PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

dokumen-dokumen yang mirip
V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

1.1 Latar Belakang Masalah

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

cepa), namun dalam statistic internasional (FAOSTAT) hanya dikenal istilah Onion

BAB I PENDAHULUAN. tandan buah segar (TBS) sampai dihasilkan crude palm oil (CPO). dari beberapa family Arecacea (dahulu disebut Palmae).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

Tinjauan Pasar Bawang Merah

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS

II. TINJAUAN PUSTAKA

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

NO. PENANYA PERTANYAAN JAWABAN. Apakah ada rencana ekspansi pabrik kelapa sawit ke depannya?

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang dihasilkan dari produk CPO, diolah menjadi Stearin Oil

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1.

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri.

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

KETERANGAN TW I

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI NOVEMBER 2016

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas

4. Outlook Perekonomian

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali

PENDAHULUAN. setelah beras. Jagung juga berperan sebagai bahan baku industri pangan dan

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat dahulu, pada umumnya orang melakukan investasi secara tradisional.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010

KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ')

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN

Transkripsi:

67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada komoditas CPO dan minyak goreng yang merupakan produk turunan dan olahan lanjutan dari kelapa sawit. Pada bab ini akan diuraikan tentang pergerakan harga CPO internasional, harga CPO domestik serta harga rata-rata minyak goreng sawit curah di tingkat eceran di beberapa kota besar di Indonesia pada periode bulan Januari 2000-April 2012. 6.1 Pergerakan Harga CPO Internasional Dalam perdagangan minyak nabati dunia, CPO mempunyai pangsa pasar yang semakin besar dari tahun ke tahun. Dari sisi penawaran, Indonesia mempunyai peran penting dalam peningkatan produksi CPO dunia dimana produksinya diperkirakan akan terus meningkat dan ditargetkan akan mencapai 40 juta ton pada tahun 2020 (meningkat 200% dari tahun 2010). Dari sisi konsumsi, pertumbuhan penduduk dan pergeseran pola konsumsi minyak nabati dunia dari minyak kedelai ke minyak sawit juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan permintaan CPO dunia. Pergerakan harga CPO Internasional selama bulan Januari 2000-April 2012 berfluktuasi dengan tren yang terus meningkat (Gambar 18). Pada periode itu, pertumbuhan harga bulanan (growth month to month) tertinggi terjadi pada bulan Juli 2001, dimana harga CPO internasional meningkat 24.9% dari bulan sebelumnya dan sebaliknya penurunan harga terbesar terjadi pada bulan Oktober 2008 dimana harga turun hingga 24.0% dari bulan sebelumnya. Kenaikan harga CPO dunia pada tahun 2001 merupakan dampak dari penurunan produksi sejak tahun 1999 yang diakibatkan pengaruh kemarau panjang yang melanda Malaysia dan Indonesia. Pada tahun 2006, harga CPO Internasional mengalami kenaikan akibat kenaikan permintaan dari Cina dan India yang merupakan importir terbesar selain negara-negara Eropa. Selain itu, kenaikan harga CPO internasional juga

68 disebabkan tingginya harga minyak bumi yang mendorong peningkatan penggunaan bioetanol yang antara lain diproduksi dari minyak sawit. Kenaikan harga terus berlanjut pada tahun 2007 dan triwulan pertama 2008, dimana harga CPO internasional pada bulan Maret 2008 mencapai Rp 11 577/kg, yang merupakan harga tertinggi sejak tahun 2000. Lonjakan harga pada periode itu disebabkan kenaikan permintaan dari industri bioetanol di India dan Cina. Pada tahun 2007 tersebut, pemerintah India mengeluarkan kebijakan berupa pemberian subsidi bagi penggunaan minyak nabati yang digunakan untuk bahan bakar (Bachtiar, 2010). Setelah mengalami puncak kenaikan harga pada triwulan pertama tahun 2008 tersebut, harga CPO internasional mulai mengalami penurunan sejalan dengan perlambatan perekonomian dunia yang berdampak terhadap pengurangan permintaan CPO dari negara-negara importir. Penurunan harga juga disebabkan anjloknya harga minyak mentah dunia sehingga penggunaan minyak sawit sebagai bioetanol juga ikut berkurang. Penurunan harga terjadi sejak bulan Mei 2008 hingga akhir tahun 2008. Harga CPO internasional pada bulan Oktober 2008 sebesar Rp 5 476/kg yang mendekati harga awalnya sebelum terjadi lonjakan harga pada awal tahun 2007. Pada tahun 2009, meskipun terlihat adanya kenaikan harga namun jauh lebih kecil dibandingkan pada tahun sebelumnya. Meskipun demikian, perkembangan harga CPO menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Rendahnya harga CPO internasional pada tahun 2009 masih merupakan dampak dari penurunan harga yang terjadi pada akhir 2008. Menghadapi rendahnya harga CPO internasional, pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk melakukan peremajaan kebun kelapa sawit yang berakibat turunnya pasokan CPO dari kedua negara tersebut ke pasar CPO dunia. Pasokan CPO Indonesia pada tahun 2009 berkurang hingga 75.000 ton sementara Malaysia berkurang 500.000 ton (Bachtiar, 2010). Memasuki tahun 2010, pertumbuhan produksi minyak sawit dunia melambat karena adanya penurunan produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berakibat penurunan produksi dan pasokan ekspor. Hal ini menyebabkan harga CPO internasional mulai menunjukkan peningkatan

69 dibandingkan harga pada akhir tahun 2009. Harga meningkat cukup tajam selama tahun 2010 dan mencapai puncak kenaikan harga pada bulan Januari 2011, dimana harga CPO internasional pada bulan tersebut mencapai Rp 11 515/kg, lebih tinggi dari puncak kenaikan harga pada tahun 2008 dan menjadi harga tertinggi sejak tahun 2000. Kenaikan harga CPO pada pasar minyak nabati dunia menyebabkan peningkatan konsumsi minyak kedelai, namun peralihan ini hanya bersifat sementara karena stok minyak kedelai dunia yang terbatas dan mulai menipis pada bulan Juni 2010 (Drajat, 2010). Harga CPO internasional kembali mengalami penurunan setelah Februari 2011 seiring peningkatan produksi minyak sawit di Indonesia dan Malaysia selama tahun 2011. Pada bulan Maret 2011 stok minyak sawit Malaysia meningkat 7% hingga 8% (Kemendag, 2011). Kenaikan suplai menyebabkan harga terus mengalami penurunan harga hingga bulan Oktober dimana harga CPO internasional menjadi Rp 8 841/kg yang merupakan harga terendah sejak tahun 2011. Harga kembali mengalami kenaikan setelah November 2011 yang dipicu oleh banjir yang terjadi di Malaysia (World Bank, 2012). Harga CPO internasional terus mengalami kenaikan selama kuartal pertama tahun 2012. Namun demikian World Bank memprediksi jika harga CPO tahun 2012 tetap akan mengalami penurunan sebesar 20 % karena adanya peningkatan suplai CPO dunia. Gambar 18 Pergerakan dan pertumbuhan harga CPO internasional periode Januari 2000-April 2012

70 Tabel 8 memperlihatkan keragaman harga CPO internasional per tahun pada periode tahun 2000-kuartal pertama tahun 2012. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi beberapa kali fluktuasi harga yang relatif tinggi, yaitu pada tahun 2001, 2007, 2008 dan 2010. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien variasi (CV) pada tabel tersebut, dimana nilai CV pada tahun-tahun tersebut relatif lebih tinggi. Tingginya fluktuasi harga CPO internasional pada tahun 2007 dan 2008 tidak terlepas dari pergerakan harga dalam periode itu. Sebagaimana telah dideskripsikan sebelumnya, bahwa pada tahun 2007 terjadi kenaikan harga yang cukup tajam selama tahun 2007. Fluktuasi semakin besar pada tahun 2008 karena pada tahun ini harga masih meningkat tajam yang diikuti penurunan harga yang juga relatif tajam setelah puncak kenaikan harga pada bulan yang diikuti penurunan harga yang juga cukup tajam setelah bulan Mei 2008. Harga kembali berfluktuasi pada tahun 2010, dimana harga CPO internasional mengalami kenaikan yang cukup tajam selama tahun 2010. Fluktuasi harga CPO internasional mendapat perhatian serius dari pemerintah karena akan berpengaruh terhadap harga CPO dan minyak goreng domestik. Tingkat harga CPO internasional menjadi dasar penetapan kebijakan yang terkait dengan penetapan harga kelapa sawit (TBS) dan harga minyak goreng domestik. Tabel 8 Keragaman harga CPO internasional periode 2000-2012 Tahun Harga Rata-Rata (Rp/kg) Standar Deviasi CV (%) 2000 2435.04 169.12 6.95 2001 2724.40 423.07 15.53 2002 3359.32 264.19 7.86 2003 3535.51 341.99 9.67 2004 3897.70 324.12 8.32 2005 3802.02 242.57 6.38 2006 4079.00 445.72 10.93 2007 6681.15 1192.14 17.84 2008 8485.12 2394.96 28.23 2009 6567.07 603.51 9.19 2010 7638.62 1200.89 15.72 2011 9184.57 872.61 9.50 2012* 10265.09 538.07 5.24 Rata-rata 5588.81 693.30 11.64 * kuartal pertama

71 6.2 Pergerakan Harga CPO Domestik Harga CPO di dalam negeri dihasilkan dari mekanisme penawaran dan permintaan pada pasar CPO domestik. Penawaran CPO domestik merupakan gabungan dari produksi CPO dari prosesor minyak sawit milik negara maupun swasta. Sedangkan permintaan CPO domestik berasal dari berbagai industri turunan kelapa sawit seperti industri pangan, biofuel dan oleokimia dimana permintaan terbesar berasal dari industri minyak goreng. Harga CPO domestik pada periode bulan Januari 2000 hingga April 2012 menunjukkan tren yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Sebagaimana pergerakan harga CPO internasional, harga CPO domestik pada periode sebelum tahun 2006 cenderung stabil dan menjadi lebih fluktuatif sejak tahun 2006. Pertumbuhan harga bulanan (growth month to month) tertinggi terjadi pada bulan November 2006 dimana terjadi kenaikan harga sebesar 20.4 % dari bulan sebelumnya (Gambar 19). Harga CPO domestik sempat mengalami fluktuasi pada awal tahun 2000 yang disebabkan penurunan kualitas tandan buah segar yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat yang merupakan dampak dari kenaikan harga pupuk pada tahun 1999. Harga CPO domestik terus mengalami penurunan hingga akhir tahun 2000 dan mencapai titik terendah pada bulan Desember 2000 sebesar Rp 1 667/kg sebelum bergerak naik kembali. Gambar 19 Pergerakan dan pertumbuhan harga CPO domestik periode Januari 2000-April 2012.

72 Ditinjau dari keragaman harga antar tahun (tabel 9), fluktuasi harga CPO domestik yang tertinggi terjadi pada tahun 2008, dengan nilai koefisien keragaman (CV) mencapai 24.7%. Fluktuasi harga CPO domestik pada tahun ini tidak lepas dari terjadinya fluktuasi pada pasar CPO dunia. Kenaikan tajam yang terjadi selama tahun 2007 mencapai puncaknya pada bulan Maret 2008, dimana harga CPO domestik mencapai Rp 9 978/kg sebelum kembali turun dengan pertumbuhan negatif hingga bulan Oktober 2008. Tabel 9 Keragaman harga CPO domestik periode 2000-2012 Tahun Harga Rata-Rata (Rp/kg) Standar Deviasi CV (%) 2000 2204.75 333.56 15.13 2001 2048.92 170.36 8.31 2002 2840.33 258.64 9.11 2003 3299.67 170.41 5.16 2004 3672.25 118.73 3.23 2005 3768.83 216.28 5.74 2006 4138.42 485.04 11.72 2007 7026.19 1044.90 14.87 2008 7885.92 1948.74 24.71 2009 6791.11 611.48 9.00 2010 7845.97 1080.32 13.77 2011 8904.16 638.00 7.17 2012* 9488.71 533.17 5.62 Rata-rata 5378.09 585.36 10.27 *kuartal pertama Jika dibandingkan dengan harga CPO internasional, harga CPO domestik pada periode tahun 2000-2012 relatif lebih stabil yang terlihat dari nilai CV ratarata CPO domestik (10.27) yang lebih rendah dari nilai CV rata-rata CPO internasional (11.64). Pada tahun 2008 ketika terjadi fluktuasi harga CPO yang tertinggi baik pada pasar dunia maupun pada pasar domestik, nilai koefisien keragaman dari harga CPO internasional mencapai 28.2%, sementara CPO domestik hanya 24.7%. Intervensi pemerintah berupa penerapan pajak ekspor CPO terlihat dapat mengurangi dampak fluktuasi harga dunia terhadap pasar CPO domestik.

73 6.3 Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik Pada periode Januari 2000-April 2012, pergerakan harga minyak goreng menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Secara grafis pergerakan harga minyak goreng domestik juga mempunyai pola yang sama dengan pergerakan harga CPO, dimana harga minyak goreng mengalami kenaikan harga yang cukup tajam pada tahun 2007. Harga minyak goreng juga mengalami penurunan pada tahun 2008 namun dengan besaran lebih kecil dari penurunan harga CPO (Gambar 20). Pertumbuhan harga minyak goreng selama periode pengamatan juga lebih stabil dimana perubahan harga antar bulan yang tertinggi tercatat 18% dan yang terendah -10%. Nilai ini jauh lebih kecil dari kisaran pertumbuhan harga CPO domestik yang mencapai 20% hingga -23%. Gambar 20 Pergerakan dan pertumbuhan harga minyak goreng domestik periode Januari 2000-April 2012 Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat sehingga sisi permintaan tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan harga minyak goreng. Dari Tabel 10 terlihat jika keragaman harga minyak goreng relatif lebih stabil dibandingkan harga CPO yang terlihat dari nilai CV yang relatif rendah. Meskipun keragaman harga meningkat pada tahun 2007-2008, namun besarannya lebih kecil jika dibandingkan keragaman harga CPO pada periode yang sama.

74 Tabel 10 Keragaman harga minyak goreng domestik periode 2000-2012 Tahun Harga Rata-Rata (Rp/kg) Standar Deviasi CV (%) 2000 3594.44 123.58 3.44 2001 3789.58 387.51 10.23 2002 4458.67 185.68 4.16 2003 4906.08 235.86 4.81 2004 5379.67 218.67 4.06 2005 5144.92 232.18 4.51 2006 5335.00 279.69 5.24 2007 8170.06 1246.04 15.25 2008 10347.77 1486.88 14.37 2009 9077.22 488.18 5.38 2010 9804.06 554.92 5.66 2011 10809.87 333.88 3.09 2012* 11489.56 185.97 1.62 Rata-rata 7100.531 458.3877 6.30 *kuartal pertama 6.4 Spread Harga CPO dan Harga Minyak Goreng Domestik Spread harga CPO domestik dan minyak goreng domestik merupakan selisih antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik. Spread antara harga CPO domestik dengan minyak goreng dapat menunjukkan margin keuntungan yang diterima oleh industri minyak goreng yang akan berpengaruh terhadap harga eceran yang harus dibayarkan konsumen. Sementara itu spread antara harga CPO internasional dengan minyak goreng dapat memberikan informasi mengenai respon perubahan harga minyak goreng domestik terhadap perubahan harga CPO. Selama periode bulan Januari 2000-April 2012 terlihat jika fluktuasi harga CPO domestik dan minyak goreng menyebabkan spread yang juga berfluktuasi. Pada periode kenaikan harga CPO domestik selama bulan Oktober 2006- Januari 2008, spread harga mengalami penurunan dengan spread harga terendah terjadi pada bulan November 2006 sebesar Rp 544/kg. Spread harga kembali mengalami kenaikan setelah harga CPO kembali turun (Maret 2008-Oktober 2008) dimana spread tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2008 sebesar Rp 3 860/kg (Gambar 21).

75 Gambar 21 Pergerakan dan spread hargacpo dengan harga minyak goreng periode Januari 2000-April 2012. Kondisi yang sama terjadi pada saat harga CPO domestik kembali mengalami kenaikan pada akhir tahun 2010, spread pada bulan Desember 2010 kembali mengalami penurunan tajam menjadi Rp 716/kg, dan kembali naik seiring dengan penurunan harga CPO domestik pada awal tahun 2011. Pada bulan Maret 2011, spread naik menjadi Rp 2851/kg. Hal ini menunjukkan jika kenaikan harga CPO tidak serta merta dapat menjadikan industri minyak goreng menaikkan harga dengan besaran yang sama dengan kenaikan harga CPO, sehingga kenaikan harga CPO ternyata tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga dapat mengurangi keuntungan produsen minyak goreng. Sebagai salah satu komoditas pokok, pemerintah berkepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng dengan intervensi kebijakan antara lain melalui penjualan minyak goreng bersubsidi bagi kalangan tidak mampu ketika terjadi fluktuasi harga minyak goreng. Kebijakan ini secara psikologis dapat meredam fluktuasi harga minyak goreng eceran. Dengan demikian kebijakan pengendalian harga minyak goreng terbukti menguntungkan bagi konsumen, tetapi berpotensi mengurangi kesejahteraan industri minyak goreng. Ketika harga CPO kembali turun, industri minyak goreng mempertahankan spread harga dengan tidak menurunkan harga minyak goreng sebesar penurunan harga CPO. Kondisi itu menyebabkan spread akan semakin fluktuatif jika terjadi

76 fluktuasi harga CPO domestik. Dari Tabel 11 terlihat jika spread harga cenderung fluktuatif setelah tahun 2006, dimana pada periode itu harga CPO domestik lebih fluktuatif dibandingkan pada periode tahun 2000-2006. Tabel 11 Keragaman spread harga CPO domestik-harga minyak goreng domestik periode 2000-2012 Tahun Standar Deviasi Spread rata-rata (Rp/kg) CV (%) 2000 333.63 1389.69 24.01 2001 306.95 1740.67 17.63 2002 136.43 1618.33 8.43 2003 154.97 1606.42 9.65 2004 203.99 1707.42 11.95 2005 219.10 1376.08 15.92 2006 270.01 1196.58 22.57 2007 267.45 1143.87 23.38 2008 866.08 2461.85 35.18 2009 455.60 2286.11 19.93 2010 540.67 1958.09 27.61 2011 523.73 1905.71 27.48 2012*) 374.89 2000.86 18.74 *kuartal pertama 6.5 Pergerakan Harga Minyak Goreng Curah Antar Wilayah Minyak goreng curah merupakan komoditas yang mudah mengalami fluktuasi harga. Selama periode bulan Januari 2000-April 2012 harga minyak goreng di 10 kota besar terlihat fluktuatif sepanjang waktu pengamatan (Gambar 22). Meskipun terdapat adanya pergerakan harga di beberapa kota yang tidak sama seperti Denpasar dan Makasar, namun secara umum seluruh harga yang diamati mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Persamaan pergerakan harga merupakan indikasi adanya integrasi pasar. Meskipun demikian adanya integrasi harus dibuktikan melalui pengujian.

77 Gambar 22 Pergerakan harga minyak goreng antar kota besar periode Januari 2000-April 2012 Dari Tabel 12 terlihat jika pergerakan harga minyak goreng curah di 10 kota besar di Indonesia menunjukkan keragaman harga yang cukup tinggi pada setiap kota. Jika dibandingkan dengan komoditas beras, maka fluktuasi harga minyak goreng jauh lebih tinggi dan lebih sering terjadi. Menurut Sari (2010), CV harga eceran beras di tingkat nasional pada tahun 2000-2008 hanya berkisar 1-4%. Sehingga meskipun persentase pengeluaran masyarakat untuk minyak goreng lebih kecil dari bahan pangan pokok (beras), tetapi pemerintah memandang perlunya intervensi untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng. Harga rata-rata minyak goreng yang paling rendah terjadi di Medan sebesar Rp 6 408/kg. Hal ini sesuai dengan kondisi riil, dimana wilayah Sumatera Utara merupakan sentra industri minyak goreng terbesar di Indonesia. Propinsi ini termasuk wilayah surplus minyak goreng dimana hanya 6% dari total produksi minyak goreng di wilayah tersebut yang digunakan untuk keperluan di wilayah Sumatera Utara, sedangkan sisanya sebesar 94 % digunakan untuk memenuhi kebutuhan propinsi lain dan untuk ekspor (KPPU, 2010). Kondisi ini mendorong terciptanya tingkat harga yang lebih rendah pada pasar minyak goreng di Medan. Sebaliknya harga rata-rata minyak goreng yang tertinggi adalah harga di Denpasar yaitu sebesar Rp 7 381/kg. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat harga pada pasar minyak goreng di Denpasar adalah karena

78 propinsi Bali merupakan net importer untuk komoditas minyak goreng sawit. Di propinsi ini sebagaimana Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tidak terdapat satu pun industri pengolahan minyak goreng sawit. Mengingat Denpasar mempunyai kedekatan dengan Jawa Timur sebagai salah satu sentra minyak goreng, tingginya tingkat harga juga menimbulkan dugaan jika pasar minyak goreng di Jawa Timur dan Bali tidak terintegrasi penuh. Dengan demikian, perbedaan harga antara harga minyak goreng di Medan dengan Denpasar (Rp 972/kg ) merupakan disparitas harga rata-rata yang tertinggi diantara disparitas antar kota pada 10 kota yang diamati dalam penelitian ini. Ditinjau dari keragaman harga antar kota, fluktuasi tertinggi terjadi di kota Pekanbaru (CV= 10.65%). Tingginya fluktuasi harga minyak goreng di kota ini lebih banyak dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO. Sebagaimana diketahui, propinsi Riau merupakan sentra kelapa sawit terbesar. Produksi CPO di wilayah ini sebagian besar ditujukan untuk keperluan ekspor. Perubahan harga CPO, baik harga CPO dunia maupun domestik dengan cepat ditransmisikan ke pasar minyak goreng. Hal yang sama terjadi dengan harga minyak goreng di Medan. Meskipun harga rata-rata di Medan merupakan harga rata-rata terendah dibandingkan 9 kota lain, namun harga di Medan juga lebih fluktuatif. Sebagaimana halnya harga di Pekanbaru, harga minyak goreng di Medan juga mudah dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO. Harga minyak goreng di kota-kota di wilayah konsumen pada umumnya cenderung lebih stabil, kecuali Denpasar. Koefisien keragaman harga minyak goreng di kota ini mencapai 9.18% yang merupakan keragaman yang tertinggi jika dibandingkan dengan kota konsumen lain. Selain dipengaruhi dari sisi penawaran, fluktuasi harga di Denpasar juga dipengaruhi shock pada sisi permintaan. Sebagai daerah pariwisata utama, jumlah arus wisatawan sangat berpengaruh terhadap konsumsi minyak goreng di propinsi Bali. Perubahan dari sisi permintaan tidak dapat dengan cepat disesuaikan oleh sisi penawaran, mengingat propinsi Bali merupakan net consumer yang mengandalkan pasokan minyak goreng dari wilayah lain. Pergeseran permintaan pada akhirnya akan mengubah tingkat harga.

79 Diantara 10 kota tersebut, pergerakan harga minyak goreng di Jakarta merupakan yang paling stabil (CV=7.22%). Perkembangan industri minyak goreng di wilayah DKI Jakarta dewasa ini menjadikan propinsi ini sebagai salah satu sentra industri minyak goreng sawit. Di wilayah DKI Jakarta telah banyak berdiri pabrik minyak goreng sawit yang mempunyai kapasitas besar, misalnya pabrik yang dimiliki oleh Grup Astra Agro Lestari, Indofood dan Majuan. Kapasitas terpasang pabrik minyak goreng sawit milik ketiga perusahaan ini mencapai 550 000 ton/tahun (Kemenperin, 2011). Dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 sebesar 9.8 juta jiwa (BPS, 2012) maka kebutuhan minyak goreng di DKI Jakarta untuk konsumsi rumah tangga dan industri adalah sebesar 162.4 ribu ton/tahun. Dengan demikian terdapat surplus produksi minyak goreng di DKI 387.7 ribu ton per tahun, sehingga pasar minyak goreng di Jakarta relatif mempunyai kestabilan baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Tabel 12 Harga* dan keragaman harga minyak goreng antar kota besar di Indonesia periode bulan Januari 2000-April 2012 Wilayah Harga Rata-Rata (Rp/kg) Standar Deviasi CV Rata-rata (%) MEDAN 6408.67 615.26 9.56 PEKANBARU 6746.22 668.92 10.65 PALEMBANG 6487.92 561.53 8.20 JAKARTA 7024.24 489.42 7.22 BANDUNG 6765.72 517.29 7.47 SEMARANG 6540.83 561.99 8.19 SURABAYA 6668.79 603.28 8.64 DENPASAR 7381.04 652.19 9.18 PONTIANAK 6751.73 595.71 8.46 MAKASAR 6639.61 571.05 8.03 *rata-rata tahunan (tahun 2012 rata-rata 4 bulan)