EKSTRAK BETA KAROTEN WORTEL (DAUCUS CAROTA) SEBAGAI DYE SENSITIZER PADA DSSC

dokumen-dokumen yang mirip
Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi,

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Ana Thoyyibatun Nasukhah Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di

F- 1. PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA

Pengaruh Konsentrasi Ruthenium (N719) sebagai Fotosensitizer dalam Dye-Sensitized Solar Cells (DSSC) Transparan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERFORMA SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA (DSSC) BERBASIS ZnO DENGAN VARIASI TINGKAT PENGISIAN DAN BESAR KRISTALIT TiO 2 SKRIPSI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tahapan penelitian ini secara garis besar ditunjukkan oleh Gambar 3.1. Preparasi sampel. Pembuatan pasta ZnO dan TiO2

PENGARUH FILTER WARNA KUNING TERHADAP EFESIENSI SEL SURYA ABSTRAK

PERBEDAAN EFISIENSI DAYA SEL SURYA ANTARA FILTER WARNA MERAH, KUNING DAN BIRU DENGAN TANPA FILTER

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL

Gravitasi Vol. 15 No. 1 ISSN:

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis

BAB III METODE PENELITIAN

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No.2, (2013) X 1

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

SEL SURYA FOTOELEKTROKIMIA DENGAN MENGGUNAKAN NANOPARTIKEL PLATINUM SEBAGAI ELEKTRODA COUNTER GROWTH

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Preparasi Lapisan Tipis ZnO Dengan Metode Elektrodeposisi Untuk Aplikasi Solar Cell

EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SEBAGAI DYE SENSITISER ALAMI PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL

BAB I PENDAHULUAN. energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan

FABRIKASI PROTOTYPE DSSC (DYE-SENSITIZED SOLAR CELL) MENGGUNAKAN KLOROFIL BAYAM (AMARANTHUS HYBRIDUS L.) SEBAGAI DYE ALAMI

BAB II DASAR TEORI 2.1 PHOTOVOLTAIC Efek Photovoltaic

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Tenaga Surya sebagai Sumber Energi. Oleh: DR. Hartono Siswono

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Karakterisasi Dye Organik Alam Dan Ruthenium (N719) Sebagai Fotosensitizer Dalam Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) TESIS

VARIASI RASIO TiO 2 ANATASE DAN RUTILE TERHADAP KINERJA DYE-SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

PERKEMBANGAN SEL SURYA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Fabriksi Dye Sensitized Solar Cells(DSSC)Mengunakan Ekstraksi Bahan-bahan Organik Alam Celosia Argentums dan Lagerstromia sp

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan

SEL SURYA BERBASIS TITANIA SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK ALTERNATIF

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang dialami hampir oleh seluruh negara di dunia

HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Mariya Al Qibriya, 2013

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PELAKSANAAN. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan eksperimen murni yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

Karakterisasi XRD. Pengukuran

III. PROSEDUR PERCOBAAN. XRD dilakukan di Laboratorium Pusat Survey Geologi, Bandung dan

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI KLOROFIL TERHADAP DAYA KELUARAN DYE-SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

DYE - SENSITIZED SOLAR CELLS (DSSC) MENGGUNAKAN PEWARNA ALAMI DARI EKSTRAK KOL MERAH DAN COUNTER ELECTRODE BERBASIS KOMPOSIT TiO2-GRAFIT

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di

SKRIPSI DELOVITA GINTING

SINTESIS DAN KARAKTERISASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN SENSITIZER ANTOSIANIN DARI BUNGA ROSELLA (HIBISCUS SABDARIFFA)

DAFTAR ISI. Persetujuan Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Studi Eksperimental Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Performa DSSC (Dye Sensitized Solar Cell) dengan Ekstrak Buah dan Sayur sebagai Dye Sensitizer

JOBSHEET SENSOR CAHAYA (SOLAR CELL)

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area

FABRIKASI SEL SURYA PEWARNA TERSENSITISASI (SSPT) DENGAN MEMANFAATKAN EKSTRAK ANTOSIANIN UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L)

KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2

PENGARUH FRAKSI KLOROFIL SPIRULINA SP TERHADAP SIFAT LISTRIK DENGAN STRUKTUR DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

Bab II Tinjauan Pustaka

SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN EKSTRAK ANTOSIANIN KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus Sabdariffa) SEBAGAI SENSITIZER DALAM PEMBUATAN DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

4 Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK ARUS DAN TEGANGAN SEL SURYA

VARIASI TEKNIK DEPOSISI LAPISAN TiO 2 UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DYE-SENSITIZED SOLAR CELL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sel surya generasi pertama berbahan semikonduktor slikon (Si) yang

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Kata kunci: Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC), Sensitizer, Fourine doped-tin Oxide (FTO), Klorofil, Spin Coating

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Januari 2013 di

Bab III Metodologi Penelitian

DAFTAR ISI. PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN TUGAS... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN... v. HALAMAN MOTO...

VARIASI KECEPATAN PUTAR DAN WAKTU PEMUTARAN SPIN COATING

ALAT ANALISA. Pendahuluan. Alat Analisa di Bidang Kimia

Sintesis dan Karakterisasi Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) dengan Sensitizer Antosianin dari Bunga Rosella

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. cahaya matahari.fenol bersifat asam, keasaman fenol ini disebabkan adanya pengaruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

KAREKTARISASI FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSCC) PADA TiO 2 FASE ANATASE DAN RUTILE

J. Sains Dasar (1) 1-7

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DSSC TiO 2 /FIKOSIANIN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan penelitian ini maka dipilih

Struktur dan konfigurasi sel Fotovoltaik

Transkripsi:

EKSTRAK BETA KAROTEN WORTEL (DAUCUS CAROTA) SEBAGAI DYE SENSITIZER PADA DSSC Disusun Oleh : KHOIRUDDIN M 0207039 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit Januari, to 2012 user i

EKSTRAK BETA KAROTEN WORTEL (DAUCUS CAROTA) SEBAGAI DYE SENSITIZER PADA DSSC KHOIRUDDIN M0207039 Jurusan Fisika Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Fabrikasi DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell) telah dilakukan menggunakan bahan dye sensitizer β-carotene wortel (Daucus carota). Hasil ekstraksi β-carotene diperoleh dari wortel (Daucus carota). Karakterisasi dye β-carotene meliputi uji absorbansi dan uji konduktivitas pada kondisi dalam gelap dan terang. Hasil karakterisasi absorbansi diperoleh pada daerah panjang gelombang 415 nm sampai 508 nm, sedangkan nilai fotokonduktivitas tertinggi diperoleh (28,3 ± 4,2) 10 4 (Ω.m) -1 pada kondisi terang sedangkan pada kondisi gelap sebesar (8,2 ± 1,1) 10 4 (Ω.m) -1. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa dye β-carotene dari wortel mampu sebagai fotosensitizer. DSSC dibuat dengan menggunakan semikonduktor TiO 2 rutile powder dengan dye β-carotene tersebut. Hasil fabrikasi DSSC diuji karakteristik I-Vnya. Hasil pengujian karakteristik I-V pada DSSC menunjukkan efisiensi konversi energi surya ke energi listrik. Tegangan maksimum yang dihasilkan sebesar 23,9 10 2 V dan arus maksimum sebesar 3,3 10 5 A dengan efisiensi tertinggi sebesar (12,5 ± 0,9) 10-4 %. Kata kunci : DSSC, β-carotene, dye, absorbansi iv

β-carotene EXTRACT FROM CARROT (DAUCUS CAROTA) AS DYE SENSITIZER ON DSSC KHOIRUDDIN M0207039 Physics Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences Sebelas Maret University (UNS) ABSTRACT Fabrication of DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell) was performed using a dye sensitizer material β-carotene from carrots (Daucus carota). β-carotene extraction results obtained from carrots (Daucus carota). Characterization of β-carotene include dye absorbance of test and conductivity test on the conditions in the dark and light. The results obtained in the characterization absorbance wavelength region 415 nm to 508 nm, while the value of photoconductivity obtained (28,3 ± 4,2) 10 4 (Ω.m) -1 in bright conditions, while in dark conditions for (8,2 ± 1,1) 10 4 (Ω.m) -1. From the test results showed that the dye-β-carotene from carrots capable as a photosensitizer. DSSC made using semiconductor rutile TiO 2 with a dye that β-carotene. DSSC fabrication yield I-V characteristics tested. I-V characteristics of the test results show the efficiency of the DSSC solar energy conversion into electrical energy. The maximum voltage produced by 23,9 10 2 V and maximum current of 3,3 10 5 A with the highest efficiency of (12,5 ± 0,9) 10-4 %. Keywords: DSSC, β-carotene, dye, absorbance v

DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN ABSTRAK... iv HALAMAN ABSTRACT... v HALAMAN MOTTO... vi HALAMAN PERSEMBAHAN... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3. Batasan Masalah... 3 1.4. Tujuan Penelitian... 4 1.5. Manfaat Penelitian... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5 2.1. Energi Surya... 5 2.2. Sel Surya... 5 2.2.1. Gambaran Umum Sel Surya... 6 2.2.2. Prinsip Kerja Sel Surya... 7 2.2.3. Performa Sel Surya... 7 2.3. DSSC... 9 2.3.1. Gambaran Umum DSSC... 9 2.3.2. Prinsip Kerja DSSC... 10 2.3.3. Material DSSC... 12 ix

2.3.3.1. Substrat... 12 2.3.3.2. Titanium Dioxide (TiO 2 )... 13 2.3.3.3. Dye Sensitizer... 14 2.3.4. β-carotene Sebagai Dye... 14 2.3.5. Elektrolit... 16 2.3.6. Counter Elektroda... 16 2.3.7. Karakteristik Sifat Optik... 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 19 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 19 3.2. Alat dan Bahan... 19 3.2.1. Alat penelitian... 19 3.2.2. Bahan Penelitian... 20 3.3. Diagram Penelitian... 21 3.3.1. Persiapan... 22 3.3.2. Ekstraksi β-carotene wortel... 22 3.3.3. Karakterisasi dye β-carotene... 23 3.3.3.1. Karakterisasi Absorbansi β-carotene... 23 3.3.3.2. Karakterisasi I-V larutan β-carotene... 24 3.3.4. Karakteristik XRD bubuk TiO 2... 26 3.3.5. Pembuatan Lapisan TiO 2... 26 3.3.5.1. Pembuatan Pasta TiO 2... 26 3.3.5.2. Deposisi Lapisan TiO 2... 27 3.3.6. Pembuatan counter Elektroda... 29 3.3.7. Fabrikasi DSSC... 29 3.3.8. Uji Karakteristik I-V dan Efisiensi DSSC... 31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 33 4.1. Ekstraksi Dye β-carotene... 33 4.2. Hasil Uji Absorbansi Dye β-carotene Wortel... 34 4.3. Karakteristik I-V Dye β-carotene... 36 4.4. Karakterisasi XRD Bubuk TiO 2... 40 4.5. Karakterisasi I-V commit dan Efisiensi to user DSSC... 41 x

BAB V PENUTUP... 46 DAFTAR PUSTAKA... 48 LAMPIRAN-LAMPIRAN... 50 xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, tingkat kebutuhan energi manusia juga semakin meningkat. Pemenuhan energi ini sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang berumur jutaan tahun dan tak dapat diperbaharui, dan sebagian kecil saja yang berasal dari penggunaan sumber energi lain yang lebih terbarukan (Ulaan, 2008). Salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi yang berasal dari fosil adalah dengan mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan. Air, angin, biomassa, panas bumi dan tenaga surya (matahari) merupakan beberapa contoh sumber energi terbarukan yang efektif karena keberadaaannnya di alam yang melimpah. Dari beberapa contoh energi terbarukan tersebut, energi surya adalah sumber energi yang berjumlah paling besar, tidak polutif dan tidak membeli. Hal tersebut sangat sesuai dengan letak geografis Indonesia yang berada di garis khatulistiwa sehingga memiliki potensi energi surya yang cukup besar (Rahardjo, 2008). Dengan menggunakan teknologi fotovoltaik, energi surya dapat diubah secara langsung menjadi energi listrik. Pirantinya dikenal dengan nama sel surya. Sel surya yang paling banyak digunakan saat ini adalah sel surya silikon. Walaupun sel surya sekarang didominasi oleh bahan silikon, namun mahalnya biaya produksi silikon membuat biaya konsumsinya lebih mahal dari pada sumber energi fosil. Sel surya yang murah bisa dibuat dari bahan semikonduktor organik. Hal ini karena semikonduktor organik dapat disintesis dalam jumlah besar. Meskipun demikian efesiensinya jauh dibawah sel surya silikon. Oleh karena itu penelitian terhadap material organik sebagai bahan dari sel surya masih perlu terus dikembangkan (Lehninger dalam Wijayanti, 2010). 1

2 Sistem fotovoltaik generasi ketiga ini dikembangkan oleh Grätzel pada tahun 1991 dengan sistem ini dinamakan DSSC (dye-sensitized solar cell) (Halme, 2002). Mekanisme ini menunjukkan serapan optik dan proses pemisahan muatan melalui asosiasi suatu sensitizer sebagai bahan penyerap cahaya dengan suatu semikonduktor nanokristal yang mempunyai bandgap lebar (Grätzel, 2003). Sel surya tersensitesi dye dikembangkan sebagai konsep alternatif piranti fotovoltaik konvensional. Telah banyak studi tentang DSSC yang telah dikembangkan. Material semikonduktor yang sering digunakan dalam DSSC adalah TiO 2 (Titanium Dioksida) dan ZnO (Zinc Oksida) yang memiliki struktur mesopori. Semikonduktor TiO 2 memiliki energi gap sebesar 3,2 ev, sedangkan ZnO memiliki energy gap sebesar 3,3 ev dan keduanya mempunyai serapan sinar pada daerah sinar tampak. Material ini dipilih selain karena memiliki banyak keuntungan diantaranya murah, pemakaian luas, tidak beracun (Grätzel, 2003). Telah banyak peneliti yang telah mengembangkan DSSC dengan mencoba berbagai jenis dye alami dari ekstrak tumbuhan. Beberapa yang telah dikembangkan diantaranya adalah ekstrak dye atau pigmen tumbuhan seperti ekstrak klorofil (Sasaki et.al, 2008), antosianin (Wongcharee, 2006) dan beta karoten (Gao et.al, 2000). Salah satu hasil DSSC yang telah dikembangkan adalah DSSC yang dibuat oleh Gao (2000) menggunakan karotenoid berhasil membuat DSSC dengan efisiensi 34% dan stabil pada 1 jam penyinaran cahaya matahari. Sifat dari β-carotene yang termasuk dalam karotena yang mampu menyerap cahaya merupakan fungsi dari dye pada DSSC. Fungsi absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye yang terabsorbsi pada permukaan semikonduktor TiO 2. β-carotene memiliki absorbsi maksimum pada panjang gelombang 400-550 nm. Sehingga β-carotene merupakan komponen utama yang terungkap karakteristik fotosensitizer pada sinar tampak (Wei Lin, 2007). Penelitian yang telah dilakukan oleh Karnjanawipagul (2010) mengatakan bahwa dalam 100 g wortel terdapat 6,19 mg - 14,59 mg β-carotene yang dapat diekstraksi. Kandungan β-carotene dari wortel sebanyak ini dapat dimanfaatkan sebagai dye sensitizer alami untuk sistem DSSC.

3 Dalam skripsi ini dye alami sebagai sensitizer yang digunakan adalah wortel (Daucus carota) yang memiliki kadar β-carotene tinggi. β-carotene ini akan dikaji mulai dari proses ekstraksi β-carotene, pengujian karakteristik optik dan I-V dari dye β-carotene, serta fabrikasi DSSC. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana spektrum absorbsi β-carotene wortel yang diekstraksi sehingga mampu menjadi dye pada system DSSC? 2. Bagaimana karakteristik I-V dari β-carotene wortel yang akan digunakan sebagai dye? 3. Bagaimana karakteristik I-V dari DSSC menggunakan dye β-carotene wortel? 4. Bagaimana efisiensi DSSC menggunakan dye β-carotene wortel? 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini diberi batasan sebagai berikut: 1. Dye pada penelitian ini merupakan ekstraksi dari β-carotene wortel. 2. Karakterisasi optik meliputi absorbansi menggunakan Spektrometer UV-Vis dan karakterisasi I-V dengan two point probe. 3. TiO 2 powder rutile dilapiskan pada FTO menggunakan metode slip casting pada fabrikasi DSSC, selanjutnya dilakukan pengujian karakteristik I-V pada DSSC.

4 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Membuat ekstraksi β-carotene wortel sehingga mampu menjadi dye pada system DSSC. 2. Mengetahui kemampuan fotosensitizer β-carotene wortel sehingga dapat dijadikan sebagai dye. 3. Membuat DSSC dengan TiO 2 powder rutile sebagai bahan semikonduktor menggunakan hasil isolasi β-carotene wortel sebagai dye. 4. Mengetahui karakteristik I-V DSSC menggunakan dye β-carotene wortel. 1.5 Manfaat Penelitian DSSC dengan dye sensitizer β-carotene dari wortel pada penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan sel surya yang mempunyai performansi dan efisiensi yang lebih baik. Dan diharapkan hasil dari penelitian ini dapat diambil manfaatnya untuk digunakan sebagai energi alternatif di masyarakat.

BAB II DASAR TEORI 2.1. Energi Surya Energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi panas surya (matahari) melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Energi surya menjadi salah satu sumber pembangkit daya selain air, uap, angin, biogas, batu bara, dan minyak bumi Pancaran matahari merupakan radiasi elektromagnetik yang luar biasa banyak. Dalam kaitann ya dengan sel surya yaitu perangkat pengkonversi radiasi matahari menjadi listrik, terdapat dua parameter penting dalam energi surya: pertama intensitas radiasi, yaitu jumlah daya matahari yang datang kepada permukaan per luas area, dan karakteristik spektrum cahaya matahari (Smestad dan Grätzel, 1998). Energi surya terpancar hingga ke bumi berupa paket-paket energi yang disebut foton. Total kekuatan radiasinya mencapai 3 x 10 23 kilowatt (kw). Namun demikian sebagian besar dari radiasi ini hilang di angkasa. Jumlah rata-rata sinar matahari di atas atmosfir bumi disebut sebagai solar constant. Pengukurannya dilakukan oleh beberapa satelit yang menunjukkan bahwa solar constant bernilai 1368 watt/m 2. Intensitas sinar matahari ke bumi bervariasi karena orbit bumi mengitari matahari adalah elips. Perbedaan intensitas sinar matahari antara perihelium dan aphelium sekitar 6,7 % hal ini berpengaruh pada pancaran matahari saat waktu-waktu tertentu. 2.2. Sel Surya 2.2.1. Gambaran Umum Sel Surya Sel surya atau Photovoltaic (PV) cell adalah sebuah peralatan yang mengubah energi matahari menjadi listrik oleh efek fotovoltaik. Photovoltaic merupakan kajian bidang teknologi dan riset yang berhubungan dengan aplikasi sel surya sebagai energi surya. Photovoltaic berasal dari Bahasa Yunani yang merupakan kombinasi kata light, commit photo, dan to user voltaic dari nama Alessandro Volta 5

6 (Pagliaro, 2008). Sebagaimana telah diketahui bahwa cahaya tampak maupun yang tidak tampak memiliki dua buah sifat yaitu berperilaku sebagai gelombang dan dapat sebagai partikel yang disebut sebagai foton. Penemuan ini pertama kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan oleh sebuah cahaya dengan panjang dan frekuensi foton satu gelombang dirumuskan dengan persamaan : E = h. c λ (2.1) Dengan h adalah tetapan Planck (6,62 x 10 34 J.s) dan c adalah kecepatan cahaya vakum (3,00 x 10 8 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan bahwa foton dapat dilihat sebagai partikel energi atau sebagai gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu. 2.2.2. Prinsip kerja sel surya Prinsip kerja sel surya adalah berdasarkan konsep semikonduktor p-n junction. Sel terdiri dari lapisan semikonduktor doping-n dan doping-p yang membentuk sambungan (junction) p-n, lapisan antirefleksi, dan substrat logam sebagai tempat mengalirnya arus dari lapisan tipa-n (elektron) dan tipe-p (hole). Hal ini dapat dilihat pada struktur sel surya Gambar 2.1. Gambar 2.1. Struktur sel surya silikon sambungan p-n (Halme, 2002) Semikonduktor type-n didapat dari silikon yang didoping unsur golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi. Pada sisi lain semikonduktor tipep diperoleh dengan doping unsur golongan commit to III user sehingga elektron valensinya defisit

7 satu dibanding atom sekitar. Ketika dua tipe material tersebut mengalami kontak maka kelebihan elektron tipe-n berdifusi ke tipe-p sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan bermuatan negatif. Medan elektrik yang terjadi antara keduanya mendorong elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini telah terbentuk sambungan p-n. Dengan menambahkan kontak logam pada area p dan n maka telah terbentuk dioda. Gambar 2.2. Cara kerja sel surya silikon (Halme, 2002) Ketika sambungan disinari foton dengan energi yang sama atau lebih besar dari lebar pita energi material tersebut akan menyebabkan eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi dan akan meninggalkan hole pada pita valensi. Elektron dan hole ini dapat bergerak dalam materi sehingga menghasilkan pasangan elektron-hole. Apabila ditempatkan hambatan pada terminal sel surya, maka elektron dari area-n akan kembali ke area-p sehingga menyebabkan perbedaan potensial dan arus akan mengalir. Skema kerja sel surya silikon ditunjukkan pada Gambar 2.2. 2.2.3. Performa Sel Surya Daya listrik yang dihasilkan sel surya ketika mendapat cahaya diperoleh dari kemampuan perangkat sel surya tersebut untuk memproduksi tegangan dan arus. Kemampuan ini direpresentasikan dalam kurva arus tegangan (I-V) ditunjukkan pada Gambar 2.3.

8 Gambar 2.3. Bentuk khusus dari kurva I-V solar cell (Makvart, 2003) Gambar 2.3 memperlihatkan tegangan open-circuit (Voc), Arus short circuit Isc, dan Maximum Power Point (MPP), dan arus tegangan pada MPP : I mpp,v mpp. Ketika sel dalam kondisi short circuit, arus maksimum atau arus short circuit (I sc ) dihasilkan, sedangkan pada kondisi open circuit tidak ada arus yang dapat mengalir sehingga tergangannya maksimum, disebut tegangan open-circuit (Voc). Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik daya maksimum (MPP). Karaktersitik penting lainnya dari sel surya yaitu fill factor (FF), dengan persamaan (Halme, 2002) : FF = V MPP.I MPP V oc.i SC (2.2) Dengan menggunakan fill factor maka maksimum daya dari sel surya didapat dari persamaan (Halme, 2002) : P MAX = V oc. I SC. FF (2.3) Sehingga efisiensi sel surya yang didefinisikan sebagai daya yang dihasilkan dari sel (P max ) dibagi dengan daya dari cahaya yang datang (P cahaya ): η = P max P ca haya x 100% (2.4)

9 Nilai efisiensi ini yang menjadi ukuran global dalam menentukan kualitas performansi sel surya. Efisiensi dari sel surya tergantung pada temperatur dari sel dan yang lebih penting lagi adalah kualitas illuminasi. Misalnya total intensitas cahaya dan intensitas spektrum yang terdistribusi. Oleh karena itu, standar kondisi pengukuran harus dikembangkan sejalan dengan pengujian sel surya di laboraturium. Kondisi standar yang telah digunakan untuk menguji solar sel dengan intensitas cahaya 1000 W/m 2, distribusi spektrum dari pancaran matahari seperti Gambar 2.4, dan temperatur sel 25 o C. Daya yang dikeluarkan solar cell pada kondisi ini adalah daya normal dari sel, atau modul, dan dicatat sebagai puncak daya (peak watt), W p (Halme, 2002). Gambar 2.4. Spektrum pancaran sinar matahari 2.3. DSSC 2.3.1. Gambaran Umum DSSC DSSC sejak pertama kali ditemukan oleh Grätzel pada tahun 1991, telah menjadi salah satu topik penelitian yang dilakukan intensif oleh peneliti di seluruh dunia. DSSC bahan disebut juga terobosan pertama dalam teknologi sel surya sejak sel surya silikon.

10 Penemuan Gratzel tersebut berhubungan dengan penerapan prinsip efisiensi kompleks ruthenium untuk mengaktifkan semikonduktor oksida, yang sangat sensitif di daerah cahaya tampak (visible region). DSSC terdiri dari sebuah elektrode kerja, sebuah counter electrode dan sebuah elektrolit. Zat warna dari komleks ruthenium melekat pada pori nanokristal dari film semikonduktor, misalnya TiO 2 yang merupakan elektroda kerja. Sebuah kaca konduktif platina sebagai counter electrode dan larutan I - - 3 /I 2 sebagai elektrolit (Halme, 2002). DSSC atau Sel Gratzel ini sangat menjanjikan karena dibuat dengan material dengan biaya murah dan pembuatannya tidak membutuhkan peralatan yang rumit. Efisiensi DSSC dengan bahan organik terdiri dari ruthenium (II) polypyridyl complex seperti N3 dye mencapai 10% (Grätzel, 2003). 2.3.2. Prinsip Kerja DSSC Pada susunan paling sederhana pada DSSC terdiri dari kaca konduktif transparan dilapisi dengan semikonduktor TiO 2, molekul dye berkait dengan permukaan TiO 2, sebuah elektrolit seperti I - 3 /I - 2, dengan illuminasi pada sel mampu menghasilkan tegangan dan arus (Halme,2002). Gambar 2.5. Struktur dan komponen DSSC (Halme, 2002)

11 Absorbsi cahaya dari DSSC dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh injeksi elektron dari dye pada TiO 2 di permukaan elektrolit semikonduktor. Dengan struktur pori yang nano maka permukaan dari TiO 2 menjadi luas sehingga memperbanyak dye yang terabsorbsi dan akan meningkatkan efisiensi Meskipun hanya selapis dye, dapat mengabsorbsi kurang dari 1% dari cahaya yang datang (O Regan dan Grätzel, 1991). Saat penyusunannya, molekul dye menjadi sebuah lapisan dye yang tebal. Lapisan tersebut mampu meningkatkan kemampuan optis DSSC. kontak langsung antara molekul dye dengan permukaan elektrode semikondutor dapat memisahkan muatan dan berkontribusi pada pembangkit arus. Prinsip kerja DSSC digambarkan dengan Gambar 2.6. Pada dasarnya prinsip kerja dari DSSC merupakan reaksi dari transfer elektron. Proses pertama dimulai dengan terjadinya eksitasi elektron pada molekul dye akibat absorbsi foton. Elektron tereksitasi dari ground state (D) ke excited state (D*). D + e D (2.5) Elektron dari exited state kemudian langsung terinjeksi menuju conduction band (ECB) titania sehingga molekul dye teroksidasi (D + ). Dengan adanya donor elektron oleh elektrolit (I - ) maka molekul dye kembali ke keadaan awalnya (ground state) dan mencegah penangkapan kembali elektron dye yang teroksidasi. 2D + + 3e I 3 + 2D (2.6)

12 Gambar 2.6. Ilustrasi prinsip kerja DSSC berdasarkan transfer elektron pada medium (Natalita, 2011) Setelah mencapai elektrode TCO, elektron mengalir menuju counterelektroda melalui rangkaian eksternal. Dengan adanya katalis pada cunterelektroda, electron diterima pada proses sebelumnya, berkombinasi dengan elektron membentuk iodide (I - ). I 3 + 2e 3I (2.7) Iodide ini digunakan untuk mendonor elektron kepada dye yang teroksidasi, sehingga terbentuk suatu siklus transport elektron. Dengan siklus ini terjadi konversi langsung dari cahaya matahari menjadi listrik. 2.3.3. Material DSSC 2.3.3.1. Substrat Substrat yang digunakan pada DSSC yaitu jenis TCO (Transparent Conductive Oxide) yang merupakan kaca transparan konduktif. Material substrat itu sendiri berfungsi sebagai badan dari sel surya dan lapisan konduktifnya berfungsi sebagai tempat muatan mengalir. Material yang umumnya digunakan yaitu flourine- doped tin oxide (Sn:F atau FTO) dan Indium Tin Oxide (ITO) hal ini dikarenakan dalam proses pelapisan material kepada substrat, diperlukan proses sintering pada temperatur commit 400 o to -500 user o C dan kedua material tersebut

13 merupakan pilihan yang cocok karena tidak mengalami defect pada range temperatur tersebut. 2.3.3.2. Titanium Dioxide (TiO 2 ) TiO 2 merupakan bahan semikonduktor yang bersifat inert, stabil terhadap fotokorosi dan korosi oleh bahan kimia (Hoffmann, 1995). TiO 2 merupakan padatan berwarna putih, mengalami dekomposisi (penguraian) pada suhu 1640 o C sebelum meleleh, kerapatan (density) sebesar 4,26 g/cm 3, dan larut dalam asam sulfat pekat. TiO 2 sangat stabil pada temperatur tinggi dan bereaksi lambat, tidak menyerap cahaya tampak namun dapat menyerap sinar UV, sifatnya yang anorganik menjadikannya tidak cepat rusak, serta memiliki luas muka yang luas karena strukturnya yang berbentuk serbuk (Wibowo, 2006). Lapisan TiO 2 memiliki bandgap yang tinggi (3,2 ev) dan memiliki transmisi optik yang baik. Penggunaan TiO 2 diantaranya untuk manufaktur elemen optik. Selain itu TiO 2 berpotensial pada aplikasi divais elektronik seperti DSSC, sensor gas, dan lain-lainnya (Marchand, 2004). TiO 2 mempunyai kemampuan untuk menyerap dye lebih banyak karena didalamnya terdapat rongga dan ukurannya dalam nano, sehingga disebut nanoporous. Struktur TiO 2 memiliki tiga bentuk, yaitu rutile, anatase, dan brukit. Rutile dan anatase cukup stabil, sedangkan brookite sulit ditemukan, biasanya brookite terdapat didalam mineral dan sulit untuk dimurnikan (Soleh, 2002). Gambar 2.4. Struktur anatase (a) dan rutile (b) (Soleh, 2002)

14 2.3.3.3. Dye Sensitizer Serapan spektra TiO 2 perlu ditingkatkan didaerah cahaya tampak, dengan menambah lapisan zat warna/sensitizer, hal ini disebabkan TiO 2 hanya dapat menyerap sinar ultra violet pada range antara 350-380 nm. Sensitizer yang digunakan dapat berupa dye organik dan kompleks metal organik, yang diberlakukan pada semikonduktor TiO 2 Dye yang umumnya digunakan dan mencapai efisiensi paling tinggi yaitu jenis ruthenium complex. Walaupun DSSC menggunakan ruthenium complex telah mencapai efisiensi yang cukup tinggi, namun dye jenis ini cukup sulit untuk disintesa dan ruthenium complex komersil berharga mahal. Jenis dye organik yang lain seperti phtalocyanine, cyanine, xanthenes, dan coumarine, umumnya memiliki energi ikat yang rendah dengan TiO 2 dan serapan transfer muatan yang juga rendah di seluruh daerah cahaya tampak. Dye organik tersebut sangat murah dan mudah dalam preparasinya dibanding jika menggunakan ruthenium complex (Hao, 2005) Sebuah kelompok studi di Jepang, telah mencoba lebih dari dua puluh jenis dye alami dari ekstrak tumbuhan sebagai fotosensitiser pada sistem sel surya ini, diantaranya adalah kol merah, kunyit, teh hijau, dan sebagainya. Kelompok lain dari Brazil, juga intensif mengembangkan sel surya berbasis dye alami, selain itu (Smestad dan Grätzel, 1998) juga telah menguji beberapa jenis berry seperti strawberry dan blackberry sebagai fotosensitizer pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitizer berupa ekstrak klorofil (Amoa et.al, 2003), karoten (Wang et.al,2006) atau antosianin (Wongcharee, 2006). 2.3.4. β-carotene sebagai Dye Salah satu pigmen yang bias digunakan sebagai dye selain klorofil dan antosianin adalah β-carotene. β-carotene merupakan pigmen yang mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga, buah dan sayuran yang berwarna kuning kemerahan. β- Carotene merupakan komponen yang bisa digunakan sebagai fotosensitizer pada daerah sinar tampak (Wei Lin, 2007). commit Pigmen to user ini terdapat salah satunya pada

15 wortel (Daucus carota) dalam jumlah banyak serta mudah diekstraksi ke dalam pelarut alkohol (Wei Lin, 2007). β-carotene merupakan pigmen yang tidak mantap. Mereka mudah teroksidasi terutama bila terdedahkan di udara pada pelat KLT dan dapat juga mengalami pengisomeran trans-cis selama ditangani. Larutan β-carotene harus disimpan di tempat yang gelap dan ideal. Gambar 2.7. Struktur molekul pigmen β-carotene (Hamann, 2008) Spektrum β-carotene sangat khas antara 400-500 nm, dua puncak utama di sekitar 450 nm dan biasanya ada dua puncak tambahan pada kedua sisi puncak utama. Letak ketiga kamsimum yang tepat, beragam, bergantung pada pigmennya. Sedangkan untuk pigmen β-carotene dapat dilihat pada gambar 2.8. Untuk β- Carotene biasanya identifikasinya adalah pada sinar tampak. Sedangkan pada spektroskopi infra merah tidak ada gunanya, tetapi berharga untuk mendeteksi cirri struktur tertentu, seperti gugus keto atau asetilena. Gambar 2.8. Spektrum serapan β-carotene (Gao et.al, 2000)

16 2.3.5 Elektrolit Salah satu bagian dari DSSC adalah elektrolit. Elektrolit dalam DSSC berfungsi untuk menggantikan kehilangan elektron pada pita HOMO dari dye akibat eksitasi elektron dari pita HOMO ke pita LUMO karena penyerapan cahaya tampak oleh dye. Elektrolit juga dapat menerima elektron pada sisi counter electrode. Elektrolit terdiri dari pasangan redoks yang sangat penting dalam menentukan karakteristik fotovoltaik dan daya tahan DSSC. DSSC menggunakan pasangan elektrolit I - dan I - 3 sebagai elektrolit, karena sifatnya yang stabil dan mempunyai reversibility yang baik (Wang et.al., 2005). 2.3.6. Counter Elektrode Counter elektrode dalam DSSC digunakan sebagai katalis. Penggunaan katalis yang umum digunakan yaitu platina dan karbon. Penggunaan masingmasing jenis elektroda mempunyai kelebihannya masing-masing. Pada penelitian ini elektroda yang digunakan yaitu karbon. Karbon mempunyai luas permukaan yang relatif lebih luas dibandingkan dengan platina. Karbon aktif digunakan dalam industri pangan maupun non pangan. Dalam industri pangan karbon aktif digunakan untuk menyerap gas dan peroksida yang menyebabkan kerusakan oksidatifpada minyak. Sedangkan untuk industri non pangan, karbon aktif berfungsi untuk memurnikan bahan-bahan kima seperti asam sitrat, asam galat, dan lain sebagainya. Selain itu karbon aktif juga dapat digunakan sebagai adsorben dan katalis (Yunianto, 2002). 2.3.7. Karakteristik Sifat Optik Banyaknya sinar radiasi yang diabsorbsi oleh suatu larutan analit dapat dihubungkan dengan konsentrasi analit tersebut. Hubungan ini dapat dijelaskan dengan menggunakan Hukum Lambert-Beer. Pada tahun 1729 Bouguer dan tahun 1760 Lambert menyatakan bahwa apabila energi elektomagnetik diabsorbsi oleh suatu larutan maka kekuatan energi yang akan ditransmisikan kembali akan menurun secara geometri (secara eksponensial) dengan jarak atau panjang yang ditempuh oleh gelombang tersebut.

17 Gambar 2.9. Skema Hukum Lambert-Beer (Ingle, 1988) Hukum Lambert menyatakan bahwa berkas cahaya datang yang diabsorbsi oleh suatu materi tidak bergantung pada intensitasnya. Hukum Lambert ini hanya berlaku jika di dalam material tidak ada reaksi kimia ataupun proses fisis yang dapat dipicu oleh berkas cahaya datang tersebut. Intensitas cahaya yang di absorbsi oleh material tersebut dapat dituliskan dalam persamaan (2.8) (Ingle, 1988). I T (2.8) I 0 Cahaya dengan intensitas I 0 melewati suatu larutan dengan konsentrasi c, dan ketebalan wadah larutan l, dan cahaya yang keluar memiliki intensitas I. Hukum Beer menyatakan bahwa absorbansi cahaya berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan media yang dinyatakan dalam persamaan (2.9) I A log( ) Log( T) lc I 0 (2.9) Sehingga diperoleh persamaan : T I I A lc 10 10 0 (2.10)

18 Koefisien absorbsi α dapat diperoleh menggunakan persamaan (2.10) 1 I 1 ln ln( T) l I (2.11) 0 l Dengan A = absorbansi = koefisien absorbansi T = trasmitansi I o = daya cahaya datang (W.m -2 ) I = daya cahaya keluar (W.m -2 ) c = kosentrasi molar (mol. l -1 ) l = tebal media (m)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Material Jurusan Fisika dan Laboratorium Gedung C, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Desember 2011. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. UV-Visible Spectrometer Lambda 25 (1 perangkat) 2. Diffractometer D8 Advance (XRD) (1 perangkat) 3. Two Point Probe Elkahfi 100 (1 perangkat) 4. Keithley I-V meter 2402A (1 perangkat) 5. Hot Plate IKA C-MAG HS-7 (1 buah) 6. Timbangan Digital Mettler Toledo AL204 (1 buah) 7. Vortex stirrer IKA C-MAG HS-7 (1 perangkat) 8. Solar Power Meter Tes 1333R (1 buah) 9. Ultrasonic cleaner (1 buah) 10. Lampu OHP (1 buah) 11. Kaca Flourine doped Tin Oxide (FTO) (10 buah) 12. Kertas Saring merk whatman no.42 (1 lembar) 13. Gelas Beker 20 ml (2 buah) 14. Hair Dryer (1 buah) 15. Gelas Ukur 10 ml (3 buah) 16. Pengaduk Magnetik (2 buah) 17. Botol Kaca 5 ml (10 buah) 18. Lempeng Tembaga 5 cm x 1 cm (2 buah) 19. Multimeter 19 (2 buah)

20 20. Cawan krus 75 ml (2 buah) 21. Corong (2 buah) 22. Aluminium Foil (3 lembar) 23. Pipet Tetes Kaca (4 buah) 24. Pisau (1 buah) 25. Kaca Preparat (8 buah) 26. Penjepit Kertas (4 buah) 27. Tissu (5 gulung) 3.2.2. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Wortel segar jenis mantes. 2. N-hexane (1 liter) 3. Etanol (1 liter) 4. Bubuk TiO 2 jenis rutile (20 gr) 5. Metanol (1 liter) 6. Larutan Elektrolit dengan PEG (5 ml) 7. Keyboard Protector (1 buah)

21 3.3. Diagram Penelitian Secara umum diagram penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.1. Persiapan Ekstraksi dye β-carotene Didapatkan larutan dye β-carotene Karakteristik dasar Absorbansi I-V Preparasi bubuk TiO 2 Karakterisasi XRD Pembuatan lapisan TiO 2 dengan slip casting Pembuatan Counter Elektroda Fabrikasi DSSC Pengujian Karakteristik I-V Perhitungan Efisiensi Analisa dan kesimpulan Gambar 3.1. Diagram alir penelitian

22 3.3.1. Persiapan Persiapan yang dilakukan adalah persiapan dan pembersihan alat-alat ekstraksi. Proses persiapan untuk ekstraksi dilakukan dengan pembersihan alat berupa gelas beker, corong, magnet stirrer. Alat-alat tersebut dibersihkan dengan menggunakan methanol. Selain proses persiapan ekstraksi, dilakukan pula pembersihan kaca konduktif (FTO) untuk pengujian sampel dengan methanol menggunakan ultrasonic cleaner seperti ditunjukkan pada gambar 3.2. Pembersihan kaca konduktif menggunakan ultrasonic cleaner agar kaca terbebas dari material-material yang tidak mampu dibersihkan dengan air saja. Kaca konduktif yang bersih mempengaruhi hasil pengujian dari sampel yang akan dilapiskan pada kaca konduktif tersebut. Gambar 3.2. Pembersihan kaca preparat dengan ultrasonic cleaner 3.3.2. Ekstraksi Dye β-carotene wortel Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain. Gambar 3.3. Proses commit Ekstraksi to user Dye β-carotene wortel

23 Dye yang akan digunakan kali ini menggunakan pewarna alami, yang diekstraksi dari wortel menggunakan hidrolisis tidak langsung dengan metode pemanasan. Pertama kali wortel dicuci dan dirajang kecil dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm. Setelah itu wortel ditimbang sebanyak 3 variasi penimbangan yaitu 20 gr, 30 gr, dan 40 gr. Masing-masing diekstraksi dengan n-hexane dan diaduk dengan magnet stirrer selama 30 menit pada suhu 45 o C. Setelah itu dilakukan penyaringan larutan tersebut sehingga didapatkan dye alami yang dibutuhkan (Wei Lin, 2007). Gambar 3.4. Proses penyaringan pada ekstraksi Dye β-carotene wortel 3.3.3. Karakterisasi dye β-carotene 3.3.3.1. Karakterisasi Absorbansi dye β-carotene Hasil ekstraksi dye dalam bentuk larutan diuji absorbansinya dengan Spektrometer UV-Vis. Spektrometer UV-Vis ditunjukkan pada Gambar 3.5. Pengujian larutan β-carotene dilakukan untuk mengetahui kemampuan absorbansi pada setiap sampel yang dihasilkan dari proses ekstraksi β-carotene. Semua sampel diuji untuk mengetahui spektrum masing-masing sampel. Sampel diuji pada panjang gelombang 350 nm sampai 800 nm. Pelarut dimasukkan pada kuvet hingga kuvet terisi pada batas kuvet, dan dilakukan baseline correction untuk menghilangkan background noise yang muncul saat uji sampel. Sebagai larutan pembandingnya digunakan n-hexane. N-hexane merupakan pelarut saat pembuatan ekstrak β-carotene. Setelah diuji

24 dibandingkan antara dye yang dibuat dengan massa wortel yang berbeda sehingga sebanding dengan perbedaan konsentrasi dye. Gambar 3.5. UV-Vis Spektrometer Lambda-25 3.3.3.2. Karakteristik I-V dye β-carotene Pengukuran karakteristik I-V larutan dapat dilakukan dengan mengalirkan arus pada dua elektroda dengan jarak tertentu dan luas tertentu. Kedua elektroda tersebut dicelupkan ke dalam larutan β-carotene sehingga jika Elkahfi 100 IV-meter dihidupkan, arus akan mengalir pada larutan tersebut. Pengukuran resistansi larutan β-carotene dilakukan dengan menggunakan metode dua titik (two point probe). Berdasarkan hukum Ohm, nilai resistansi bergantung pada kuat arus yang terukur melalui amperemeter dan tegangan yang terukur oleh voltmeter. Hukum Ohm dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut: V = I. R R merupakan resistansi dalam Ω, V adalah tegangan dalam volt dan I adalah arus listrik yang mengalir dalam ampere (A). Skema pengukuran ditunjukkan pada Gambar 3.6.

25 Gambar 3.6. Skema pengukuran karakteristik I-V larutan β-carotene Dalam metode ini digunakan Elkahfi 100 IV-meter dalam rangkaian dengan tahapan sebagai berikut: a. Merangkai alat percobaan sesuai dengan skema diatas. b. Menyalakan Elkahfi-100 IV-meter yang telah terhubung dengan komputer. c. Mengatur arus, tegangan awal dan akhir, serta beberapa pengaturan yang sesuai dengan pengambilan data dalm software Elkahfi. d. Memasang sampel pada probe, kemudian dioperasikan dengan software Elkahfi-100 yang tersedia untuk pengambilan data pada kondisi gelap maupun disinari dengan cahaya lampu OHP. e. Menyimpan data ke bentuk file Microsoft Excel untuk memudahkan dalam mengolah. Data yang didapatkan dari uji ini adalah tegangan dan arus yang terukur oleh Elkahfi IV-meter. Dari data tersebut dapat dihitung konduktivitas dan resistivitas sampel yang kita uji. Gambar 3.7. Elkahfi-100 IV-meter

26 3.3.4. Karakteristik XRD bubuk TiO 2 Penentuan struktur kristal menggunakan metode difraksi sinar-x dengan alat XRD Bruker D8 Advance. Sampel diuji menggunakan D8 Advance menggunakan radiasi Cu Kα (1,5406 Å) pada tegangan 40 kv, dan arus sebesar 40 ma. Hasil difraktometer dibandingkan dengan data JCPDS TiO 2. Dalam hal ini karakterisasi X-ray Diffraction (XRD) dilakukan untuk mengidentifikasi TiO 2 yang akan dibuat lapisan. Gambar 3.8. Difraktometer sinar-x tipe D8 Advance (Bruker) 3.3.5. Pembuatan Lapisan TiO 2 3.3.5.1. Pembuatan Pasta TiO 2 Langkah awal dalam pembuatan lapisan TiO 2 adalah membuat pasta TiO 2. Dalam pembuatan pasta ini meliputi: 1. Menimbang bubuk TiO 2 sebanyak 3 gram. 2. Malarutkan bubuk TiO 2 ke dalam ethanol sebanyak 3 ml di gelas beker. 3. Mengaduk campuran tadi selama 10 menit dengan Vortex Stirrer untuk mendapatkan homogenisasi pasta TiO 2. 4. Pasta siap digunakan untuk pembuatan lapisan tipis TiO 2. Pasta yang dihasilkan dari proses ini tidak dapat disimpan lama, karena akan mengeras dan menjadi agregat.

27 3.3.5.2. Deposisi Lapisan Tipis Setelah pasta TiO 2 berhasil dibuat, maka langkah selanjutnya adalah mendeposisikannya pada kaca substrat yaitu kaca konduktif FTO. Dalam penelitian ini menggunakan kaca konduktif FTO dengan hambatan 78,5 ohm. Deposisi pasta TiO 2 dilakukan dengan metode slip casting, yaitu membuat lapisan tipis dengan meratakan pasta pada screen area ukuran tertentu. Dalam hal ini menggunakan ukuran 2 cm x 1 cm. Setelah TiO 2 dan kaca konduktif siap, kemudian dilakukan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Letakkan kaca FTO pada permukaan yang bersih dan rata dengan sisi konduktif berada di atas. Untuk mengecek sisi yang konduktif menggunakan ohmmeter dengan menjepitkan probe-nya pada permukaan kaca. 2. Tutup tiga sisi kaca FTO menggunakan scotch tape seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.9. Gambar 3.9. Ilustrasi ukuran scotch tape Gambar 3.10. FTO yang commit telah to ditutup user dengan scotch tape

28 3. Setelah itu mulai deposisikan pasta TiO 2 di atas FTO secukupnya. Kemudian menggunakan spatula kaca yang bersih, ratakan pasta TiO 2 ke seluruh permukaan FTO dengan ketebalan yang merata. Gambar 3.11. Ilustrasi deposisi pasta TiO 2 pada kaca FTO 4. Setelah pasta TiO 2 dideposisikan, FTO didiamkan sesaat agar lapisan TiO 2 kering. Kemudian scotch tape dilepaskan perlahan hingga tidak ada lapisan yang terkelupas. 5. Pembuatan lapisan tipis TiO 2 sebanyak tiga buah, karena ada tiga variasi dye. 6. Lapisan tipis tersebut dipanaskan pada suhu 150 o C. Gambar 3.12. Proses sintering lapisan tipis TiO 2

29 3.3.6. Pembuatan Counter Elektroda Counter elektroda berfungsi sebagai elektroda lawan yang mempercepat kinetika reaksi proses reduksi pada FTO. Langkah-langkah pendeposisian counter elektroda adalah sebagai berikut: 1. Kaca konduktif FTO dengan hambatan 78,5 Ω dipersiapkan sebanyak tiga buah. 2. Kemudian dilakukan pengecekan untuk menentukan bagian yang konduktif. 3. Mendeposisikan karbon dari jelaga lilin pada kaca FTO. 4. Membersihkan lapisan karbon tersebut sehingga terbentuk lapisan dengan luas area 2 x 1 cm. Gambar 3.13. Proses deposisi carbon dengan pembakaran lilin 5. Terakhir, lapisan tersebut dipanaskan pada suhu 150 o C agar karbon terikat pada substrat kaca FTO dengan baik. 3.3.7. Fabrikasi DSSC Setelah seluruh komponen DSSC siap, maka dilakukan pembuatan DSSC dengan langkah sebagai berikut: 1. Lapisan tipis TiO 2 yang telah dibuat direndam dalam dye dengan dilakukan variasi konsentrasi dye yang telah dibuat masing-masing tiga sampel. Perendaman ke dalam larutan β-carotene dilakukan selama 1 jam. 2. Sampel yang sudah selesai direndam dibersihkan dengan ethanol kemudian dikeringkan.

30 3. Pasang keyboard protector seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.14. Pemasangan keyboard protector ini dimaksudkan agar larutan elektrolit tidak sampai keluar area aktif lapisan TiO 2. Selain itu pemasangan ini dimaksudkan juga untuk mencegah adanya short oleh larutan elektrolit pada DSSC. Gambar 3.14. Pemasangan keyboard protector untuk mencegah short. 4. Teteskan larutan elektrolit diatas lapisan tipis TiO 2 yang telah direndam dalam dye selama 1 jam tersebut. Gambar 3.15. Larutan elektrolit 5. Kaca FTO dengan elektroda kerja dan counter elektroda carbon disusun seperti gambar 3.16. Gambar 3.16. Struktur DSSC pada penelitian ini.

31 6. Jepit susunan di atas, untuk kontak pada DSSC dibuat dengan menggunakan penjepit buaya pada tepi elektroda lawan dan elektroda kerja seperti pada Gambar 3.17. Gambar 3.17. Kontak pada DSSC yang dibuat. 3.3.8. Uji Karakteristik I-V dan Efisiensi DSSC Dengan menggunakan uji karakteristik I-V ini, performansi sel surya dapat dilihat melalui pengukuran arus dan variasi tegangan. Terdapat 2 macam kurva karakteristik I-V yang didapat dari pengujian ini, yaitu saat kondisi gelap dan pada kondisi di sinari cahaya. Hal ini akan menunjukkan ada tidaknya sifat fotokonduktivitas DSSC. Pada kondisi terang DSSC disinari dengan lampu OHP dengan intensitas 1245 W/m 2. Pengukuran intensitas cahaya dengan solar power meter TES 1333R. Sedangkan pengukuran I-V dilakukan dengan menggunakan seperangkat keithley 2602A system source yang ditunjukkan oleh gambar 3.18. (a) (b) Gambar 3.18. (a) Pengujian I-V pada DSSC dengan menggunakan Keithley 2602A commit (b) Solar to user Power Meter 1333R

32 Uji I-V pada kondisi gelap ditutup dengan kotak yang dilapisi dengan alumunium foil. Sehingga setelah uji ini didapatkan perbedaan konduktivitas antara uji DSSC pada kondisi terang yang disinari dengan cahaya dari OHP dan pada kondisi gelap. Dari grafik karakteristik I-V kondisi terang yang didapatkan dapat ditentukan nilai fill factor maupun efisiensinya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Ekstraksi Dye β-carotene Pada penelitian ini telah dilakukan ekstraksi dye β-carotene wortel. Wortel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan wortel segar berjenis mantes, yaitu wortel hasil kombinasi dari jenis wortel imperator dan chantenang dengan umbi akar wortel berwarna khas oranye. β-carotene diekstraksi menggunakan pelarut n-hexane (non-polar) seperti dijelaskan oleh Edia, dkk (1998). Wortel dikupas dan diiris kecil-kecil dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm dan tebal 0,1 cm, setelah itu ditimbang masing-masing sebanyak 20 gr, 30 gr dan 40 gr. Kemudian ketiganya diekstraksi menggunakan n-hexane masing-masing dengan volume 50 ml selama 30 menit pada suhu 40 o C. Setelah ekstraksi selesai, dilakukan penyaringan untuk mendapatkan larutan dye β-carotene. Hasil ekstraksi tersebut didapatkan 3 larutan dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Gambar 4.1. Foto hasil ekstraksi β-carotene dari wortel. Gambar 4.1 menunjukkan hasil ekstraksi β-carotene dari wortel berwarna orange bening dengan konsentrasi yang berbeda. Hal tersebut didapatkan karena masing-masing sampel menggunakan massa ekstraksi wortel yang berbeda-beda, sehingga jumlah β-carotene yang terlarut dalam n-hexane berbeda pula. Untuk menamakan commit sampel to user ekstraksi menggunakan S 1 untuk 33

34 ekstraksi menggunakan 20 gr wortel, S 2 menggunakan 30 gr wortel, dan S 3 menggunakan 40 gr wortel, masing-masing dilarutkan pada 50 ml pelarut n- hexane. 4.2. Hasil Uji Absorbansi Dye β-carotene Wortel Semikonduktor TiO 2 tidak menyerap cahaya tampak, akan tetapi mengabsorbsi cahaya UV. Absorbsi UV olehnya dapat menyebabkan terjadinya radikal hidroksil yang menyebabkan pigment sebagai fotokatalis. Penggunaan bahan pewarna (sensitizer) merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sifat semikonduktor dengan meningkatkan absorbansi pada panjang gelombang cahaya tampak dari bahan semikonduktor TiO 2. Absorbansi merupakan kuantitas yang menyatakan kemampuan bahan dalam menyerap (mengabsorbsi) cahaya. Senyawa organik mampu mengabsorbsi cahaya sebab senyawa organik mengandung elektron valensi yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Wijayanti, 2010). Salah satu senyawa organik tersebut adalah β-carotene. β-carotene merupakan salah satu zat warna alami yang berpotensi dimanfaatkan sebagai fotosensitizer. Karakteristik absorbansi β- Carotene dalam mengabsorbsi cahaya menjadi hal yang penting dalam pemanfaatannya, yaitu sebagai dye sensitizer pada DSSC. Oleh karena itu perlu dilakukan uji absorbansi hasil ekstraksi wortel tersebut. Spektrum absorbans diukur pada rentang panjang gelombang 350 nm 800 nm yang merupakan spektrum sinar tampak. Proses pengujian absorbansi dye β-carotene pada tiga sampel diawali dengan proses baseline pada spektrometer. Proses ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh n-hexane sebagai pelarut pada ekstraksi wortel sehingga hanya spektrum absorbsi dari zat terlarut saja yang terukur. Selanjutnya setelah proses baseline, dilakukan pengujian absorbsi dye β-carotene dari wortel.

35 Absorbansi 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Gambar 4.2. Grafik absorbansi larutan β-carotene wortel.. Gambar 4.2 memperlihatkan grafik absorbansi sebagai fungsi dari panjang gelombang. Dapat diamati dengan jelas bahwa puncak absorbansi β- Carotene ketiga sampel adalah pada panjang gelombang yang sama, yaitu pada 448 nm dan 475 nm. Selain itu, hasil uji absorbansi tersebut mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan spektrum absorbansi β-carotene seperti ditunjukkan pada gambar 2.8. Hal ini menunjukkan bahwa β-carotene telah didapatkan dari ekstraksi wortel. Hasil pengujian tersebut memperlihatkan bahwa absorbsi pada S 1, S 2 dan S 3 terjadi pada rentang panjang gelombang yang sama yakni 380-480 nm. 448 475 S 3 S 2 S 1 20 gr wortel + 50 ml n-hexane 30 gr wortel + 50 ml n-hexane 40 gr wortel + 50 ml n-hexane 350 450 550 650 750 Panjang Gelombang (nm) Dari grafik gambar 4.2 juga menunjukkan bahwa setiap panjang gelombang mempunyai nilai absorbansi maksimum yang berbeda. Hal ini dapat diketahui dari nilai absorbansi setiap sampel. Nilai absorbansi S 1 adalah yang paling rendah jika dibandingkan dengan S 2 dan S 3. Sedangkan S 3 adalah yang paling tinggi. Kemampuan absorbansi dari S 1 ke S 3 semakin meningkat menunjukkan kadar β-carotene dalam pelarut semakin meningkat. Dengan kata lain S 3 mempunyai kadar β-carotene paling tinggi jika dibandingkan dengan S 1 maupun S 2 karena kandungan β-carotene-nya adalah yang paling banyak.

36 4.3. Karakteristik I-V Dye β-carotene Konduktivitas listrik suatu larutan bergantung pada konsentrasi, jenis, dan pergerakan ion di dalam larutan. Ion yang mudah bergerak memiliki konduktivitas listrik yang besar. Konduktivitas β-carotene hasil ekstraksi yang akan digunakan sebagai dye pada DSSC harus mampu mengalirkan listrik dan memiliki perbedaan karakteristik pada kondisi gelap dan terang. Oleh karena itu larutan dye dari hasil ekstraksi wortel ini harus diuji karakteristiknya. Dye selain sebagai fungsi absorbsi, juga perlu diuji karakteristik sifat listriknya. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui respon cahaya dengan mengukur I-V pada saat gelap dan pada saat disinari. Pengukuran I-V larutan dye β-carotene ini dilakukan di Lab. Material Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta. Metode yang digunakan adalah metode two point probe dengan bantuan Elkahfi IV-meter yang mampu menghasilkan data arus dan tegangan. Pengukuran I-V dilakukan dengan dua kondisi yaitu kondisi terang dan kondisi gelap. Pengukuran pada kondisi gelap dilakukan dengan menutup larutan dengan kotak penutup, sehingga kondisi di sekitar larutan akan gelap. Sedangkan pada kondisi terang dilakukan tanpa kotak penutup. Larutan disinari dengan lampu OHP dengan intensitas 875 W/m 2. Pengukuran intensitas lampu OHP menggunakan Solar Power Meter Tes 1333R. Karakterisasi I-V dilakukan dengan nilai tegangan 0-9 V. Dengan memberikan beda tegangan pada kedua ujung plat tembaga dengan jarak elektroda 8 mm dan luas penampang tercelup 35 mm 2, maka terjadi aliran arus melewati larutan β-carotene yang dapat diukur dengan rangkaian two point probe yang terhubung dengan Elkahfi IV-meter. Perbedaan kemampuan larutan β-carotene dalam mengabsorbsi cahaya mempengaruhi kemampuannya dalam mengalirkan elektron. Hal ini ditunjukkan pada hasil pengujian I-V larutan. Pada gambar 4.2. menunjukkan kemampuan absorbansi paling tinggi pada sampel S 3, hal yang sama muncul pada kemampuan S 3 yang ditunjukkan pada gambar 4.4 dalam menghasilkan arus. Sampel S 3 memiliki kemampuan paling tinggi dibanding sampel lainnya. Perbandingan kemampuan semua sampel pada commit satu kondisi to user gelap yang sama ditampilkan pada

37 gambar 4.3. Tampilan dari perbandingan semua sampel larutan β-carotene saat kondisi terang ditunjukkan pada Gambar 4.4. 3.50E-05 3.00E-05 2.50E-05 S1-Gelap S2-Gelap S3-Gelap Arus (A) 2.00E-05 1.50E-05 1.00E-05 5.00E-06 0.00E+00 0 2 4 6 8 10 Tegangan (V) Gambar 4.3. Grafik karakteristik I-V larutan β-carotene pada kondisi gelap dengan l = 8 mm dan A = 35 mm 2 Gambar 4.3 menunjukkan hasil pengujian semua sampel pada kondisi gelap. Perbandingan antar sampel menunjukkan kemampuan sampel dalam mengalirkan arus. Dari hasil kurva menunjukkan S 3 menghasilkan arus yang paling tinggi dari pada sampel yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi β- Carotene terlarut menentukan konduktivitas larutan. Gambar 4.4 menunjukkan hasil pengujian semua sampel pada kondisi terang. Dari hasil kurva menunjukkan S 3 menghasilkan arus yang paling tinggi dari pada sampel yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa larutan dye β-carotene menunjukkan konsistensi walaupun diberi cahaya.

38 Arus (A) 9.00E-05 8.00E-05 7.00E-05 6.00E-05 5.00E-05 4.00E-05 3.00E-05 2.00E-05 1.00E-05 0.00E+00 S1-Terang S2-Terang S3-Terang 0 2 4 6 8 10 Tegangan (V) Gambar 4.4. Grafik karakteristik I-V larutan β-carotene pada kondisi terang dengan l = 8 mm dan A = 35 mm 2 pada intensitas 875 W/m 2 Sedangkan perbandingan nilai konduktivitas dari ketiga dye tersebut pada kondisi terang dan kondisi gelap disajikan dalam bentuk tabel 4.1. Tabel 4.1. Perbandingan nilai konduktivitas dye kondisi disinari dan kondisi gelap Dye Konduktivitas Gelap (Ω.m) -1 Konduktivitas Disinari (Ω.m) -1 S 1 (5,9 ± 1,6) 10 4 (13,1 ± 1,9) 10 4 S 2 (7,7 ± 1,8) 10 4 (18,9 ± 6,4) 10 4 S 3 (8,2 ± 1,1) 10 4 (28,3 ± 4,2) 10 4 Hasil pengukuran respon cahaya terhadap larutan dye β-carotene pada perbandingan masing-masing sampel ditunjukkan pada Gambar 4.5. Gambar tersebut menunjukkan perbandingan setiap sampel pada kondisi gelap dan terang. Teramati dengan jelas karakteristik peningkatan arus secara linier ketika tegangan dinaikkan. Arus yang muncul pada kondisi gelap lebih kecil dibandingkan larutan pada kondisi terang. Hasil ini mengidentifikasikan bahwa β-carotene berperan sebagai fotosensitizer sehingga terdapat arus listrik. Gambar 4.5. memperlihatkan perbandingan kurva hasil pengujian commit karakteritik to user I-V antara S 1, S 2, dan S 3.

39 Arus (A) 9.00E-05 8.00E-05 7.00E-05 6.00E-05 5.00E-05 4.00E-05 3.00E-05 2.00E-05 1.00E-05 5.30E-19-1.00E-05 Gelap Terang (a) 0 2 4 6 8 10 Arus (A) 9.00E-05 8.00E-05 7.00E-05 6.00E-05 5.00E-05 4.00E-05 3.00E-05 2.00E-05 1.00E-05 5.30E-19-1.00E-05 Gelap Terang (b) 0 2 4 6 8 10 Tegangan (V) Tegangan (V) Gambar 4.5. Kurva I-V gelap-terang larutan β-carotene wortel (a) Sampel 1 (S 1 ), (b) Sampel 2 (S 2 ), dan (c) Sampel 3 (S 3 ) Kurva karakteristik I-V pada sampel S 1 kondisi gelap dan terang menunjukkan selisih besar nilai arus pada kondisi gelap dan terang. Arus yang dihasilkan kondisi terang lebih tinggi dibandingkan kondisi gelap. Begitu juga pengujian yang sama dilakukan pada S 2 dan S 3. Pada pengujian karakteristik listrik larutan S 2, hubungan antara arus dan tegangan pada kondisi gelap dan terang seperti pada Gambar 4.5b. Terlihat pada kurva selisih arus gelap-terang pada sampel S 2 ini lebih besar jika dibandingkan dengan sampel sebelumnya S 1. Begitu juga jika kita melihat pada sampel S 3 terlihat lebih besar selisih nilai arus gelap-terangnya jika dibandingkan dengan sampel S 1 dan S 2. Arus (A) 9.00E-05 8.00E-05 7.00E-05 6.00E-05 5.00E-05 4.00E-05 3.00E-05 2.00E-05 1.00E-05 0.00E+00 Gelap Terang 0 2 4 6 8 10 Tegangan (V) Jika dilihat dari grafik, semakin besarnya selisih nilai arus dari sampel S 1 ke S 3 semakin besar. Peningkatan selisih arus pada kondisi gelap-terang ini disebabkan oleh meningkatnya aliran commit elektron to user yang terjadi di dalam larutan β- (c)