BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 1.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data yang dikumpulkan baik berupa skripsi, jurnal maupun hasil penelitian lainnya, ditemukan beberapa penelitian yang dapat dijadikan pembanding untuk penelitian kali ini. Beberapa penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut: Sudewa (2012) dengan penelitian yang berjudul Sajak Nyanyian Angsa Karya W.S. Rendra: Analisis Antropologi Sastra. Dalam penelitiannya, Sudewa menganalisis puisi dengan menggunakan teori antropologi sastra dengan metode penelitiannya mengacu pada pandangan-pandangan Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U sebagai pijakan. Hasil penelitiannya disimpulkan, bahwa sajak Nyanyian Angsa karya WS. Rendra adalah sajak yang berisi kritik sosial bagi kelompok buadaya masyarakat tertentu, dimana menggambarkan tentang perjalanan kehidupan seorang perempuan yang bernama Maria Zaitun bekerja sebagai pelacur dalam perjalanan pencarian jatidirinya dengan terseok-seok. Tokoh Maria Zaitun ini juga sebagai individu pengungkap suatu budaya, seperti budaya masyarakat kelas atas dan budaya masyarakat pada umumnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sudewa, yaitu sama-sama meneliti puisi sebagai Jenis sumber data yang digunakan sehingga dapat dijadikan acuan dalam menganilisis data. Dalam penelitian milik Sudewa meneliti menggunakan teori antropologi sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 9
10 teori feminisme. Penelitian Sudewa dapat digunakan sebagai kajian dalam penelitian. Damayanti (2012) menulis tesis yang berjudul Ekspresi Cinta dalam Puisipuisi Cinta Shuntaro Tanikawa dan W.S. Rendra. Dalam penelitiannya meneliti ekspresi dan tanda-tanda cinta yang muncul dalam puisi Jepang dan Indonesia serta membandingkan ekspresi cinta dari dua negara tersebut menggunakan teori semiotik Riffaterre dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan dan sosiologi sastra. Metode dan teknik pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan dan dilanjutkan dengan teknik catat. Metode dan teknik analisis data menggunakan metode hermeneutika dan metode deskriptif komparatif. Hasil penelitian Damayanti bahwa, terdapat perbedaan yang signifikan antara puisi Jepang dan Indonesia, puisi karya Shuntaro Tanikawa lebih menunjukan ekspresi cinta dalam bentuk nonverbal sedangkan berbeda dengan puisi karya W.S Rendra dimana ekspresi cinta lebih banyak dilakukan secara verbal. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Damayanti adalah kesamaan sumber data dan teori yang digunakan dapat digunakan sebagai acuan dalam metode analisis data. Terdapat pula perbedaan pada penelitian Damayanti yang merupakan penelitian sastra bandingan yang membandingkan puisi antara dua negara. Erawati (1998) dengan analisis yang berjudul Pekerja Paruh Waktu Perempuan di Jepang. Penelitian, Erawati menganalisis masalah alasan, keuntungan, dan kerugian ibu rumah tangga sebagai pekerja paruh waktu. Serta bagaimana pekerjaan paruh waktu bisa menjadi jalan bagi terlaksananya pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan yang menghasilkan uang secara selaras.
11 Teori yang digunakan yaitu teori tentang makna ibu bagi orang Jepang yang dikemukakan oleh Yamamura. Hasil dari penelitian Erawati menunjukkan jumlah pekerja paruh waktu perempuan di Jepang mengalami peningkatan yang besar. Ibu rumah tangga bekerja paruh waktu untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan agar tetap bisa melaksanakan pekerjaan rumah dengan selaras. Hubungan penelitian yang dilakukan oleh Erawati dengan penelitian ini adalah pada penelitiannya memuat tentang perempuan pekerja di Jepang dan bisa digunakan sebagai gambaran bagaimana seorang ibu rumah tangga yang merupakan citra perempuan Jepang berusaha bekerja untuk menghasilkan uang. Wardani (2009) dengan penelitian Belenggu-belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisme Toni Morrison dalam Feminisme The Bluest Eye yang merupakan skripsi yang disusun oleh Eka Harisma Wardani menggunakan metode pustaka, dimana metode ini dilakukan dengan pengumpulan beberapa refrensi dari berbagai sumber internet maupun sumber dari buku. Kesamaan metode yang digunakan ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian serta kesamaan dalam membahas feminis juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Damayanti (2013) dengan penelitian yang berjudul Perempuan dalam Puisi Cinta Shuntaro Tanikawa dan W.S. Rendra. Dalam penelitiannya kali ini juga membahas membandingkan dua karya sastra dari negara yang berbeda yaitu puisi Indonesia dan puisi Jepang dalam membandingkan dua puisi tersebut perempuan digambarkan perempuan yang harus sopan dalam bertingkah laku dan berbicara. Penyair juga menggambarkan perempuan dengan citra negatif. Perempuan
12 diserotipkan sebagai mahluk yang lemah, tak berdaya, dan menggunakan kecantikan untuk mencapai tujuan. Dalam penelitian Damayanti menggunakan pendekatan sastra bandingan dan teori feminis serta menggunakan metode komperatif untuk menganalisis data. Hasil dari penelitian ini adalah Baik dalam puisi cinta yang berjudul Onna ni dan Surat Cinta perempuan digambarkan imperior dan laki-laki superior. Perempuan dalam puisi Onna ni oleh penyair digambarkan imperior dan laki-laki superior sesuai dengan sistem budaya patriakat yang dianut oleh masyarakat Jepang. Perempuan dalam puisi digambarkan penuh sopan santun, setia, dan bertanggung jawab. Kedudukan perempuan dalam puisi Surat Cinta didapati lebih rendah dari laki-laki. Penyair menggambarkan perempuan memiliki citra negatif. Perempuan diserotipkan sebagai mahluk yang lemah, tak berdaya, dan menggunakan kecantikan untuk mencapai tujuan. Selain itu, didapati kesenjangan gender berupa anggapan perempuan hanyalah sebagai tawanan yang tidak memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya. Kesamaan penelitian Damayanti dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan puisi sebagai objek penelitian. Perbedaannya adalah pada teori yang digunakan adalah pendekatan sastra bandingan yang membandingkan kedudukan perempuan antara dua negara yang berbeda yaitu Jepang dan Indonesia.
13 1.2 Konsep Konsep adalah semua istilah atau kata kunci yang digunakan dalam suatu karya ilmiah. Adapun konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1.2.1 Puisi Sebuah puisi merupakan ungkapan perasaan atau pikiran penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Secara garis besar, sebuah puisi terdiri atas 7 unsur, yaitu: tema, suasana, imajinasi, amanat, nada, suasana, dan perasaan. Sedangkan prinsip dasar sebuah puisi adalah berkata sedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 1995: 7). Salah satu jenis puisi modern Jepang disebut dengan Gendaishi. Menurut Kamus bahasa Jepang Gendaishi adalah puisi kontemporer. Puisi kontemporer puisi yang muncul pada masa kini yang bentuk dan gayanya tidak mengikuti kaidah-kaidah puisi pada umumnya, puisi yang lahir di dalam kurun waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya (Silviana, 2011). 1.2.2 Gender Pengertian gender perlu dibedakan dengan pengertian seks. Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuan sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat ketentuan biologis atau ciptaan Tuhan dengan bentukan budaya yang merupakan konstruksi sosial.
14 Seringkali orang mencampuradukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrat (tidak berubah) dengan yang bersifat non-kodrat (gender) yang bisa berubah dan diubah (Sangsoko, 2009: 6). Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial maupun kultural dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan pengertian seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi, oleh karena itu seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen, universal, dan fungsinya tidak dapat dipertukarkan (Sangsoko, 2009:7). 1.2.3 Feminisme Seiring dengan pergerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan emansipasi, dan menghapuskan diskriminasi gender, feminisme bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi yang berusaha melakukan pembongkaran sistem patriarki, mencari akar, atau penyebab ketertindasan perempuan serta mencari pembebasannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia feminis diartikan sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antar kaum wanita dan pria. Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman, berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial). Pengertian secara luas, feminis adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2009:184). Jadi, feminisme bukanlah pemberontakan perempuan pada laki-laki atau upaya untuk
15 melawan pranata sosial, seperti dalam rumah tangga dan perkawinan untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi yang dialami oleh perempuan. 1.2.4 Citra Perempuan Citraan adalah gambar-gambar angan atau pikiran sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Gambaran atau pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang menyerupai atau gambaran yang dihasilkan oleh objek (Altenbernd dalam Pradopo, 1997:12). Citra artinya rupa, gambaran, dapat berupa gambar yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkaan oleh sebuah kata, frasa atau kalimat dan merupakan dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Citra perempuan merupakan wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh perempuan dalam berbagai aspeknya yaitu aspek fisis dan psikis sebagai citra diri perempuan serta aspek keluarga dan masyarakat sebagai citra sosial (Sugihastuti, 2000:7). 2.3 Kerangka Teori Sebuah Penelitian karya sastra memerlukan teori sastra untuk menunjang penelitian karena suatu penelitian tidak akan mencapai hasil yang maksimal tanpa ada teori yang mendasarinya. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 2.3.1 Teori Kritik Sastra Feminis Kritik sastra feminisme berasal dari hasrat pada feminis untuk mengkaji karya penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam
16 karya penulis pria yang menampilkan wanita dan sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi partikal yang dominan (Djajanegara, 2000: 16). Faham feminis ini lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Sejak akhir 1960- an ketika kritik sastra feminis dikembangkan sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional, anggapan tentang studi kritik sastra feminis ini pun menjadi pilihan menarik. Kritik sastra feminis menawarkan pandangan, bahwa para pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi, pengertian, dan dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6). Sugihastuti dan Suharto (2005: 7) mengemukakan kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang menjadi perbedaan semua yang juga menjadi perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada situasi luar yang mempengaruhi karang mengarang. Kritik sastra feminis bertolak dari permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi perebutan makna karya sastra. Kritik sastra feminis berbeda dengan kritik-kritik yang lain,masalah kritik sastra feminis berkembang dari berbagai sumber. Dalam hal ini, diperlukan pandangan luas dalam bacaan-bacaan tentang perempuan (Sugihastuti dan Suharto 2005: 8).
17 Batasan umum kritik sastra feminis dikemukakan oleh Culler dalam Sugihastuti, dan Suharto (2005: 7) bahwa kritik sastra feminis adalah cara membaca sebagai perempuan, artinya kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Teori yang kritik sastra feminis yang digunakan adalah menurut Sugihastuti dan Suharto (2005) yang digunakan untuk menganalisis citra perempuan dan memberikan pandangan kepada perempuan secara khusus tetapi tetap berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan masyarakat. 2.3.2 Teori Feminis Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari persepektif yang terpusat pada wanita. Teori ini terpusat pada wanita dalam tiga hal. Pertama, sasaran utama studinya, titik tolak seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman wanita dalam masyarakat. Kedua, dalam proses penelitiannya, wanita dijadikan sasaran sentral; artinya, mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang wanita terhadap dunia sosial. Ketiga, teori feminis dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau pejuang demi kepentingan wanita, yang mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk wanita dan dengan demikian, menurut mereka untuk kemanusiaan (Ritzer dan Goodman, 2004:404). Feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme juga
18 menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga (Sugihastuti, 2002:18). Teori feminis berbeda dengan kebanyakan teori sosiologi dalam berbagai hal. Pertama, teori ini adalah pemikiran sebuah komunitas interdisipliner, yang tidak hanya mencangkup para sosiolog tetapi juga sarjana dari disiplin lain seperti penulis kreatif dan aktivis politik. Kedua, sosiolog feminis bekerja dengan agenda ganda: memperluas dan memperdalam ilmu asli mereka (dalam kasus ini adalah sosiologi) dengan menggunakan pengetahuan sosiologi untuk menganalisis kembali temuan studi yang dibuat oleh sarjana feminis; dan mengembangkan pemahaman kritis mengenai masyarakat untuk mengubah kehidupan ke arah yang dianggap lebih adil dan berperikemanusiaan. Dua agenda jenis ini merupakan hallmark (penanda) setiap teori kritis (Ritzer dan Goodman, 2004:404). Ratna (2009: 190 191) mengemukakan bahwa feminis mengkaji masalahmasalah mengenai wanita, pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan laki-laki dalam berbagai bidang. Jadi, feminisme bukanlah pemberontakan perempuan pada laki-laki atau upaya untuk melawan pranata sosial, seperti dalam rumah tangga dan perkawinan untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi yang dialami oleh perempuan. 1.2.5 Teori Semiotika Semiotika biasanya didefinisikann sebagai pengkajian tanda-tanda, pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang
19 memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982: ix) Peirce mendefenisikan tanda sebagai sesuatu bagi seseorang berfungsi sebagai wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu peirce menyatakan bahwa ada tiga subjek dikenal dengan trikotomi Peirce dalam semiosis yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Kajian yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce. Pendekatan yang digunakan yaitu klasifikasi tanda berdasarkan objek: ikon, indeks, simbol dengan tingkat kajian level sintaktik dan semantik. Semiotik Peirce terdiri dari 3 karakter tanda: berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara petanda dan penanda bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan penanda dan petanda merupakan hubungan alamiah yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Simbol adalah tanda yang hubungan petanda dan petanda yang tidak bersifat alamiah. Hubungan yang terjadi adalah semau-maunya, hubungan terjadi berdasarkan perjanjian (konvensi) dalam masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan lambang adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh perjanjian dalam masyarakat (Pradopo, 2007:121-122). Teori semiotika Peirce dalam penelitian ini digunakan sebagai teori pendukung untuk meneliti tanda yang berhubungan dengan penelitian ini untuk dianalisis berdasarkan 3 karakter tanda atau yang disebut dengan trikotomi Peirce.