BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pembangunan yang tengah dilakukan di Indonesia. Terbukti

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pembangunan yang tengah dilakukan di Indonesia. Terbukti"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian memegang peranan penting dalam keseluruhan pembangunan yang tengah dilakukan di Indonesia. Terbukti dengan pentingnya sektor pertanian, dimana sektor ini merupakan penghasil bahan pangan, pemasok bahan baku industri, penyedia lapangan pekerjaa n, serta penghasil devisa negara. Sektor pertanian yang menghasilkan bahan pangan bagi masyarakat harus lebih mendapat perhatian, mengingat masalah pangan berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup manusia. Terlebih lagi bahwa negara Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup besar sehingga negara ini harus memikirkan ketersediaan dan ketercukupan pangan seluruh masyarakatnya. Pembangunan pertanian akan dapat berjalan dengan baik apabila kebutuhan pangan masyarakat telah terpenuhi. Pangan merupakan isu sensitive dalam melakukan kebijakan apapun tentang pengembangan pertanian. Oleh karena itu pembangunan pertanian harus ditunjang dengan ketahanan pangan yang tangguh ditingkat masyarakat dan nasional. Tanpa penataan yang mapan pada ketahanan pangan nasional sangat mustahil melakukan kebijakan apapun untuk meningkatkan kemajuan pertanian kita. Sebagai sumber pangan sektor pertanian harus mampu untuk menyediakan pangan masyarakat akan tetapi juga harus membawa kesejahtera an petani. 1

2 2 Kebijakan pangan selama ini terlihat ada ketimpangan yang besar antara produsen dan konsumen sehingga produsen (petani) kerap selalu mendapat posisi yang tidak menguntungkan (Hanani dkk., 2003). Masyarakat yang hidup sebagai petani selalu menjadi korban atas kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Petani tanaman pangan seringkali mengalami jatuhnya harga panen. Hal tersebut menyebabkan pendapatan petani rendah sehingga membawa mereka untuk menduduki posisi yang paling rendah dalam status sosial ekonomi masyarakat. Salah satu kebijakan yang hasilnya tidak sesuai dengan tujuan adalah revolusi hijau. Revolusi hijau sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian demi kesejahteraan masyarakat, akan tetapi justru membawa masalah bagi petani bahkan dunia pertanian. Revolusi hijau pernah mencapai keberhasilan dan membawa Indonesia mencapai swasembada beras. Keberhasilan yang dirasakan Indonesia tidak berlangsung lama, karena penggunaan bahan kimia yang tidak beraturan menjadikan lahan pertanian mengalami kerusakan. Produksi pertanian semakin mengalami penurunan, sehingga banyak petani yang mengalami penurunan pendapatan. Kebijakan revolusi hijau yang didalamnya berisi himbauan pemerintah untuk menyeragamkan tanaman pangan berupa padi menyebabkan ketergantungan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi beras. Penyeragaman konsumsi beras tersebut tentu telah menghilangkan beragamnya konsumsi masyarakat dengan kearifan lokal yang dimiliki masing-masing. Puspitosari (2009) mengatakan bahwa pada saat sekelompok

3 3 masyarakat makanan pokoknya semacam umbi-umbian, karena dipaksakan menjadi seragam oleh pemerintah dengan memakan nasi, sehingga dipaksa semua petani untuk menanam padi. Pada akhirnya pada saat panen gagal muncullah bahaya kelaparan. Pola hidup masyarakat yang sudah terkonstruk memakan beras akhirnya sulit dikembalikan kepada pola lama untuk makan umbi-umbian. Konsumsi beras memang telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Beras seakan menjadi simbol dimana terdapat kesan bahwa makan nasi memiliki status yang lebih tinggi. Dalam Subejo (2013), dikatakan bahwa ada persoalan serius yang menyebabkan Indonesia hampir setiap tahun selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Salah satu sebab utama adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran juta jiwa. Makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi luar biasa besar. Menurut IIRI dalam Subejo (2010), penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Filipina 100 kg. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI, menyebutkan data yang dikeluarkan oleh BPS bahwa, untuk konsumsi beberapa pangan penting, beras merupakan urutan tertinggi konsum si pangan kita yaitu masih 97,63 (kg/kapita/tahun) kemudian disusul konsumsi sayuran sebesar 47,44 (kg/kapita/tahun), buah 22,24 (kg/kapita/tahun), konsumsi ikan

4 4 menempati urutan ke empat yaitu sebesar 17,62 (kg/kapita/tahun) dan umbiumbian menempati urutan ke 5 sebesar 12,06 (kg/kapita/tahun). Berdasar pada data tersebut ternyata diversifikasi pangan dimasyarakat masih menghadapi hambatan dan permasalahan, dan ini disebabkan dari kesadaran masyarakat yang masih tinggi mengkonsumsi karbohidrat dari bahan baku beras dan terigu, masih rendahnya konsumsi protein hewani, umbi-umbian, aneka kacang-kacangan serta sayur dan buah (Anonim, 2013). Perilaku masyarakat dalam mengonsumsi beras dengan jumlah yang banyak perlu diubah agar diversifikasi pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan dapat tercapai. Diversifikasi pangan bisa dijadikan sebagai cara untuk mengurangi konsumsi beras masyarakat dan memenuhi kebutuhan pangan serta gizi masyarakat. Soetrisno dalam Jafar (2012), mendefinisikan diversifikasi pangan yaitu sebagai upaya menganekaragamkan jenis pangan yang dikonsumsi, mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Diversifikasi pangan dengan mengupayakan pengembangan tanaman lokal yang dimiliki oleh masing-masing daerah perlu dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan. Menurut Atmosudiro (2010), bahwa ketahanan pangan dipahami sebagai suatu sistem yang menyangkut ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan yang direfleksikan dalam pasokan pangan, akses masyarakat terhadap pangan, serta pemanfaatan atas produk pangan. Ketersediaan pangan dinyatakan dengan

5 5 segala usaha untuk produksi pangan, distribusi diimplementasikan dengan penciptaan sistem alir pemasaran, dan konsumsi ditempuh dengan kebijakan - kebijakan tentang kaidah menyangkut nilai gizi dan keamanan pangan termasuk kehalalan. Pelaksanaan kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) ini merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang salah satunya adalah mengenai Peningkatan Diversifikasi Pangan dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Sebagai bentuk keberlanjutan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal tahun 2010, pada tahun 2013 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: (1) Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L), serta (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP (Kementerian Pertanian, 2013). Implementasi tersebut juga dilakukan pada tahun 2014 sebagai kelanjutan dari kegiatan yang telah berjalan.

6 6 Optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui upaya pemberdayaan wanita untuk mengoptimalkan manfaat pekarangan sebagai sumber pangan keluarga. Kelom pok sasaran kegiatan ini adalah kelompok wanita tani yang dalam kesehariannya bertugas sebagai pengolah pangan untuk keluarganya masing-masing. Upaya pemberdayaan wanita dilakukan dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman sesuai kebutuhan kelua rga seperti aneka umbi, sayuran, buah, serta budidaya ternak dan ikan sebagai tambahan untuk ketersediaan sumber karbohidrat, vitamin, mineral dan protein bagi keluarga pada suatu lokasi kawasan perumahan/warga yang saling berdekatan. Dengan demikian akan dapat terbentuk sebuah kawasan yang kaya akan sumber pangan yang diproduksi sendiri dalam kawasan tersebut dari optimalisasi pekarangan. Implementasi kegiatan ini disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) (Kementerian Pertanian, 2013). Pada dasarnya KRPL merupakan suatu himpunan rumah yang mampu mewujudkan kemandirian panga n keluarga melalui pemanfaatan pekarangan (Mardiharini dalam Ashari dkk, 2012). Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dilakukan dengan m odel sekolah lapang yang sesuai dengan metode experiential learning. Experiential learning dirasa cukup efektif karena merupakan metode pembelajaran bagi orang dewasa yang sifatnya tidak formal. Tempat dan waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran juga mengikuti kesepakatan dari para peserta. Dewey dalam Finger dan Asun (2004), menawarkan pandangan tentang

7 7 pendidikan yang sangat luas dan jangka panjang yang sesuai untuk pendidikan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Dewey juga mengatakan bukan hanya pengalaman, penyangga penting pembelajaran, tetapi tindakan adalah bagian instrinsik siklus/proses belajar itu sendiri dan hal ini menyatakan bahwa belajar dengan melakukan dan juga pemahaman praktis terhadap dunia. Akhirnya Dewey memasukkan bahan pelajaran dan metode sebagai keseluruhan proses belajar yang merupakan proses pemecahan masalah. Sedangkan, menurut Kementerian Pertanian (2013), Sekolah Lapang (SL) adalah suatu model pelatihan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan untuk mempercepat proses peningkatan kom petensi sasaran, dimana proses berlatih melatih dilaksanakan melalui kegiatan belajar sambil mengerjakan dan belajar untuk menemukan atau memecahkan masalah sendiri, dengan berasaskan kemitraan antara pelatih dan peserta. Salah satu wilayah pelaksana kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL adalah Kabupaten Kulon Progo. Kabupaten Kulon Progo telah menjadi pelaksana kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL dari tahun 2010, sementara tahun 2014 merupakan lanjutan dari kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah yang masih banyak terdapat desa rawan pangan, seperti yang ditulis oleh Aditya (2013), dimana Kepala Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan (KP4K) Kabupaten Kulon Progo mengatakan bahwa kerawanan pangan di Kabupaten Kulonprogo masih tinggi. Pada tahun 2013

8 8 masih ada 34 desa dengan status rawan pangan. Desa rawan pangan mayoritas berada di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo. Attamami (2013), juga menambahkan adanya desa rawan pangan di Kabupaten Kulon Progo disebabkan karena akses pangan yang sulit terjangkau, serta dilihat dari sisi ketersediaan pangan dan jumlah konsumsi yang tidak seimbang. Indikator desa rawan pangan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini dari jum lah angka kemiskinan, akses kemampuan masyarakat dalam memperoleh bahan kebutuhan pokok, serta pem anfaatan pangan dan ketersediaan gizi. Data yang diperoleh dari Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan (KP4K) Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010 bahwa Luas lahan pekarangan di Kabupaten Kulon Progo adalah ha. Lahan pekarangan yang ada tersebut ternyata potensinya masih terabaikan, sehingga kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan menjadi penting untuk dilakukan dan akan membantu mewujudkan ketahanan pangan di daerah setempat. Dampak metode experiential learning dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL di Kabupaten Kulon Progo ini menarik untuk diteliti karena belum adanya penelitian mengenai pelaksanaan program tersebut meskipun telah dilaksanakan dari tahun Wilayah penelitian yang merupakan kawasan perbukitan dan dataran rendah yang masih terdapat banyak desa rawan pangan menjadi hal mena rik tersendiri yang perlu dikaji lebih lanjut. Potensi sumber daya lokal yang ada di sana perlu dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan

9 9 pekarangan guna membantu masyarakat untuk memenuhi ketersediaan dan ketercukupan kebutuhan pangan. Adanya kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian diharapkan mampu meningkatkan kesadaran, peran, dan partisipasi kelompok wanita dalam menyediakan konsumsi keluarga yang Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA) dengan memanfaatkan pekarangan dalam rangka usaha menciptakan ketahanan pangan keluarga serta mengembalikan pola konsumsi kepada budaya dan potensi setempat sehingga akan mengurangi ketergantungan terhadap beras Perumusan Masalah Mayoritas konsumsi pangan utama masyarakat Kabupaten Kulon Progo adalah beras. Data yang diperoleh dari Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan (KP4K) Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2012, bahwa konsumsi beras masyarakat sebesar 79 kg/kapita/tahun sementara jum lah produksi beras sebesar 79,2 kg/kapita/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi beras oleh masyarakat sangat besar dan hampir seimbang dengan jumlah produksinya. Melihat keadaan tersebut dapat disinyalir bahwa ketika terjadi gagal panen bisa muncul bahaya kekurangan ketersediaan beras sebagai bahan pangan utama, sehingga harus dilakukan upaya untuk menangani masalah tersebut. Kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL merupakan suatu upaya yang akan menjadikan pekarangan sebagai sumber ketersediaan pangan keluarga. Wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan

10 10 wilayah yang masih banyak terdapat desa rawan pangan dan perlu upaya untuk memanfaatkan lahan pekarangan yang dimiliki oleh setiap rumah tangga sehingga akan membantu memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan juga akan menyediakan kebutuhan pangan yang beranekaragam, sehingga masyarakat tidak hanya mengkonsumsi beras. Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) seharusnya dilaksanakan sesuai dengan arahan buku pedoman pelaksanaan gerakan P2KP yang dibuat oleh Kementerian Pertanian. Tujuan dari pedoman pelaksanaan gerakan P2KP ini adalah sebagai acuan bagi pelaksana kegiatan baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga kegiatan P2KP dapat berjalan optimal dan mencapai sasaran yang diharapkan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak hal-hal yang belum sesuai dengan pedoman pelaksanaan kegiatan tersebut. Ketidaksesuaian tersebut antara lain masih ada beberapa kelompok wanita tani yang beranggotakan kurang dari 30 orang, sedangkan dalam buku pedoman disyaratkan m inimal 30 rumah tangga yang berdekatan. Jum lah minimal ini dimaksudkan agar terbentuk kawasan rumah pangan lestari yang bisa dijadikan sebagai pemberi keindahan dan keasrian, serta mampu menyediakan bahan pangan keluarga. Setiap desa seharusnya terdiri dari satu kelompok wanita tani, akan tetapi yang terjadi adalah ada beberapa desa yang memiliki lebih dari satu kelompok. Kondisi tersebut menunjukkan pelaksanaan kegiatan yang tidak merata, sehingga desa lain tidak memperoleh

11 11 kesempatan belajar yang sama seperti desa pelaksana P2KP. Ketidaksesuaian juga terjadi pada kriteria bahwa kelompok wanita tani harus mampu menyediakan lahan untuk kebun bibit. Kondisi yang terjadi di lokasi pelaksanaan kegiatan, ada kelompok wanita tani yang menyewa lahan untuk digunakannya sebagai kebun bibit. Hal-hal yang tidak sesuai ini kiranya akan menghambat pelaksanaan kegiatan. Kegiatan ini akan berjalan dengan baik jika anggota kelompok wanita tani mau aktif ikut terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Kenyataannya anggota kelompok wanita tani lebih aktif dan semangat jika dana bansos telah cair, sementara diluar itu untuk mempertahankan kekompakan dan kerjasama dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dirasa sulit bagi mereka. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan pekarangan dari masing-masing anggota juga sering terhenti karena kurangnya pengawasan dari pendamping. Peran pendamping sangat penting dalam hal ini, karena harus memberikan dukungan bagi anggota kelompok wanita tani demi keberlanjutan kegiatan. Pembelajaran dalam upaya optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilakukan dengan metode experiential learning berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya. Basleman dan Mappa (2011), mengatakan bahwa belajar berkaitan dengan melakukan atau mengalami, dimana belajar adalah mengalami, yaitu berinteraksi dengan lingkungan. Pendidik menganjurkan dilakukannya belajar berpengalaman (experiental learning) karena kita belajar melalui pengalaman dan kita biasa belajar dari pengalaman.

12 12 Proses belajar yang terjadi dapat dilihat dari semua anggota kelompok wanita tani dalam melakukan setiap kegiatan pada optimalisai pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. Anggota kelompok wanita tani yang berperan sebagai pembudidaya berbagai jenis tanaman dan ternak di pekarangannya masing-masing, tentunya mempunyai pengalaman berbedabeda dalam menjalankan perannya tersebut. Hal ini membawa pendamping menerapkan experiential learning sehingga membentuk pengalaman baru yang akan berproses menuju hasil terbaik. Berdasarkan gambaran permasalahan tersebut, muncul beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota kelompok wanita tani dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)? 2. Bagaimana pengetahuan, sikap, keterampilan, dan perilaku anggota kelompok wanita tani setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)? 3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anggota kelompok wanita tani setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)?

13 13 4. Bagaimana dampak yang dirasakan anggota kelompok wanita tani setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)? 1.3. Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang sudah banyak dilakukan. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian ini, seperti yang dilakukan oleh Slamet Sartono (2007), dengan judul Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Experiential Learning Sebagai Upaya Untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Pada Mata Pelajaran IPA di SMK Negeri 3 Purwokerto. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Perencanaan pembelajaran dengan pendekatan experiential learning pada mata pelajaran IPA di SMK Negeri 3 Purwokerto, (2) Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan experiential learning pada mata pelajaran IPA di SMK Negeri 3 Purwokerto, (3) Evaluasi pembelajaran dengan pendekatan experiential learning pada mata pelajaran IPA di SMK Negeri 3 Purwokerto. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian tersebut, dan hasilnya sebagai berikut : 1) Guru membuat rencana pembelajaran berupa lesson plan, spider web dan weekly. 2) Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dalam empat tahap, yaitu pengantar, pelaksanaan, debriefing dan rangkuman. 3) Evaluasi pembelajaran dilaksanakan melalui evaluasi proses dan hasil. Peningkatan kualitas pembelajaran ditandai dengan pembelajaran : a) siswa aktif, b) menyenangkan, c) melatih kerjasama kelompok, d) berpusat pada siswa, e) meningkatkan tanggung jawab, f) informatif dan komunikatif.

14 14 Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu S. Purnami dan Rohayati (2013), dengan judul Implementasi Metode Experiential Learning dalam Pengembangan Softskills Mahasiswa yang Menunjang Integrasi Teknologi, Manajemen dan Bisnis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pengembangan softskills dengan metode experiential learning dan peningkatan peran dosen sebagai fasilitator. Metode yang digunakan adalah kualitatif. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1) Pengembangan softskills bagi mahasiswa sangat penting sebagai bekal ketika memasuki dunia kerja dan memperbaiki etika kerja, 2) Metode experiential learning sangat sesuai diterapkan pada usia dewasa termasuk bagi mahasiswa yang telah memasuki usia dewasa. Sehingga pengembangan softskills bagi mahasiswa sangat sesuai diterapkan dengan menggunakan metode experiential learning ini. 3) Peran dosen dalam pengembangan softskills dengan metode experiential learning ini adalah sebagai fasilitator yang mempermudah, membantu para peserta didik untuk belajar mela lui apa yang dialaminya. Penggunaan softpower bagi para dosen akan lebih efektif bila dibandingkan dengan menggunakan hardpower. Amelia Nur Fauza (2013), juga melakukan penelitian dengan judul Penerapan metode experiential learning oleh Widyaiswara dalam pelatihan fungsional dasar penyuluh pertanian ahli di BBPP Lembang. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran bagaimana penerapan metode experiential learning yang diterapkan widyaiswara dalam pelatihan fungsional dasar penyuluh pertanian ahli dari mulai perencanaan penerapan

15 15 metode experiential learning, pelaksanaan penerapan metode experiential learning, dan evaluasi dari penerapan metode experiential learning. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Perencanaan penerapan metode experiential learning, diantaranya persiapan widyaiswara, peserta belajar, dan sistem pembelajaran, 2) Pelaksanaan penerapan metode experiential learning pada pelatihan fungsional dasar penyuluh pertanian ahli diantaranya adalah aspek proses belajar experiential learning, 3) Evaluasi penerapan metode experiential learning dilakukan dengan cara pemilihan bentuk dan jenis evaluasi, proses evaluasi dan hasil evaluasi dalam pelatihan fungsional dasar penyuluh pertanian ahli di BBPP Lembang. Penelitian Patria Puspawati (2008), dengan judul Manajemen Pembelajaran Pengalaman Lapangan Bidang Studi Matematika Kelompok Belajar Paket A Nusa Indah di Kecamatan Bandar Kabupaten Batang bertujuan untuk mengetahui kondisi obyektif perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pengalaman lapangan bidang studi matematika di kelompok belajar Paket A Nusa Indah, Kabupaten Batang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan ba hwa perencanaan pembelajaran pengalaman lapangan bidang studi matematika di kelompok belajar paket A Nusa Indah, Kabupaten Batang telah dilaksanakan sesuai tahapan yang ditetapkan, yaitu : 1) mengadakan rapat, 2) menyusun rencana kebutuhan, 3) menyusun langkah-langkah pelaksanaan, dan 4) membagi tugas sesuai peran. Pelaksanaan pembelajaran pengalaman lapangan

16 16 juga telah dilaksanakan sesuai langkah- langkah m ulai dari : 1) kegiatan pendahuluan, 2) penjelasan pokok bahasan dan tujuan, 3) penjajagan awal, 4) pengelom pokan peserta didik, 5) pembagian media, 6) penjelasan cara pelaksanaan, 7) pelaksanaan praktik pengalaman lapangan, 8) pembuatan laporan, 9) kesimpulan, 10) penguatan dan penegasan. Evaluasi pembelajaran pengalaman lapangan diperoleh hasil bahwa peserta didik menunjukkan sikap senang dan tertarik dengan metode pembelajaran pengalaman lapangan. Dengan mencermati hasil-hasil penelitian terdahulu maka dapat diidentifikasi posisi penelitian yang akan dilakukan. Keaslian penelitian terletak pada beberapa hal, yaitu : 1) Kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dalam program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2010 belum pernah diteliti m engenai proses pembelajarannya khususnya experiential learning. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan mendasar dengan penelitian sebelumnya yaitu tentang tujuan dan masalah penelitian. 2) Penelitian ini menganalisis experiential learning pada orang dewasa yaitu wanita tani yang bergerak di bidang pertanian dalam pendidikan non formal. 3) Penelitian ini menggunakan pendekatan mix methods yang merupakan perpaduan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif.

17 17 4) Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kulon Progo, dimana sejauh pengamatan penulis belum ada penelitian tentang experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah yang dipaparkan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota kelompok wanita tani dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). 2. Mengkaji pengetahuan, sikap, keterampilan, dan perilaku anggota kelompok wanita tani setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anggota kelompok wanita tani setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). 4. Mengkaji dampak yang dirasakan anggota kelompok wanita tani setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

18 Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai experiential learning dan perubahan perilaku anggota kelompok wanita tani sebagai peserta belajar. b. Menambah bahan keilmuan di bidang penyuluhan pembangunan khususnya penyuluhan pertanian yang berkaitan dengan pembelajaran wanita tani dalam pembangunan pertanian. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan masukan bagi perumus kebijakan dalam merencanakan pengembangan sumber daya manusia yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya wanita tani dalam pembangunan pertanian, melalui experiential learning. b. Memberikan manfaat langsung dari penerapan experiential learning bagi masyarakat khususnya anggota kelompok wanita tani.

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 08 TAHUN 2017 TENTANG PENGANEKARAGAMAN PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah tangga. Menurut (Hanafie, 2010) ketahanan pangan bagi suatu negara

I. PENDAHULUAN. rumah tangga. Menurut (Hanafie, 2010) ketahanan pangan bagi suatu negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga secara normatif sumber utama pasokan pangan harus dapat diproduksi sendiri hingga tingkat rumah tangga. Menurut (Hanafie,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang

Lebih terperinci

BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota

BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016 Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota Bukittinggi, Maret 2016 BIDANG PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (PKP)

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 PENDAHULUAN Hingga saat ini, upaya mewujudkan ketahanan

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang

Lebih terperinci

PROGRAM DAN KEGIATAN BIDANG KONSUMSI DAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN TAHUN 2017

PROGRAM DAN KEGIATAN BIDANG KONSUMSI DAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN TAHUN 2017 PROGRAM DAN KEGIATAN BIDANG KONSUMSI DAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN TAHUN 2017 DINAS KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH Ungaran, Januari 2017 ASPEK KONSUMSI PANGAN DALAM UU NO 18/2012 Pasal 60 (1) Pemerintah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. No.397, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 43/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BUPATI MALUKU TENGGARA

BUPATI MALUKU TENGGARA SALINAN N BUPATI MALUKU TENGGARA PERATURAN BUPATI MALUKU TENGGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG MEMBANGUN KEMANDIRIAN PANGAN MELALUI DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK BERBASIS PANGAN LOKAL (ENBAL) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT, PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Karena itu, sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib menjalankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia selain sandang dan papan. Ketersediaan pangan yang cukup menjadi isu nasional untuk mengentaskan kerawanan pangan di berbagai daerah.

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Hal ini menjadi prioritas pembangunan pertanian nasional dari

Lebih terperinci

padi-padian, umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan dari hewani yaitu

padi-padian, umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan dari hewani yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam.berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55 Ketahanan Pangan dan Pertanian disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55 Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Februari 2015 KONDISI KETAHANAN PANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan pada beras menimbulkan masalah baru bagi pemerintah daerah karena harus menyediakan dana untuk subsidi biaya transportasi ke wilayah-wilayah terpencil. Peran

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang bertujuan untuk perubahan dan pertumbuhan ekonomi serta perbaikan mutu hidup dan kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan No.60, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Pangan. Gizi. Ketahanan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5680) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI KABUPATEN PURWOREJO Menimbang a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAMBI Menimbang PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 51 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 51 TAHUN 2010 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 51 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut : 1. Proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah dunia pertanian mengalami lompatan yang sangat berarti, dari pertanian tradisional menuju pertanian modern. Menurut Trisno (1994), ada dua pertanian yaitu pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan

PENDAHULUAN. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan PENDAHULUAN Latar Belakang adalah segala sesuatu yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan yang memenuhi atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG PERTANIAN LAHAN KERING TERHADAP KETERSEDIAAN PANGAN DI PROVINSI NTT

DAYA DUKUNG PERTANIAN LAHAN KERING TERHADAP KETERSEDIAAN PANGAN DI PROVINSI NTT DAYA DUKUNG PERTANIAN LAHAN KERING TERHADAP KETERSEDIAAN PANGAN DI PROVINSI NTT Disampaikan pada : Lokakarya Pengintegrasian Pengelolaan Lahan Kering Berbasis Pertanian Konservasi dalam Penyunan Teknokratik

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN A. Tugas Pokok dan Fungsi PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN pengkajian, penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan, dan pemantapan ketersediaan pangan, serta pencegahan dan penanggulangan kerawanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingginya kemiskinan dan pengangguran yang meningkat menjadi ketimpangan masyarakat merupakan tantangan dalam pembangunan, Masyarakat miskin umumnya lemah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN MELALUI KONSEP RUMAH PANGAN LESTARI BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI BARITO UTARA Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan 13. URUSAN KETAHANAN PANGAN Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu serta sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 34 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA PROBOLINGGO DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu daerah harus tercermin oleh kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Selain

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan Masyarakat

Ketahanan Pangan Masyarakat Ketahanan Pangan Masyarakat TIK : MAHASISWA DIHARAPKAN MAMPU MENJELASKAN KONSEP UMUM, ARAH DAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN Pendahuluan Pada akhir abad ini penduduk dunia sudah 6 miliar Thomas Malthus (1798):

Lebih terperinci

5 / 7

5 / 7 LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL A. LATAR BELAKANG Keberhasilan pembangunan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang subur dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hal ini dikarenakan Indonesia berada di wilayah tropis. Sehingga berbagai jenis

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 01.a TAHUN 2011 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal Yayuk FB Pembekalan KKP Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB 14 Mei 2011 CONTOH : Hasil identifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR Menimbang : a.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Ruang Lingkup Penelitian... 9

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Ruang Lingkup Penelitian... 9 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... ii ABSTRACT... iii ABSTRAK... iv RINGKASAN... v HALAMAN PERSETUJUAN... viii RIWAYAT HIDUP... ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xii

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

Rencana Kerja Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan BAB I PENDAHULUAN

Rencana Kerja Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai

Lebih terperinci

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan 13. URUSAN KETAHANAN PANGAN Pembangunan ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk merupakan salah satu urusan wajib pemerintah. Hal ini memberikan landasan dan peluang kepada daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan baik pada tingkat rumah tangga, nasional, regional, maupun global merupakan salah satu wacana yang sering muncul dalam pembahasan dan menjadi sebuah

Lebih terperinci

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN P R O S I D I N G 125 ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG Farah Ainun Jamil 1, Pudji Purwanti 2, Riski Agung Lestariadi 2 1 Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan

Lebih terperinci

MEMANFAATKAN PEKARANGAN PEROLEH RUPIAH

MEMANFAATKAN PEKARANGAN PEROLEH RUPIAH MEMANFAATKAN PEKARANGAN PEROLEH RUPIAH Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) merupakan program yang dicanangkan pemerintah dengan tujuan pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA Kebijakan pangan merupakan prioritas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Diah Rina K. Seminar Dosen Fakultas Pertanian UMY 21 Mei 2016

Diah Rina K. Seminar Dosen Fakultas Pertanian UMY 21 Mei 2016 Diah Rina K Seminar Dosen Fakultas Pertanian UMY 21 Mei 2016 Pasal 41 UU Pangan No 18 tahun 2012 Penganekaragaman pangan merupakan upaya meningkatkan ketersediaan pangan yang beragam dan yang berbasis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi di mana setiap manusia mampu mengkonsumsi pangan dan gizi secara seimbang untuk status gizi baik. Menurut UU Pangan No 7 tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk di dunia semakin meningkat dari tahun ketahun. Jumlah penduduk dunia mencapai tujuh miliar saat ini, akan melonjak menjadi sembilan miliar pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi yang berkualitas dapat diwujudkan apabila makanan yang. kesadaran terhadap pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman.

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi yang berkualitas dapat diwujudkan apabila makanan yang. kesadaran terhadap pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu upaya untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat. Konsumsi yang berkualitas dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010 telah dicanangkan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tanggal 1 Maret 1999. Untuk mendukung

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan pertanian memiliki tantangan dalam ketersediaan sumberdaya lahan. Di samping itu, tingkat alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. 1. Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. 1. Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP) dimulai pada tahun 2010 kementerian

Lebih terperinci

UPAYA OPTIMALISASI PANGAN BERBASIS TEPUNG NONBERAS SEBAGAI PENGEMBANGAN UMKM KABUPATEN CILACAP

UPAYA OPTIMALISASI PANGAN BERBASIS TEPUNG NONBERAS SEBAGAI PENGEMBANGAN UMKM KABUPATEN CILACAP UPAYA OPTIMALISASI PANGAN BERBASIS TEPUNG NONBERAS SEBAGAI PENGEMBANGAN UMKM KABUPATEN CILACAP oleh: Kevin Yoga Permana Sub: Pengembangan Produk UMKM di Kabupaten Cilacap Alangkah menyedihkan, menjadi

Lebih terperinci

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Proses pemilihan pangan yang dikonsumsi dengan tidak tergantung kepada satu jenis pangan, tetapi terhadap

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Proses pemilihan pangan yang dikonsumsi dengan tidak tergantung kepada satu jenis pangan, tetapi terhadap Penganekaragaman Konsumsi Pangan Proses pemilihan pangan yang dikonsumsi dengan tidak tergantung kepada satu jenis pangan, tetapi terhadap bermacam-macam bahan pangan. TUJUAN PEMANFAATAN PEKARANGAN 10.3

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN KETAHANAN PANGAN TA.2015

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN KETAHANAN PANGAN TA.2015 FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN KETAHANAN PANGAN TA.2015 1 ARAHAN UU NO. 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN A. KERANGKA KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN Kedaulatan Pangan Kemandirian Pangan Ketahanan Pangan OUTCOME Masyarakat

Lebih terperinci

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2016

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2016 Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian (Musrenbangtan) Nasional Tahun 2015, 4 Juni 2015 FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2016 Sekretaris Badan Ketahanan Pangan BADAN KETAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan di suatu daerah merupakan tanggung jawab pemerintah dan

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan di suatu daerah merupakan tanggung jawab pemerintah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan di suatu daerah merupakan tanggung jawab pemerintah dan juga masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, pemerintah

Lebih terperinci