I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia selain sandang dan papan. Ketersediaan pangan yang cukup menjadi isu nasional untuk mengentaskan kerawanan pangan di berbagai daerah. Penyelenggaraan urusan pangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 yang menekankan adanya pemenuhan pangan di tingkat individu dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal sehingga tercapai ketahanan dan kemandirian pangan. Pemenuhan pangan pada tingkat individu diselenggarakan melalui kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan. Kegiatan ini mengantisipasi maraknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Semakin pesatnya pembangunan di segala bidang memicu terjadinya penyempitan lahan pertanian, padahal sebagian besar penduduk Indonesia masih bergantung pada hasil pertanian. Lahan pertanian yang diusahakan pun sangat bergantung pada perubahan musim dan daya dukung lahan. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan pangan semakin meningkat. Untuk mendukung ketersediaan pangan di masa mendatang, salah satu alternatif yang tepat adalah dengan memanfaatkan lahan pekarangan. Lahan pekarangan diartikan sebagai tanah sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling dan biasanya ditanami tanaman padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sehari-hari dan untuk diperdagangkan (Mardikanto dan Sutami, 1982). Lahan pekarangan menjadi salah satu sumber pangan keluarga yang relatif murah dan mudah dimanfaatkan. Meskipun pemanfaatan lahan pekarangan hanya dilakukan sebagai pekerjaan sambilan, pekarangan berperan dalam mendukung kehidupan sosial ekonomi rumah tangga, khususnya rumah tangga petani. Pekarangan sering disebut lumbung hidup, warung hidup dan apotik hidup. Disebut lumbung hidup karena sewaktu-waktu kebutuhan pangan pokok seperti beras, jagung, umbi-umbian dan sebagainya tersedia di pekarangan. Bahan-bahan tersebut disimpan dalam pekarangan dalam keadaan hidup. Pekarangan dapat disebut 1
sebagai warung hidup karena dalam pekarangan terdapat berbagai komoditas sayuran yang berguna untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, di mana sebagian rumah tangga harus membelinya dengan uang tunai. Sementara itu, disebut sebagai apotik hidup karena dala pekarangan ditanami berbagai tanaman obat-obatan yang sangat bermanfaat dalam menyembuhkan penyakit secara tradisional (Sajogyo, 1994). Peran lahan pekarangan sebagai basis produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan tingkat keluarga diharapkan dapat mencukupi kebutuhan pangan pada tingkat individu. Di Indonesia, optimalisasi lahan pekarangan mulai dilakukan lebih intensif sejak diberlakukannya program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Menurut Pedoman Gerakan P2KP tahun 2013, kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui upaya pemberdayaan wanita untuk mengoptimalkan manfaat pekarangan dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman serta budidaya ternak maupun ikan. Kegiatan ini dilakukan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Penyelenggaraan KRPL mulai dikembangkan di wilayah pedesaan dan perkotaan dengan mengoptimalkan lahan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga. Hal ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Yogyakarta melalui Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di sejumlah daerah terutama di Kabupaten Sleman. Pemanfaatan lahan pekarangan di Kabupaten Sleman intensif dilakukan di wilayah perkotaan dimana terjadi alih fungsi lahan yang masif. Dengan mengoptimalkan lahan pekarangan tersebut diharapkan setiap rumah tangga mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri tanpa harus membeli dengan cara memanfaatkan pekarangan untuk memproduksi berbagai komoditas pangan. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan melalui pendampingan penyuluh dengan pendekatan kelompok khususnya kelompok wanita tani. Pelaksanaan KRPL di Kabupaten Sleman mulai diperluas hingga ke berbagai kecamatan, termasuk Kecamatan Minggir. Menurut data Programa Penyuluhan Pertanian UPT BP3K Wilayah I Tahun 2013, Kecamatan Minggir memiliki lahan pekarangan seluas 848,31 Ha dari total luas lahan produktif sebesar 2.716,35 Ha. Setidaknya 31,23 % lahan yang terdapat di Kecamatan Minggir merupakan lahan pekarangan. Hal ini menunjukkan adanya potensi dan peluang untuk 2
mengoptimalkan manfaat pekarangan sebagai sumber pangan keluarga. Kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan melalui konsep KRPL dapat terlaksana dengan baik jika mendapatkan respons dari masyarakat khususnya wanita tani. Wanita tani sebagai ibu rumah tangga memiliki peranan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini berkaitan dengan sasaran dari program KRPL yang memberdayakan wanita tani agar mampu memproduksi berbagai bahan pangan dari pekarangan rumahnya. Respons menjadi hal penting dalam menentukan perilaku wanita tani sebagai pelaksana program yang akhirnya menentukan keberlanjutan kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan. 2. Perumusan Masalah Pemanfaatan lahan pekarangan merupakan salah satu strategi untuk mengatasi krisis pangan di Indonesia akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Dengan memaksimalkan potensi pekarangan sebagai lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga maka Pemerintah Kabupaten Sleman mendukung kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan yang terangkum dalam program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan wanita tani dalam mengoptimalkan potensi lahan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga sehingga tercipta pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan keluarga sangat ditentukan dari peran wanita tani sebagai ibu rumah tangga. Kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan melalui konsep KRPL dirancang untuk para wanita tani agar mampu berhemat dalam mencukupi kebutuhan pangan keluarga dengan keterbatasan ruang seadanya seperti pekarangan. Pemanfaatan lahan pekarangan memang sudah dilakukan masyarakat sejak lama namun belum dirancang dengan baik dan sistematis untuk pengembangan pangan rumah tangga. Pemanfaatan lahan pekarangan selama ini belum memberikan kontribusi yang cukup pada kebutuhan pangan dan pendapatan keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan yang belum efektif selanjutnya diupayakan melalui konsep KRPL. Dalam konsep KRPL, kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan diselenggarakan melalui pendampingan pada setiap kelompok wanita tani. Kelompok wanita tani didampingi seorang penyuluh pendamping dalam 3
mengelola pekarangan secara optimal untuk pengembangan pangan rumah tangga. Namun dalam pelaksanaannya, tidak semua wanita tani dapat mengoptimalkan lahan pekarangan secara berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan bervariasinya respons wanita tani terhadap kegiatan tersebut. Untuk mengetahui tinggi rendahnya sikap dan perilaku wanita tani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan maka perlu diketahui respons wanita tani terhadap kegiatan tersebut sehingga dapat dapat direncanakan tindak lanjutnya. Berdasarkan uraian ini maka dapat disusun perumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana respons wanita tani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi respons wanita tani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman? 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui tingkat respons wanita tani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi respons wanita tani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman. 4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai sumber informasi bagi wanita tani agar dapat mengetahui pengaruh kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan terhadap perubahan perilaku sehingga ada manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut. 2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi instansi dan pemerintah sehingga dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi respon wanita tani yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan tersebut dan bahan pertimbangan untuk keberlangsungan kegiatan. 4
3. Sebagai sarana pengembangan pola pikir dan kemampuan akademik bagi peneliti serta syarat dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1) di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 5