PROFIL CURAH HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI PERTAMA DI PT TAURUS DAIRY FARM TAHUN SKRIPSI DODI JARWOKO

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah

PROFIL REPRODUKSI SAP1 FRIES HOLLAND DI PT TAURUS DAIRY FARM

HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

STUDI PENGARUH UNSUR CUACA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PFH DI DESA DESA CIBOGO DAN LANGENSARI, LEMBANG, BANDUNG BARAT

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

EVALUASI PRODUKSI SUSU BULANAN SAPI PERAH FRIES HOLLAND DAN KORELASINYA DENGAN PRODUKSI TOTAL SELAMA 305 HARI DI BBPTU-HPT BATURRADEN

MATERI DAN METODE. Metode

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

disusun oleh: Willyan Djaja

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA SKRIPSI

ANALISIS FINANSIAL USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus Peternakan HMB Agro, Desa Sukajaya Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor)

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

ANALISIS PENDAPATAN USAHATERNAK SAPI PERAH (Studi Kasus di Perusahaan X, Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor) SKRIPSI SHCYNTALIA HERTIKA

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 14, Nomor 1, Juni 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

b?> EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN SAP1 FRIES HOLLAND PERIODE LAKTASI KE-3 DAN KE-4 DI PT. TAURUS DAIRY FARM, CICURUG, SUKABUMI

ANALISIS PENENTUAN HARGA POKOK PRODUKSI SUSU SEGAR (Studi Kasus Usaha Peternakan Rian Puspita Jaya Jakarta Selatan) SKRIPSI ARIEF AMIN SINAGA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Peternakan Sri Murni

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

PERBANDINGAN PERFORMA PRODUKSI SAPI PERAH FRIES HOLLAND IMPOR DENGAN KETURUNANNYA (Studi Kasus di PT. UPBS Pangalengan)

KEADAAN UMUM LOKASI Peternakan Kambing Perah Cordero

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : L-. Aiidi Murfi, MSi.

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Form Menu Utama Program

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH KONSUMSI SERAT KASAR TERHADAP PRODUKSI DAN LEMAK SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN KLATEN SKRIPSI.

PROGRAM EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH UNTUK TINGKAT PETERNAK DAN KOPERASI MENGGUNAKAN MICROSOFT ACCESS SKRIPSI AKRAMUZZEIN

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

IMBANGAN HIJAUAN-KONSENTRAT OPTIMAL UNTUK KONSUMSI RANSUM DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH HOLSTEIN LAKTASI

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

Transkripsi:

PROFIL CURAH HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI PERTAMA DI PT TAURUS DAIRY FARM TAHUN 1995-2000 SKRIPSI DODI JARWOKO DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN DODI JARWOKO. D14102051. 2008. Profil Curah Hujan dan Dampaknya pada Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1995-2000. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Catur Nugroho Wicaksono, M. Si. Volume produksi susu dapi perah di PT Taurus Dairy Farm selama ini senantiasa mengalami fluktuasi. Biasanya, fluktuasi ini terjadi seiring dengan perubahan musim sepanjang tahun. Berdasarkan pengamatan perusahaan, produksi susu yang diperoleh pada musim kering (periode sedikit hujan) lebih tinggi dibandingkan dengan musim penghujan (periode banyak hujan/periode basah). Fluktuasi produksi tersebut diduga disebabkan oleh perubahan kualitas pakan hijauan yang dipengaruhi oleh curah hujan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik curah hujan di TDF dan mengetahui dampaknya pada produksi susu sapi perah laktasi pertama pada tahun 1995-2000. Materi yang digunakan adalah catatan curah hujan harian tahun 1990-2005 dan catatan produksi susu harian sapi perah laktasi pertama di PT Taurus Dairy Farm tahun 1995-2000. Jumlah catatan produksi susu yang dipilih dan dianalisa sebanyak 120 catatan. Peubah yang diamati terdiri atas curah hujan bulanan, curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi, dan produksi susu pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Data curah hujan dianalisis secara deskriptif, yakni meliputi 1) rataan curah hujan bulanan, dan 2) jenis pola curah hujan. Uji hipotesis beda rataan dua sampel yang berbeda dan saling independen (Uji t-student) sampel kecil (n<30) digunakan untuk mengetahui pengaruh perbedaan curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi terhadap prioduksi susu sapi perah laktasi pertama pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Uji ini dilakukan dengan cara membandingkan produksi susu kelompok sapi yang rataan curah hujannya kering (CH-Kering PL, yakni CH<100 mm/bln) dengan kelompok sapi yang rataan curah hujannya lembab (CH-Lembab PL, yakni CH 100-200 mm/bln) dan basah (CH-Basah PL, yakni CH>200 mm/bln) pada setiap fase laktasi. Lingkungan peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm memiliki pola curah hujan jenis monsun dengan rataan curah hujan bulanan mencapai 273 ± 121 mm dan jarang mengalami musim kering. Curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi memiliki pengaruh yang nyata hanya pada produksi susu fase tengah laktasi. Pada fase ini produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL (11,19 ± 3,6 l/e/hr) lebih tinggi dari kelompok CH-Lembab PL (9,15 ± 2,7 l/e/hr) (P<0,05) dan CH-Basah PL (9,19 ± 2,3 l/e/hr) (P<0,01). Berdasarkan kondisi iklim lokalnya, khususnya yang menyangkut pola penyebaran curah hujannya sepanjang tahun, dapat disimpulkan bahwa secara alami, produksi susu sapi perah laktasi pertama di PT. Taurus Dairy Farm antara tahun 1995-2000 cenderung lebih tinggi pada kelompok sapi yang curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasinya relatif lebih rendah. Kata Kunci: curah hujan, produksi susu

ABSTRACT Rainfall Profile and Its Effect on Milk Yield of First Lactating Cows in PT Taurus Dairy Farm during 1995-2000 Jarwoko, D., B.P. Purwanto, and C.N. Wicaksono Taurus Dairy Farms (TDF) has been recognised as one of commercial dairy industries in Indonesia among limited numbers of relatively large-scale dairy farms. Currently, the farm continuously produce approximately 3000 liter of fresh milk/day. However, the production was varied. Field observation and farm milk records showed that milk production was higher during dry season than wet season. It is suggested the presence of effect of meteorological factors such as rainfall, air temperature and humidity on the milk yield. The current study described rainfall profile and examined the effect of rainfall amount during 50 days prior to lactation days (RPL) on the milk yields of first lactating cows in TDF during their early, mid, and late of lactation. Taurus Dairy Farm located in high rainfall area with rainfall s mean up to 273 ± 121 mm/month. There was no long dry season in this region. Rainfall pattern in TDF classified as monsoon type. The result showed that rainfall number during 50 days prior to lactation days has significant effect on milk yield during mid of lactation where CH-Kering PL cows produced more milk than CH- Lembab PL and CH-Basah PL (11,19 ± 3,6 Vs. 9,15 ± 2,7 (P<0,05) and 9,19 ± 2,3 l/head/day (P<0,01)). Based on its local microclimate condition, it was concluded that milk yield of first lactating cows in TDF during 1995-2000 was higher in cows those had less rainfall number during 50 days prior to lactation days. Key Words: ranfall, milk production, Taurus Dairy Farm

PROFIL CURAH HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI PERTAMA DI PT TAURUS DAIRY FARM TAHUN 1995-2000 DODI JARWOKO D14102051 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PROFIL CURAH HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI PERTAMA DI PT TAURUS DAIRY FARM TAHUN 1995-2000 Oleh DODI JARWOKO D14102051 Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 Juli 2008 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. NIP. 131 471 379 Ir. Catur Nugroho W., M.Si. Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, MScAgr. NIP. 131 955 531

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung Tengah, tanggal 12 Juni 1985 M atau bertepatan dengan tanggal 23 Ramadhan 1405 H. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muhkopah dan Ibu Rusmiarti. Pendidikan tingkat taman kanak-kanak, dasar dan menengah pertama selesai ditempuh oleh penulis di TK, MI, dan MTs Ma arif 5 Sekampung, Lampung Tengah pada tahun 1990, 1996 dan 1999. Pada pertengahan tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMU Takhassus Al-Quran Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis pernah aktif di organisasi mahasiswa Animal Breeding Club Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (HIMAPROTER) tahun 2003-2004. Beasiswa yang pernah diterima oleh penulis selama kuliah yaitu Beasiswa Yayasan Supersemar (tahun 2004-2005) dan Bank Indonesia (tahun 2006).

KATA PENGANTAR Penulis bersyukur ke hadirat Allah SWT, Yang Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Atas segala kemurahan, petunjuk, dan izin-nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam skripsi yang berjudul Profil Curah Hujan dan Dampaknya pada Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1995-2000" ini, penulis dengan dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. dan Bapak Ir. Catur Nugroho Wicaksono, M.Si. berusaha membahas sebuah kajian mengenai pengaruh curah hujan terhadap produksi susu sapi perah. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak sekali kekurangannya, baik dalam pemahaman maupun penafsiran data yang ada sehingga belum dapat sepenuhnya menjelaskan tentang keterkaitan antara hujan dengan produksi susu sapi perah yang pada kenyataannya memang jauh lebih kompleks. Meskipun demikian, besar harapan penulis agar segala kekurangan yang ada di tulisan ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut agar nantinya dapat diperoleh hasil yang lebih baik. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah terlibat dan membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga amal kebaikan kita diterima di sisi-nya dan semoga semua ilmu yang telah kita peroleh dapat manjadi pengantar untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Akhir kata, penulis berharap tulisan ini bermanfaat adanya, khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi yang menggunakannya. Bogor, Juli 2008 Penulis

DARTAR ISI RINGKASAN... ABSTRAK... LEMBAR PENGESAHAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 TINJAUAN PUSTAKA... 2 Hujan sebagai Salah Satu Bentuk Presipitasi... 2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah... 5 Masa dan Fase Laktasi Sapi Perah... 5 Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah... 7 Pengaruh Curah Hujan terhadap Hijauan Pakan Sapi Perah... 8 METODE... 10 Lokasi dan Waktu... 10 Materi... 10 Rancangan... 10 Peubah... 10 Analisis Data... 10 Prosedur... 10 HASIL DAN PEMBAHASAN... 13 Kondisi Umum... 13 Letak Geografis... 13 Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah... 13 Perkandangan... 14 Pakan Sapi Laktasi... 14 Reproduksi... 15 Pemerahan dan Pencatatan Produksi Susu... 15 Profil Curah Hujan, Suhu, dan Kelembaban Udara... 17 Curah Hujan Bulanan... 17 Pola Curah Hujan... 17 Suhu Udara... 19 Kelembaban Udara... 19 Indeks Kenyamanan Lingkungan Termal... 20 Pengaruh Curah Hujan Selama 50 Hari sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama... 22 Fase Awal Laktasi... 22 i ii iii iv v vi vii

Fase Tengah Laktasi... 24 Fase Akhir Laktasi... 26 Pembahasan Umum... 27 Pengaruh Fase Laktasi terhadap Respon Produksi Susu... 28 Pengaruh Faktor Lain... 30 KESIMPULAN... 33 UCAPAN TERIMAKASIH... 34 DAFTAR PUSTAKA... 35 LAMPIRAN... 37

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) pada Berbagai Umur Potong di Musim Basah... 9 2. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Rata-Rata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005... 17 3. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Awal Laktasi... 22 4. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Tengah Laktasi... 24 5. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Akhir Laktasi... 26 6. Variasi Nilai THI antar Bulan di Lingkungan TDF... 28

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Hujan Frontal... 2 2. Hujan Zenithal atau Hujan Tropis... 3 3. Hujan Orografis... 3 4. Target Pemeliharaan Sapi Perah Betina di TDF... 14 5. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Rata-Rata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005... 18 6. Pola Fluktuasi Suhu Udara Bulanan di Lingkungan TDF... 19 7. Pola Fluktuasi Kelembaban Udara (RH) Bulanan di Lingkungan TDF... 20 8 Pola Fluktuasi Nilai THI Bulanan di Lingkungan TDF... 21 9. Kurva Laktasi Kelompok Sapi berdasarkan Curah Hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke 1-100... 22 10. Kurva Laktasi Kelompok Sapi berdasarkan Curah Hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke 101-200... 24 11. Kurva Laktasi Kelompok Sapi berdasarkan Curah Hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke 201-305... 26

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Curah Hujan Bulanan di PT. Taurus Dairy Farm... 38 2. Suhu dan Kelembaban Udara Bulanan di PT. Taurus Dairy Farm... 39 3. Indeks Suhu-Kelembaban Udara (THI) Bulanan di PT. Taurus Dairy Farm 40 3. Hasil Uji Beda Rataan Produksi Susu... 41

PENDAHULUAN Latar Belakang Taurus Dairy Farm (TDF) merupakan salah satu perusahaan peternakan sapi perah komersial di Indonesia. Dengan manajemen yang moderen, peternakan yang telah berdiri sejak tahun 1976 ini telah tercatat sebagai produsen susu dalam negeri yang terus maju. Hal ini tak lain berkat penerapan sistem breeding dan recording yang sangat baik serta didukung oleh industri pengolahan susu milik sendiri. Kemajuan TDF salah satunya dapat dilihat dari produktivitas sapi perahnya yang semakin meningkat. Tercatat sejak tahun 1995 rataan produksi susu per individu sapi cenderung terus mengalami peningkatan (Purwantara e.al., 2001). Hal ini sejalan dengan semakin baiknya tatalaksana pemeliharaan sapi terutama dalam hal pakan dan manajemen reproduksi, yakni dengan terus menggunakan semen pejantan unggul yang diimport dari negara-negara maju. Saat ini, Taurus Dairy Farm mengandalkan sapi perah bangsa Fries Holland untuk bisa memproduksi sekitar 3000 liter susu segar per hari. Pada prakteknya, volume produksi tersebut ternyata cukup berfluktuasi. Fluktuasi produksi susu per individu terjadi terutama seiring dengan perubahan musim sepanjang tahun. Berdasarkan pengamatan perusahaan, rataan produksi susu per ekor yang diperoleh pada musim kering (periode sedikit hujan) lebih tinggi dibandingkan dengan musim penghujan (periode banyak hujan/periode basah). Lebih tingginya produksi susu pada saat musim kering diduga disebabkan oleh lebih baiknya kualitas pakan terutama hijauan yang tumbuh di musim kering dibandingkan dengan musim basah. Selain itu, suhu yang lebih dingin serta kelembaban udara yang lebih rendah pada musim kering juga dapat menjadi penyebab lebih tingginya tingkat produksi susu di musim tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai pengaruh curah hujan yang berkaitan dengan musim kering dan musim basah terhadap tingkat produksi susu sapi perah di PT Taurus Dairy Farm. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui profil curah hujan di PT Taurus Dairy Farm dan dampaknya pada produksi susu sapi perah laktasi pertama pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi antara tahun 1995-2000.

TINJAUAN PUSTAKA Hujan sebagai Salah Satu Bentuk Presipitasi Presipitasi adalah air dalam bentuk cair atau padat yang jatuh dari atmosfer dan sampai ke permukaan bumi (Wisnubroto, 1986). Bentuk air ini terdiri atas hujan, gerimis, salju, dan batu es hujan (hail) sedangkan bentuk air yang berupa kabut, embun dan embun beku (frost) bukan bagian dari presipitasi meskipun keduanya berperan dalam alih kebasahan (moisture) (Tjasyono, 2004). Hujan didefinisikan sebagai peristiwa jatuhnya butiran air atau kristal es dari atmosfer ke permukaan bumi. Menurut Tjasyono (2004) dan Sarjani (2005), jenisjenis hujan dapat dibedakan berdasarkan ukuran butiran air dan proses terjadinya. a. Berdasarkan ukuran butirannya, hujan dibedakan menjadi: 1) hujan gerimis/drizzle, diameter butir-butirannya kurang dari 0,5 mm; 2) hujan salju/snow, terdiri dari kristal-kristal es yang temperatur udaranya berada di bawah titik beku; 3) hujan batu es, merupakan curahan batu es yang turun di dalam cuaca panas dari awan yang temperaturnya di bawah titik beku; dan 4) hujan deras/rain, yaitu curahan air yang turun dari awan yang temperaturnya di atas titik beku dan diameter butirannya kurang lebih 7 mm. b. Berdasarkan proses terjadinya, hujan dibedakan atas: 1) Hujan Frontal, yaitu hujan yang terjadi di daerah front, yang disebabkan oleh pertemuan dua massa udara yang berbeda temperaturnya. Massa udara panas/lembab bertemu dengan massa udara dingin/padat sehingga berkondensasi dan terjadilah hujan. Lihat gambar 9. Gambar 1. Hujan Frontal 2) Hujan Zenithal atau Ekuatorial atau Konveksi atau Hujan Naik Tropis Jenis hujan ini terjadi karena udara naik disebabkan adanya pemanasan tinggi.

Terdapat di daerah tropis antara 23,5 o LU - 23,5 o LS. Oleh karena itu disebut juga hujan naik tropis. Arus konveksi menyebabkan uap air di ekuator naik secara vertikal sebagai akibat pemanasan air laut terus menerus. Terjadilah kondensasi dan turun hujan. Itulah sebabnya jenis hujan ini dinamakan juga hujan ekuatorial atau hujan konveksi. Disebut juga hujan zenithal karena pada umumnya hujan terjadi pada waktu matahari melalui zenit daerah itu. Semua tempat di daerah tropis itu mendapat dua kali hujan zenithal dalam satu tahun. Lihat gambar 10. Gambar 2. Hujan Zenithal atau Hujan Tropis 3) Hujan Orografis atau Hujan Naik Pegunungan, yaitu hujan yang terjadi karena udara yang mengandung uap air dipaksa oleh angin mendaki lereng pegunungan yang makin ke atas makin dingin sehingga terjadi kondensasi, terbentuklah awan dan jatuh sebagai hujan. Hujan yang jatuh pada lereng yang dilaluinya disebut hujan orografis, sedangkan di lereng sebelahnya bertiup angin jatuh yang kering dan disebut daerah bayangan hujan. Lihat gambar 11. Gambar 3. Hujan Orografis, Jumlah air hujan yang turun di suatu daerah pada selang waktu tertentu disebut curah hujan. Curah hujan diukur dalam selang waktu harian, bulanan, atau tahunan dengan alat yang disebut Rain Gauge dan dicatat dalam satuan inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan bumi 1 mm jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer (Tjasyono, 2004). Tinggi rendahnya curah hujan

pada suatu wilayah secara umum dipengaruhi oleh; 1) bentuk medan/topografi, 2) arah lereng medan, 3) arah angin yang sejajar dengan garis pantai, dan 4) jarak perjalanan angin di atas medan datar. Tjasyono, (2004) membagi pola curah hujan di Indonesia secara klimatologis menjadi tiga pola yaitu pola monsun, pola ekuatorial dan pola lokal. 1. Pola curah hujan jenis monsun Ciri khas pola curah hujan monsun adalah distribusi curah hujan bulanan sepanjang tahun yang menyerupai bentuk huruf "V" dengan jumlah curah hujan minimum pada pertengahan tahun (bulan Juni, Juli, dan Agustus). Pola curah hujan ini sangat dipengaruhi oleh angin monsun barat dan angin monsun timur. Pada saat monsun barat, jumlah curah hujan melimpah namun sebaliknya saat monsun timur, jumlah curah hujan sangat sedikit. 2. Pola curah hujan jenis ekuator Pola curah hujan ini terdapat di daerah ekuator. Distribusi curah hujannya sepanjang tahun sangat dipengaruhi oleh insolasi pada saat ekinoks (kedudukan matahari tepat berada di atas ekuator, yakni tanggal 21 Maret dan 23 September). Karena ekinoks terjadi dua kali dalam satu tahun maka distribusi curah hujan bulanannya memiliki dua maksimum atau dua puncak curah hujan, masingmasing terjadi setelah ekinoks, yaitu sekitar bulan Maret dan Oktober. 3. Pola curah hujan jenis lokal Pola curah hujan jenis lokal lebih banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat lokal. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhia Produksi Susu Sapi Perah Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan komposisi susu sapi perah selama laktasi menurut Schmidt dan Vleck (1974) secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor fisiologi dan lingkup lingkungan. Faktor-faktor fisiologis sebagian dikendalikan oleh hereditas dan yang lainnya dikendalikan oleh faktor-faktor nonhereditas, misalnya umur sapi, kali laktasi, dan kebuntingan. Faktor genetik memiliki peran penting dalam menentukan tinggi rendahnya potensi atau kemampuan produksi susu setiap individu sapi (Sudono, 2003). Perbedaan potensi genetik dapat menyebabkan variasi produksi susu, baik antar individu yang sebangsa maupun berbeda bangsa (Schmidt dan Vleck, 1974, Ensminger, 1971). Umumnya, bangsa Holstein memilikki tingkat produksi susu yang paling tinggi kemudian berturut-turut disusul oleh bangsa Brown Swiss, Ayrshire, Guernsey, dan Jersey tetapi sebaliknya, rata-rata kadar lemak susu terrendah adalah pada sapi bangsa Holstein yang dapat berkisar antara 2.6 sampai 6.0 % dan tertinggi pada bangsa Jersey, yaitu sekitar 3.3 sampai 8.4 % (Ensminger, 1971). Smith (1969) membedakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laktasi sapi perah menjadi tiga faktor utama yaitu faktor fisiologis, faktor lingkungan dan faktor pakan. Hal-hal yang berkaitan dengan atau dapat mempengaruhi kondisi fisiologis sapi perah dapat mempengaruhi jumlah produksi dan sekresi air susunya. Faktor fisiologis ini mencakup periode laktasi, persistensi, kebuntingan, umur sapi, ukuran tubuh atau bobot badan, estrus dan penyakit. Faktor lingkungan yang mempengaruhi laktasi terdiri atas masa kering, interval beranak, kondisi sapi saat beranak, dilakukannya pemerahan sebelum beranak, interval pemerahan, pemerahan yang tidak tuntas, temperatur lingkungan, musim, aktivitas gerak sapi, dan pengaruh obat-obatan. Masa dan Fase Laktasi Sapi Perah Masa laktasi pada sapi perah yaitu selang waktu antara dimulainya proses produksi dan sekresi air susu oleh induk sapi perah, yakni setelah beranak sampai proses produksi dan sekresi air susu tersebut berhenti yakni saat sapi memasuki masa kering atau dikeringkan (Sudono, 2003). Lamanya masa laktasi ini bervariasi antar sapi dan tergantung pada banyak faktor yang mempengaruhinya seperti umur sapi, kondisi tubuh saat beranak, lamanya masa kering sebelumnya, penyakit, pemberian

pakan serta manajemen (Moran, 2005). Menurut (Schmidt dan Vleck, 1974), lama laktasi yang disarankan yaitu selama sepuluh bulan (305 hari) dengan masa kosong dan masa kering masing-masing sekitar 60 hari sehingga sapi akan beranak setiap 365 hari (satu tahun) sekali. Lama laktasi yang lebih singkat atau lebih lama dari yang disarankan tersebut akan menimbulkan akibat yang kurang menguntungkan. Moran (2005) membagi satu masa laktasi sapi perah (305 hari) menjadi tiga fase yaitu fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Sepanjang tiga fase tersebut, sapi perah mengalami perubahan dalam produksi serta komposisi susu, bobot badan, intake makanan, dan status kebuntingan. 1. Fase Awal Laktasi (100 hari pertama laktasi) Pada fase ini, produksi susu akan terus naik hingga mencapai puncaknya. Puncak produksi susu dapat dicapai pada waktu yang bervariasi antar sapi karena tergantung pada kondisi tubuh sapi saat beranak, potensi genetik/faktor keturunan, penyakit infeksi dan metabolis, cara pemberian makanan setelah sapi beranak (Schmidt dan Vleck, 1974), frekuensi pemerahan, perubahan musim, status nutrisi, kebuntingan dan manajemen (Smith, 1969). Meskipun pada kenyataannya sangat bervariasi, umumnya puncak produksi susu terjadi pada bulan ke dua dari masa laktasi. Menurut Smith, (1969), puncak produksi susu akan cenderung dicapai dalam waktu yang lebih lama pada sapi-sapi yang produksi susunya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang produksi susunya lebih rendah. Setelah mencapai tingkat produksi susu maksimum, produksi susu sapi secara bertahap/perlahan-lahan akan mengalami penurunan. Laju penurunan produksi susu setelah mengalami puncak produksi disebut persistensi. Laju penurunan produksi susu ini juga bervariasi antar sapi karena sangat tergantung pada puncak produksi susu (Schmidt dan Vleck, 1974, dan Moran, 2005), intake nutrien setelah mengalami puncak produksi, kondisi tubuh saat beranak, dan faktor-faktor lain seperti penyakit dan stress iklim (Moran, 2005). Nilai penurunannya menurut Moran (2005) dapat berkisar antara 3 4 % per bulan pada kondisi full fed, dan 12 % atau lebih pada kondisi pemberian pakan yang kurang baik (misalnya pada saat musim kemarau di daerah tropis). Pada sistem pemeliharaan berbasis pastura di daerah temperate, dengan

manajemen pemeliharaan yang baik, penurunan produksi susunya tidak lebih dari 7 8% per bulan (Moran, 2005). Pada fase ini, sapi mengalami penurunan bobot badan karena mengalami keseimbangan energi yang negatif disebabkan oleh intake nutrient yang lebih sedikit dari pada kebutuhan untuk produksi susu yang tinggi. Setelah mencapai puncak produksi, keseimbangan energi menjadi nol dan sapi tidak mengalami kehilangan atau peningkatan bobot badan. Intake makanan paling rendah setelah sapi beranak namun kemudian berangsur-angsur naik dan mencapai puncaknya pada akhir fase ini atau pada awal fase tengah laktasi. 2. Fase Tengah Laktasi (hari ke 100 sampai hari ke 200) Pada fase ini, sapi telah mencapai puncak produksi (pada minggu 8 sampai 10 setelah beranak). Puncak intake bahan kering dicapai pada fase ini dengan tidak adanya kehilangan bobot badan lagi. Sebaiknya, sapi tidak mencapai puncak intake bahan kering lewat dari 10 minggu setelah beranak. Keseimbangan energi pada fase ini adalah positif dan sapi mengalami peningkatan bobot badan secara perlahan. 3. Fase Akhir Laktasi Fase ini merupakan fase terakhir dari suatu masa laktasi yaitu masa menjelang sapi memasuki masa kering. Pada fase ini, produksi susu terus menurun secara drastis karena nutrien dari pakan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan fetus dan peningkatan kondisi badan. Intake pakan menurun secara perlahan hingga akhir fase ini lalu menurun secara lebih tajam setelah sapi dikeringkan. Penurunan intake pakan ini disebabkan oleh semakin menurunnya kapasitas perut/rumen sapi untuk menampung makanan. Perkembangan fetus pada fase ini sangat cepat terutama setelah bulan ke tujuh kebuntingan. Oleh sebab itu, bobot badan sapi akan terus naik sampai akhir kebuntingan. Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah Kondisi cuaca bersifat dinamis, selalu berubah-ubah, baik dalam kisaran yang pendek maupun panjang, dalam hitungan jam, hari, minggu, bulan maupun tahun mengakibatkan adanya variasi kondisi lingkungan, baik variasi harian maupun musiman. Perubahan kondisi cuaca ini membuat makhluk hidup harus senantiasa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya yang senantiasa

berubah untuk mempertahankan fungsi normal tubuhnya. Proses penyesuaiaan diri inilah yang sering menimbulkan banyak masalah yang merugikan bagi makhluk hidup itu sendiri maupun bagi manusia yang mengambil manfaat langsung darinya (Valtorta, 2006). Sebagai salah satu komponen lingkungan abiotik, cuaca/iklim memiliki pengaruh yang besar pada kehidupan seluruh makhluk hidup termasuk ternak yang dipelihara manusia. Dalam usaha produksi ternak, faktor meteorologis (radiasi matahari, photoperiod, temperatur, kelembaban, angin, dan curah hujan) menjadi faktor pembatas yang sulit untuk dikendalikan. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kesehatan dan daya tahan hidup (survive) (Silva, 2006) dan produktivitas sapi perah yang mencakup pertumbuhan, produksi dan kualitas susu serta reproduksinya (Johnson, 1987 dan Valtorta, 2006). Pengaruh iklim pada produksi ternak menurut Valtorta (2006) dapat dilihat pada empat hal, yaitu: a) pengaruh pada ketersediaan dan harga bijian pakan ternak, b) pengaruh pada produktivitas dan kualitas pastura dan hijauan pakan ternak, c) perubahan pada penyebaran hama dan penyakit ternak, dan d) pengaruh langsung dari cuaca dan kondisi yang ekstrim pada kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Menurut Johnson (1987), pengaruh iklim pada sapi perah secara langsung terjadi pada intake pakan harian, kemampuan sapi untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuhnya, mensintesis air susu dan reproduksi sedangkan menurut Williamson dan Payne (1993), pengaruh iklim pada produktivitas ternak di daerah-daerah beriklim tropis secara langsung terlihat pada perilaku merumput ternak-ternak yang digembalakan, intake dan penggunaan pakan, pertumbuhan, produksi susu dan reproduksi. Pengaruh tidak langsungnya terutama terlihat pada ketersediaan dan kualitas pakan, timbulnya berbagai penyakit dan parasit, juga pengaruh pada penyimpanan dan penanganan hasil ternak. Pengaruh Curah Hujan terhadap Hijauan Pakan Sapi Perah Jenis hijauan yang umumnya digunakan sebagai pakan sapi perah di daerah Asia Tenggara menurut Moran (2005) adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum). Pertumbuhan jenis rumput ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pada saat musim basah, rumput ini mengalami laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan saat musim kering. Oleh karena itu, umur panen rumput gajah yang tumbuh di musim

penghujan harus diatur sebaik mungkin agar tidak cepat mengalami penurunan kualitas atau nilai nutrisi. Penurunan nilai nutrisi yang disebabkan oleh semakin bertambahnya persentase serat kasar dan kecernaannya yang semakin rendah ini dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat (Tabel 1). Tabel 1. Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) pada Berbagai Umur Potong di Musim Basah Umur ME potong (minggu) Tinggi (cm) Protein Kasar (%) (MJ/kg DM) TDN (%) Serat Kasar (%) 4 50 10.8 9.6 62 28.5 6 75 8.8 8.1 54 32.2 8 135 8.0 7.9 53 32.8 10 150 7.8 7.7 52 33.0 12 150 4.6 7.5 51 31.9 Sumber: Moran, 2005 Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa hijauan yang tumbuh di daerah yang curah hujannya lebih tinggi umumnya akan mengandung kadar air yang lebih tinggi pula sehingga dapat menurunkan intake bahan kering oleh ternak. Menurut Weiss et.al. (2006), meskipun kondisi kekeringan atau keterbatasan air dapat menurunkan produksi hijauan tetapi umumnya justru dapat meningkatkan nilai nutrisinya. Kekeringan menghambat pertumbuhan tanaman sehingga membatasi produksi serat oleh tanaman. Oleh sebab itu, hijauan yang tumbuh pada kondisi kering umumnya memiliki kadar serat yang lebih rendah serta mengandung protein kasar dan energi yang lebih tinggi dibandingkan hijauan yang tumbuh pada kondisi normal atau berlebih air. Panjang hari dan temperatur juga memiliki pengaruh pada kualitas hijauan. Umumnya, hari yang panjang dan temperatur yang hangat akan memacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan laju pembentukan serat oleh tanaman sehingga nilai nutrisinya menjadi berkurang.

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PT Taurus Dairy Farm pada bulan April tahun 2006. Komplek peternakan tersebut berada di desa Tenjo Ayu, kecamatan Cicurug, kabupaten Sukabumi, provinsi Jawa Barat. Materi Materi yang digunakan yaitu catatan curah hujan harian tahun 1990-2005 dan catatan produksi susu harian sapi perah laktasi pertama di PT Taurus Dairy Farm tahun 1995-2000. Jumlah catatan produksi susu yang dipilih dan dianalisa sebanyak 120 catatan. Rancangan Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Data yang dikumpulkan seluruhnya merupakan data sekunder. Peubah Peubah-peubah yang diamati yaitu: 1) curah hujan bulanan 2) curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi, dan 3) produksi susu pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Analisis Data Data curah hujan dianalisis secara deskriptif. Deskripsi data curah hujan ini meliputi 1) rataan curah hujan bulanan, dan 2) jenis pola curah hujan Data produksi susu dianalisis untuk mengetahui pengaruh perbedaan curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi terhadap prioduksi susu sapi perah laktasi pertama pada fase awal, tengah, dan akhir laktasi. Uji statistik yang digunakan adalah uji hipotesis beda rataan dua sampel yang berbeda dan saling independen (Uji t- Student) sampel kecil (n<30). Prosedur 1. Mengambil data curah hujan 2. Menghitung rataan curah hujan bulanan 3. Menentukan bulan basah, lembab, dan kering 4. Membuat pembagian musim

5. Menentukan jenis pola curah hujan 6. Mengambil data produksi susu 7. Menghitung produksi susu per individu sapi Dari catatan produksi susu harian selama masa laktasi, dihitung produksi susu total per individu sapi pada fase awal, fase tengah, dan fase akhir laktasi. 8. Mengitung curah hujan per individu sapi Dengan mengacu pada tanggal melahirkan atau dimulainya laktasi dari setiap individu sapi, dihitung curah hujan per individu sapi. Curah hujan yang dihitung yaitu curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi. Jumlah 50 hari ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa rata-rata umur potong rumput gajah sepanjang tahun adalah sekitar 50 hari. Dengan demikian, rumput yang dimakan oleh sapi pada hari pertama laktasi adalah rumput yang ditanam atau terakhir dipotong pada 50 hari sebelumnya, dan demikian seterusnya sampai hari ke 305 laktasi, rumput yang dimakan adalah rumput yang mulai tumbuh pada hari ke 255 laktasi. 9. Mengurutkan (meranking) sapi berdasarkan curah hujannya Pada tahap ini, setiap sapi telah dihitung jumlah produksi susu dan jumlah curah hujannya. Selanjutnya, sapi-sapi diurutkan atau diranking berdasarkan jumlah curah hujannya mulai dari yang curah hujannya paling rendah sampai dengan yang curah hujannnya yang paling tinggi. 10. Mengelompokkan seluruh sapi berdasarkan jumlah curah hujannya Pada masing-masing fase laktasi, seluruh sapi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) kelompok sapi bercurah hujan rata-rata bulanan yang kering (CH- Kering, yaitu sapi-sapi yang rataan curah hujan bulanannya <100 mm), 2) kelompok sapi bercurah hujan rata-rata bulanan yang lembab (CH-Lembab, yaitu sapi-sapi yang rataan curah hujan bulanannya antara 100 sampai 200 mm), dan 3) kelompok sapi bercurah hujan rata-rata bulanan yang basah (CH-Basah, yaitu sapi-sapi yang rataan curah hujan bulanannya >200 mm). 11. Menghitung rataan produksi susu masing-masing kelompok sapi Setelah sapi dibagi menjadi tiga kelompok, setiap kelompok dihitung rata-rata produksi susunya pada masing-masing fase laktasi. 12. Membandingkan nilai rataan curah hujan dan produksi susu antar kelompok sapi

Nilai rataan produksi susu dari masing-masing kelompok sapi selanjutnya dibandingkan antar kelompok untuk diuji perbadaannya dengan uji beda rataan dua populasi yang berbeda (sampel dsling bebas/independen) (Uji t-student) menggunakan software statistik MINITAB 14.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Letak Geografis Peternakan sapi perah P.T. Taurus Dairy Farm terletak di desa Tenjo Ayu, kecamatan Cicurug, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi peternakan ini berada pada ketinggian antara 450 sampai 550 meter di atas permukaan laut dengan luas lahan sekitar 37 ha dan kondisi topografi yang agak bergelombang. Daerah sebelah utara, timur, selatan dan barat peternakan berturut-turut berbatasan dengan Kampung Manggis Hilir, Kampung Manggis I, Kampung Cilayur, dan Perusahaan Peternakan Ayam Manggis II. Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Bangsa sapi perah yang dipelihara di TDF sebagian besar adalah Fries Holland atau peranakannya dan sebagian kecil hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi bangsa lain (Sahiwal Cross atau Taurindicus)). Sapi-sapi tersebut umumnya merupakan sapi keturunan induk-induk sapi perah yang dipelihara di TDF sebelumnya sehingga telah beradaptasi dengan baik di lingkungan TDF. Peternakan sapi perah P.T. Taurus Dairy Farm mengelompokkan sapi perahnya menjadi beberapa kelompok fase/periode pemeliharaan seperti berikut ini. 1. Pedet, terdiri atas: 1) pedet yang masih menyusu / PMS (umur 0-3 bulan) 2) pedet lepas susu / PLS (umur 3-6 bulan) 2. Dara, dibagi menjadi: 1) dara pra kawin I / DPK I (BB 81-150 kg) 2) dara pra kawin II / DPK II (BB 151-200 kg) 3) dara pra kawin III / DPK III (BB 201-300 kg) 4) dara siap kawin / DSK (BB 300 kg) 5) dara bunting / DB 3. Induk, dibedakan berdasarkan produksi susunya menjadi: 1) induk laktasi berproduksi susu > 10 liter/hari/ekor 2) induk laktasi berproduksi susu < 10 liter/hari/ekor 3) induk bunting kering / BK 4. Sapi Pejantan

Pengelompokan tersebut didasarkan pada umur, bobot badan, dan kondisi/status fisiologis sapi dengan tujuan utama untuk mempermudah proses pemeliharaan. Selain itu, pengelompokan disesuaikan dengan target pemeliharaan terutama untuk sapi betina yang telah ditetapkan oleh TDF seperti dapat dilihat pada Gambar 1. PMS PLS DPK I DPK II DPK III DSK DB ± 30-60 81-150 151-200 201-300 kg 60-80 kg kg kg kg 300 kg 400 kg 0-3 3-6 6-9 9-12 12-15 15-18 18-27 (Bulan) LAK I KK I LAK II KK II LAK III KK III Dan seterusnya 27 37 39 49 51 61 (Bulan) Gambar 4. Target Pemeliharaan Sapi Perah Betina di TDF Keterangan: LAK : Laktasi, KK : Kering Kandang Perkandangan Kelompok Pedet yang Masih Menyusu (PMS) dan Sapi Pejantan dikandangkang secara individu sedangkan kelompok Pedet Lepas Sapih (PLS), sapi dara, dara siap kawin, dara bunting, induk laktasi dan sapi bunting kering dikandangkan secara berkelompok. Kandang kelompok sapi laktasi terdiri atas dua tipe, yaitu tipe loose housing dan tipe tie stall. Kandang tipe tie stall digunakan untuk induk sapi yang berproduksi tinggi (rata-rata >10 liter/hari) sedangkan kandang tipe loose housing digunakan untuk kelompok sapi yang produksi susunya rendah (rata-rata <10 liter/hari). Sistem perkandangan di TDF didukung oleh sistem sanitasi yang cukup baik. Kandang maupun tempat pakan dibersihkan secara rutin sebanyak tiga kali sehari yaitu pukul mulai 07.00, 14.00, dan 19.00 WIB. Pakan Sapi Laktasi Pakan utama sapi laktasi di TDF terdiri atas hijauan berupa rumput gajah dan konsentrat berupa ampas rahu dan konsentrat TDF. Rumput gajah diberikan dalam keadaan segar dan dalam bentuk utuh atau dicacah. Ampas tahu juga diberikan dalam keadaan segar, tanpa dicampur dengan bahan lain. Seluruh bahan penyusun

konsentrat TDF diberikan pada sapi dengan jumlah dan komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Reproduksi Untuk memenuhi kebutuhan replacement stock-nya, TDF melakukan pemeliharaan sapi dara yang dihasilkan oleh induk dari peternakan sendiri. Seleksi sapi dara pengganti induk afkir terutama didasarkan atas prestasi induk dan bobot lahir pedet. Sapi dara yang dipilih sebagai replacement stock adalah yang berasal dari induk yang memiliki tingkat produksi susu yang tinggi dengan bobot lahir yang berat atau standar. Sapi dara di TDF mulai dikawinkan ketika telah mencapai bobot badan 300 kg (bobot badan Dara Siap Kawin/DSK). Dengan pertumbuhan yang baik, bobot badan tersebut dapat dicapai pada umur sekitar 15 sampai 18 bulan. Cara perkawinan sapi perah yang utama di TDF adalah dengan menerapkan teknologi inseminasi buatan atau kawin suntik. Sapi dara atau induk sapi dikawinkan secara alami apabila gagal di-ib sapai tiga kali. Biasanya, sapi induk di TDF dapat dikawinkan kembali setelah 60-90 hari post partum. Profil reproduksi rata-rata sapi perah di TDF menurut penelitian Khoiriyyah (2006) antara lain: interval kawin pertama setelah beranak 117 hari, nilai S/C 1.86, masa kosong 174 hari, selang beranak 453 hari (15 bulan), dan angka kebuntingan 53 persen. Khoiryyyah (2006) juga menyimpulkan bahwa manajemen pemeliharaan sapi perah di TDF dari tahun ke tahun semakin baik dan memiliki pengaruh yang nyata terhadap profil reproduksinya. Pemerahan dan Pencatatan Produksi Susu Pemerahan sapi laktasi di TDF dilakukan secara rutin sebanyak dua kali sahari yaitu pada pagi dan sore hari dengan interval antara pemerahan pertama (pagi) dan pemerahan ke dua (sore) sekitar 12 jam. Pemerahan pertama (pagi) dimulai pada pukul 01.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 05.00 WIB (lamanya proses pemerahan tergantung pada jumlah sapi yang diperah dan produksi susu per individu sapi). Pemerahan kedua dimualai pada pukul 13.00 sampai 17.00 WIB. Pencatatan produksi susu per individu sapi di TDF sangat mungkin dilakukan karena TDF menggunakan mesin perah yang dilengkapi dengan tabung penampung air susu yang memiliki skala antara 0-20 liter sehingga produksi susu per individu

sapi per sekali pemerahan atau per hari dapat dicatat langsung setelah sapi selesai diperah. Pencatatan produksi susu sapi laktasi di TDF meliputi produksi susu pemerahan pagi dan pemerahan sore dan dilakukan secara kontinyu selama masa laktasi sapi.

Curah Hujan Bulanan Profil Curah Hujan, Suhu, dan Kelembaban Udara Rataan curah hujan bulanan serta curah hujan terrendah dan tertinggi yang tercatat pada masing-masing bulan antara tahun 1990 sampai tahun 2005 di lingkungan TDF disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Ratarata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005 Bulan Minimum Maksimum Rata-Rata (mm) (mm) (mm) Januari 169 575 347 Februari 173 397 281 Maret 146 457 319 April 63 498 307 Mei 41 495 271 Juni 9 341 169 Juli 0 373 107 Agustus 0 370 129 September 32 415 173 Oktober 42 710 301 November 84 691 429 Desember 216 886 443 Secara keseluruhan rataan curah hujan di TDF cukup tinggi, yakni mencapai 273 ± 121 mm per bulan namun jika diperhatikan nilai mínimum-maksimumnya, dapat diketahui bahwa perbedaan curah hujan antar tahun di TDF cukup besar. Curah hujan selalu tinggi pada bulan Januari-April dan bulan November-Desember sedangkan antara bulan Mei-Oktober, curah hujan terkadang cukup tinggi dan terkadang sangat rendah bahkan kering. Pola Curah Hujan `Pola distribusi curah hujan sepanjang tahun di lingkungan TDF ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar distribusi curah hujan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan TDF memiliki pola penyebaran curah hujan jenis monsun, yakni memiliki dua musim hujan (pada awal dan akhir tahun) dan satu musim kemarau di pertengahan tahun. Menurut Tjasyono (2004), umumnya daerah-daerah di Indonesia, kecuali daerah katulistiwa memiliki pola curah hujan jenis monsun.

900 800 curah hujan (mm) 700 600 500 400 300 200 100 0 J anuari Februari Maret April Mei J uni J uli Agustus S eptember Oktober November Desember C H maks imum C H minimum C H rata-rata Gambar 5. Curah Hujan Minimum, Maksimum, dan Rata-rata Bulanan di PT Taurus Dairy Farm Tahun 1990-2005 Pola penyebaran dan tingginya curah hujan di TDF ini secara agronomis sangat menguntungkan bagi tanaman makanan ternak yang membutuhkan banyak air. Menurut Mannetje dan Jones (2000), di Asia Tenggara, jenis rumput gajah tumbuh secara alami di daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang tidak kurang dari 1000 mm per tahun atau sekitar 83 mm per bulan dan tidak ada musim panas yang panjang. Lingkungan TDF memiliki rata-rata curah hujan per bulan yang mencapai 273 ± 121 mm dan jarang mengalami musim kering. Oleh karena itu, ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan rumput gajah dapat tercukupi sepanjang tahun. Apabila terjadi perurunan atau kekurangan produksi rumput di TDF maka dapat diduga bahwa penyebabnya bukanlah karena faktor kekurangan air melainkan karena faktor lain seperti pemupukan, pengolahan tanah, peremajaan tanaman dan lain-lain (manajemen pengelolaan). Meskipun dari sisi ketersediaan air menguntungkan, tingginya curah hujan di TDF juga dapat menimbulkan beberapa hal yang merugikan, seperti laju penuaan tanaman hijauan yang cepat sehingga penurunan kualitas hijauan akan lebih mudah terjadi dan terjadinya pencucian lahan (run off) secara terus-menerus yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, curah hujan yang tinggi juga berhubungan erat dengan udara yang lembab. Kelembaban udara yang tinggi akan menimbulkan peningkatan nilai THI yang membuat lingkungan TDF semakin tidak nyaman terutama bagi sapi perah.

Suhu Udara Variasi suhu udara minimum di TDF berkisar antara 19-26º C sedangkan suhu udara maksimumnya antara 23-28º C dan suhu rata-ratanya antara 21,5-26,5º C. Fluktuasi suhu udara diurnalnya berkisar antara 1-8º C dengan variasi antar musim tidak lebih dari 2º C. Secara rata-rata, bulan terdingin di TDF yaitu bulan Juli dengan rataan suhu minimum 20,4 ± 0,7º C, maksimum 24,8 ± 0,5º C, dan rata-rata 22.6º C. Bulan terhangat di TDF yaitu bulan November dengan rataan suhu minimum, maksimum, dan rata-ratanya masing-masing mencapai 22,7 ± 1,0; 26,5 ± 07 dan 24,6º C. Pola fluktuasi suhu udara di TDF sepanjang tahun ditunjukkan pada Gambar 6, sedangkan data suhu udara di TDF secara lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran. 28,0 27,0 Suhu udara 26,0 25,0 24,0 23,0 22,0 21,0 20,0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Minimum Maksimum Rata-Rata Gambar 6. Pola Fluktuasi Suhu Udara Bulanan di Lingkungan TDF Kelembaban Udara Kelembaban udara rata-rata yang dinyatakan dengan kelembaban relatif (RH) di TDF termasuk tinggi. Kisaran RH di TDF yaitu antara 83-92 % pada pagi hari dan 60 sampai 89 % pada siang hari atau rata-rata antara 76-90 %. Bulan terlembab yaitu pada awal musim hujan di bulan November dengan RH pada pagi dan siang hari mencapai 90,5 ± 2,1% dan 82,3 ± 5,7% atau rata-rata 86.4 %. Bulan terkering dengan rataan RH terrendah terjadi pada bulan Agustus atau pada akhir musim kemarau dengan kisaran kelembaban udaranya sebesar 91,0 ± 0,0 % pada pagi hari dan 64,1 ± 5,5 % pada siang hari atau rata-rata sebesar 77.5 %.

95,0 90,0 85,0 80,0 RH (%) 75,0 70,0 65,0 60,0 55,0 50,0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Pagi Siang Rata-Rata Gambar 7. Pola Fluktuasi Kelembababan Udara (RH) Bulanan di Lingkungan TDF Seperti ditunjukkan pada Gambar 7 di atas, kelembaban udara rata-rata di TDF pada pagi hari relatif tetap atau tidak banyak berbeda antar musim sepanjang tahun namun kelembaban udara pada siang harinya secara nyata dipengaruhi oleh perbedaan musim. Kelembaban udara pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan pada musim kemarau. Indeks Kenyamanan Lingkungan Termal Perkiraan nilai indeks kenyamanan lingkungan yang dinyatakan dalam THI (Temperature Humidity Index) atau Indeks Kelembaban-Suhu Udara di lingkungan TDF berfluktuasi mengikuti fluktuasi suhu dan kelembaban udaranya sepanjang tahun. Pada pagi hari, nilai THI di TDF berkisar antara 66-78. Pada siang harinya, nilai THI-nya mencapai 71-81. Fluktuasi nilai THI sepanjang hari tidak lebih dari 10 poin dengan rata-rata 6 poin. Variasi diurnal atau kisaran nilai THI harian ini lebih tinggi pada saat musim hujan. Pola fluktuasi nilai THI di TDF ditunjukkan pada gambar 8.

79,0 77,0 75,0 THI 73,0 71,0 69,0 67,0 65,0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Pagi Siang Rata-Rata Gambar 8. Pola Fluktuasi Nilai THI Bulanan di Lingkungan TDF Berdasarkan nilai THI-nya, bulan ternyaman di TDF yaitu bulan Juli dengan nilai THI minimum, maksimum, dan rata-ratanya sebesar 68,1 ± 1,2; 74 ± 1,1;, dan 71,1. Bulan November menjadi bulan yang paling tidak nyaman karena mamiliki nilai THI minimum, maksimum dan rata-rata tertinggi yaitu 72 ± 1,7; 77,6 ± 1,4; dan 74,8. Penentuan batas tingkat kenyamanan ini didasarkan pada hasil penelitian yang menyatakan bahwa nilai THI yang optimum bagi sapi perah laktasi adalah antara 35-72 (Johnson, 1987). Di luar kisaran nilai ini, sapi perah akan mengalami cekaman stress dingin atau stress panas.

Pengaruh Curah Hujan Selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu Sapi Perah Laktasi Pertama Fase Awal Laktasi (Hari ke 1-100) Rataan curah hujan dan produksi susu total serta hasil uji beda rataan produksi susu antar kelompok sapi pada fase awal laktasi ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Awal Laktasi CH sebelum laktasi (mm) CH/bln Produksi susu total (l/e) Kelompok Sapi N Rataan StDev SE (mm) Rataan StDev SE CH-Kering PL 23 117 50 10 70 1172 a 258 54 CH-Lembab PL 29 264 45 8 158 1148 a 346 64 CH-Basah PL 68 488 103 13 292 1097 a 306 37 Keterangan: PL = Prior to Lactation Supersrip huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0.05) Dari data pada Tabel 3 di atas diketahui bahwa rataan produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL (11,72 ± 2,6 l/e/hr) pada fase awal laktasi ini tidak berbeda dengan rataan produksi susu kelompok sapi CH-Lembab PL (11,48 ± 3,5 l/e/hr), dan CH- Basah PL (10,97 ± 3,0 l/e/hr). Artinya, baik curah hujan bulanan dengan kategori kering, lembab, maupun basah selama 50 hari sebelum hari laktasi tidak menimbulkan perbedaan yang nyata pada tingkat produksi susu sapi perah di awal masa laktasinya. Gambaran tingkat produksi susu harian kelompok sapi CH-Kering PL, CH- Lembab PL, dan CH-Basah PL pada fase awal laktasi khususnya dan pada dua fase laktasi berikutnya dapat dilihat pada Gambar 9. 15.0 14.0 13.0 12.0 11.0 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 1 101 201 301 P S C H-K ering B L P S C H-Lembab B L P S C H-B as ah B L Gambar 9. Kurva Laktasi Kelompok Sapi Berdasarkan Curah Hujan Selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi ke-1-100

Dari Gambar 9 di atas terlihat bahwa meskipun tidak ditemukan perbedaan produksi susu yang nyata pada fase awal laktasi namun pada fase laktasi berikutnya, yakni fase tengah laktasi, produksi susu CH-Kering PL (10,77 ± 2,4 l/e/hr) sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dari CH-Basah PL (8,93 ± 2,6 l/e/hr). Adapun pada akhir laktasi, perbedaan produksi susu antar kelompok sapi tidak nyata namun kelompok sapi CH-Kering PL produksi susunya cenderung lebih tinggi (CH-Kering PL 9,72 ± 2,6 l/e/hr dibanding CH-Lembab PL 9,57 ± 3,2 l/e/hr dan CH-Basah PL 8,91 ± 2,6 l/e/hr untuk). Adanya pengaruh yang bersifat jangka panjang ini juga diperkuat oleh adanya korelasi negatif yang nyata antara curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke-1 sampai hari laktasi ke 100 dengan produksi susu total fase tengah laktasi. Nilai koefisien korelasinya adalah r = -0,26 (P<0.01).

Fase Tengah Laktasi (Hari ke 101-200) Produksi susu kelompok sapi CH-Kering PL pada fase tengah laktasi (11,19 ± 3,65 l/e/hr) nyata lebih tinggi (P<0.05) dari CH-Lembab PL (9,32 ± 3,34 l/e/hr) dan CH-Basah PL (9,19 ± 2,32 l/e/hr) (P<0.01). Selisih produksi susu antara kelompok sapi CH-Kering PL dengan kelompok sapi CH-Lembab PL dan CH-Basah PL ini mencapai 21 % atau kurang-lebih 2 liter/ekor/hari. Data produksi susu dan curah hujan pada fase ini selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Curah Hujan selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi terhadap Produksi Susu pada Fase Tengah Laktasi Kelompok CH sebelum laktasi (mm) CH/bln Produksi susu total (l/e) sapi N Rataan StDev SE (mm) Rataan StDev SE CH-Kering PL 22 76 56 12 46 1119 A 356 76 CH-Lembab PL 25 250 50 10 149 915 B 265 53 CH-Basah PL 73 515 107 13 308 919 b 232 27 Keterangan: PL = Prior to Lactation Supersrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) Supersrip huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0.05) Selain mempengaruhi produksi susu pada fase tengah laktasi, perbedaan tingkat curah hujan selama 50 hari sebelum hari laktasi ke-101 sampai hari laktasi ke-200 tampaknya juga cenderung mempengaruhi tingkat produksi susu sapi pada fase akhir laktasinya. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva laktasi kelompok sapi CH-Kering PL, CH-Lembab PL, dan CH-Basah PL di bawah ini. 15.0 14.0 Produksi Susu (liter) 13.0 12.0 11.0 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 1 101 201 301 P S C H-K ering B L P S C H_Lembab B L P S C H-B as ah P L Gambar 10. Kurva Laktasi Kelompok Sapi Berdasarkan Curah Hujan Selama 50 Hari Sebelum Hari Laktasi ke-101-200 Pada bentuk kurva laktasi di atas terlihat bahwa di fase awal laktasi, produksi CH- Kering PL relatif sama dengan CH-Lembab PL dan CH-Basah PL namun pada fase