BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini membahas beberapa teori yang mendasari penelitian ini. Teoriteori yang digunakan sebagai acuan merupakan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Selain itu membahas konsep yang nantinya akan mendasari hipotesis penelitian. 2.1. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 2.1.1. Pengertian OCB Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan dihargai dengan perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur- prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan "nilai tambah karyawan" dan merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag & Resckhe, 1997:1). Foote A, et al. (2008) menyatakan bahwa sikap dan kemurnian peran berhubungan positif dengan komitmen dan komitmen berhubungan positif dengan conscientiousness dan civic virtue. Organ (1988:505) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem penghargaan dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Organ (1997:56) juga mencatat 9
10 bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) ditemukan sebagai alternatif penjelasan pada hipotesis kepuasan berdasarkan performance. Van Dyne, dkk. (1998) mengusulkan konstruksi dari ekstra - role behavior (ERB) yaitu perilaku yang menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan organisasi, secara sukarela dan melebihi apa yang menjadi tuntutan peran. Organ (1997) menyatakan bahwa definisi ini tidak didukung penjelasan yang cukup, "peran pekerjaan" bagi seseorang adalah tergantung dari harapan dan komunikasi dengan pengirim peran tersebut. Definisi teori peran ini menempatkan OCB dalam realisme fenomenologi, tidak dapat diobservasi dan sangat subyektif. Definisi ini juga menganggap bahwa intensi aktor adalah "untuk menguntungkan organisasi". Borman dan Motowidlo (1993) mengkonstruksi contextual behavior tidak hanya mendukung inti dari perilaku itu sendiri melainkan mendukung semakin besarnya lingkungan organisasi, sosial dan psikologis sehingga inti teknisnya berfungsi. Definisi ini tidak dibayangi istilah sukarela, reward atau niat sang aktor melainkan perilaku seharusnya mendukung lingkungan organisasi, sosial dan psikologis lebih dari sekedar inti teknis. Jadi, dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa Organisational Citizenship Behavior (OCB) merupakan : 1) Perilaku yang bersifat sukarela bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi. 2) Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan performance, tidak diperintahkan secara formal.
11 3) Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem reward yang formal 2.1.2. Dimensi- dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Istilah Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali diajukan oleh Organ (1988:530), dengan mengemukakan lima dimensi primer dari OCB yang terdiri dari: 1) Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional. 2) Civic virtue, menunjukkan pastisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi - fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah. 3) Conscientiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar minimum 4) Sportmanhip, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu-isu yang merusak meskipun merasa jengkel. 5) Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain. 2.2. Kepuasan Kerja 2.2.1. Pengertian kepuasan kerja Keith Davis (1997:176) mengemukakan bahwa Job Satisfaction is a set of fovorable or unforable feeling with wich employees view their work. Kepuasan kerja adalah kumpulan perasaan enak dan tidak enak di mana karyawan menemukan suasana kerja mereka. Robbins (2006:103) mendefinisikan kepuasan
12 kerja sebagai sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan membutuhkan interaksi dengan rekan sekerja dan para atasan, mematuhi peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standard kinerja, hidup dengan suasana kerja yang sering kali kurang dari ideal. Kepuasan kerja merupakan sikap umum individu terhadap pekerjaannya sehingga lebih mencermikan sikap dari pada perilaku. Keyakinan bahwa karyawan yang puas lebih produktif daripada karyawan yang tidak puas menjadi prinsip dasar bagi para manajer maupun pimpinan (Robbins, 2006). Menurut Robbins (2006), masih banyak bukti yang mempertanyakan hubungan kausal tersebut, karena pada masyarakat maju mereka tidak hanya memperhatikan kuantitas hidup seperti peningkatan produktivitas dan perolehan materi, namun juga kualitasnya. Para peneliti yang memiliki nilai humanis yang kuat berpendapat bahwa kepuasan adalah tujuan resmi organisasi. Kepuasan tidak hanya secara negatif terkait dengan keabsenan dan pengunduran diri, namun menurut mereka, organisasi dibebani tanggung jawab untuk memberikan pekerjaan yang menantang dan secara intrinsik memberikan penghargaan pada karyawan. Locke (2006) memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Menurut pendapat tersebut di atas kepuasan kerja itu adalah sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Sikap itu berasal dari persepsi mereka tentang pekerjaannya. Kepuasan kerja berpangkal dari aspek kerja, seperti upah,
13 kesempatan promosi, penyelia atau pengawasan serta hubungan dengan rekan kerja. Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu ungkapan perasaan atau sikap seseorang terhadap pekerjaannya, terhadap kesempatan promosi, hubungan dengan rekan kerja, pengawasan dan perasaan puas terhadap pekerjaan itu sendiri. Pada intinya kepuasan kerja berkaitan erat dengan upaya (effort) seseorang dalam bekerja. Karyawan yang tidak puas akan pekerjaan cenderung untuk berperilaku tidak maksimal, tidak mencoba untuk melakukan hal-hal yang terbaik, serta jarang untuk meluangkan waktu dan berusaha ekstra dalam melakukan pekerjaannya. Kepuasan kerja biasanya berhubungan dengan teori keadilan, psikologi dan motivasi. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh besar kecilnya penghargaan intrinsik dan ekstrinsik, keterlibatan dalam pekerjaan dan perceived equity (fair reward). Besar kecilnya penghargaan, mungkin tidak akan menjadikan masalah besar asal pemberiannya dipandang adil oleh karyawan yang menerimanya. Menyadari hal tersebut, maka salah satu sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang lebih lanjut akan meningkatkan prestasi kerja. Dengan adanya kepuasan kerja dari karyawan maka diharapakan karyawan dapat melakukan pekerjaannya lebih maksimal dan mau melakukan pekerjaan diluar peran kerjanya sehingga dapat membantu proses pencapaian tujuan organisasi lebih baik. 2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, yaitu faktor yang ada dalam diri karyawan dan faktor pekerjaannya.
14 1) Faktor yang ada dalam diri karyawan, antara lain Kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, usia, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, persepsi, dan sikap kerja. 2) Faktor pekerjaan antara lain jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan, kedudukan), mutu pengawasan, jaminan finansial (gaji), kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja. Sikap merupakan suatu pengevaluasian yang positif atau negatif, dari perasaan emosi, kecenderungan bertindak pro atau kontra terhadap objek sosial. Pengertian sikap tersebut sesuai dengan pendapat Krech; Crutchfield dan Ballachey, (1963) yang mengemukakan bahwa Enduring systems of positive or negative evaluations. Emotional feelings and pro or conaction tendencies with respect to social object. Kelly G. Shaver, (2003) menjelaskan 3 (tiga) aspek sikap dengan mengemukakan tiga pertanyaan, yaitu: 1) What do you think about the attitude object? (apa pendapat anda tentang sikap?) hal ini merupakan penilaian kognitif 2) How do you feel about the attitude object? (Bagaimana perasaan anda tentang objek sikap?) hal ini merupakan penilaian afektif. 3) How do you behave toward the attitude object? (Bagaimana anda bertindak terhadap objek sikap?). Hal ini berkaitan dengan aspek kognitif.
15 Dalam, penelitian kepuasan kerja karyawan hanya mengukur sikap (sikap afektif) mereka terhadap pekerjaan, pengawasan kerja, balas jasa, dan pelaksanaan promosi jabatan. Hal ini karena kepuasan kerja lebih berkaitan dengan perasaan yang dirasakan oleh seseorang karyawan terhadap pelaksanaan kerja, pengawasan kerja, balas jasa dan pelaksanaan promosi jabatan. Sehingga dalam penelitian ini teori kepuasan kerja menggunakan teori yang dikembangkan oleh Locke dalam 2.2.3. Dimensi Kepuasan Kerja Luthans (2006) yang tediri dari lima dimensi pekerjaan yang memiliki respon afektif yaitu 1) Pekerjaan itu sendiri, dalam hal di mana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. 2) Gaji, sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. 3) Kesempatan promosi, kesempatan untuk maju dalam organisasi 4) Pengawasan, kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku. 5) Rekan kerja, tingkat di mana rekan kerja pandai secara teknik dan mendukung secara sosial. Penggunaan kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Locke (2001) dikarenakan dalam penelitian ini ingin mengukur kepuasan kerja yang memiliki respon afektif yaitu bagaimana persaaan karyawan terhadap objek sikap, seperti
16 kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi kerja, kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan dan kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang saling berhubungan. Dengan adanya kepuasan kerja, maka diharapkan karyawan dapat melakukan pekerjaannya lebih maksimal dan mau melakukan pekerjaan diluar peran kerjanya sehingga dapat membantu proses pencapaian tujuan organisasi lebih baik. Hal ini dikemukakan juga oleh Martoyo dalam Aang Karyawan (2003) bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap : (1) tingkat absensi karyawan; (2) perputaran (turn over) tenaga kerja; (3) semangat kerja; (4) keluhan-keluhan; dan (5) masalah personalia yang vital lainnya. Pendapat tersebut diperkuat oleh Cusbut dan Lowery (dalam Robbins, 2006:185) bahwa, apabila karyawan merasa terpuaskan dengan pekerjaan mereka, bisa menimbulkan berbagai macam reaksi, misalnya, berhenti, mengeluh, tidak patuh, mencuri milik organisasi, atau meninggalkan sebagian dari tanggung jawab mereka. 2.3. Komitmen Organisasional 2.3.1. Pengertian Komitmen Organisasional Tujuan kunci dari unit organisasi terkait dengan sumber daya manusia adalah mencari pengukuran yang dapat mengestimasikan secara akurat komitmen para karyawannya dan mengembangkan program-program serta kegiatan-kegiatan agar mampu meningkatkan komitmen organisasional (Zurnali, 2010). Menurut Greenberg dan Baron (2000:190), komitmen organisasi menggambarkan seberapa jauh seseorang itu mengidentifikasikan dan melibatkan dirinya pada organisasinya
17 dan keinginan untuk tetap tinggal di organisasi itu. Mowday, R.T, Porter, L.W dan Steers R.M., (dalam Miner, 1982:124) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi. Sikap ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu: 1) Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2) Kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. 3) Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi. Robbins (2006) memandang komitmen organisasi merupakan salah satu sikap kerja. Karena ia merefleksikan perasaan seseorang (suka atau tidak suka) terhadap organisasi tempat ia bekerja. Robbins mendefinisikannya sebagai suatu orientasi individu terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Jadi, komitmen organisasi merupakan orientasi hubungan aktif antara individu dan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan individu (karyawan) atas kehendak sendiri bersedia memberikan sesuatu, dan sesuatu yang diberikan itu menggambarkan dukungannya bagi tercapainya tujuan organisasi. Pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli di atas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu (karyawan) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Di samping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan terhadap
18 organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena karyawan yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. 2.3.2. Jenis jenis Komitmen Organisasional Mathis (2002), menyatakan jika para tenaga kerja berkomitmen pada organisasi, mereka mungkin lebih produktif. Komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam orgainisasi tersebut. Penelitian menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen orgainasional cenderung saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Apa yang disarankan dari penemuan ini adalah orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan lebih berkomitmen pada organisasi dan orang-orang yang berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin untuk mendapat kepuasan yang lebih besar. Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Selain itu dia menyatakan komitmen
19 organisasi bersifat multidimensi, sehingga terdapat perkembangan dukungan untuk tiga dimensi komitmen yaitu : 1) Affective Commitment, adalah keterikatan emosional karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi. 2) Continuance Commitment, adalah komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini karena kehilangan senioritas atas promosi atau benefit. 3) Normative Commitment, adalah perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Mowday et al. (1979) menunjukkan hubungan antara komitmen organisasi dan hasil yang diinginkan seperti kinerja tinggi, tingkat pergantian karyawan yang rendah dan tingkat ketidakhadiran yang rendah. Juga terdapat bukti bahwa komitmen karyawan berhubungan dengan hasil lain yang diinginkan, seperti persepsi iklim, organisasi yang hangat serta mendukung dan menjadi anggota tim yang baik yang siap membantu. Sementara menurut Luthan (2006) bahwa sikap komitmen organisasi dibandingkan dengan kepuasan kerja adalah prediktor yang lebih baik dari variabel hasil yang diinginkan dan dengan demikian pantas menerima perhatian manajemen. Meyer dan Allen (1993) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung
20 dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya. Setiap karyawan memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan karyawan yang berdasarkan continuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada karyawan untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi. 2.3.3. Dimensi Komitmen Organisasional Steers (1996) mengembangkan sebuah model hubungan sebab akibat terjadinya komitmen terhadap organisasi. Selanjutnya dia mengemukakan ada tiga penyebab komitmen organisasi, yaitu: karakteristik pribadi (kebutuhan berprestasi, masa kerja/jabatan, dan lain-lain), karakteristik pekerjaan (umpan balik, identitas tugas, kesempatan untuk berinteraksi, dan lain-lain) dan pengalaman kerja. Model yang dikembangkan Steer kemudian dimodifikasi menjadi karakteristik pribadi (usia dan masa kerja, tingkat pendidikan, jenis
21 kelamin), karakteristik yang berkaitan dengan peran, karakteristik struktural dan pengalaman kerja. Long (2000) menjelaskan bahwa program kepemilikan saham perusahaan bagi karyawan juga bisa menumbuhkan perasaan identifikasi terhadap tujuantujuan organisasi. Sedangkan Armstrong (2003:183) berpendapat bahwa tiga hal yang dapat mempengaruhi komitmen, yaitu rasa memiliki terhadap organisasi, rasa senang terhadap pekerjaan dan kepercayaan pada organisasi. Chusmir (dalam Jewell dan Siegall, 1998:519) berpendapat bahwa karakteristik keluarga juga menjadi salah satu penentu komitmen karyawan pada organisasi. Selain faktorfaktor di atas, faktor harapan pengembangan karir, lingkungan kerja dan gaji/tunjangan juga berpengaruh. Berdasarkan atas beberapa pendapat di atas, maka dalam penelitian ini komitmen organisasi menggunakan dimensi komitmen yaitu : (1) Affective Commitment, (2) Continuance Commitment, (3) Normative Commitment, yang diadopsi dari Meyer dan Allen, (1991). Penggunaan komitmen organisasi yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen ini karena komitmen organisasi mengindikasikan keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi dan keyakinan tertentu, serta penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.