam saat ini pada sektor alat berat, otomotif dan elektronik. Kemudian menjelaskan kedalaman struktur industri logam saat ini melalui pohon industri sehingga dapat dilihat bagian mana saja yang sudah ada industrinya dan yang belum ada industrinya. Hal ini selnjutnya menjadi dasar untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan industri logam dasar nasional. 4. Peluang dan Ancaman Industri Logam dalam Konteks Kerjasama Global Menjelaskan peluang dan ancaman bagi industri logam dasar nasional dalam tataran strategis yang didalamnya terkait kerjasama Indonesia dengan negara lain. 5. Analisa dan Rekomendasi Pengembangan Industri Logam Nasional Memberikan analisa menggunakan metode Indeks Spesialis Perdagangan (ISP), Reveal Comparative Advantages (RCA) dan Accelerated Ration serta memberikan rekomendasi dari hasil kajian 6. Kesimpulan dan Tindak Lanjut 1-4 PENDAHULUAN

2 2. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL D alam rangka mewujudkan visi pembangunan industri Nasional, yaitu dengan sasaran antara menjadi Negara Industri Maju Baru pada tahun 2020 dan menjadi Negara Industri Tangguh pada tahun 2025, Indonesia perlu memiliki industri logam yang maju dan bersaing. Tentu saja visi ini tidak akan terwujud bila tidak diimbangi dengan persiapan dan rencana pembangunan yang baik. Untuk mempersiapkan perencanaan yang baik tersebut perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kondisi Industri Logam Nasional. Berikut disajikan beberapa perkembangan Industri Logam Nasional beberapa tahun terakhir. 2.1 Produk Logam Industri Logam Nasional belum berkembang secara optimal, sehingga kontribusi Industri Logam belum memberikan nilai yang cukup berarti terhadap GDP sektor industri. Kontribusi sektor Industri Logam terhadap GDP-Industri (berdasarkan catatan tahun 2008) menurun sejak tahun 2005 yaitu dari 2,88% pada tahun 2005 menjadi 2,57% pada tahun 2008. Jumlah perusahaan logam pada tahun 2008 sebanyak 955 perusahaan dengan total investasi sebesar Rp. 69,4 Trilyun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 222 ribu orang. Pemanfaatan kapasitas produksi atau utilisasi industri dalam 5 tahun terakhir relative masih tetap pada angka 61%. Neraca perdagangan produk logam tahun 2008 defisit di pihak Indonesia sebesar US $ 4,6 milyar, dimana ekspor sebesar US $ 10,4 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-1

milyar, sedangkan impor sebesar US $ 15 milyar. Gambaran perkembangan industri logam dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 2-1 Gambaran Industri Logam Nasional No. Uraian 2005 2006 2007 2008 1 Jumlah Perusahaan Unit 869 893 919 955 2 Jumlah Tenaga Kerja Orang 203,066 207,761 212,243 222,472 3 Ekspor Juta US$ 5,623.8 7,860.4 10,185.2 10,442.8 4 Impor Juta US$ 6,033.0 5,727.7 7,561.0 15,092.9 5 Utilisasi % 60.6 61.1 61.1 61.8 6 Total Investasi Triliun (Kurs US$ 1 : Rp 9.000) Rupiah 59.09 64.0 65.5 69.4 - Investasi dalam US Dolar Juta US$ 4,712 4,918 5,033 5,187 - Investasi dalam Rupiah Miliar Rupiah 16,679 19,725 20,236 22,693 7 Kontribusi terhadap GDP (%) 2,88 2,77 2,58 (angka sementara) 2,57 (angka sangat sementara) Secara umum, struktur Industri Logam Nasional terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : Industri Baja (Ferro) dan Industri Bukan Baja (Non Ferro). Industri Baja (Ferro) adalah Industri yang mengolah paduan logam dengan bahan dasar besi sebagai unsur utamanya serta karbon sebagai campuran utama. Kelompok produk ini bila dilihat pada buku tarif bea masuk dikelompokkan dalam kelompok HS Bab 72 dan HS Bab 73 Industri Bukan Baja (Non Ferro) didefinisikan sebagai Industri Paduan Logam dengan bahan dasar selain besi. Produk Bukan Baja (Non Ferro) ini terbagi atas beberapa jenis produk yaitu antara lain ; alumunium, tembaga, perak, emas, dan timah. Dalam buku tariff bea masuk jenis-jenis produk ini dikelompokkan dalam kelompok HS Bab 74 dan HS Bab 76. 2.1.1 Baja Baja adalah salah satu bahan yang umumnya banyak digunakan dalam pekerjaan kontruksi dan pembuatan produk-produk engineering. Sebagaimana diketahui bahwa baja adalah logam paduan dengan besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya yang berfungsi sebagai unsur pengeras untuk mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal (crystal lattice) atom besi. Karena hal inilah maka baja memiliki kekuatan, keuletan dan ketangguhan yang lebih baik dari bahan lainnya. 2-2 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Banyak proses yang terjadi dalam pengolahan Biji besi menjadi Produk Baja. Berdasarkan aliran proses dan hubungan antara bahan baku dan produk, maka struktur Industri Baja dapat ditunjukkan pada pohon Industri pada gambar berikut. Gambar 2-1 Beberapa Contoh Jenis Baja dan Penggunaannya KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-3

BjLS Tin Plate Produk Galvanizing Profil Pipa Baja Besi Kanal Profil Paku Wire Mesh Besi Beton Kawat Beton Kawat Baja Kawat Las Mur & Baut PC Wire KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL Gambar 2-2 Skema Pohon Industri Baja GAMBAR Dari diagram pohon Industri diatas, produk baja dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu klompok industri hulu, kelompok industri antara dan kelompok industri hilir. Jenis-jenis produk yang masuk masing-masing kelompok sebagaimana terlihat pada tabel-tabel berikut: Tabel 2-2 Kelompok Industri Hulu Industri Hulu Produk Bahan Baku Bijih Besi Pig Iron Besi Spons Tabel 2-3 Kelompok Industri Antara Industri Antara Produk Baja Kasar Produk setengah jadi (Semi Finished Product) Ingot Slab Billet Bloom HRC/P/S CRC/P/S Pelat Baja Wire Rod Tabel 2-4 Kelompok Industri Hilir Produk Lembaran (Flat Product) Industri Hilir Produk Batangan (Long Product) 2.1.1.1 Industri Hulu Industri hulu baja ini terbagi 2 yaitu: pertambangan dan penyedia bahan baku. Pertambangan itu sendiri bukanlah tergolong dalam industri pemasok dalam supply chain industri baja. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa proses ini sangat strategis dan menentukan tingkat daya saing industri baja pada suatu negara. Sedangkan penyedia bahan baku sendiri juga merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan daya saing industri baja suatu negara. Kelompok ini terdiri dari 2 (dua) 2-4 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

jalur proses pembuatan besi (iron making) serta satu industri penyedia scrap yang merupakan material besi bekas. Jalur pertama yang mendominasi sebesar 70% dari produksi besi dunia adalah melalui teknologi blast furnace. Gambar 2-3 Proses Blast Furnace Gambar 2-4 Blast Furnace Pada proses ini, bijih besi direduksi dengan kokas batu bara dalam sebuah tanur tiup yang tinggi. Produk dari proses ini adalah besi cair yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga menjadi pig iron. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-5

Teknologi lainnya adalah pembuatan produk baja dasar berupa besi spons. Pada proses ini bijih besi dalam bentuk bulk atau pellet direduksi dengan gas pereduksi (yang berasal dari gas alam atau batu bara). Produk dari proses ini dapat berupa besi spons atau hot briquette iron (HBI), sebagai bahan baku proses steel making selanjutnya. Proses ini menguasai sekitar 25% dari proses produksi besi dunia. Gambar 2-5 Proses Besi Spons Di samping dua jalur utama diatas terdapat pula beberapa teknologi penyedia bahan baku industri baja yang jumlahnya relatif kecil seperti teknologi direct smelting, rotary kiln, dan open heart. 2.1.1.2 Industri Antara Seperti yang terlihat pada tabel 2.4, industri antara dalam pohon industri baja terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: pembuatan baja kasar (crude steel) dan pembuatan baja semi finished product. Kelompok pembuatan baja kasar merupakan industri dimana proses tahap akhirnya adalah mengubah baja cair menjadi baja padat, misalnya seperti billet dan bloom yang akan diproses lebih lanjut pada tahap pengolahan pada industri baja long product, slab yang akan diproses lebih lanjut pada pengolahan flat product, dan ingot yang akan digunakan dalam pembentukan baja lainnya. konsumsi perkapita industri baja suatu negara dihitung dari jumlah produksi baja kasar dibagi dengan jumlah penduduk negara tersebut. 2-6 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Sedangkan kelompok Pembuatan Baja Semi Finished Product adalah proses lebih lanjut dari baja kasar. Misalnya billet dan bloom dapat diproses lebih lanjut menjadi semi finished wire rod dan green pipe. Selanjutnya wire rod akan menjadi bahan baku berbagai industri pengolahan long finished product seperti paku, baut, mur, kawat las, PC wire. Sedangkan green pipe akan menjadi bahan baku industri seamless pipe (OCTG dan Line Pipe) yang akan digunkan oleh industri migas. Contoh lain adalah semi finished product di jalur flat product yaitu Hot Rolled Coil (HRC), hot rolled plate (HRP) dan cold rolled coil (CRC). HRC merupakan bahan baku terbesar dari industri pengolahan flat product seperti: konstruksi, pipa las spiral dan otomotif. Sementara CRC digunakan sebagai bahan baku industri peralatan rumah tangga, otomotif, pelapisan seng. Pelat baja merupakan semi finished product yang digunakan sebagai bahan baku industri pipa las longitudinal, profil dan perkapalan. 2.1.1.3 Industri Hilir Industri hilir dari pohon industri baja juga dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: baja finished flat product dan finished long product. Baja finished flat product digunakan oleh sebagian besar konsumen dari industri kontruksi, otomotif, pipa, profil dan pelapisan. Sedangkan baja finished long product digunakan oleh konsumen paling bervariasi dari industri baja. Berbagai industri pemakai diantaranya industri pembuatan baja batangan, profil, baja konstruksi, kawat, paku, mur/baut. 2.1.2 Aluminium Aluminium (dalam bentuk bauksit) adalah suatu mineral yang berasal dari magma asam yang mengalami proses pelapukan dan pengendapan secara residual. Proses pengendapan residual sendiri merupakan suatu proses pengkonsentrasian mineral bahan galian di tempat. Aluminium merupakan suatu metal reaktif, dan tidak terjadi secara alami. Oleh karena itu, aluminium tak dikenal sebagai unsur terpisah sampai tahun 1820-an, walaupun keberadaan nya telah diramalkan oleh beberapa ilmuwan yang telah belajar aluminum campuran. Aluminium pertama kali diproduksi dengan bebas oleh ahli kimia dan ahli ilmu fisika yang berasal dari Denmark, Hans Oersted Kristen, dan ahli kimia Jerman, Frederich Wohler, pada pertengahan tahun 1820-an. Nama aluminum diperoleh dari bahasa latin: alumen, yang berarti tawas tawas (suatu aluminium sulfate mineral). KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-7

Ciri-ciri aluminium: 1. Aluminium merupakan logam yang berwarna perak-putih 2. Aluminum dapat dibentuk sesuai dengan keinginan karena memiliki sifat plastisitas yang cukup tinggi 3. Merupakan unsur metalik yang paling berlimpah dalam kerak bumi setelah setelah silisium dan oksigen. Aluminum merupakan unsur metal yang paling berlimpah-limpah di dalam kerak bumi. Aluminum digunakan Amerika Serikat di dalam transportasi, dan membangun. Guinea Dan Australia Austria mempunyai sekitar satu setengah cadangan dunia. Negara-negara lain dengan cadangan utama meliputi Brazil, Jamaica, dan India. Berbagai produk dapat dibuat dengan menggunakan bahan baku aluminium. Berdasarkan bahan baku dan aliran prosesnya, maka struktur industri aluminium dapat digambarkan seperti gambar 2.7 berikut: Gambar 2-6 Pohon Industri Aluminium Gambar 2-7 Pohon Industri Aluminium 2-8 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Bedasarkan pohon industri tersebut, maka proses pengolahan aluminium dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok seperti yang terlihat pada tabel berikut: Tabel 2-5 Kelompok Unwrought Aluminum (aluminium bukan tempaan) Industri Hulu Bahan baku/unwrough Aluminum/Aluminium bukan tempaan Bauksit Alumina Ingot Scrap Tabel 2-6 Kelompok Industri Antara Industri Antara Wire Rod Billet Alstrip Casting Die Casting Forging Slab Kawat Plate Sheet Tabel 2-7 Kelompok Industri Hilir Industri Hilir Kabel Profil Ekstrusi Pipe Slug Strip Foil Circle 2.1.2.1 Industri Hulu Pemenuhan bahan baku produk aluminium mulai tidak bergantung kepada impor sejak didirikannya PT INALUM sejak tahun 1982 di Kuala Tanjung yang memproduksi aluminium ingot primer di Indonesia. Bahan baku untuk memproduksi ingot primer tersebut adalah Alumina. Gambar 2-8 PT INALUM KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-9

Aluminium adalah logam yang sangat reaktif yang membentuk ikatan kimia berenergi tinggi dengan oksigen. Dibandingkan dengan logam lain, proses ekstraksi aluminium dari batuannya memerlukan energi yang tinggi untuk mereduksi Al2O3. Proses reduksi ini tidak semudah mereduksi besi dengan menggunakan batu bara, karena aluminium merupakan reduktor yang lebih kuat dari karbon. Proses produksi aluminium dimulai dari pengambilan bahan tambang yang mengandung aluminium (bauksit, corrundum, gibbsite, boehmite, diaspore, dan sebagainya). Selanjutnya, bahan tambang dibawa menuju proses Bayer. Proses Bayer menghasilkan alumina (Al2O3) dengan membasuh bahan tambang yang mengandung aluminium dengan larutan natrium hidroksida pada temperatur 175oC sehingga menghasilkan aluminium hidroksida, Al(OH)3. Aluminium hidroksida lalu dipanaskan pada suhu sedikit di atas 1000oC sehingga terbentuk alumina dan H2O yang menjadi uap air. Setelah Alumina dihasilkan, alumina dibawa ke proses Hall- Heroult. Proses Hall-Heroult dimulai dengan melarutkan alumina dengan leelehan Na3AlF6, atau yang biasa disebut cryolite. Larutan lalu dielektrolisis dan akan mengakibatkan aluminium cair menempel pada anoda, sementara oksigen dari alumina akan teroksidasi bersama anoda yang terbuat dari karbon, membentuk karbon dioksida. Aluminium cair memiliki massa jenis yang lebih ringan dari pada 2-10 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

larutan alumina, sehingga pemisahan dapat dilakukan dengan mudah. Berikut disajikan proses pengolahan aluminium di PT INALUM Gambar 2-9 Proses Pengolahan Aluminium Sejalan dengan perkembangan pertumbuhan demand dan perkembangan Industri Aluminium di Indonesia, maka sebanyak 40% kebutuhan aluminium di Indonesia masih tetap dilakukan melalui impor. Daftar impor pemenuhan bahan baku dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2-8 Pemenuhan Bahan Baku Aluminium Materials Domestic Supply (tons) Domestic Demand (tons) Import (tons) Country of Origin (import) Alumina 0 500,000 500,000 Australia Calcined Coke (Oil & Pitch Coke) 40,000 100,000 60,000 Argentine, China, India, USA, Japan Coal Tar Pitch 0 25,000 25,000 Japan Aluminium Fluoride 5,000 5,000 0 Aluminium Ingot 100,000 200,000 Australia, China, India, others KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-11

2.1.2.2 Industri Antara Dari produk hulu berupa ingot, diproses lebih lanjut menjadi produk antara berupa produk aluminium lembaran dan produk aluminium batangan. Kedua jenis produk tersebut diproses lebih lanjut menjadi produk hilir atau produk jadi yang akan dipakai disegala sektor. 2.1.2.3 Industri Hilir Industri Hilir aluminium merupakan produk akhir yang akan digunakan langsung oleh konsumen seperti Aluminium strip/foil, kawat dan kabel, pipa, profil/ekstrusi, komponen dan peralatan rumah tangga. Misal dengan memakai proses Dies Casting akan dihasilkan komponen-komponen kendaraan bermotor. Gambar 2-10 Beberapa Contoh Produk Hasi Die Casting 2-12 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

2.1.3 Tembaga Gambar 2-11 Penggunaan Aluminium Ekstrusi Tembaga (Cu) mempunyai sistim kristal kubik, secara fisik berwarna kuning dan apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop akan berwarna pink kecoklatan sampai keabuan. Tembaga sudah dikenal dan dimanfaatkan manusia sejak 10.000 tahun silam. Di Asia Barat misalnya telah menjadi bahan pembuat koin dan perhiasan. Sementara di zaman tembaga (Chalcolithic period, diambil dari Bahasa Yunani Chalkos yang artinya tembaga) manusia telah menemukan teknik mencampur dan menggunakan tembaga untuk menghasilkan perhiasan. Kemudian pada abad keempat dan ketiga Sebelum Masehi telah ada kegiatan peleburan tembaga di Distrik Huelva, Spanyol. Sementara itu di Amerika Selatan, aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tembaga sudah dikenal di antara suku suku asli seperti Maya, Aztec dan Inca. Demikian juga dengan China, India dan Jepang di Asia. Hingga kini, tembaga menjadi salah satu jenis logam yang sangat dibutuhkan manusia. Tembaga memang memainkan peran penting dalam perkembangan peradaban manusia. Sepanjang sejarah, berbagai produk berbahan tembaga menjadi pilihan banyak orang. Demikian juga dengan sektor perindustrian dan tekonologi. Pencampuran dengan Zinc, timah, aluminium dan nikel juga menghasilkan produk produk bernilai tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Saat ini logam KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-13

dengan rumus kimia CU, dimanfaatkan untuk kabel listrik, industri telekomunikasi dan elektronika juga konstruksi dan transportasi. Logam tembaga digunakan secara luas dalam industri peralatan listrik. Kawat tembaga dan paduan tembaga digunakan dalam pembuatan motor listrik, generator, kabel/kawat untuk transmisi, distribusi dan instalasi listrik, kendaraan bermotor, tabung coaxial, tabung microwave, sakelar, rectifier, transsistor, dan peralatan lainnya yang membutuhkan sifat konduktivitas listrik dan panas yang tinggi. Meskipun aluminium dapat digunakan untuk tegangan tinggi pada jaringan transmisi, tetapi tembaga masih memegang peranan penting untuk jaringan transmisi, utamanya untuk bawah tanah. Potensi sumber daya alam tembaga terbesar yang dimiliki Indonesia terdapat di Papua. Potensi lainnya menyebar di Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Gambar 2-12 Contoh Produk Tembaga Berdasarkan aliran proses pengolahan tembaga, maka struktur Industri Tembaga dapat disajikan seperti gambar berikut: 2-14 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Gambar 2-13 Pohon Industri Tembaga Gambar 2-14 Skema Pohon Industri Tembaga Berdasarkan pohon Industri tersebut, maka tembaga dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-15

Tabel 2-9 Kelompok Industri Hulu Tembaga Industri Hulu Bahan baku Cooper Concentrate Cooper Cathode/Ingot Tabel 2-10 Kelompok Industri Antara Industri Antara Cooper Rod Cooper sheet Tabel 2-11 Kelompok Industri Hilir Industri Hilir Wire Cable Foil Cooper Tube Cooper Pipe 2.1.3.1 Industri Hulu Pada saat ini hanya ada 1 pabrik penghasil cooper cathode di Indonesia yaitu PT. Smelting. Proses pembuatan cooper cathode dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2-15 Proses Produksi Tembaga PT Smelting Bahan baku tembaga berupa cooper concentrate diangkut menuju tempat pengolahan tembaga dan disimpan dalam storage. Kemudian cooper concentrate diolah menjadi cooper anode yang memiliki kemurnian 99.4 %. Agar mendapatkan hasil yang maksimal dengan kemurnian 99.99%, maka cooper anode ini kemudian dimurnikan lagi dalam proses refinery sehingga pada akhirnya menjadi cooper cathode. 2-16 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

2.1.3.2 Industri Antara Produk cooper cathode diproses lebih lanjut menjadi produk antara berupa cooper sheet dan cooper rod. Dua jenis produk ini akan menjadi bahan baku untuk industry hilirnya. 2.1.3.3 Industri Hilir Pada kelompok Industri hilir, menghasilkan produk setengah jadi yang akan menjadi komponen bagi produk berikutnya serta produk jadi yang akan dipakai langsung oleh konsumen. Terdapat berbagai macam produk tembaga hilir, seperti: kawat/kabel tembaga, tabung/pipa dan peralatan rumah tangga. Gambar 2-16 Beberapa Contoh Produk Berbahan Dasar Tembaga KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-17

2.2 Produksi Logam Nasional Produksi Industri logam di Indonesia tidak banyak berkembang pada 10 tahun terakhir ini. Kapasitas produksi masing-masing indsutri tidak banyak mengalami perubahan dan ada pula yang menurun. Secara umum, produksi logam di Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2-12 Produksi Logam (dalam ribu ton) No. Kelompok # Persh. Kapasitas 2008 2004 2005 2006 2007 2008 % (Utilisasi 2008) 1 Besi Spons 1 2,300 1,400.5 1,286.6 1,200.2 1,322.7 962.1 41.83 2 Slab Baja 1 1,850 1,212.2 1,294.7 1,291.8 1,364.6 1,218.5 65.87 3 Billet/Ingot/Bloom 30 7,057 2,504.8 2,433.9 2,512.7 2,795.4 2,696.1 38.20 4 Besi Beton/Profile 63 5,844 1,682.0 2,013.5 1,821.4 1,842.6 1,863.8 31.89 5 Batang Kawat Baja 10 1,560 988.4 914.0 834.1 919.6 839.1 53.79 6 HRC 2 2,200 1,529.8 1,420.2 1,658.6 1,817.9 1,589.8 72.26 7 Plate 4 920 550.8 607.1 835.5 826.0 834.9 90.75 8 Pipa Las Lurus/Spiral 29 2,243 459.6 689.7 779.2 642.8 637.1 28.40 10 BjLS/warna 16 1,200 352.9 357.1 322.3 329.5 336.9 28.07 11 Tin Plate 1 130 92.7 75.0 87.5 98.7 111.0 85.39 Hal serupa juga terjadi pada produksi non logam nasional, seperti terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2-13 Produksi Non Ferro (dalam ribu ton) No. Kelompok # Persh. Kapasitas 2008 2004 2005 2006 2007 2008 % (Utilisasi 2008) 1 Aluminium Ingot Primer 1 225 247,0 250.0 251.4 241.3 242.4 107.73 2 Aluminium Alloy Ingot 33 183 56,9 122.5 151.5 178.6 199.3 108.67 3 Aluminium Extruction 20 100 38,6 40.4 43.3 47.6 49.3 49.30 2-18 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

4 Aluminium Sheet 6 116 54,5 59.1 58.0 64.6 61.9 53.36 5 Aluminium Foil 6 20 14,6 13.5 12.7 12.2 13.7 68.50 6 Katode Tembaga * 1 275 203,8 262.0 196.8 271.5 254.2 92.44 7 Batang Kawat Tembaga 7 165 120.1 139.5 139.5 66.8 54.4 32.97 8 Kawat Tembaga 3 422 138,9 143.2 128.8 126.2 123.6 29.30 Sebagai review dari produksi Logam Nasional, akan disajikan contoh perusahaan yang dinilai sebagai perusahaan pemain terbesar di bidangnya. 2.2.1 Baja Dalam industri baja, tentu saja PT Krakatau Steel merupakan Perusahaan terbesar yang ada di dalam negeri. Perusahaan ini mengakomodir sebagian besar kebutuhan baja di tanah air. Perusahaan ini memiliki 6 pabrik besi baja mulai dari pabrik besi spons sebanyak 2 unit, pabrik baja slab sebanyak 2 unit, pabrik baja billet, pabrik baja canai panas, pabrik baja lembaran canai dingin, dan pabrik wire rod. PT Krakatau Steel memiliki kapasitas produksi sebagai berikut: Besi Spons sebesar 2.300.000 ton/tahun. Pabrik slab baja sebesar 1.800.000 ton/tahun Pabrik billet baja sebesar 675.000 ton/tahun Pabrik baja lembaran panas sebesar 2.000.000 ton/tahun Pabrik baja lembaran dingin sebesar 650.000 ton/tahun Pabrik batang kawat (wire rod) sebesar 450.000 ton/tahun Disamping itu, perusahaan Krakatau Steel juga memiliki beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang industri baja. Irvan Kamal Hakim, selaku wakil dari IISIA berpendapat bahwa tren globalisasi produksi sendiri telah berpengaruh cukup besar untuk produksi dalam negeri. Perbandingan antara sebelum dan setelah Globalisasi Produksi dapat dilihat pada gambar berikut: Tabel 2-14 Perbandingan Sebelum dan Setelah Globalisasi Produksi KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-19

Produsen asing yang memanfaatkan location economies pun menjadi tantangan sendiri dalam industri baja dalam negeri, seperti misalnya: Akusisi Nippon Steel terhadap Industri hilir di Indonesia dan Malaysia. Kobe Steel Merencanakan Pabrik Iron Making 2,4m tpy di Vietnam untuk memasuk baja regional. POSCO merencanakan investasi besar di Indonesia dan Vietnam Blue Scope Steel memiliki Coating Plant di Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Tentu saja hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri untuk Industri Logam Dalam Negeri. 2-20 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Pemerintah menyiapkan BUMN PT Krakatau Steel untuk mengelola PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) yang masa kontraknya habis pada 2013. Saya sebagai Menteri BUMN, menghendaki kalau bisa BUMN yang mengelolanya, sehingga ada semangat dan manajemen baru. Kita melihat ada peluang bisnis yang bagus Pemerintah telah menyiapkan BUMN, PT Krakatau Steel menjadi pengelola Inalum setelah kontrak dengan Jepang berakhir pada 2013, ujar Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar. Mustafa mengatakan, setelah 2013, pemerintah akan menguasai 100% saham Inalum. Pemerintah telah menunjuk Menteri Perindustrian MS Hidayat sebagai Lead Officer yang akan mewakili Pemerintah dan memimpin jalannya proses negosiasi dengan pihak Jepang (Nippon Asahan Alumminium/NAA). Mustafa mengemukakan, dalam negosiasi dengan pihak Jepang, Indonesia menawarkan dua opsi. Salah satunya mengundang BUMN yang berminat untuk melanjutkan pengelolaan perusahaan tambang alumunium tersebut setelah 2013. Dubes Jepang untuk Indonesia Kojiro Shijoiri disebut-sebut telah menemui Mustafa, dan meminta kontrak Inalum diperpanjang. Jepang saat ini menguasai 58,9% saham Inalum melalui NAA. Pemerintah Indonesia hanya memiliki 41,1% saham. Saham NAA dikuasai 50% oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan 50% sisanya dimiliki konsorsium 20 perusahaan swasta Jepang. Jepang berkepentingan dengan Inalum karena hasil produksi perusahaan tersebut (alluminium ingot) sebagian besar (60%) diekspor ke Jepang. Selain itu, Inalum adalah salah satu investasi pemerintah Jepang di luar negeri yang terbesar yang dilakukan melalui JBIC. Kecuali itu, Inalum adalah model kerja sama pemerintah dan swasta Jepang di luar negeri yang dinilai berhasil memanfaatkan dana murah sebagai bantuan, tapi mendapatkan manfaat komersial yang sangat besar bagi Jepang. Sementara pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsyi meminta pemerintah untuk tidak mengambil sikap kompromi dengan Jepang terkait perpanjangan kontrak Inalum. "Inalum harus jadi milik Indonesia sepenuhnya, dalam artian kepemilikan 100% setelah kontrak berakhir 2013. Pemerintah jangan banyak kompromi dalam negosiasi dengan Jepang," ujar Ichsanuddin kepada Nonblok.com, hari ini. Selain kepemilikan, Ichsanuddin juga menolak ekspor alumunium produksi Inalum ke Jepang. Ia mengatakan, sejak Inalum beroperasi tahun 1983, Indonesia menyubsidi Jepang habis-habisan, baik sumber daya alam, biaya yakni pasokan listrik, maupun barang olahan aluminium berkualitas tinggi yang diekspor ke Jepang. "Yang untung ya Jepang, kita jelas rugi," ujarnya. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-21

Demand (tpy) KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL 2.2.2 Aluminium Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Aluminium Primer (Ingot) di Indonesia terutama dihasilkan oleh PT. INALUM. PT Inalum sendiri memiliki kapasitas terpasang sebesar 225.000 ton/tahun, namun dalam produksinya Kapasitas Aktual Rata2 sejak 1984 ~ 2003 sekitar 198.000 ton/tahun atau sekitar 88 % dari kapasitas terpasang. Pada 2004 ~ 2009 kapasitas aktual rata2 produksi Ingot PT. INALUM sekitar 248.400 ton/tahun atau 10 % diatas kapasitas terpasang. Menurut data tahun 2006 milik otorita asahan, pasar alumunium dalam negeri terbagi seperti yang tertera pada grafik berikut: 80.000 70.000 Aluminium Sources For Down Stream Industry in Indonesia (2006, 40 Companies) 68.400 60.000 50.000 53.995 56.135 40.000 30.000 25.200 20.000 17.777 10.000 0 Ingot Ingot Billet Slab Scrap INALUM Import Import/Local Gambar 2-17 Market Share Aluminium Dalam Negeri Dari Grafik yang ada di atas, terlihat bahwa pemenuhan kebutuhan Dalam Negeri Masih sangat minim. Ketergantungan akan Impor masih terlihat dalam grafik tersebut. Padahal, dengan kekayaan alam yang berlimpah dan kapasitas impor yang relative besar, diharapkan PT Inalum dapat mengakomodir sebagian besar 2-22 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

kebutuhan aluminium dalam negeri. Peningkatan kebutuhan aluminium Industri dalam negeri secara umum diprediksikan seperti tertera pada grafik di bawah ini: Tabel 2-15 Prediksi Peningkatan Permintaan Aluminium Dalam Negeri Year Aluminium Sheet (tons) Aluminium Foil (tons) Production Demand import export Production Demand Import Export Capacity Realized Capacity Realized 2004 116,000 54,483 70,959 36,890 20,414 20,000 13,283 16,971 10,918 7,230 2005 116,000 59,076 66,927 43,140 35,289 20,000 13,472 12,647 9,112 9,937 2006 116,000 58,042 64,940 55,156 48,258 20,000 12,697 10,556 7,627 9,768 2007 116,000 64,601 85,967 73,733 52,367 20,000 12,157 11,708 8,869 9,318 2008 116,000 61,920 156,917 139,964 44,967 20,000 13,677 13,477 10,289 10,489 2009 160,958 14,150 2010 193,149 15,565 2011 231,778 17,900 2012 266,544 18,079 2013 298,530 19,525 Source : Indonesian Commercial News Letter, September 2009 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-23

Inalum siapkan ekspansi US$367 juta Kelanjutan kerja sama utamakan kepentingan nasional JAKARTA: PT Indonesia Asahan Aluminium, perusahaan peleburan aluminium kerja sama antara Indonesia dan Jepang, mengajukan proposal bisnis kepada Otorita Asahan senilai US$367 juta atau Rp3,38 triliun. Upaya tersebut ditempuh perseroan seiring dengan segera berakhirnya kontrak kerja sama antara Indonesia dan konsorsium perusahaan Jepang pada 2013. Negosiasi dan proposal pengembangan usaha dilakukan 3 tahun sebelum masa kontrak berakhir. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengaku telah mendapatkan laporan terkait dengan penyerahan proposal bisnis Inalum dari Otorita Asahan. Inalum sudah mengajukan proposal bisnis yang baru untuk investasi. Mereka baru saja menyerahkan proposalnya ke Otorita Asahan. Laporannya sudah masuk, jelas Hidayat kemarin. Kepala Otorita Asahan Effendi Sirait mengatakan Inalum telah menyampaikan proposal bisnis sebagai bagian dari perpanjangan kontrak pada 12 Mei 2010. Setelah final, jelasnya, Otorita Asahan dengan sepengetahuan Kementerian Perindustrian akan menyampaikan hasil kajian Inalum tersebut kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku wakil pemerintah. Menurut Hidayat, pihaknya sedang mencari waktu yang tepat untuk membahas proposal bisnis Inalum dengan Menko Perekonomian. Kemenperin masih belum pada keputusan akhir setuju atau menolak rencana bisnis tersebut. Fasilitas produksi Inalum 1. Pabrik karbon Pabrik Karbon yang memproduksi blok anoda terdiri dari pabrik karbon mentah, pabrik pemanggangan, dan pabrik penangkaian anoda. Di pabrik karbon mentah, coke dan hard pitch dicampur dan dibentuk menjadi blok anoda dan dipanggang hingga temperatur 1.250 derajat Celcius di pabrik pemanggangan anoda. Kemudian di pabrik penangkaian anoda, sebuah tangkai dipasang ke blok anoda yang sudah dipanggang tadi dengan menggunakan cast iron cair. Blok anoda berfungsi sebagai elektroda di pabrik reduksi. 2. Pabrik penuangan Di pabrik penuangan, aluminium cair dituangkan ke dalam jolding furnace. Ada 10 unit holding furnace di pabrik ini, masing-masing berkapasitas 30 ton. Aluminium cair ini kemudian dicetak dengan casting machine. Pabrik ini memiliki tujuh unit casting machine berkapasitas 12 ton per jam untuk masing-masing mesin dan menghasilkan 22,7 kg per ingot (batang). 3. Pabrik reduksi Pabrik reduksi terdiri dari tiga bangunan dengan ukuran yang sama. Ada 510 pot di gedung tersebut. Pot tersebut bertipe prebaked anode furnaces (PAF) dengan desain 175 KA, tetapi sudah ditingkatkan hingga 194 KA, beroperasi pada suhu 960 derajat Celcius. Setiap pot rata-rata dapat menghasilkan aluminium sekitar 1,3 ton atau lebih aluminium cair per hari. Sumber: Inalum Dia hanya menyampaikan bahwa perdebatan ini akan dilakukan dalam perundingan. Perundingan bisa dimulai kalau Indonesia sudah merespons keinginan Inalum. Dari situ, Kemenperin akan mengambil posisi apakah business plan tersebut disetujui sebagai program baru atau sebaliknya. Saya sedang mencari waktu untuk membahasnya di kantor Menko, kata Hidayat. Berdasarkan keterangan Otorita Asahan, proposal bisnis Inalum tersebut berisi tentang perpanjangan kerja sama dengan meningkatkan kapasitas pabrik peleburan aluminium dari 250.000 ton menjadi 317.000 ton per tahun. Menurut Effendi, Inalum berhak untuk merundingkan perpanjangan periode operasi pabrik selambatlambatnya 3 tahun sebelum tanggal berakhirnya periode kerja sama pada 1 November 2013. Usulan perpanjangan harus disertai dengan investasi baru yang signifikan jumlahnya dalam rangka inovasi dan atau ekspansi pabrik smelter. Prosedur ini sudah sesuai dengan isi Master Agreement Article XXVII Butir 8, 9, dan 10. Inalum sudah menuntaskan semuanya. 2-24 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

2.2.3 Tembaga PT Smelting merupakan satu-satunya produsen cooper cathode di Indonesia. Pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Gresik ini memiliki kapasitas desain untuk memproduksi katoda tembaga sebanyak 200.000 ton per tahun, dengan bahan baku 660.000 ton per tahun konsentrat tembaga yang sebagian besar dipasok dari PT Freeport Indonesia di Papua. Sedang untuk produk-produk sampingnya yaitu asam sulfat sebanyak 600.000 ton per tahun, slag sebanyak 400.000 ton per tahun, gypsum 30.000 ton per tahun dan lumpur anoda sebanyak 500 ton per tahun. Gambar 2-18 PT Smelting Gambar berikut menunjukkan produksi tahunan katoda tembaga oleh pabrik pemurnian sampai April 2010. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-25

Production, KTPY KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL 300 Cathode Est Catode 200 100-1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Year Gambar 2-19 Produksi Tahunan Katoda Tembaga Dimulai pada awal April 2001, rapat arus telah ditingatkan dari 295 ke 310 A/m2 dan menyebabkan produksi katoda tembaga mencapai 220.000 ton per tahun. Setelah melakukan pengembangan pabrik tahap pertama dengan penambahan 108 cell dan mengoprasikan rapat arus yang sedikit lebih tinggi (naik dari 310 menjadi 312 A/m2) dengan effesiensi arus yang relatif tinggi dan stabil, secara drastis produksi katoda tembaga meningkat menjadi 260.000 ton pertahun. Setelah major shutdown yang ke 4 pada tahun 2006, produksi katoda tembaga meningkat menjadi 270.000 ton. Dengan selesainya ekspansi tahap ke tiga pada September 2009, maka produksi Katoda Tembaga PT. Smelting akan meningkat menjadi 300.000 Ton per tahun. 2.3 Konsumsi Produk Logam Nasional Kebutuhan logam nasional seyogyanya dipenuhi oleh produksi dalam negeri dan secara bertahap porsi impor dikurangi. Saat ini kebutuhan logam dalam negeri baru bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri sebesar 55 % dan sisanya dari impor. Selain itu ciri dari suatu Negara maju juga ditentukan oleh konsumsi perkapita produk logam. Saat ini konsumsi perkapita Indonesia dalam pemakaian produk logam baru mencapai 38,7 Kg/kap, jauh tertinggal dari Negara-negara Asean. Sebagai pembanding konsumsi beberapa Negara Asean adalah sbb : Malaysia: 297,7 kg, Thailand: 203 kg, Vietnam: 94,8 kg dan China: 250 kg. Dalam rangka mencapai target menjadi Negara Maju Baru, Indonesia harus dapat mencapai tingkat konsumsi kapita 100 kg/kap. 2-26 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

2.3.1 Baja Walaupun konsumsi baja perkapita Indonesia rendah, namun konsumsi Indonesia menempati urutan kedua di Asean pada tahun 2008 dengan jumlah konsumsi sebesar 8.823.000 ton. Rendahnya konsumsi perkapita Indonesia disebabkan jumlah penduduk yang banyak sekitar 230 juta orang. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan diagram mengenai konsumsi produk logam baja dan konsumsi perkapita di negaranegara ASEAN. Gambar 2-20 Gambar Konsumsi Produk Baja Negara-negara ASEAN Namun, karena besarnya jumlah penduduk di Indonesia sendiri menyebabkan nilai konsumsi per kapita produk Baja masih sangat rendah. Berikut disajikan data konsumsi per kapita menurut World Bank SEAISI pada tahun 2008. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-27

Ket. : SI = steel intensity Gambar 2-21 Konsumsi Per Kapita Dari gambar diatas secara umum dapat dilihat bahwa Negara yang GDP/kapita rendah, maka konsumsi baja perkapita juga akan rendah dan sebaliknya. Namun perkecualian untuk Vietnam dimana GDP/kapita paling rendah namun konsumsi baja 2-28 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk Vietnam yang lebih sedikit dari Indonesia yaitu sekitar 75 juta orang penduduk. Perkembangan konsumsi logam baja dalam negeri selalu fluktuatif. Karena adanya krisis global pada tahun 1998, menyebabkan permintaan baja dalam negeri menurun drastis. Grafik konsumsi produk logam baja dalam negeri dapat dilihat pada gambar berikut: 2.3.2 Aluminium Konsumsi Logam Baja Dalam Negeri Konsumsi Logam Baja / Kapita Gambar 2-22 Konsumsi Produk Logam Baja dalam Negeri Kebutuhan Aluminium Indonesia tahun 2008 sebanyak 830.000 ton yang disupply oleh 40 perusahaan produsen dalam negeri, dan kekurangannya masih diimpor. Produsen utama Alunimium adalah PT. Inalum yang memproduksi Al Ingot yang memasok kebutuhan dalam negeri sebesar 120.000 ton/th. Selain itu terdapat 78 produsen lainnya dibidang industri aluminium yang umumnya memproduksi produkproduk aluminium hilir. Konsumsi Al/kap Indonesia saat ini baru mencapai 0.8 kg/kap, sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti ; USA (21 kg/kap), Jerman (20 kg/kap), Jepang (17 kg/kap) dan Korea Selatan(19 kg/kap). KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-29

Perbandingan antara konsumsi perkapita Indonesia dengan negara-negara lain dapat dilihat pada grafik berikut: Gambar 2-23 Perbandingan Konsumsi Perkapita Logam Aluminium Indonesia dan Negara lainnya Permintaan dalam negeri akan aluminium masih relatif rendah. Besarnya permintaan Aluminium serta supply dari PT. Inalum dan perusahaan lainnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2-16 Permintaan Domestik atas Aluminium Number of Company Demand tpy Supply tpy Remark INALUM Non INALUM Jabodetabek 50 115,800 61,080 54,720 Bandung 3 2,340 1,260 1,080 Surabaya 11 96,504 22,788 65,328 Medan 10 25,800 17,604 8,196 Candidate Buyer 5 4,440 0 4,440 Jakarta (3), Central Java (1), Surabaya (1) TOTAL 79 244,884 102,732 133,764 2-30 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Source : PT. INALUM, May 2010 RI Siapkan 2 Opsi Kelola Inalum Ramdhania El Hida - detikfinance Jakarta - (nia/qom) Pemerintah menyiapkan 2 opsi terkait pengelolaan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) setelah kerjasama dengan Jepang tidak lagi diperpanjang. Dalam opsi tersebut, RI tetap membuka peluang kerjasama dengan Jepang. Hal tersebut disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa usai Rapat Terbatas mengenai pembahasan PT Inalum, di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (10/6/2010). Opsi pertama yakni seluruh pengelolaan di kelola oleh pemerintah Indonesia melalui BUMN. Artinya, kontrak kerjasama dengan Jepang tidak lagi diperpanjang. Opsi kedua, pemerintah dengan Jepang tetap melakukan kerjasama. Hanya saja dengan opsi-opsi yang jauh lebih menguntungkan. "Misalkan soal share-nya majority di Indonesia, kemudian peningkataan kapasitas produksi dan penambahan pembangkit," ujar Hatta. Sebagaimana diketahui, Jepang dengan 12 perusahaan swasta dalamnya memiliki mayoritas saham, yakni sekitar 58%. Sementara selebihnya adalah saham milik Indonesia. "Tentu kalau kita ambil opsi kerjasama share kita harus lebih besar," ujarnya. Hatta menyatakan kedua pihak baik Indonesia atau pun Jepang kini sudah harus mengajukan proposal ke otoritas asahan. Proposal itu disiapkan melalui tim teknis masing-masing. Dari pemerintah sendiri usulan kajian teknis itu dapat terus dipertajam. Jika perlu ada tim independent untuk menilai keseluruhan aset. Karena masalah serah terima aset pada 2013, seperti powerplan 604 megawatt akan otomatis menjadi milik Indonesia. Dan kita mau membayar kompensasi sesuai dengan nilai buku pada waktu 2013 tersebut. Nilai bukunya ini yang harus dicermati berapa jangan sampai terlalu tinggi harus wajar betul dan ini harus betul penilaian yang independent di samping kita sendiri," tukasnya. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-31

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Satuan dalam KT KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL 2.3.3 Tembaga Konsumsi tembaga dalam negeri pada tahun 2008 sebesar 150.000-190.000 ton. Yang dipasok dari produksi dalam negeri sebesar 105.000 ton dan kekurangannya diimpor. Konsumsi tembaga dalam negeri masih sangat kecil dan umumnya permintaan masih kepada produk-produk hilir. Saat ini, baru ada 1 (satu) industri yang bergerak di sektor hulu untuk pembuatan katode tembaga (cooper cathode) yaitu PT SMELTING. Perusahaan ini memanfaatkan bahan baku dari hasil pertambangan tembaga yang dimiliki Indonesia di Propinsi Papua yang diekplorasi oleh PT. Freeport Indonesia. PT SMELTING memiliki kapasitas desain untuk memproduksi katoda tembaga sebanyak 250.000 ton per tahun, dengan bahan baku 660.000 ton konsentrat tembaga yang dipasok dari PT Freeport Indonesia. Dalam memproses pembuatan katode tembaga tersebut, terdapat produk-produk sampingannya yaitu ; asam sulfat (600.000 ton/tahun), slag (400.000 ton/tahun), gypsum (30.000 ton/tahun) dan lumpur anoda (500 ton/tahun). Penjualan katoda tembaga PT Smelting di wilayah domestik adalah 40% dari total produksi katoda tembaga PT Smelting, sedangkan untuk sisanya sekitar 60% harus dijual ke luar negeri. Secara umum, permintaan pasar atas katode tembaga kepada PT Smelting dan dibandingkan dengan hasil produksinya dapat dilihat pada grafik di bawah ini: Produksi & Permintaan Katoda Tembaga di Indonesia 300 250 200 150 100 50 0 Produksi Permintaan 2-32 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Satuan dalam KT KEDALAMAN STRUKTUR INDUSTRI YANG MEMPUNYAI DAYA SAING DI PASAR GLOBAL Gambar 2-24 Produksi dan Permintaan Cooper Cathode PT Smelting Permintaan cooper cathode masih relative rendah, dan tidak mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena industri hilir yang juga tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti. PT Smelting sendiri berharap agar pemerintah dapat mendorong perkembangan industri hilir berbasis tembaga. Tentu saja dengan perkembangan industri hilir ini, maka permintaan pasar akan cooper cathode juga akan meningkat. Terkait dengan porduksi tersebut, kelebihan produksi akan cooper cathode kemudian diekspor ke negara lain. Pada saat ini, permintaan ekspor jauh lebih besar daripada permintaan domestik. Besarnya perbandingan antara ekspor dan penggunaan domestikdapat dilihat pada grafik di bawah ini. 300.0 250.0 200.0 150.0 100.0 50.0-2006 2007 2008 2009 2010 Domestic Export Gambar 2-25 Penjualan Cooper Cathode 2.4 Ekspor dan Impor Produk Logam Nasional Perdagangan luar negeri memiliki peranan yang penting dalam menggerakkan perekonomian, karena disamping penghasil devisa juga merupakan penyedia lapangan kerja. Selama periode 2005-2009 ekspor logam baja, aluminium dan tembaga cenderung meningkat, namun di saat pertumbuhan ekspor sedang cukup baik, dunia dilanda krisis ekonomi sebagai dampak krisis Amerika yang mulai terjadi pada pertengahan tahun 2008. Krisis ekonomi global tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekspor dan impor Indonesia. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-33

Pada tahun 2005 ekspor logam Indonesia mencapai US$ 5,62 milyar, meningkat menjadi US$ 7,86 milyar pada tahun 2006, US$ 10,18 milyar pada tahun 2007, dan tahun 2008 meningkat menjadi US$ 10,4 milyar, namun menurun menjadi US$ 4,8 milyar pada tahun 2009. Penurunan ekspor tersebut disebabkan oleh turunnya permintaan pasar dunia. Namun dengan makin membaiknya kondisi makro Indonesia dan perekonomian dunia, kinerja ekspor Indonesia pasca krisis menunjukkan kecenderungan meningkat. Krisis ekonomi ternyata berpengaruh juga terhadap kinerja impor. Sebelum krisis ekonomi terjadi, impor logam mencapai US$ 6,03 milyar pada tahun 2005, sedikit menurun menjadi US$ 5,73 milyar pada tahun 2006, meningkat kembali US$ 7,56 milyar pada tahun 2007, dan terus meningkat pada tahun 2008 menjadi US$ 15,09 milyar. Pada tahun 2009 impor logam menurun tajam menjadi US$ 6,7 milyar. 2.4.1 Data Top 10 Ekspor dan Impor HS10 Digit Tabel 2-17 Data TOP 10 Ekspor HS 72-73 7202600000 Ferro-nickel 242.574.377 7208510000 Flat-rolled iron/nas, HRnC,width >600 mm, of a thickness > 10 mm 163.410.509 7304290090 Oth.unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75,000 psi 154.326.402 7308909000 Other structures and parts of structures of iron or steel 128.720.406 7213910000 Other bars, rods, hot-rolled, circular cross-section < 14 mm in diameter 95.825.670 7308202900 Other lattice masts 58.926.700 7326909000 Other articles not forged or steamed 57.691.379 7208900000 Other Flat-rolled iron/nas 51.563.898 7309000000 Reservoir,tank,vat&similar container of iron/steel, capacity > 300 ltr 43.241.559 7304190000 Oth.tube,pipe&hollow profile,seamless, line pipe of a kind use for oil/gas pipe 42.484.066 Total Top 10 1.038.764.966 Others 949.564.088 Total 1.988.329.054 Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diekspor adalah HS 7202600000 / Ferronickel dengan ekspor sebesar US$ 242.574.377. Jika dibandingkan dengan total ekspor HS 72-73, maka ekspor HS Ferro-nickel memberikan kontribusi sebesar 12%. Urutan berikutnya adalah HS 7208510000, HS 7304290090, HS 7308909000 dan HS 7213910000 yang memberikan kontribusi sebesar 8%, 8%, 6% dan 5% dari total ekspor HS 72-73. Sedangkan sisanya memberikan kontribusi kurang dari 5% terhadap total ekspor HS 72-73 sebesar US$ 1.988.329.054. Tabel 2-18 Data TOP 10 Ekspor HS 74 2-34 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 945.434.079 7403190000 Other refined copper, unwrought 784.066.259 7408110000 Copper wire. Of which the maximum cross-sectional 272.635.788 7408190000 Other wire of refined coppper 138.522.318 7402000000 Unrefined copper,copper anodes for elec- trolytic refining. 48.887.931 7407109000 Other Profiles of refined copper 33.471.844 7410210090 Reinforced sheets/plates of polyamide, Copper clad laminate not for PCBs 20.825.980 7408290000 Other copper alloys for copper wire 4.436.218 7412209000 Copper alloys, not brass, refined 3.227.722 7409210000 Copper plates, sheets,strips, of copper zinc base alloys (brass), in coils 1.650.893 Total Top 10 2.253.159.032 Others 13.272.173 Total 2.266.431.205 Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diekspor adalah HS 7403110000 dengan ekspor sebesar US$ 945.434.079. Jika dibandingkan dengan total ekspor HS 74, maka ekspor HS 7403110000 memberikan kontribusi sebesar 48%. Urutan berikutnya adalah HS 7403190000, HS 7408110000, dan HS 7408190000 yang memberikan kontribusi sebesar 35%, 12%, dan 6% dari total ekspor HS 74. Sedangkan sisanya memberikan kontribusi kurang dari 3% terhadap total ekspor HS 74 sebesar US$ 2.266.431.205. Tabel 2-19 Data TOP 10 Ekspor HS 76 7601100000 Aluminium, not alloyed 242.160.148 7606123920 Other aluminium sheet / coil exceeding 1,000 mm in width 68.952.276 7615190000 Oth table, kitchen/oth household articles & parts thereof of aluminium 24.768.580 7610100000 Alum. structures for doors, windows & their frames and thresholds for doors 22.526.808 7604291010 Extruded bars and rods not surface treated 18.785.307 7607209010 Aluminium foil laquer coated (white or of thickness >0,05 mm or < 0,15 mm 16.614.880 7608200000 Aluminium tubes and pipes of aluminium alloys 14.293.463 7612909000 Oth.aluminium casks,drums,cans, boxes & containers, for any material 13.812.917 7606123910 Other aluminium sheet/coil not exceeding 1,000 mm in width 10.884.179 7605110000 Alum. wire of aluminium not alloyed which the max.cross-sect'l dim.exceeds 10.498.906 Total Top 10 443.297.464 Others 83.724.929 Total 527.022.393 Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diekspor adalah HS 7601100000 dengan ekspor sebesar US$ 242.160.148. Jika dibandingkan dengan total ekspor HS 76, maka ekspor HS 7601100000 memberikan kontribusi sebesar 46%. Urutan berikutnya adalah HS 7606123920 yang memberikan kontribusi sebesar 13% dari total ekspor HS 76. Sedangkan sisanya memberikan kurang dari 5% terhadap total ekspor HS 76 sebesar US$ 527.022.393. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-35

Tabel 2-20 Data TOP 10 Impor HS 72-73 7207121000 Slabs of iron/non alloy, cont.< 0,25% of carbon, other than square 609.986.903 7204490000 Other ferrous waste and scrap : 328.994.511 7308909000 Other structures and parts of structures of iron or steel 302.059.637 7207110000 Semi-finished iron/non-alloy cont. < 0,25% carbon,rectnglr,square 211.373.579 7208390000 Flat-rolled iron/nas, HRC, width >600 mm, thick< 3 mm 143.295.173 7220909000 Hoop & strip of stainless steel, not cold rolled, width > 400mm 124.121.571 7209170010 Flat-crc, pickled or not, 0.5<thick<1mm, 600 < width < 1250 mm 122.061.409 7219130000 Flat-roll prod of stainless steel,hot rolled,in coil of a 3mm<=thick<=4.75mm 114.333.428 7204290000 Waste and scrap of oth alloy steel 105.846.692 7209189000 Flat-crc, 0,17< thickness< 0,5 mm containing by weight<= 0.6% of carbon 105.102.533 Total Top 10 2.167.175.436 Others 3.203.993.880 Total 5.371.169.316 Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diimpor adalah HS 7207121000 dengan nilai impor sebesar US$ 609.986.903. Jika dibandingkan dengan total impor HS 72-73, maka impor HS 7207121000 memberikan kontribusi sebesar 11%. Urutan berikutnya adalah HS 7204490000 dan HS 7308909000 yang memberikan kontribusi sebesar 6% dan 6 dari total impor HS 72-73. Sedangkan sisanya memberikan kurang dari 5% terhadap total impor HS 72-73 sebesar US$ 5.371.169.316. Tabel 2-21 Data TOP 10 Impor HS 74 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 220.213.755 7408190000 Other wire of refined coppper 29.752.497 7404000000 Copper waste and scrap. 28.997.511 7403130000 Refined cooper for billets 26.585.400 7408110000 Copper wire. Of which the maximum cross-sectional 20.512.828 7410210020 Reinforced sheets/plates of polyamide, Copper clad laminate for PCBs 20.084.059 7409210000 Copper plates, sheets,strips, of copper zinc base alloys (brass), in coils 17.326.706 7403210000 Copper alloys for copper-zinc base alloys (brass) 17.257.463 7407210000 Profiles of refined copper Of copper-zinc base alloys (brass) 16.685.156 7411100000 Copper tubes & pipes of refined copper 15.897.257 Total Top 10 413.312.632 Others 141.028.470 Total 554.341.102 Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diimpor adalah HS 7403110000 dengan impor sebesar US$ 220.213.755. Jika dibandingkan dengan total impor HS 74, maka impor HS 7403110000 memberikan kontribusi sebesar 40%. Sedangkan sisanya 2-36 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

walaupun termasuk 10 besar impor terbanyak, namun hanya memberikan kurang dari 5% terhadap total impor HS 74 sebesar US$ 554.341.102. Tabel 2-22 Data TOP 10 Impor HS 76 7601100000 Aluminium, not alloyed 259.944.439 7601200000 Aluminium alloys 191.797.570 7606123920 Other aluminium sheet / coil exceeding 1,000 mm in width 71.357.028 7602000000 Aluminium waste and scrap. 40.558.625 7607110000 Aluminium foil not backed, rolled but not further worked 22.991.713 7606110090 Oth aluminium plates,sheets&strip of plain/figured by rolling of thick.>0.2mm 22.575.908 7616999090 Other articles of aluminium 21.029.424 7607199000 Oth than foil aluminium alloy A1075/ a3903 not back,oth than roll but notwork 19.365.783 7612909000 Oth.aluminium casks,drums,cans, boxes & containers, for any material 16.566.299 7606123990 Other aluminum sheet 14.131.491 Total Top 10 680.318.280 Others 94.630.789 Total 774.949.069 Dari tabel diatas, HS yang paling banyak diimpor adalah HS 7601100000 dengan impor sebesar US$ 259.944.439. Jika dibandingkan dengan total impor HS 76, maka impor HS 7601100000 memberikan kontribusi sebesar 34%. Urutan berikutnya adalah HS 7601200000 dan HS 7606123920 yang memberikan kontribusi sebesar 25% dan 9% dari total impor HS 76. Sedangkan sisanya memberikan kurang dari 5% terhadap total impor HS 76 sebesar US$ 774.949.069. 2.4.2 Data TOP 10 Ekspor dan Impor Logam HS10 Digit Tabel 2-23 TOP 10 Ekspor HS 72, 73, 74 dan 76 tahun 2009 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 945,434,079.00 7403190000 Other refined copper, unwrought 784,066,259.00 7408110000 Copper wire. Of which the maximum cross-sectional 272,635,788.00 7202600000 Ferro-nickel 242,574,377.00 7601100000 Aluminium, not alloyed 242,160,148.00 7208510000 Flat-rolled iron/nas, HRnC,width >600 mm, of a thickness > 10 mm 163,410,509.00 7304290090 Oth.unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75,000 psi 154,326,402.00 7408190000 Other wire of refined coppper 138,522,318.00 7308909000 Other structures and parts of structures of iron or steel 128,720,406.00 7404000000 Copper waste and scrap. 102,340,307.00 Others 2,147,366,205.00 TOTAL Ekspor 2009 4,806,543,437.00 Sumber: Kementerian Perindustrian Dari tabel ekspor diatas dapat dilihat bahwa logam yang paling banyak diekspor adalah dari komoditi tembaga. 5 diantaranya berasal dari nomor HS tembaga, KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-37

dimana 3 urutan teratas adalah komoditi tembaga, walaupun urutan 1 dan 2 masih didominasi oleh hasil tambang tembaga. Sedangkan untuk logam baja ada 4 nomor HS dan aluminium hanya 1 nomor HS. Hal ini menandakan bahwa untuk sektor tembaga, kebutuhannya sebagian besar sudah terpenuhi dari produksi dalam negeri sehingga tembaga dapat diekspor lebih banyak dibandingkan dengan logam lainnya. Tabel 2-24 TOP 10 Impor HS 72, 73, 74 dan 76 tahun 2009 7207121000 Slabs of iron/non alloy, cont.< 0,25% of carbon, other than square 609.986.903,00 7204490000 Other ferrous waste and scrap : 328.994.511,00 7308909000 Other structures and parts of structures of iron or steel 302.059.637,00 7601100000 Aluminium, not alloyed 259.944.439,00 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 220.213.755,00 7207110000 Semi-finished iron/non-alloy cont. < 0,25% carbon,rectnglr,square 211.373.579,00 7601200000 Aluminium alloys 191.797.570,00 7208390000 Flat-rolled iron/nas, HRC, width >600 mm, thick< 3 mm 143.295.173,00 7220909000 Hoop & strip of stainless steel, not cold rolled, width > 400mm 124.121.571,00 7209170010 Flat-crc, pickled or not, 0.5<thick<1mm, 600 < width < 1250 mm 122.061.409,00 Others 4.109.643.081,00 Total Impor 2009 6.623.491.628,00 Sumber: Kementerian Perindustrian Dari tabel impor diatas dapat dilihat bahwa logam yang paling banyak diimpor adalah dari komoditi baja, dimana untuk urutan 3 besar berada dari komoditi baja dan untuk 10 besar impor, 7 diantaranya berasal dari baja. Hal ini menandakan bahwa tingkat ketergantungan logam baja kepada impor logam baja masih tinggi karena masih lebih tinggi kebutuhan logam baja dibandingkan dengan produksi logam baja. 2.4.3 Perbandingan Ekspor - Impor HS10 Digit Tabel 2-25 Data dan Perbandingan Ekspor HS10 Digit tahun 2009 Total Ekspor Baja 1,988,329,054.00 Total Ekspor Tembaga 2,367,120,619.00 Total Ekspor Aluminium 527,022,393.00 Total Ekspor Logam 4,882,472,066.00 Total Ekspor Nasional 116,510,026,081.00 Persentase Total Ekspor Baja terhadap Ekspor Logam 40.72% Persentase Total Ekspor Baja terhadap Ekspor Nasional 1.71% Persentase Total Ekspor Tembaga terhadap Ekspor Logam 48.48% Persentase Total Ekspor Tembaga terhadap Ekspor Nasional 2.03% Persentase Total Ekspor Aluminium terhadap Ekspor Logam 10.79% Persentase Total Ekspor Aluminium terhadap Ekspor Nasional 0.45% Persentase Total Ekspor Logam Terhadap Ekspor Nasional 4.19% Sumber: Kementerian Perindustrian Dari tabel diatas dapat diketahui persentase total ekspor logam terhadap total ekspor nasional, total ekspor masing-masing logam seperti baja, tembaga dan 2-38 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

aluminium terhadap total ekspor logam maupun terhadap total ekspor nasional. Untuk hasil ekspor, sektor baja dan sektor tembaga merupakan komoditi yang paling banyak diekspor pada sektor logam yang mencapai lebih dari separuh total ekspor, dimana untuk sektor tembaga menjadi komoditi yang paling banyak diekspor yaitu 48,48% dari total ekspor logam. Ekspor baja mencapai 40,72% dari total ekspor logam. Dan untuk ekspor aluminium hanya mencapai 10,79% dari total ekspor logam. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa produksi untuk sektor baja dan tembaga jauh lebih banyak daripada sektor aluminium, hal ini dapat disebabkan karena dari struktur industri aluminium itu sendiri masih ada missing link terutama pada bagian hulu dimana di Indonesia belum ada industri yang mengubah bauksit menjadi alumina. Hal inilah yang menjadi faktor utama rendahnya produksi aluminium di Indonesia. Sedangkan untuk persentase ekspor logam terhadap total ekspor nasional hanya mencapai 4,19%. Tabel 2-26 Perbandingan Impor HS10 Digit tahun 2009 Total Impor Baja 5,371,169,316.00 Total Impor Tembaga 554,341,102.00 Total Impor Aluminium 774,949,069.00 Total Impor Logam 6,700,459,487.00 Total Impor Nasional 96,829,244,981.00 Persentase Total Impor Baja terhadap Impor Logam 80.16% Persentase Total Impor Baja terhadap Impor Nasional 5.55% Persentase Total Impor Tembaga terhadap Impor Logam 8.27% Persentase Total Impor Tembaga terhadap Imporr Nasional 0.57% Persentase Total Impor Aluminium terhadap Impor Logam 11.57% Persentase Total Impor Aluminium terhadap Impor Nasional 0.80% Persentase Total Impor Logam Terhadap Impor Nasional 6.92% Sumber: Kementerian Perindustrian Dari tabel diatas dapat diketahui persentase total impor logam terhadap total impor nasional, total impor masing-masing logam terhadap total impor logam maupun terhadap total impor nasional. Untuk hasil impor, sektor baja merupakan komoditi yang paling banyak diimpor pada sektor logam yang mencapai lebih dari separuh total ekspor, yaitu sebanyak 80,16% dari total ekspor logam. Impor tembaga hanya sebesar 8,27% dari total impor logam. Dan untuk ekspor aluminium sebesar 11,57% dari total impor logam. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa impor untuk sektor baja masih sangat besar karena kebutuhan logam baja dalam negeri belum dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Selain itu karena adanya beberapa jenis barang yang harganya lebih murah impor daripada ekspor. Impor sektor tembaga jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ekspornya karena kebutuhan tembaga dalam negeri sudah dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri. aluminium, hal ini dapat disebabkan karena dari struktur industri aluminium itu sendiri masih ada missink link terutama pada bagian hulu dimana di Indonesia belum ada industri yang mengubah KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-39

bauksit menjadi alumina. Hal inilah yang menjadi faktor utama rendahnya produksi aluminium di Indonesia. Untuk persentase impor logam terhadap total impor nasional mencapai 6,92%. 2.5 Perkembangan Industri Logam di Luar Negeri 2.5.1 Baja Dalam urutan peringkat baja, teridentifikasi sekitar 31 perusahaan baja terbesar yang pada saat ini masih didominasi oleh China. Data mengenai perusahaan-perusahaan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2-27 Perusahaan Baja Dunia Peringkat T A H U N (2009) (2009) (2008) (2007) Perusahaan Negara MT (juta) 1 77,5 103,3 116,4 ArcelorMittal Global 2 31,3 35,4 28,6 Baosteel Group Cina 3 31,1 34,7 31,1 POSCO Korea Selatan 4 26,5 37,5 35,7 Nippon Steel Jepang 5 25,8 33,0 34,0 JFE Jepang 6 20,5 23,3 22,9 Jiangsu Shagang Cina 7 20,5 24,4 26,5 Tata Steel India 8 20,1 16,0 16,2 Ansteel Cina 9 16,7 19,2 17,3 Severstal Rusia 10 15,3 17,7 16,2 Evraz Rusia 11 15,2 23,2 21,5 United States Steel Corporation Amerika serikat 12 15,1 12,2 12,9 Shougang Cina 13 14,2 20,4 18,6 Gerdau Brazil 14 14,0 20,4 20 Nucor Corporation Amerika serikat 15 13,7 27,7 20,2 Wuhan Iron Steel Cina 16 13,5 13,7 13,9 Steel Authority of India Limited India 17 12,0 33,3 31,1 Hebei Iron Steel Cina 18 11,3 16,0 17,9 Group Riva Italia 19 11,0 14,1 17,0 Thyssen Krupp Jerman 20 11,0 15,9 13,8 Sumitomo Steel Industries Jepang 21 10,9 11,3 9,7 Novolipetsk Rusia 22 10,6 10,0 10,1 IMIDRO Iran 23 23,6 Anshan Iron & Steel Group Corporation Cina 24 14,2 Magang Group Cina 25 13,3 Magnitorgorsk Iron & Steel Works Rusia 26 13,1 Techint Italia Argentina 27 12,1 Shandong Iron and Steel Group Cina 28 11,7 Shandong Laiwu Steel Cina 29 11,1 Valin Steel Group Cina 30 10,9 China Steel Taiwan 31 10,0 Hyundai Steel INI Korea selatan 1.219,0 1.329,0 1.351,0 Total Dunia 2-40 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Peringkat Negara / Wilayah 2007 2008 2009 - World Dunia 1.351,3 1.326,5 1.219,7 1 Republik Rakyat China 494,9 500,5 567,8 - Uni Eropa 209,7 198,0 139,1 2 Jepang 120,2 118,7 87,5 3 Rusia 72,4 68,5 59,9 4 Amerika Serikat 98,1 91,4 58,1 5 India 53,1 55,2 56,6 6 Korea Selatan 51,5 53,6 48,6 7 Jerman 48,6 45,8 32,7 8 Ukraina 42,8 37,1 29,8 9 Brazil 33,8 33,7 26,5 10 Turki 25,8 26,8 25,3 11 Italia 31,6 30,6 19,7 12 Taiwan 20,9 19,9 15,7 13 Spanyol 19,0 18,6 14,3 14 Meksiko 17,6 17,2 14,2 15 Perancis 19,3 17,9 12,8 16 Iran 10,1 10,0 10,9 17 Inggris 14,3 13,5 10,1 18 Kanada 15,6 14,8 9,0 19 Afrika Selatan 9,1 8,3 7,5 20 Polandia 10,6 9,7 7,2 21 Malaysia 6,9 6,4 6,0 22 Austria 7,6 7,6 5,7 23 Belgia 10,7 10,7 5,6 24 Mesir 6,2 6,2 5,5 25 Australia 7,9 7,6 5,2 26 Belanda 7,4 6,8 5,2 27 Thailand 5,6 5,2 5,0 28 Arab Saudi 4,6 4,7 4,7 29 Republik Ceko 7,1 6,4 4,6 30 Kazakhstan 4,8 4,3 4,1 31 Argentina 5,4 5,5 4,0 32 Venezuela 5,0 4,2 3,8 33 Slowakia 5,1 4,5 3,7 34 Indonesia 4,2 3,9 3,5 35 Finlandia 4,4 4,4 3,1 36 Swedia 5,7 5,2 2,8 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-41

37 Rumania 6,3 5,0 2,7 38 Belarus 2,4 2,6 2,4 39 Luksemburg 2,9 2,6 2,2 40 Yunani 2,6 2,5 2,1 - Lainnya 29,8 (perkiraan) 28,3 (perkiraan) 23,3 (perkiraan) Dilihat dari tabel di atas, tentu saja dapat diketahui bahwa China memegang top production dari tahun 2006 hingga tahun 2009. Sedangkan Indonesia masih berada dalam urutan ke 34 peringkat dunia untuk produksi baja. Selain produksi baja, China juga memegang peringkat teratas untuk top exporter dari tahun 2006. Melalui tabel berikut akan disajikan negara-negara yang tergolong dalam top exporter di dunia. Tabel 2-28 Negara Eksportir Baja Teratas Tahun 2006 Ranking Negara Volume 1 China 51,7 2 Jepang 34,6 3 Uni Eropa 32,4 4 Rusia 31,5 5 Ukraina 30,6 6 Jerman 29,2 7 Belgia 24,6 8 Perancis 18,8 9 Korea Selatan 18,0 10 Italia 17,1 11 Brazil 12,6 12 Taiwan 10,6 13 Belanda 10,2 14 Amerika Serikat 9,6 15 Turki 9,2 Tabel 2-29 Top Eksportir Baja Bersih Tahun 2006 Ranking Negara Volume 1 China 32,6 2 Jepang 30,1 3 Ukraina 29,1 4 Rusia 25,6 5 Brazil 10,7 6 Belgia 7,6 7 Jerman 4,9 8 Slowakia 2,7 9 Afrika Selatan 2,6 10 Austria 2,6 11 Finlandia 2,3 12 Belanda 2,0 13 Perancis 1,9 14 Kazakhstan 1,3 2-42 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

2.5.2 Aluminium 15 India 1,2 (tambahkan bendera negara) China, Rusia, Kanada dan Brazil berada di peringkat teratas untuk top production aluminium di dunia. China memiliki 34 perusahaan yang tergolong dalam 150 perusahaan terbesar di dunia. Sedangkan Rusia sendiri memiliki 6 perusahaan yang termasuk dalam 30 perusahaan aluminium terbesar di dunia. Tabel di bawah menyajikan 30 daftar perusahaan aluminium di dunia penghasil aluminium terbanyak per tahunnya. Tabel 2-30 Daftar Perusahaan Penghasil Aluminium Terbanyak di Dunia No. Country Location Plant Capacity (kt/year) Company Name Ownership 1 Russia Bratsk 950 Bratsk Am Works- Braz RUSAL 100% 2 Russia Krasnoyarsk 937 Krasnoyarsk Am Works-Kraz RUSAL 100% 3 Bahrain Manama 872 Alba 4 UAE Jebel Ali 861 Dubal 5 South Africa Richards Bay-H 670 Hillside BHP Billiton 6 Canada Sept-Îles 572 Aluminerie Alouette Rio Tinto Alcan 40%, Austria Metall AG 20%, Hydro Aluminium 20%, SGF 13.33%, Marubeni 6.67% 7 Australia Boyne Island 545 Boyne Smelters Ltd Rio Tinto Alcan 59.4%, Sumitomo, Marubeni, Mitsubishi 8 Mozambique Maputo 530 Mozal BHP Billiton 9 Tajikistan Tursunzoda 520 Tajik Aluminium Company 10 Australia Tomago 520 Tomago Aluminium Company Rio Tinto Alcan 51.5% 11 Russia Sayanogorsk 500 Sayamsk Am Works- Saaz RUSAL 100% 12 Brazil Sorocaba 475 Companhia Brasileira de Aluminio (CBA) 13 Brazil Barcarena 460 Albras Vale 51%, Nippon Amazon Aluminium Company 49% 14 Russia Shelekhovo 456 Irkutsk Am Works- Iraz RUSAL 100% 15 Brazil Sao Luiz 438 Alumar Alcoa 60% 16 Canada Baie Comeau 438 Alcoa Alcoa 100% 17 Venezuela Puerto Ordaz-V 436 Venalum 18 Canada Alma 415 Rio Tinto Alcan Rio Tinto Alcan 100% 19 Canada Becancour 409 A.B.I. Alcoa 75%, Alcan 25% 20 China Qingtongxia 385 Qingtongxia Al Co Rio Tinto Alcan 50% 21 India Renukoot 360 Hindustan Aluminium Co. (Hindalco) 22 India Angul 359 National Aluminium KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-43

Co. (Nalco) 23 Norway Sunndal 357 Hydro Aluminium 24 Australia Portland 353 Portland Aluminium 55% Alcoa 25 New New Zealand Tiwai Point 352 Zealand Aluminium Smelters 26 India Korba 345 Bharat Aluminium Co (Balco) 27 China Wanji 340 Wanji Al Co Ltd 28 Oman Sohar 330 Sohar Aluminium Company 29 Iceland Fjardaal 322 Alcoa 30 Russia Novokuznetsk 310 Novokuznetsk Am Works-Naz Rio Tinto 79%, Sumitomo 21% Government of India 49%, Vedanta 51% Oman Oil Corporation 40% ADWEA 40% Alcan 20% RUSAL 100% Dalam peringkat dunia, china masih memegang urutan teratas dalam produksi aluminium dunia sebanyak 5 juta ton setahun, diikuti oleh Rusia yang memproduksi 4 juta ton/tahun, Amerika dan Canada dengan produksi sebesar 3 juta ton/tahun. Indonesia sendiri berada di peringkat 26 dunia dengan produksi sebanyak 225 ribu ton/tahun. Tabel 2-31 Rank Country/Region Aluminium production (tonnes) World 33,410,000 1 People's Republic of China 5,896,000 2 Russia 4,102,000 3 United States 3,493,000 4 Canada 3,117,000 5 Australia 1,945,000 6 Brazil 1,674,000 7 Norway 1,384,000 8 India 1,183,000 9 Bahrain 872,000 10 United Arab Emirates 861,000 11 South Africa 855,000 12 Iceland 721,000 13 Germany 679,000 14 Venezuela 640,000 15 Mozambique 530,000 16 Tajikistan 520,000 17 Iran 457,000 18 Spain 399,000 19 France 394,000 20 United Kingdom 366,000 21 New Zealand 330,000 22 Netherlands 313,000 23 Romania 283,000 24 Argentina 272,000 25 Egypt 245,000 26 Indonesia 225,000 27 Ghana 200,000 28 Italy 198,000 29 Nigeria 193,000 30 Greece 165,000 31 Slovakia 158,000 2-44 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

2.5.3 Tembaga 32 Montenegro 120,000 33 Slovenia 117,000 34 Ukraine 113,000 35 Bosnia and Herzegovina 107,000 36 Sweden 102,000 37 Cameroon 96,000 38 Mexico 75,000 39 Turkey 65,000 40 Poland 50,000 41 Switzerland 44,000 42 Azerbaijan 35,000 43 Hungary 28,000 44 Japan 18,000 45 Bangladesh 15,600 Dalam membahas industry tembaga, utamanya industry hulu tembaga, tidak bisa dilepas dengan usaha pertambangan tembaga sebagai bahan baku industry tembaga. Pertambangan tembaga umumnya banyak terdapat di wilayah Amerika Selatan dan yang terbesar di Negara Chile, dan lainnya juga terdapat di Negara Peru dan Mexico. Diluar Amerika Selatan Negara-negara penghasil tambang tembaga adalah ; USA, Rusia, Australia, Polandia, Kazakhstan dan Indonesia. Pertambangan tembaga di Wilayah Amerikan Selatan tumbuh luarbiasa dalam dua puluh lima tahun terkahir. Pada 1980 kapasitas produksi dari perusahaan perusahan di Amerika Selatan sebesar 1,808 ribuan metrik ton dan pada tahun 2006, wilayah Amerika Selatan telah memproduksi 6,902 ribuan metrik ton. Dua puluh besar perusahaan tambang tembaga dunia adalah seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2-32 Perusahaan Tambang Berdasarkan Kapasitas, 2006 No Nama Perusahaan Kapasitas (Ribuan Ton) Negara Pemilik 1 Escondida 1.311 Chile BHP Billiton, Rio Tinto, Japan Escondida 2 Codelco Norte 957 Chile Codelco 3 Grassberg 750 Indonesia PT. Freport Mc Moran Copper & Gold 4 Collahuasi 450 Chile Anglo America,Xstrata Plc, Mitsui, Nippon 5 Morenci 430 Amerika Serikat PT. Freport Mc Moran Copper & Gold, Sumitomo 6 Taimyr Peninsula 430 Rusia Norilsk Nickel 7 El Teniente 418 Chile Codelco 8 Antamina 400 Peru BHP Billiton, Teck, Xstrata plc, Mitsubishi 9 Los Pelambres 335 Chile Antofagasta Holdings, Nippon Mining, Mitsubishi Materials 10 Batu Hijau 300 Indonesia PT. Pukuafu Indah, KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-45

Newmont, Sumitomo Corp., Sumitomo Metall Mining 11 Bingham Canyon 280 Amerika Serikat Kennecott 12 Olympic Dam 255 Autralia BHP Billiton 13 Andina 236 Chile Codelco 14 Zhezkazgan Complex 230 Kazakhstan Kazakhmys 15 Los Bronces 226 Chile Anglo Amerika 16 Rudna 220 Polandia KGHM Polska Miedz S.A 17 El Abra 219 Chile Codelco, Freeport Mc Moran Copper & Gold 18 Mount Isa 212 Australia Xstrata Plc 19 Toquepala 210 Peru Southern Copper Corp 20 Cananea 210 Meksiko Group Mexico Sumber: ICSG, 2006 Hasil pertambangan tembaga umumnya dijual dipasaran dalam bentuk biji tembaga (Ore) yang selanjutnya diolah lebih lanjut pada industry pengolahan atau industry smelter untuk dijadikan katode tembaga atau copper cathode. Dari data lembaga tembaga dunia total produksi copper cathode dunia pada tahun 2006 sebesar 15.000 MT, dimana 46 % atau sebesar 6.900 MT disupply oleh Amerika Selatan. Tabel berikut memperlihatkan 20 besar industry smelter di dunia. Tabel 2-33 Dua puluh Perusahaan Smelter Dunia No Nama perusahaan Kapasitas (ribuan metrik ton) Proses Negara 1 Birla Copper (Dahej) 500 Outokumpu Flas, Ausmelt, Mitsubishi Continous India 2 Nordeutsche Affirnerie 450 Outokumpu, Contimel, Electrict Jerman 3 Saganoseki/Ocita 450 Outokumpu flash Jepang 4 Codelco Nork 400 Outokumpu/tenient,converter Chile 5 Guixie 400 Outokumpu flash China 6 Norilsk (Nikelevy,medny) 400 Reverb. Electric,Vanyukov Rusia 7 El Teniente (Caletonse) 391 Reverberatory/Teniente Conv Chile 8 Besshi/Ehime (Toyo) 365 Outokumpu flash Jepang 9 Jinchuan 350 Reverberatory/Kaldo Conv. China 10 Yunnan 350 Issasmelt Process China 11 Onahama/Fukushima 324 Rverberatory Jepang 12 Huelva 320 Outokumpu Flash Spanyol 13 Garfield 320 Kennecott/Outokumpu USA 14 Ilo Smelter 315 Issasmelt Process Peru 15 Naoshima/Kagawa 312 Mitsubishi Continous Jepang 16 Sterlite Smelter (Tuticorin) 300 Issasnelt Process India 17 Onsan II 300 Mitsubishi Continous Korea Selatan 18 La Caridad 290 Outokumpu/Teniente Converter Meksiko 19 Altonorte (La Negra) 260 Noranda Continous Chile 20 Smelting Gresik 260 Mitsubishi Flash Indonesia Sumber : ICSG, 2007 Hingga tahun 2006, Negara Jepang masih merupakan Negara terdepan dalam mengimpor tembaga dunia, mencapai 1.327 MT diikuti oleh Negara-negara China, 2-46 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

India dan Korea Selatan. Setelah tahun 2006 negara pengimpor utama tembaga diambih alih oleh China. Negara-negara pengekspor tembaga kepasar dunia yang terdepan adalah Chili sebesar 2.172 MT, kemudian diikuti oleh Negara-negara seperti ; Peru, Australia dan Indonesia. Di awal tahun 2007, permintaan tembaga dunia meningkat dan bahkan melampaui volume produksinya. Pemicunya adalah China yang mengimpor banyak logam tersebut menjelang Olimpiade. Permintaan tersebut melampaui kapasitas produksi yang mencapai 39.000 metrik ton pada bulan Januari dan 51.000 metrik ton pada bulan Februari. Data International Copper Study Group yang berbasis di Lisbon mengungkapkan kondisi ini berbeda dengan posisi periode Januari - Februari 2006 yang justru mengalami surplus produksi sebesar 53.000 metrik ton. China dan India merupakan dua negara yang mendorong pertumbuhan permintaan tembaga. Demand tembaga yang tinggi dari kedua negara ini dilatari pertumbuhan ekonomi yang sangat menakjubkan Permintaan tembaga tahun 2009 menurun sebesar 29% menjadi 18 juta MT, dikarenakan adanya krisis global yang dipicu dari Amerika. Yang cukup mengejutkan khusus di China, permintaan tembaga selama 2009 justru naik 38 persen. China pada 2009 membeli tembaga sebanyak 36 persen dari konsumsi dunia. Tahun 2010 ini konsumsi tembaga dunia diramalkan tumbuh 5,4 persen, dimana China yang diperkirakan akan membeli hampir 40 persen produksi dunia. Karena potensi yang luar biasa dari konsumen China, ada prospek baik untuk permintaan tembaga di masa mendatang. Permintaan China masih kuat setelah pertumbuhan ekonomi pada 2009 melonjak meninggalkan negara lainnya yang dilanda krisis global. Tahun ini dan tahun-tahun berikutnya industri melihat peningkatan signifikan dalam permintaan tembaga di Asia. Negara-negara berkembang di Asia secara bertahap terus memerlukan upaya intensif dalam penggunaan tembaga untuk konstruksi, pembangunan infrastruktur energi dan aktivitas industri lainnya. Mereka membutuhkan tembaga lebih banyak dari negara-negara lainnya. Peningkatan permintaan yang demikian besar mendorong perusahaan mengumumkan rencana investasi sebesar USD 15 miliar selama lima tahun ke depan. Dana tersebut akan digunakan untuk memperluas produksi di Cile, yang berkontribusi sebanyak 33 persen produksi dunia. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-47

Kendati demikian, masih terdapat beberapa masalah di sisi penawaran mengingat banyak tambang tembaga yang sudah berusia tua dan membutuhkan metode ekstraksi lebih mahal. 2.6 Perkembangan Investasi dan Tenaga Kerja Industri Logam Nasional 2.6.1 Lingkungan Hidup Bahan buangan yang dihasilkan dari industri besi baja seperti cor logam dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Sebagian besar bahan pencemarannya berupa debu, asap dan gas yang mengotori udara sekitarnya. Selain pencemaran udara oleh bahan buangan, kebisingan yang ditimbulkan mesin dalam industri baja mengganggu ketenangan sekitarnya. Kadar bahan pencemar yang tinggi dan tingkat kebisingan yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan manusia baik yang bekerja dalam pabrik maupun masyarakat sekitar. Walaupun industri baja/logam tidak menggunakan larutan kimia, tetapi industri ini mencemari air karena buangannya dapat mengandung minyak pelumas dan asamasam yang berasal dari proses pickling untuk membersihkan bahan plat, sedangkan bahan buangan padat dapat dimanfaatkan kembali. Peraturan pemerintah nomor 19/1995 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menyebutkan bahwa semua jenis limbah yang bersifat toksik termasuk dalam golongan limbah B3. Limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi termasuk dalam limbah B3, karena bersifat toksik. Steel slag adalah limbah dari pembuatan baja. Steel slag dihasilkan selama proses pemisahan cairan baja dari bahan pengotornya pada tungku-pembuat baja. Perhatian terhadap lingkungan, karena steel slag mengandung logam berat dan ada kemungkinan logam berat tersebut dapat terlepas ke lingkungan, jika terpapar terus menerus di lingkungan terbuka. Jika terlepas ke lingkungan logam berat akan mencemari tanah, air dan air tanah. Supaya tidak menimbulkan pencemaran, kalangan asosiasi baja meminta pemerintah untuk memanfaatkan limbah baja (limbah slag). Pemanfaatan ini bisa digunakan untuk proyek infrastruktur. Soalnya bila tidak dimanfaatkan limbah tersebut termasuk dalam kategori limbah balian beracun dan berbahaya (B3). Slag merupakan residu prosesing baja hulu. Dan di negara lain limbah tersebut tidak termasuk dalam kategori B3. Selain itu slag dapat dimanfaatkan untuk reklamasi pantai dan 2-48 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

pengerasan jalan. Contohnya adalah negara Jepang dan Korea yang telah memanfaatkan Slag untuk menguruk pantai. Setiap ton produksi baja menghasilkan 20% limbah slag, oleh karena itu industri baja kesulitan menampung slag dalam gudang-gudang mereka. Hal ini dikarenakan jika ingin dikeluarkan wajib dilakukan pengelolaan secara khusus yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit Sementara itu berdasarkan penelitian penggunaan slag yang berasal dari limbah itu justru menghasilkan beton yang lebih kokoh dibandingkan penggunaan kerikil kasar. Hasil uji tekan laboratorium menunjukkan peningkatan kekuatan sampai 20% di atas penggunaan bahan konvensional. Dan ini juga berarti bahwa dunia konstruksi beton tidak harus menggerus bukit atau menggali dasar sungai untuk mencari kerikil kasar sebagai bahan betonnya. Slag harus dimanfaatkan karena jika limbah industri baja yang saat ini masuk dalam kategori B3 tersebut dibiarkan menumpuk dan terkena hujan, airnya akan mengaliri sungai dan saluran irigasi. Efeknya bisa menimbulkan dampak yang luas bagi kesehatan dan lingkungan. Disisi lain di dunia internasional, melalui Konvensi Bassel, slag tidak dianggap sebagai B3, namun undang-undang mengenai lingkungan hidup di Indonesia menyatakan slag sebagai B3. Demikian pula di Amerika, slag tidak dikategorikan B3 berdasarkan hasil tes dari US-EPA (United States Environtment Protection Agency). Bahaya dari bahan-bahan pencemar yang mungkin dihasilkan dari proses-proses dalam industri besi-baja/logam terhadap kesehatan yaitu : Debu, dapat menyebabkan iritasi, sesak nafas Kebisingan, mengganggu pendengaran, menyempitkan pembuluh darah, ketegangan otot, menurunya kewaspadaan, kosentrasi pemikiran dan efisiensi kerja. Karbon Monoksida (CO), dapat menyebabkan gangguan serius, yang diawali dengan napas pendek dan sakit kepala, berat, pusing-pusing pikiran kacau dan melemahkan penglihatan dan pendengaran. Bila keracunan berat, dapat mengakibatkan pingsan yang bisa diikuti dengan kematian. Karbon Dioksida (CO2), dapat mengakibatkan sesak nafas, kemudian sakit kepala, pusing-pusing, nafas pendek, otot lemah, mengantuk dan telinganya berdenging. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-49

Belerang Dioksida (SO2), pada konsentrasi 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, peradangan lensa mata (pada konsentrasi 20 ppm), pembengkakan paru-paru/celah suara. Minyak pelumas, buangan dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan, bila bahan pencemar dialirkan ke sungai sekitar. Asap, dapat mengganggu pernafasan, menghalangi pandangan, dan bila tercampur dengan gas CO2, SO2, maka akan memberikan pengaruh yang nenbahayakan seperti yang telah diuraikan diatas. 2.6.2 Energi Salah satu bahan bakar untuk mendukung kegiatan produksi di industri baja adalah gas alam yang selama ini dipasok oleh pertamina. Misalnya, PT Krakatau Steel menggunakan gas alam dalam pembuatan baja canai panas (HRC) dan baja canai dingin (CRC) Namun saat ini, pasok gas alam untuk kegiatan produksi baja di PT KS belum optimal, yaitu hanya sekitar 80%-85% dari total kebutuhan. Sementara meski kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi melaluiimpor, namun tidak kompetitif karena biaya yang dikeluarkan semakin meningkat. Dengan pasok gas alam yang berada di bawah kebutuhan maka telah berdampak pada rendahnya tingkat utilisasi pabrik yaitu mencapai 50% dari total kapasitas produksi. Hingga kini, total kebutuhan gas alam untuk industri baja mencapai 500ribu MMSCF per tahun. Selain itu, dengan pasok gas yang tidak mencukupi kebutuhan, mengakibatkan salah satu pabrik, yaitu Hyl 1 berhenti beroprerasi. Padahal jika dua pabrik beroperasi maksimal maka tingkat produksi akan semakin tinggi, sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku. PT Krakatau Steel, melalui anak usahanya PT Krakatau Daya Listrik, siap membangun pembangkit listrik sebesar 320 megawatt (MW) pada tahun 2009 di Krakatau Industrial Estate Cilegon, Banten, untuk mendukung operasional pabrik. Proyek pembangkit tersebut akan menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya yang diperkirakan akan menelan investasi US$ 320 juta. Selama ini, untuk memproduksi listrik, KS masih menggunakan pembangkit berbahan bakar gas dan bahan bakar minya (BBM) di unit pembangkit lama berkapasitas 400 MW. Langkah konversi energi ini ditempuh sebagai upaya perseroan untuk menciptakan system proses produksi baja spons (produk baja hulu) yang lebih efisien. Dengan mengonversi penggunaan gas dan BBM ke batu bara 2-50 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

sebagai bahan bakar pembangkit listrik, anggaran perusahaan untuk proses produksi bias ditekan secara drastic. Sehingga diharapkan ongkos produksi bisa menjadi lebih murah karena akan mensubstitusi pasokan listrik yang bersumber dari gas. Industri Baja Nasional perlu hemat energi Penggunaan tekonlogi hemat energi merupakan kebutuhan bagi industri baja. Mengingat komponen energi memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi keseluruhan biaya produksi. Sehingga dengan melakukan penghematan energi akan membuat industri baja mampu bersaing di pasar global. Saat ini, tren industri baja dunia menggunakan teknologi hemat energi untuk menekan biaya produksi sekaligus membuat industri yang bersangkutan mampu bersaing di pasar internasionall. Padahal hampir semua industri baja di dunia tidak memiliki sumber daya energi yang cukup besar seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Sehingga meski Indonesia memiliki sumber daya energi gas yang cukup besar, namun industri baja nasional perlu menerapkan teknologi hemat energi Sementara itu, penggunaan energi baik listrik maupun gas untuk industri baja di Indonesia menyerap sekitar 18% dari komponen biaya produksi. Angka itu masih cukup besar. Oleh karena itu, perlu diterapkan teknologi hemat energi, sehingga mampu menekan biaya produksi. Disisi lain, untuk memperbarui teknologi produksi diperlukan investasi yang cukup besar. Atau hampir sama dengan membangun sebuah parbik baru, yaitu sekirar US$ 250 juta. Pada umumnya, inudstri baja nasional seperti PT KS memilih melakukan rekayasa teknologi yang dilakukan sendiri oleh SDMnya dengan biaya yang lebih murah. Cadangan Gas bumi Indonesia Cadangan terbukti dan potensi gas bumi nasional per 1 januari 2006 mencapai total volume 187.09 TSCF, terdiri dari 93,95 TSCF cadangan terbukti dan cadangan potensial sebesar 93,14 TSCF. Cadangan gas bumi nasional juga tersebar di beberapa wilayah Indonesia meliputi, NAD memiliki sumber daya 4.57 TSCF, Sumatera utara 1.38 TSCF, Rencana pemangkasan pasokan gas bagi industri manufaktur sebesar 20% akan berimbas negatif bagi kinerja industri yang mengandalkan bahan baku gas seperti industri pupuk, keramik, baja dan semen. Sektor-sektor tersebut akan mengalami pengurangan produksi. Bukan hanya itu saja, bagi industri yang terkena pemangkasan namun masih menggunakan konsumsi normal maka akan dikenakan surcharge yang akan menambah beban biaya. Selama ini industri manufaktur yang banyak menggunakan gas antaralain baja, keramik, semen dan pupuk. Sektor keramik saja mengambil porsi hingga 20% dari total kebutuhan gas industri manufaktur atau mencapai 152 mmscfd per tahun. Saat ini utilisasi atau pemanfaatan kapasitas terpasang mencapai 70%-80% per tahun, dengan adanya pengurangan pasokan gas tentunya akan mengoreksi utilisasi. Masalah gas di dalam negeri saat ini sangat memperihatinkan mengingat pemerintah sudah terlanjur menandatangani kontrak-kontrak ekspor gas dalam jangka waktu yang panjang. Meski dari kebijakan itu positifnya akan meningkatkan sumber devisa namun menggerus tenaga kerja karena industri tidak mendapat jaminan pasokan gas. Masalah ini menyebabkan PGN tak sanggup memenuhi sepenuhnya permintaan suplai ke ke industri manufaktur karena PGN mengalami kekurangan pasokan. KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-51

2.6.3 Globalisasi Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentukbentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985. Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia: Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi sangat cepat, sehingga memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, berita dan olah raga internasional). Saat ini kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. 2-52 KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Salah satu bentuk kerjasama dari globalisasi saat ini adalah terjadinya kerjasama antar negara baik kerjasama bilateral maupun regional. Indonesia telah melakukan kerjasama regional antara lain Asean Free Trade Area (AFTA), Asean-Korea Free Trade Area (AkFTA) dan Asean-China Free Trade Area (ACFTA). Sedangkan kerjasama bilateral yang telah dilaksanakan adalah kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Jepang yaitu Indonesia and Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). KONDISI INDUSTRI LOGAM NASIONAL 2-53

3 3. SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3.1 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Logam 3.1.1 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Nasional V isi, misi, tujuan, dan sasaran serta arah industri Indonesia ke depan, telah diatur dalam Peraturan Presiden Indonesia no. 28 tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional atau biasa disebut dengan KIN. Visi perindustrian Indonesia pada tahun 2025 dalam KIN adalah membawa Indonesia menjadi negara industri tangguh dunia yang bertumpu pada tiga industri andalan masa depan yaitu industri agro, industri alat angkut, dan industri telematika menjadikan industri logam sebagai tulang punggung industri Indonesia. Hal ini jelas terlihat bahwa ketiga industri andalan ini sangat memerlukan industri logam. Sebagai contoh, pada sektor industri alat angkut seperti industri mobil, pada setiap mobil yang diproduksi saat ini terdapat sekitar 60% komponen yang menggunakan bahan atau berbasis baja; pada sektor industri telematika seperti industri komputer, sebagian besar komponennya merupakan bahan berbasis industri logam, baik baja maupun non-ferro. Sementara itu, industri agro pun tidak luput dari kebutuhannya akan industri logam, terutama dalam pemesinan dana peralatan pertanian termasuk pengolahannya, serta pengemasan hasil pertanian. SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-1

Peran penting industri baja sebagai tulang punggung pembangunan industri nasional digambarkan oleh Struktur Bangun industri masa depan pada gambar 3.1. Gambar 3-1 Bangun Industri Nasional (sumber: Kementerian Perindustrian) 3.1.2 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Baja Berdasarkan rencana strategis industri nasional dalam KIN, target dan sasaran pengembangan industri baja Indonesia selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 103/M-IND/PER/10/2009 mengenai roadmap pengembangan klaster industri prioritas dalam bentuk rencana aksi dalam tiga tahap. Secara ringkas peraturan tersebut ditampilkan pada tabel sebagai berikut: Tabel 3-1 Rencana Aksi Industri Baja (sumber: Peraturan Menteri Perindustrian No. 103/M- IND/PER/10/2009) Rencana Aksi (Action Plan) Tahap 1 (2006-2010) Tahap 2 (2010-2015) Tahap 3 (2016-2020) Tahap Implementasi Integrasi industri hulu dan peningkatan kinerja industri Peningkatan kapasitas dan pengembangan produk baru Peningkatan daya saing produksi dan pertumbuhan berkelanjutan Indeks Konsumsi 43 kg/ kapita/ tahun 56 kg/ kapita/ tahun 70 kg / kapita / tahun Penawaran 10 juta ton/ tahun 10 juta ton / tahun 10 juta ton/ tahun Indikator Pencapaian 3-2 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Kapasitas Produksi - Menyeimbangkan Mengembangkan - implementasinya struktur industri kapasitasi produksi dilakukan dengan - memperbaiki yang baru secara pemenuhan kinerja industri agresif melalui kapasitas dan mutu mengembangkan penerapan teknologi produksi pada level industri penyedia terkini global bahan baku berbasis - Mengembangkan sumber daya lokal produk-produk baru - Inventori fasilitas produksi sektorsektor yang belum ada - Meningkatkan untilisasi kapasitas Teknologi R&D dan SDM - Memperbaiki - Menerapkan - Penerapan teknologi fasilitas manajemen modern manajemen dan yang ada yang didukung pendekatan - Meningkatkan dengan ketersediaan teknologi yang kemampuan sumber tenaga ahli yang ramah lingkungan daya manusia untuk terlatih mengimbangi pengembangan industri - Melakukan pembinaan manajemen untuk pengelolaan bisnis berstandar dunia khususnya untuk industri BUMN Supporting / Pendukung - Memperjelas - Menciptakan pasar - Penciptaan kondisi mekanisme pasar, konsumsi yang yang kondusif untuk baik pasar domestik kondusif dan mengakomodasi maupun pasar realisasi kecenderungan ekspor pembangunan yang global juga perlu - Menghilangkan mengkonsumsi baja diusahakan, bentuk-bentuk secara intensif diantaranya penyimpangan kecenderungan SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-3

dalam bentuk pajak intergrasi dengan maupun subsidi industri-industri (2010 telah konsumen di hilir diberlakukan pula dan antara konsensus pasar ke kas APEC dan persiapan WTO) - Meningkatkan kebijakan perdagangan serta promosi Pendanaan - Membuat - Mengusahakan - kecenderungan kebijakan dalam ketersediaan dana konsolidasi dan penyediaan dana investasi yang restrukturisasi yang investasi kompetitif bersifat domestik - Mendukung maupun lintas negosiasi dengan negara sumber-sumber investasi sebagai alternatif (FDI) - Privatisasi industri BUMN untuk mendatangkan modal investasi dari pasar domestik Pada tahun 2020, ditargetkan konsumsi industri baja mencapai 70 kg / kapita / tahun. Untuk mencapai peningkatan konsumsi baja dalam negeri ini, Pemerintah khususnya Kementerian Perindustrian melakukan berbagai upaya dengan mendorong industriindustri lainnya untuk dapat lebih berperan dalam perekonomian dengan meningkatkan volume produksinya. Salah satu program peningkatan konsumsi baja dalam negeri adalah pada peningkatan industri otomotif. Pada tahun 2015 pemerintah menargetkan industri otomotif dapat memproduksi 1 juta mobil per tahun (sumber: Ditjen Industri Alat Transportasi dan Telematika, Kementerian Perindustrian). Walaupun konsumsi baja per kendaran yang dihasilkan tidak besar, tetapi segala peralatan untuk memproduksi kendaraan bermotor umumnya menggunakan komponan logam. Usaha lain dari sisi supply juga telah dilakukan, diantaranya dengan mendorong investasi dari dalam dan luar negeri. Dalam hal ini, 3-4 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

sebagai contoh, Pemerintah bersama-sama dengan PT. KS mulai bekerjasama dengan mitra strategis, seperti Posko (Korea Selatan) untuk dapat meningkatkan produksi baja jenis tertentu hingga mencapai 5 juta ton per tahun. Dengan tingkat kebutuhan per kapita per tahun sebesar 43 kg, kebutuhan saat ini secara teoritis telah mencapai di atas 10 juta ton (dengan asumsi jumlah penduduk sekitar 235 juta jiwa). Namun demikian, Pemerintah juga tetap melakukan kerjasamakerjasama dengan mitra strategis di kancah internasional dalam meningkatkan akses pasar produk-produk industri baja ke pasar internasional. Sejak tahun 1995 Indonesia tergabung dalam WTO agar akses pasar Indonesia ke negara-negara lain bisa lebih mudah, selain itu di kancah regional maupun bilateral Pemerintah melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan negara-negara ASEAN atau lebih populer dengan kerjasama AFTA, kesepakatan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), Asia Pacific Economic Partnership (APEC), ASEAN-Korea Free Trade Agreement (AKFTA), dan yang marak dibicarakan saat ini ASEAN CHINA FTA. 3.1.3 Target dan Sasaran Pengembangan Industri Non Ferro Sektor-sektor industri utama yang menggunakan bahan dasar industri logam non ferro adalah industri elektronika dan telematika, industri kendaraan bermotor, indsutri agro, dan lainnya. Target dan sasaran pengembangan industri logam nonfero tentunya harus diarahkan pada pengembangan di sektor-sektor industri tersebut. Rencana strategis dalam KIN menyebutkan bahwa industri telematika merupakan industri andalan masa depan yang perlu didorong dan dikembangkan. Oleh karena itu, di tahun 2020 industri non-ferro Indonesia ditargetkan untuk dapat bersaing secara global untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri dan luar negeri untuk industri-industri hilir non-ferrous. Pada tahun 2008, konsumsi alumunium di dunia antara lain adalah 36 % untuk transportasi, 23 % untuk container/ packaging, 14% untuk bangunan dan konstruksi, 8% untuk kelistrikan, 8 % untuk mesin dan peralatan, dan 11% untuk kebutuhan lainnya. Dari data ini, KIN yang dibuat pemerintah sudah sejalan dengan kebutuhan dunia yaitu membangun dan mengembangkan industri transportasi yang berbasis industri manufaktur, mengingat konsumsi dunia saat ini sangatlah besar pada industri-industri tersebut. Namun sangat disayangkan, Pemerintah khususnya Kementerian Perindustrian masih belum memprioritaskan secara rinci pengembangan industri non-ferrous sehingga belum ada arah yang jelas mengenai pengembangan dan sasaran industri SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-5

ini ke depan. Hal ini tampak dari belum adanya peraturan Menteri di bawah Kepres 28 tahun 2008 (KIN) yang mengatur road map industri non-ferrous. Pengembangan industri non-ferrous di Indonesia saat ini lebih didorong dengan adanya pasar yang besar dari produk-produk non-ferrous. Para pengusaha dan investor yang jeli telah melihat kebutuhan yang besar di industri ini, sehingga para pemain tersebutlah yang saat ini memiliki pola pengembangan industri ini. Kurangnya perhatian pemerintah pada industri non-ferrous terlihat dari adanya pemberian bea masuk 0% untuk copper cathode untuk skema ACFTA yang menyebabkan copper cathode produksi dalam negeri masuk ke dalam persaingan yang sangat ketat dengan produksi dari China yang sangat mungkin mendapat berbagai fasilitas lain di negaranya. Apabila pemerintah mempunya skema yang jelas untuk pengembangan industri non-ferrous, maka hal-hal yang dapat merugikan industri dalam negeri tidak terjadi, atau paling tidak diusahakan untuk menjamin terjadinya persaingan yang seimbang. 3.2 Industri Logam Sebagai Pendukung Driver Sektor Industri Apakah driver sektor itu? Istilah ini mulai populer di kalangan Kementerian Perindustrian saat berlangsungnya negosiasi kesepakatan IJEPA pada tahun 2006 2008 yang lalu. Istilah ini mulai muncul karena pihak Indonesia dalam hal ini Kementerian Perindustrian berpendapat bahwa kesepakatan kerjasama antara Indonesia dengan Jepang dalam kerangka IJEPA harus memiliki arah dan tujuan yang jelas, bukan semata-mata hanya membuka pasar kedua negara, tetapi juga pembukaan pasar ini akan membuat efek spill over yang luas bagi pengembangan ekonomi kedua negara. Untuk itu, dalam tulisan ini definisi dari driver sektor diambil dari definisi yang digunakan oleh Kementerian Perindustian, dimana Driver sektor adalah industri yang menjadi inti dan penggerak industri-industri lainnya dimana kedepannya akan menggerakan ekonomi secara berkesinambungan. Driver sektor dipandang penting karena dengan terpilihnya suatu industri menjadi driver atau penggerak, maka pengembangan industri pada sektor tersebut termasuk infrastruktur dan industri pendukungnya akan lebih terarah dan terstruktur. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memilih driver sektor tersebut? Pemilihan driver sektor bisa dilakukan dengan mengukur bagaimana potensi daya saing sektor industri di internasional dan bagaimana potensi ke depan untuk berkembang. Untuk saat ini, sesuai dengan bangun industri ke depan, seperti pada gambar 3.1, industri Indonesia akan mengarah pada tiga sektor industri utama atau 3-6 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

dalam hal kita sebut sebagai driver sektor antara lain industri telematika, industri transportasi, dan industri agro. Industri logam merupakan industri berbasis manufaktur yang sangat menunjang berkembangnya ketiga driver sektor industri. Tabel berikut menunjukkan industri logam sebagai pendukung ke 3 driver sektor industri. Tabel 3-2 Industri Logam Pendukung ke-3 Driver Sektor Industri Industri Andalan Masa Depan / Driver Sector Industri alat angkut/ transportasi Industri elektronika dan telematika Industri agro Industri Logam Pendukung driver sektor Industri baja > pelat baja, mur & baut, pemesinan, profil, mold & die dll Industri non-ferrous > kabel, produk-produk die casting, extrusi, profil, dll Industri baja > pelat baja tipis, mold & die, dll, mur & baut Industri non-ferrous > kabel, PCB, foil, die casting, extrusi, profil, dll Industri baja > pelat baja tipis (seng) untuk kemasan kaleng makanan dan minuman Industri non-ferrous > foil pembungkus makanan, bahan tembaga dan alumunium sebagai kemasan makanan dan minuman Pemilihan driver sektor pada tulisan ini merupakan fokus dari ke empat klaster industri prioritas yang terkait langsung dengan industri logam dan sesuai dengan bangun industri masa depan. Industri kendaraan roda empat, sepeda motor, industri konstruksi (bangunan pabrik, rumah tangga, kantor, dll), industri alat berat, dan industri kapal dapat dijadikan driver sektor dalam pengembangan industri baja ke depan. Sedangkan dalam rangka pengembangan industri logam non-ferro, driver sektor yang dipilih adalah industri komputer, telepon genggam, otomotif dan industri konstruksi. 3.3 Kedalaman Struktur Industri Logam Saat Ini 3.3.1 Kedalaman Struktur Industri Baja Kedalaman struktur industri dilihat dari sisi sumber daya manusia, pemesinan, keuangan/ modal, dan teknologi. Ke empat faktor di atas sangat menentukan kekuatan dan kelemahan industri di suatu negara. Kedalaman struktur industri baja di Indonesia dapat juga dilihat dari pohon industri baja. Pohon industri baja seperti SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-7

terlihat pada gambar 3.1 berikut menunjukkan bahwa industri baja di Indonesia sudah meliputi dari hulu sampai ke hilir. Sampai saat ini, kedalaman struktur industri baja Indonesia masih ditujukan untuk mensuplai pasar konstruksi, seperti besi beton, baja profil, seng, kawat, paku, mur & baut, dan plat konstruksi. Sementara ini, industri baja di Indonesia masih belum bisa memproduksi baja-baja engineering atau baja-baja dengan spesifikasi khusus yang ditujukan untuk mensuplai industri-industri kendaraan bermotor dan alat berat. Gambar 3-2 Pohon Industri Baja (Sumber: Direktorat Industri Logam, Kementerian Perindustrian) Dari gambar pohon industri baja tampaknya Indonesia telah menguasai berbagai teknologi sehingga dapat memproduksi baja dari hulu sampai ke hilir. Kelemahan masih terdapat pada belum tumbuhnya industri di bagian hulu, yaitu pellet besi dan iron ore, yang masih didatangkan dari negara lain. Pengembangan pengolahan bahan dasar pasir besi telah dilakukan oleh PT Krakatau Steel di Kalimantan, namun masih dengan kapasitas yang rendah. Di bagian hilir, pada kenyataannya pada saat Pemerintah Indonesia melakukan perundingan untuk perluasan akses pasar dengan mitra-mitranya, asosiasi industri baja selalu menampakan kekhawatiran termasuk 3-8 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

pendapat dari para pakar ekonomi Indonesia. Para pakar dan asosiasi ini selalu meminta agar pemerintah lebih hati-hati dalam membuka akses pasar baja nasional agar impor bahan baja hanya untuk industri baja yang belum ada di Indonesia. Kesimpulannya, industri-industri baja nasional belum mampu, belum siap atau bahkan belum mau bersaing dengan berbagai alasan. Timbulah pertanyaan mengapa industri baja nasional tidak mau bersaing? Inilah Pekerjaan Rumah pemerintah Indonesia (yang notabene dimotori oleh Kementerian Perindustrian) ke depan termasuk juga industri-industri Indonesia agar dapat bersaing di kancah internasional dan yang lebih penting lagi dapat tetap bersaing di dalam negeri. Pemerintah perlu menyusun kebijakan pengembangan industri yang lebih terarah, mudah diterapkan, dan pro-pembangunan dengan menjaga iklim usaha yang kondusif. Peta produsen baja nasional adalah sebagai berikut: produsen baja terintegrasi: PT. Krakatau Steel (lembaran dan batangan) mini-mill berbasis scrap: Gunung Group, Ispat Indo, Jakarta Cakra Tunggal, Master Steel Heavy plate re-roller: Gunung Raja Paksi, Gunawan Dianjaya, Jayapari Cold rolling mill: Essar Indonesia 3.3.2 Kedalaman Struktur Industri Logam Non Ferro 3.3.2.1 Kedalaman Struktur Industri Alumunium Di wilayah ASEAN, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki industri hulu alumunium, yaitu industri alumunium ingot di Sumatera Utara. Hal ini disebabkan oleh melimpahnya bahan baku bauksit di Indonesia. Namun sampai saat ini, Indonesia belum memiliki industri pengolah bauksit, sehingga hasil baukit di Indonesia di ekspor ke luar negeri. Selain dari industri alumunium ingot, industri antara dan industri hilir pun telah dikembangkan di Indonesia, mulai dari produk plat, profil, casting, die-casting, dll. Industri antara dan hilir di Indonesia masih sangat kurang, mengingat volume pasar masih relatif rendah dan banyak dikuasai oleh Luar Negeri. Sejalan dengan hal ini, pemerintah masih merasa belum mampu untuk berinvestasi sehingga berupaya keras untuk menarik invetasi terutama investasi asing untuk membangun industri alumina sebagai bahan baku industri alumunium. SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-9

Dalam rangka meningkatkan daya saing industri alumunium, struktur industri alumunium sangat perlu ditingkatkan, baik dari sisi pemesinan, SDM, dan pemodalan. Jika dilihat dari pohon industri alumunium seperti terlihat pada gambar 3.2 berikut menunjukkan bahwa industri alumunium di Indonesia sudah meliputi dari hulu sampai ke hilir. Namun, masih terdapat banyak kekosongan dan sangat perlu ditingkatkan. Gambar 3-3 Pohon Industri Alumunium (Sumber: Direktorat Industri Logam, Kementerian Perindustrian) 3-10 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Gambar 3-4 Struktur Industri Alumunium Indonesia tahun 2008 (Sumber: Direktorat Industri Logam, Kementerian Perindustrian) Agar upaya pengembangan dan peningkatan daya saing industri alumunium, sudah pasti memerlukan fokus dalam prosesnya. Upaya ini dapat didukung dengan pemilihan driver sektor atau sektor penggerak utama dalam pengembangan industri alumunium. Dengan driver sektor yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya, maka pengembangan struktur industri alumunium dapat terwujud dengan lebih terarah. 3.3.2.2 Kedalaman Struktur Industri Tembaga Indonesia merupakan Negara penghasil bahan baku mentah tembaga dan termasuk pemain besar di pasar internasional. Indonesia telah memiliki industri tembaga dari hulu sampai ke hilir. Namun masih disayangkan, jumlah industrinya masih sangat sedikit. Satu diantaranya adalah PT. Smelting, yang termasuk pemain besar untuk industri tembaga di Indonesia. SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-11

Gambar 3-5 Pohon Industri Tembaga (Sumber: Direktorat Industri Logam, Kementerian Perindustrian) 3.4 Kekuatan dan Kelemahan Industri Logam Nasional 3.4.1 Kekuatan dan Kelemahan Industri Baja 3.4.1.1 Kekuatan Industri Baja Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan industri baja telah dirumuskan secara jelas, yaitu: o Kebijakan Industri Nasional (Peraturan Presiden no 28 tahun 2008). KIN menyebutkan bahwa pengembangan industri masa depan adalah dengan memperkuat industri berbasis manufaktur, yang dalam hal ini pengembangan industri baja. o Pemerintah telah menetapkan roadmap pengembangan industri baja seperti tertera pada Peraturan Menteri No. 103/M- IND/PER/10/2009 o Adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur arus perdagangan barang-barang besi dan baja dalam rangka melindungi industri baja dalam negeri. Adapun Peraturan Pemerintah dimaksud adalah sebagai berikut: o Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 751/MPP/Kep/11/2002 Tentang Ketentuan Impor Besi Baja Canai Lantaian o Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 08/M-DAG/PER/2/2009 Tentang Ketentuan Impor Besi Atau Baja 3-12 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

o Peraturan Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka No. 04/ILMTA/PER/2/2009 Tentang Tata Cara Pemberian Pertimbangan Teknis Pengakuan Sebagai Importir Produsen (IP) Besi Atau Baja dan Penetapan Importir Terdaftar (IT) Besi Atau Baja o Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 21/M-DAG/PER/6/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri No. 08/M- DAG/PER/2/2009 Tentang Ketentuan Impor Besi Atau Baja Telah terbentuknya asosiasi industri baja yang terintegrasi dari asosiasi industri hulu sampai ke hilir. Asosiasi ini dibentuk pada tahun 2009 dengan nama Indonesia Iron and Steel Industri Association. Dengan terbentuknya asosiasi ini maka hubungan antar industri dan pemerintah akan semakin kuat dalam mengembangkan industri baja. Pada dasarnya Indonesia telah memiliki struktur industri baja yang terintegrasi dari hulu sampai hilir SDM yang cukup tersedia dengan banyaknya perguruan tinggi yang mampu menghasilkan tenaga-tenaga profesional di bidang metalurgi, teknik mesin, teknik produksi, teknik industri, teknik kimia, dll. Perguruan tinggi tersebut antara lain: Universitas Indonesia, ITB, UGM, Univ. Islam Indonesia, dan ITS. Adanya pemberian fasilitas bea masuk untuk bahan baku industri baja Telah memiliki lembaga-lembaga penelitian pemerintah yang mendukung industri alumunium, seperti: Balai Besar Logam Mesin dan Balai Besar Bahan & Barang Teknik, Kementerian Perindustrian Akses industri baja ke perbankan dan sumber-sumber pendanaan lain sudah lebih terbuka 3.4.1.2 Kelemahan Industri Baja Sampai saat ini Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku (iron ore, scrap, selanjutnya coking coal), bahan setengah jadi (slab dan billet untuk re-roller), dan produk-produk baja engineering untuk produk otomotif, alat berat, otomotif, mur dan baut) Pertumbuhan permintaan baja dalam negeri masih relatif lambat Rentang produk dan kualitas masih terbatas Skala ekonomi pada industri yang ada belum memadai, hal ini menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal Dari sisi teknologi, Direct Reduction Iron Making dengan menggunakan gas alam sudah tidak lagi murah, selain itu suplai listrik juga kurang. Dari sisi efisiensi dan produktifitas juga masih rendah dibandingkan produsen lain di dunia SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-13

Infrastruktur pendukung industri baja masih lemah seperti energi listrik, transportasi dan lain-lain Telah dibukanya akses pasar produk-produk baja luar negeri dengan dimulainya kesepakatan-kesepakatan internasional antara pemerintah Indonesia dengan mitranya. 3.4.1.3 Peluang Industri Baja Penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta orang, hal ini mengakibatkan peluang pasar baja akan makin baik. 3.4.2 Kekuatan dan Kelemahan Industri Alumunium 3.4.2.1 Kekuatan Industri Alumunium Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan industri alumunium yang berupa insentif fiskal maupun non-fiskal seperti tertera pada Peraturan Presiden no 28 tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional. Sesuai dengan Perpres tersebut, diantaranya menyebutkan bahwa industri pionir dan industri berbasi SDA lokal akan mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Untuk itu, saat ini sangat gencar dilakukan promosi investasi khususnya dalam menarik investor guna membangun industri alumina, dimana industri ini benar-benar berbasis sumber daya lokal. Terkait dalam hal ini, potensi bahan galian bauksit dalam negeri cukup besar, diantaranya tersebar di Kalimantan Barat dan Bintan. Adanya fasilitas pemerintah dalam pemotongan pajak penghasilan seperti tertuang pada Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 2007 tentang fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang tertentu dan/atau di daerah tertentu. Pemberian fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk impor bahan baku industri. Fasilitas ini selalu diperbaharui setiap tahunnya, dan apabila ada industri yang memerlukan fasilitas ini dapat difasilitasi oleh pemerintah dalam pengajuannya. Adanya ASOSIASI Industri Alumunium atau biasa dikenal dengan nama APRALEX (Asosiasi Produsen Alumunium Extrusi) yang solid. Peran perbankan terhadap investasi di industri alumunium sudah semakin terbuka. 3-14 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Telah memiliki lembaga-lembaga penelitian pemerintah yang mendukung industri alumunium, seperti: Balai Besar Logam Mesin, Kementerian Perindustrian; LIPI; BATAN; dan BPPT SDM yang cukup tersedia dengan banyaknya perguruan tinggi yang mampu menghasilkan tenaga-tenaga profesional di bidang metalurgi, teknik mesin, teknik produksi, teknik industri, teknik kimia, dll. Perguruan tinggi tersebut antara lain: Universitas Indonesia, ITB, UGM, Univ. Islam Indonesia, dan ITS. 3.4.2.2 Kelemahan Industri Alumunium Kurangnya pasokan listrik untuk industri Kurangnya infrastruktur khususnya untuk pembangunan industri hulu alumunium. Hasil riset dari institusi penelitian yang telah disampaikan ke industri sering tidak jelas kelanjutannya Kebutuan alumunium ingot primer dan sekunder untuk membuat produk antara dan hilir alumunium belum dapat dipenuhi dari dalam negeri, sehingga harus diimpor Belum adanya industri alumina sebagai industri hulu alumunium Penggunaan energi yang relatif tidak efisien, sebagai contoh molten alumunium dari pabrik ingot primer bisa langsung dibuat alumunium paduan tanpa harus menjadi ingot primer, demikian juga produsen alumunium sekunder dapat langsung dikirim ke industri casting dalam bentuk molten alumunium. Mesin produksi di industri masih banyak yang menggunakan teknologi konvensional, seperti pada industri plat alumunium dengan menggunakan manusia untuk me- roll slab alumunium menjadi plat alumunium. Hal ini menyebabkan kualitas produk yang rendah. Produk alumunium ingot primer produksi PT. INALUM belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebagian besar hasil produksi (60%) di ekspor ke Jepang. Kemampuan industri dalam negeri dalam penguasaan teknologi masih belum memadai, seperti pembuatan desain; belum adanya lembaga khusus pemerintah maupun swasta di bidang alumunium; industri kecil masih menghasilkan kualitas produk yang rendah akibat kurangnya penguasaan teknologi SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-15

3.4.2.3 Peluang Industri Aluminium Penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta orang, hal ini mengakibatkan peluang pasar alumunium akan makin baik. Kebutuhan nasional dan dunia yang makin meningkat dengan pesat 3.4.3 Kekuatan dan Kelemahan Industri Tembaga 3.4.3.1 Kekuatan Industri Tembaga Indonesia memiliki sumber daya alam untuk bahan baku industri tembaga Sudah tersedianya teknologi pengolahan tembaga yang cukup memadai dan didukung oleh adanya investor luar negeri yang membantu memperkuat teknologi Indonesia dalam pengolahan baja, walaupun masih hanya untuk beberapa pemain besar di industri tembaga ini, seperti PT. SMELTING di Gresik, Jawa Timur. 3.4.3.2 Kelemahan Industri Tembaga Pada saat ini, Kapasitas produksi konsentrat tembaga milik PT Freeport Indonesia mencapai 1-1,2 juta ton pertahun. Namun sayang, produksi tersebut belum sepenuhnya mampu diserap dalam negeri. Industri lokal hanya mampu mengolah 300.000-500.000 ton produksi tembaga dari Freeport. Alhasil, perusahaan ini masih mengekspor produksinya ke negara lain. Rendahnya penyerapan tersebut karena kapasitas produksi pabrik pengolahan tembaga di dalam negeri yang masih rendah. Saat ini, Freeport hanya memasok tembaga kepada PT. Gresik Smelter di Jawa Timur. Produksi perharinya 5.000 ton dan 30% untuk dalam negeri. Sementara itu, perihal adanya perusahaan baru yang akan melakukan negosiasi untuk mengolah kosentrat tembaga milik Freeport, belum diketahui berapa kapasitas yg terpasang sampai sekarang belum ada. Poduksi smelter kosentrat tembaga di dunia akan turun sampai 2013. Hal ini lantaran kekurangan pasokan kosentrat. Sehingga, perusahaan yang ingin berinvestasi pada industri kosentrat tembaga itu melakukan studi lebih mendalam. Pasokan konsentrat akan berkurang, banyak smelting di dunia ini kekurangan. Adapun beberapa masalah lain terkait dengan lemahnya industri baja di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut: 3-16 SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL

Kurangnya pasokan listrik untuk industri Kurangnya infrastruktur khususnya untuk pembangunan industri hulu tembaga. Kebijakan pemeerintah dalam mendukung industri tembaga masih sangat minim, selain itu perencanaan pengembangan industri baja masih belum dilaksanakan Pasar tembaga dalam negeri masih sangat minim sehingga bahan baku tembaga yang ada saat ini sebagian besar masih diimpor Pada saat ini, industri hulu tembaga masih dikelola oleh pihak asing Pabrik peleburan tidak didukung oleh teknologi dan pengalaman yang memadai, berpotensi mencemari lingkungan di sekitarnya. Pemasaran katoda tembaga di dalam negeri masih terbatas, sejumlah besar asam sulfat dipasar domestik akan kelebihan suplai. FTA (Free Trade Area) tariff bea impor turun menjadi 0%, produk katoda dalam negeri menjadi tidak kompetitif dijual didalam negeri. SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI LOGAM NASIONAL 3-17

4 4. PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4.1 Peluang bagi Industri Logam Nasional 4.1.1 Bilateral 4.1.1.1 Indonesia China Kerjasama Indonesia China yang telah disepakati melalui Keppres Nomor 48 tahun 2004 mencakup kerjasama ekonomi menyeluruh. Kerjasama ekonomi tersebut diantaranya mencakup Trade in Goods (TIG) mengarah pada Free Trade Area/FTA (perdagangan bebas) Dalam FTA ini dimaksudkan bahwa terhadap barang/ jenis komoditi tertentu yang dipertukarkan dan atau diperdagangkan diantara kedua Negara yang bersepakat tersebut diberikan kebebasan keluar masuk tanpa hambatan /restriksi baik dari sisi tariff bea masuk melalui program penurunan dan tataniaga secara timbal balik. Tergantung bagaimana kemampuan Negara tersebut menyikapinya. FTA dapat dijadikan peluang dan tantangan bahkan bisa merupakan ancaman nasional bagi pertumbuhan industry dari produk barang sejenis yang diperdagangkan dan atau dipertukarkan, Dalam hal kita pandai dan cermat, mampu mempersiapkan sebelum PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4-1

kesepakatan diimplementasikan dalam arti tahu posisi kekuatan dan kelemahan diri, posisi lawan dan pandai pula memilih produk dan waktu serta tahu apa yang harus dilakukan maka FTA merupakan peluang untuk perluasan pasar, peningkatan ekspor yang akan berdampak pada peningkatan utilitas produksi penyerapan tenaga kerja, memperluas dan memperpanjang keterkaitan. Sebaliknya dalam hal kita tidak pandai menyikapi, kurang persiapan maka kesepakatan tersebut akan menjadi ancaman. Kelompok produk logam berdasarkan PMK Nomor 235/PMK.011/2008, untuk Pos Tarif untuk kelompok barang CRC dan yang dilapisi serta pipa baja las mpada tahun 2012 BM masih 5%-12,5% dan 15. %Sedangkabagi n untuk HRC, Stainless steel sejak dimulai ACFTA tahun 2009 BM sudah menjadi 0%. Demikian untuk kelompok tembaga Pos Tarif 74 dan Alumunium Pos Tarif 76 sejak tahun 2009 umumnya sudah diberikan Bea Masuk menjadi 0%. Dalam implementasi kerjasama bilateral Indonesia China ini dari sisi perdagangannya melalui FTA berdasarkan pengamatan bagi kelompok produk manufaktur terutama produk logam baja pada awal implementasi belum menguntungkan. Sementara itu produk tembaga banyak juga diimpor dari China. Untuk itu apabila ditengarai terjadi perkembangan adanya ketidak seimbangan perdagangan perlu upaya re-negosiasi /peninjauan kembali program kesepahaman terutama dalam penurunan Bea masuk. Namun demikian akankah selalu setiap ada kerjasama melalui FTA aka ada pula renegosiasi? Cara seperti ini tentulah tidak etis dan tidak baik. Adiharapkan upaya re negosiasi tidak akan terjadi. Untuk itu kita sebagai bangsa yang besar dan seyogiyanya kepada para stakeholder yang terpaut dengan FTA ini didalam negeri harus sudah mampu menyikapi kemungkinan yang akan terjadi secara bijaksana, tentunya dengan tidak mengorbankan kepentingan nasional. 4.1.1.2 Indonesia Jepang Dalam rangka kerjasama ekonomi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang yang telah disepakati oleh pemimpin kedua negara tanggal 20 Agustus 2007 telah ditetapkan Framework Agreement yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2008 tentang 4-2 PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL

Pengesahan Agreement between the Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership IJEPA (Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai suatu Kemitraan Ekonomi). Berdasarkan Framework agreement, telah disepakati dua macam skema penurunan tarif Bea Masuk dalam rangka IJEPA ini, yaitu skema tarif preferensi umum dan skema tarif User Specific Duty Free Scheme (USDFS). Dari Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai suatu kemitraan ekonomi, khususnya mengenai skema tarif preferensi umum, telah disepakati sekitar 35% dari pos tarif sebagaimana tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia akan diturunkan menjadi 0% tarif bea masuknya pada saat berlakunya IJEPA sedangkan Jepang menurunkan sekitar 80% pos tarifnya. Indonesia akan menurunkan menjadi 0% secara bertahap sekitar 93% dari pos tarifnya selama tiga sampai lima belas tahun dan untuk Jepang sekitar 90% dari pos tarifnya. Sisanya sebanyak lebih kurang 7% dari pos tariff Indonesia bisa dipertahankan tarif bea masuknya sesuai dengan yang berlaku umum (MFN) sedangkan Jepang sekitar 10% pos tariff tetap MFN. USDFS merupakan skema pemberian fasilitas (penetapan) tariff bea masuk 0% atas impor bahan baku dari Jepang yang digunakan dalam kegiatan proses produksi oleh industri-industri tertentu yang telah disepakati dan industri-industri yang berbasis baja yang dikategorikan sebagai driver sectors setelah memenuhi kriteria tertentu yang bergerak di bidang : (i) Kendaraan angkut bermotor dan komponen-komponennya, (ii) Kelistrikan, (iii) Mesin konstruksi dan alat berat dan (iv) Energi. Sebagai kompensasi atas pembukaan akses pasar ini, Jepang memberikan bantuan dalam kerjasama ekonomi jangka panjang yang terangkum dalam skema MIDEC (Manufacturing Industry Development Center). MIDEC merupakan program bantuan teknis dari Jepang untuk capacity building di bidang industri yang meliputi otomotif, welding, elektronik, tekstil, makanan dan minuman, baja, export & impor promotion, dan Small & Medium Enterprises. Melalui program MIDEC ini, industri-industri yang tercakup dalam skema diharapkan akan dapat memenuhi suatu target tingkat produksi dalam jangka waktu tertentu ke depan dengan pemasaran lebih ditujukan ke pasar ekspor. Dengan adanya pembukaan akses pasar, volume dan nilai perdagangan (ekspor dan impor) kedua negara akan meningkat. Gambaran statistik perdagangan antar dua PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4-3

negara dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 (dalam milyar USD) adalah sebagai mana terlihat dalamt tabel berikut : Tabel 4-1 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Ekspor ke Jepang 16,4 15 14,1 16,4 18,6 20,7 21,7 23,6 Impor dari Jepang 7,6 6,4 6,2 7,2 8,6 9,2 5,5 6,5 Balance 8,8 8,6 7,9 9,2 10 11,5 16,2 17,1 Sumber : Japan Customs dan BPS Dari statistik perdagangan di atas, besarnya surplus Indonesia disumbangkan sebagian besar oleh ekspor migas yang jumlahnya mencapai lebih kurang 50%o dari nilai keseluruhan ekspor per tahun. Bagi Indonesia, terbukanya akses pasar ke Jepang atas 90% pos tarif yang bernilai 99% dari nilai ekspor Indonesia ke Jepang, diharapkan dapat meningkatkan volume dan nilai ekspor lndonesia ke Jepang dan meningkatkan penerimaan devisa negara. Dalam negosiasi akses pasar ini, Indonesia telah mengajukan permintaan pembukaan lebih besar pasar Jepang untuk produk-produk unggulan Indonesia, yang terdiri dari delapan kelompok di luar migas yang berdasarkan statistik perdagangan tahun 2007, nilai ekspomya adalah sebesar 5,8 milyar USD. Dengan request ini, nilai ekspor Indonesia atas produk-produk ini diharapkan bisa mencapai dua kali lipat pada tahun 2010 dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Dalam negosiasi akses pasar ini sekaligus terkandung tujuan untuk melakukan diversikasi ekspor terhadap produk dengan nilai tambah tinggi dan lebih bervariasi. Sebagai implementasi perjanjian tersebut Menteri Keuangan menetapkan Tarif Bea Masuk berdisarkan perjanjian atau kesepakatan internasional dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) berdasarkan Pasal 13 ayal (2) Undang-Undang Nomor l0 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor l7 Tahun 2006. Adapun PMK-PMK yang telah diterbitkan pada tanggal 30 Juni 2008, sebagai berikut : 1. PMK No. 94/PMK.011/2008 tentang Modalitas Penurunan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi; 4-4 PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL

2. PMK No. 95/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Rangka Persetujuan Antara Republik Indonesia Dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi; 3. PMK ini akan diberlakukan untuk lima tahun sekaligus. Dengan ketentuan bahwa untuk tahun 2008 akan berlaku pada tanggal 1 Juli 2008, sedangkan pada tahun berikutnya sampai dengan Iahun 2012 akan berlaku setiap tanggal I Januari s.d.3l Desember. Hal ini akan lebih memberikan kepastian usaha karena dapat memprediksi tarif BM impor barang impor asal Jepang dalam kurun waktu lima tahun ke depan; 4. PMK No. 96/PMK.01l/2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk Dalam Rangka User Specific Duty Free Scheme (USDFS) dalam Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi. Pemerintah Jepang melalui kerangka kerjasama Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), dalam skema Manufacturing Industry Development Center (MIDEC) tengah mengembangkan alih teknologi peleburan baja bagi tenaga ahli Indonesia. Namun teknologi yang diberi nama Direct Iron Ore Smelting Reduction Process (DIOS) di negara asalnya Jepang belum teruji termasuk di Indonesia dan belum dikembangkan secara komersial. Teknologi ini merupakan teknologi proses pengolahan (peleburan) bijih besi (iron making). Selama ini Jepang tidak mengembangkan penerapan teknologi DIOS karena Jepang tidak memiliki sumber daya batubara dan bijih besi (iron ore) yang cukup dinegaranya namun di teknologi ini bisa diimplementasikan di Indonesia dan akan dipatenkan. Kelebihan Teknologi DIOS memiliki kemampuan penggunaan batubara berkalori rendah dan menggunakan bijih besi yang kadar Fe (besi) yang rendah. Sehingga secara teori sangat cocok bagi wilayah Indonesia, namun secara implementasi belum tentu bisa sukses. Di Jepang teknologi DIOS sudah dikembangkan namun belum banyak diimplementasikan oleh negeri matahari terbit tersebut. Jepang sudah mengembangkan teknologinya dan implementasinya di Indonesia. Selain itu, pihak Jepang juga memberikan patentnya kepada Kementerian Perindustrian sebagai bagian dari kerangka kerjasama. Untuk selanjutnya penerapan teknologi ini akan dilakukan melalui pilot project ke beberapa lokasi strategis di PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4-5

kawasan Kalimantan Selatan yang kaya dengan bijih besih dan batubara. Pemerintah Indonesia dengan Jepang dalam kerangka IJEPA sepakat melakukan kerjasama terkait perdagangan bebas antara kedua negara, dimana Indonesia mendapat imbal balik program bantuan teknis yang biasa disebut MIDEC. Khususnya mengenai pengembangan teknologi DIOS, masuk dalam proyek nomor 16 bagi produk baja. Selain itu pemerintah Indonesia juga terus berupaya memperbaiki aturan standar produk di dalam negeri. Melalui Badan Standarisasi Nasional (BSN), Indonesia melakukan penjajakan untuk menyusun standarisasi alat pendigin baja. Dalam penjajakan tersebut BSN akan menggandeng pusat standarisasi Jepang. Jepang merencakan mengajak Indonesia untuk menyusun standar internasional bersama China, Jerman, dan Korea. Alat yang akan diuji itu adalah pendingin baja yang sudah dalam proses pembentukan. Cara kerjanya, adalah mendinginkan baja yang baru selesai diolah dan masih dalam kondisi panas. Dimana semakin cepat baja dingin maka semakin tinggi tingkat kekuatannya. Metode pendinginan tersebut memang belum berkembang tetapi suatu saat nanti akan digunakan oleh industri baja. Keikutsertaan Indonesia hanya akan dilakukan jika teknologinya itu bisa dibawa ke Indonesia dan digunakan perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi di Indonesia harus banyak menguasai isu dan keilmuan tentang standar. Sehingga ilmu soal standar produk diharapkan bisa disosialisasikan dan berkembang di Universitas. Targetnya adalah lahirnya ahli standarisasi yang akan menguji produk-produk yang ada di Indonesia terutama baja. Selain itu dalam industri non ferous, pemerintah Indonesia mengajak Jepang bekerja sama membangun pabrik aluminium terintegrasi, meliputi peleburan aluminium (smelter) hingga ke subsektor hilir, dalam jangka panjang guna memenuhi permintaan aluminium di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengajak Jepang bekerja sama membangun pabrik aluminium terintegrasi, meliputi peleburan aluminium (smelter) hingga ke subsektor hilir, dalam jangka panjang guna memenuhi permintaan aluminium di Indonesia. Kementerian Perindustrian mulai menyiapkan rancangan pengembangan megaproyek industri hilir aluminium sebagai respons segera berakhirnya kerja sama, patungan Proyek Asahan antara Indonesia dan Jepang pada 2013. Saat ini, baru tim teknis (Proyek Asahan) yang sudah bekerja, sedangkan Jepang masih melakukan studi analisis. Dari total produksi ingot primer PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), sebesar 240.856 ton pada 2009 atau sekitar 60 persen diekspor ke Jepang. 4-6 PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL

Hanya 40 persen atau setara 96.342 ton untuk dalam negeri. Seperti diberitakan, pemerintah bersiap mengambil alih kepemilikan saham Jepang di PT Inalum, setelah kontrak pengelolaan yang dimiliki Jepang berakhir pada 2013. 4.1.2 Regional 4.1.2.1 Asean CEPT Ide pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area-AFTA) sebenarnya sudah ada beberapa tahun yang lalu. Dimana pada waktu itu ASEAN Preferential Trading Arrangement (ASEAN PTA) yang merupakan skema perdagangan preferensi antar negara anggota ASEAN yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1978 dan dianggap kurang berhasil sebagaimana yang diharapkan dalam peningkatan nilai maupun volume perdagangan intra ASEAN, karena dalam skema ASEAN PTA penurunan tarif tidak dilakukan dari tingkat tariff dasar yang sama diantara sesama anggota ASEAN tetapi Margin of Preference(MOP) diberikan dari tingkat tarif bea masuk yang berbeda beda atas produk yang disepakati, sehingga secara konsepsional belum memberikan keuntungan timbal balik bagi negara-negara anggota. Pada KTT IV ASEAN di Singapura tanggal 27-28 Januari 1992 para pemimpin ASEAN (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand) telah sepakat untuk membentuk Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area AFTA) dalam waktu 15 tahun (2008), terhitung mulai 1 Januari 1993 dengan menggunakan Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. AFTA merupakan Wilayah Perdagangan Bebas yang mencakup seluruh batas negaranegara anggota ASEAN, dimana nantinya pada tahun 2002 arus lalu lintas barang dagangan dan faktor penunjang lainnya yang berasal dari negara-negara anggota bebas keluar masuk dalam wilayah ASEAN hanya dengan hambatan tariff 0-5% dan tidak boleh lagi ada hambatan non-tarif (Non Tariff Barriers - NTB s). Untuk komoditi yang Sensitive List (SL) dan General Exception List (GE) dikeluarkan dari ketentuan di atas, sedangkan untuk barang dagangan yang berasal dari wilayah non ASEAN berlaku tarif normal (Most Favoured Nations MFN). Asean Free Trade Area (AFTA) sendiri merupakan kawasan perdagangan bebas Asean dimana tidak ada hambatan tarif maupun hambatan non tarif bagi negara- PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4-7

negara anggota Asean, melalui skema CEPT-AFTA. Dibentuknya AFTA dengan tujuan untuk mengurangi hambatan perdagangan secara efektif di antara anggota negara Asean dan meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara Asean dengan menjadikan Asean sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Anggota negara Asean telah menyetujui diterapkannya tariff intra-asean rendah melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Melalui skema CEPT, maka tarif bea masuk produk baja akan berkurang (dengan syarat 40% kandungan lokal Asean) sebagai insentif untuk investasi di industri baja Asean. Itu artinya, industri baja di kawasan ini tidak bisa tidak harus menggunakan bahan baku dari dalam negerinya sendiri atau negara Asean lainnya kalau ingin menikmati tarif Bea Masuk (BM) murah di negara tujuan ekspor. Sehingga steelmakers (existing dan investor baru) di Asean akan memiliki keuntungan harga atas baja impor. Apabila ada produk baja murah dari negara di luar Asean maka tidak lagi berharga murah karena akan bersaing dengan tariff-free dari sesama steelmakers di Asean. Terbentuknya AFTA dengan skema CEPT diharapkan akan mendorong pertumbuhan industri baja di Asean. Secara konsep, integrasi di kawasan akan mendorong perdagangan regional, menarik investasi di industri baja, mendorong permintaan lebih besar dan mendorong kegiatan ekonomi lebih cepat di Negara Asean. Namun untuk industri masih sulit, mengingat industri baja di Asean memiliki struktur yang berbeda. Struktur yang berbeda telah menimbulkan tarik menarik ketika produk baja dengan kualitas lokal atau kualitas Asean yang memenuhi syarat dengan dikenakan tarif maksimum 5% dalam AFTA. Untuk menentukan rules of origin dari produk baja, AFTA akan membedakan produk baja berdasarkan produk lokal/asean. Namun ini tidak mudah mengingat adanya perbedaan struktur yang menyebabkan kriteria yang berbeda terhadap asal produk baja yang diproduksi. Lain pihak mengatakan bahwa HRS yang diproduksi dari bahan baku slab impor dari Negara non-asean akan digolongkan sebagai produk Asean dan memenuhi syarat CEPT. Sementara itu, negara lain yang memiliki industri baja terintegrasi akan mengatakan bahwa bila hanya hot rolling tidak cukup untuk memenuhi syarat. Sehingga masih dilakukan perundingan antara Negara anggota Asean untuk menetapkan isu rules of origin dan diharapkan akan diperoleh jalan keluar melalui kompromi. 4-8 PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL

Adapun struktur industri baja yang memiliki sedikit banyak mengalami kesamaan dengan struktur baja di Indonesia, yaitu Negara Malaysia (kapasitas 8,5 juta ton/tahun), Thailand (kapasitas 7 juta ton/tahun). Namun karena kedua Negara menerapkan non tariff barrier yang sangat ketat untuk melindungi industri baja di negaranya, sehingga nilai ekspor impor Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Thailand terjadi trade deficit selama 5 tahun terakhir. Contohnya Malaysia yang menerapkan kebijakan Approved Permit (AP) kepada setiap importer produk bajanya, kewajiban untuk melakukan pembelian domistik terlebih dahulu sebelum dilakukan importasi produk tersebut, sedangkan Thailand menerapkan kebijakan Thailand Industrial Standard (TIS) untuk setiap produk baja yang masuk ke pasar Thailand itu sendiri. Sehingga, meskipun Malaysia dan Thailand sepakat untuk mengikuti skema CEPT AFTA sejak tahun 2003 (0%-5%), namun arus perdagangan ekspor baja ke Negara tersebut tidak semudah kedua Negara tersebut memasuki pasar baja Indonesia. 4.1.2.2 Asean Korea Asean-Korea Free Trade Area (AkFTA) merupakan kesepakatan antara negaranegara anggota ASEAN dengan Korea untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak AKFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Korea. Peraturan-Peraturan Nasional Terkait Persetujuan AKFTA antara lain: Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive economic Co- Operation Among The Government of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2007 tanggal 3 Juli 2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area. PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4-9

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.011/2007 tanggal 30 Oktober 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEANKorea Free Trade Area. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.011/2008 tanggal 3 Maret 2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN- Korea Free Trade Area. 4.1.2.2.1 Kerjasama Industri Baja Asean-Korea Bagi Indonesia dan Negara-negara Anggota ASEAN lainnya, dengan ditandatanganinya Persetujuan Investasi ASEAN - Korea tersebut diharapkan akan sangat menunjang perkembangan ekonomi kedua pihak dimasa mendatang. Berbagai manfaat dari adanya Persetujuan tersebut tentunya akan mendorong arus penanaman modal industri baja dari Korea sebagai investing country dan Negaranegara Anggota ASEAN termasuk Indonesia sebagai host country yang pada akhirnya akan membantu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan yang semakin terbuka dan juga sekaligus diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi. Manfaat yang diperoleh Indonesia antara lain adalah akses pasar ekspor produk baja Indonesia ke Korea akan meningkat per implementasi akibat penghapusan tarif 70% pos tarif Korea dalam Normal Track, akses pasar ekspor produk baja Indonesia ke Korea pada tahun 2008 akan meningkat akibat ± 95% pos tariff Korea dalam Normal Track akan dihapus, dan pada Tahun 2010, seluruh pos tariff produk baja Korea dalam NT akan dihapuskan, serta Sensitive Track AKFTA mencapai beberapa pos tariff (HS-6 digit) termasuk produk baja. Adapun produk baja yang masuk kedalam kategori Normal Track adalah produk yang dipercepat penurunan/penghapusan tarif bea masuknya dengan tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan antar ASEAN-Korea. Komitmen Penurunan Tarif Normal Track adalah : ASEAN a. Akan menurunkan 50% pos tarifnya menjadi 0-5% paling lambat 1 Januari 2007. 4-10 PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL

b. Akan menghapus paling sedikit 90% pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2009. c. Akan menghapus seluruh pos tarifnya menjadi 0% pailing lambat 1 Januari 2010 dengan fleksibilitas maksimum 5% pos tarif dihapus menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2012. d. Akan menghapus seluruh pos tarif 0% paling lambat 1 Januari 2012. KOREA a. Akan menghapus paling sedikit 70% pos tarifnya menjadi 0% pada saat entry into force. b. Akan menghapus paling sedikit 95% pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2008. c. Akan menghapus seluruh pos tarif menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2010. Tantangan ke depan diharapkan Indonesia harus mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi industri baja sehingga dapat bersaing dengan produk-produk Korea dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing dan memperluas akses pasar serta meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby. 4.1.2.2.2 Peluang dan Ancaman bagi industri baja nasional Peluang yang diperoleh Indonesia dalam kerjasama ini antara lain meningkatnya akses pasar produk ekspor baja nasional ke Korea Selatan dengan tingkat tarif yang relatif rendah dan pasar yang luas, meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan Aliansi Strategis dan meningkatnya ekspor produk baja Indonesia dalam menjangkau peluang pasar Korea serta terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara. Dengan adanya kerjasama ASEAN-Korea Free Trade Area maka ancaman bagi industri baja nasional adalah produk-produk baja lokal harus bersaing ketat dengan produk baja Korea yang kulaitasnya sudah diakui di dunia. Karena dengan diberlakukannya kerjasama ini maka tarif untuk produk baja Korea akan menjadi 0% sehingga akan memberikan dampak membanjirnya produk baja Korea di Indonesia. Dalam meningkatkan kerjasama ekonomi antar kedua negara, Pemerintah Korea berminat menambah investasi di Indonesia. Investor dari Korea terdiri dari sejumlah PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4-11

sektor, seperti infrastruktur dan energi. Komitmen Korea itu tertuang dalam The 3th Indonesia-Korea Energy Forum yang digelar di Seoul pada 24-26 Maret 2010. Korea menempatkan investasi di Indonesia pada pertimbangan yang sangat utama yang dinilai sangat strategis. Indonesia sendiri menawarkan sejumlah proyek infrastruktur. Indonesia juga menawarkan kembali proyek transportasi khususnya kereta api dan monorel. Sebelumnya, Sam An, perusahaan Korea, sudah menyatakan komitmennya menggarap proyek keretaapi komuter Jabodetabek sejak 2005. Tapi, belum juga terealisasi. Sektor selanjutnya yang ditawarkan kepada investor asal Korea adalah manufaktur. Korea berniat menambah investasi pada bidang usaha ini karena penyerapan tenaga kerjanya banyak. Saat ini telah disiapkan joint venture antara industri baja asal Korea yaitu Posco dengan PT Krakatau Steel untuk ditindaklanjuti pada awal April 2010. Rencana Pohang Iron and Steel Corporation (Posco), perusahaan baja Korea, membenamkan duitnya di Indonesia sebesar US$ 6 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun pabrik baja dengan kapasitas 5 juta ton per tahun. Penandatanganan kerjasama antara Posco dengan Krakatau Steel bakal dilakukan di tahun 2010. Hanya saja Posco meminta sejumlah syarat kepada pemerintah Indonesia, antara lain pemberian insentif fiskal. Perusahaan besi baja Korea Selatan, Pohang Iron and Steel Corporation (Posco) menandatangani perjanjian kerjasama dengan PT Krakatau Steel untuk membangun pabrik baja patungan dengan kapasitas tahunan 6 juta ton di kota Cilegon Indonesia. Rencananya pembangunan pabrik baja patungan itu akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama akan dibangun pabrik dengan kapasitas 3 juta ton. Pembangunannya akan dimulai Agustus 2011 dan direncanakan selesai pada akhir tahun 2013. Bagi Posco, pembangunan pabrik baja di luar negeri merupakan kali pertama dilakukan. Selain di Indonesia, Posco juga sedang mendorong rencana pembangunan pabrik baja di Vietnam dan India. Penandatanganan perjanjian ini akan meningkatkan kinerja industri baja Indonesia. Kerjasama ini merupakan titik awal untuk meningkatkan produksi baja di Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia akan membuat kebijakan yang mendukung investasi di industri ini. Pemerintah Korea akan mendukung sepenuhnya proyek patungan ini. Pemerintah Indonesia juga akan mengambil kebijakan yang diperlukan untuk mensukseskan 4-12 PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL

kerja sama ini sehingga industri mobil dan elektronika bisa berkembang cepat bila didukung industri baja. Pabrik baja patungan ini bernilai US$ 6 miliar atau setara Rp 5,7 triliun itu dan nantinya bakal memproduksi slab, hot rolled coil, dan plate untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Tahap pertama seluruhnya untuk pasar dalam negeri. Bagi Indonesia, proyek ini diprediksi bisa menurunkan impor baja sampai 20 persen. Adapun pada tahap kedua, produksi akan mulai diekspor sebesar 30 persen ke Vietnam yang mempunyai industri hilir. Untuk investasi awal Krakatau mengucurkan 30 persen dari biaya keseluruhan, sementara Posco 70 persen. Nanti finalnya Krakatau 45 persen dan Posco 55 persen. 4.1.2.3 Asean China Asean-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negaranegara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. Peraturan Nasional terkait ACFTA antara lain: Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Associaton of Southeast Asean Antions and the People s Republic of China. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area. PELUANG DAN ANCAMAN INDUSTRI LOGAM DALAM KONTEKS KERJASAMA GLOBAL 4-13