BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN. Intrepretasi Hasil Output Analisis Linear Berganda

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II. KERANGKA TEORITIS

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP CURAHAN WAKTU KERJA KELOMPOK WANITA TANI PADI DI DESA BANJARAN KECAMATAN BANGSRI KABUPATEN JEPARA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV METODE PENELITIAN

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA

KUISONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEUNTUNGAN USAHATANI JAGUNG

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut merupakan Statistik Deskriptif variabel dependen dan variabel. Tabel 4.1

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. sebagai salah satu input faktor produksi yang memiliki peran penting. Permintaan

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Letak Geografis dan Topografi Daerah Penelitian

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. komoditas tembakau merupakan bahan baku utama pada industri rokok. Usahatani

ANALISIS PENDAPATAN USAHA PETANI MITRA TEMBAKAU PT. DJARUM DI KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN

BAB III METODE PENELITIAN. laporan keuangan perusahaan transportation services yang terdaftar di Bursa

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

BAB III METODEPENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Petani cabai merah lahan pasir pantai di Desa Karangsewu berusia antara

VI. ANALISIS EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI PADI

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

IV. METODE PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV. METODE PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

LAMPIRAN. Isilah data bapak/ibu/saudara/saudari dibawah ini :

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

III. METODOLOGI PENELITIAN. Daerah penelitian ditentukan secara secara sengaja (purposive sampling), yaitu

VI. ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI PADI SAWAH VARIETAS CIHERANG DI GAPOKTAN TANI BERSAMA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. faktor produksi yang kurang tepat dan efisien. Penggunaan faktor produksi

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN TOSARI

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS DENGAN SISTEM TEBASAN DAN TANPA TEBASAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Pewarnaan Blok

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

III. METODELOGI PENELITIAN. Lampung, Disperindag Provinsi Lampung, jurnal-jurnal ekonomi serta dari

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menganalisis data, penulis menggunakan alat bantu komputer seperti paket

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jogonayan merupakan salah satu desa dari 16 desa yang ada di Kecamatan

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan satu

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Cibodas merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin ( Brassica rapa cv. caisin)

VII ANALISIS PENAWARAN APEL

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten. Labuhanbatu pada bulan Maret 2016 sampai April 2016.

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Pugung memiliki luas wilayah ,56 Ha yang terdiri dari

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik petani yang menjadi responden bagi peneliti adalah usia,

SURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 1 Maret 2013

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENGARUH SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI CABAI MERAH TERHADAP JUMLAH PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI JAGUNG MANIS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kerja sama usaha ternak ayam broiler

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Keterangan : KV = risiko produksi padi σ y. = standar deviasi = rata rata produksi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. merupakan data time series dengan periode waktu selama 21 tahun yaitu 1995-

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Desa Penelitian Letak Geografis dan Topografis Desa

Transkripsi:

4.1. Gambaran Umum Desa Penelitian 4.1.1. Letak Geografis Desa Penelitian BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data sekunder, Desa Batur merupakan salah desa di wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Secara administrasi Desa Batur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: - Sebelah Utara : Desa Somo Gawe - Sebelah Selatan : Desa Tajuk - Sebelah Barat : Gunung Merbabu - Sebelah Timur : Desa Kopeng Desa Batur memiliki luas sekitar 1.081,75 Hektar, dimana Desa Batur terdiri dari tanah tegalan, makam, pekarangan/bangunan, dan lain-lain (jalan, sekolah, tempat ibadah, perkantoran, tanah negara). Desa Batur memiliki 19 dusun yaitu dusun Thekelan, Selo Nduwur, Nglelo, Tawang, Batur Kidul, Batur Wetan, Gondang, Dukuh, Selo Ngisor, Kaliduren, Madu, Ngringin, Kalitengah, Sanggar, Diwak, Senden, Rejosari, Wonosari, Krangkeng. Jarak Desa Batur ke pusat pemerintah Kecamatan Getasan kurang lebih 3 Km, jarak menuju ibu kota Kabupaten Semarang kurang lebih 30 Km, dan jarak menuju ibu kota provinsi Jawa Tengah kurang lebih 35 Km. 4.1.2. Keadaan Penduduk Desa Penelitian Berdasarkan data sekunder, Desa Batur memiliki jumlah penduduk sekitar 6.784 jiwa yang terdiri dari 3.214 jiwa laki-laki atau sekitar 47,3% dan 3.570 jiwa perempuan atau sekitar 52,7%. Adapun jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 2.419 orang yang terdiri dari yang memiliki KK sekitar 2.149 orang dan yang belum memiliki KK sekitar 270 orang. Mata pencaharian penduduk Desa Batur cukup beragam yaitu TNI, Polri, PNS, Pengusaha, Petani, Pensiunan, Buruh Tani, Buruh Industri, Swasta, Peternak, dan Jasa. Sebagian besar penduduk desa tersebut merupakan bermata pencaharian petani dan buruh tani. Adapun jumlah petani berkisar 3.228 orang atau sekitar 47,5 % dari jumlah keseluruhan penduduk desa batur dan buruh tani berjumlah 761 orang atau sekitar 11,2 %. Berdasarkan 15

16 data diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Batur sangat bergantung kepada bidang pertanian dalam kehidupan sehari-hari. 4.1.3. Keadaan Pertanian Keadaan pertanian yang dilihat meliputi lahan pertanian dan jenis tanaman yang diusahakan didesa penelitian. Lahan pertanian di Desa Batur merupakan lahan tegalan atau kebunan serta memiliki lahan kritis. Adapun luas lahan tegalan berkisar antara 321 Ha dan lahan kritis 66 Ha. Tanaman yang sering diusahakan oleh para petani cukup beragam antara lain tembakau, jagung, pisang dan beberapa tanaman sayur-sayuran seperti koll, wortel, sawi, cabai, buncis. Adapun jenis tanaman yang menjadi sering ditanami oleh masyarakat merupakan tanaman jenis sayuran. Tanaman jenis sayuran ditanam oleh petani pada saat ketersediaan air banyak yang terjadi pada saat musim penghujan yaitu pada bulan November sampai April. Sedangkan pada musim kemarau yaitu pada bulan Mei sampai Oktober petani menanam jenis tanaman yang tahan terhadap kekeringan seperti tanaman tembakau. Jadi tidak heran jika Desa Batur merupakan salah satu desa di Kecamatan Getasan yang menghasilkan tembakau dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat dilihat dari 19 dusun hanya 1 dusun yaitu Dusun Kaliduren yang masarakatnya tidak menanam tembakau. 4.2. Gambaran Umum Petani Sampel Gambaran petani sampel yang telah dipaparkan mengarah pada hasil penarikan sampel mengenai Luas lahan, biaya sarana produksi, tenaga kerja, umur, tingkat pendidikan dan sitem penjualan. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 60 orang petani tembakau. 4.2.1 Luas Lahan (X 1 ) Luas lahan yang digunakan untuk proses budidaya tembakau merupakan salah satu faktor yang akan menentukan pendapatan dari petani tembakau. Semakin besar luas lahan yang digunakan untuk menanam tembakau maka akan berbanding lurus terhadap jumlah pendapatan petani tembakau yang semakin tinggi. Pengaruh luas lahan terhadap pendapatan petani tembakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

17 Tabel 4.2.1. Distribusi Petani Menurut luas lahan dan Pendapatan Petani Tembakau Luas Lahan Pendapatan ( Rp ) ( Ha) < 4.000.000 4.000.000-8.000.000 8.100.000-12.000.000 > 12.000.000 0.29 15 17 0 0 0.3-0.39 0 6 4 0 0.4 0.49 0 1 4 0 0.5 0 0 3 10 Jumlah 15 24 11 10 (Sumber : Analisis Data Primer,2013) Dari hasil perhitungan diperoleh pendapatan petani tertinggi sebesar Rp.17.000.000,- dan pendapatan petani terendah sebesar Rp.2.100.000,-, serta nilai rata-rata pendapatan petani Rp.7.354.750,-. Petani dengan pendapatan tinggi secara umum memiliki karakteristik cara penjualan kering, luas lahannya besar, biaya produksi besar dan penggunaan tenaga kerja besar. Sedangkan untuk petani dengan pendapatan terendah secara umum memiliki karakteristik cara penjualan basah, luas lahan sempit, biaya produksi kecil dan penggunaan tenaga kerja kecil. Dari hasil analisis dari tabel 4.2.1, luas lahan tertinggi sebesar 0,5 Ha dan luas lahan terendah sebesar 0,06 Ha. Selain itu dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki luas lahan 0,29 Ha memperoleh pendapatan < Rp.4.000.000,- dengan 15 orang sampel dan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dengan jumlah 12 sampel. Sampel yang memiliki luas lahan 0,4 Ha s/d 0,49 Ha memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dengan jumlah 4 sampel. Sedangkan sampel yang memiliki luas lahan 0,5 Ha memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dengan 3 sampel dan > Rp.12.000.000,- dengan jumlah 10 sampel. Berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki luas lahan sempit memperoleh pendapatan yang kecil dibandingkan dengan petani yang memiliki luas lahan besar. Jadi semakin besar luas lahan yang digunakan untuk menanam tembakau maka pendapatan akan relatif besar. 4.2.2 Sarana Produksi ( X 2 ) Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan bibit, pupuk kimia, pupuk kandang dan pestisida dalam proses budidaya tembakau merupakan salah satu faktor yang akan menentukan keberhasilan budidaya serta pendapatan dari petani tembakau. Pengaruh biaya sarana produksi terhadap pendapatan petani tembakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

18 Tabel 4.2.2. Distribusi Petani Menurut Penggunaan Biaya Sarana Produksi dan Pendapatan Petani Tembakau Biaya Sarana Produksi Pendapatan ( Rp ) (Rp) < 4.000.000 4.000.000-8.000.000 8.100.000-12.000.00 > 12.000.000 < 1.000.000 15 20 2 0 1.000.000-1.999.999 0 2 1 0 2.000.000-2.999.999 0 1 0 0 3.000.000 0 1 8 10 Jumlah 15 24 11 10 (Sumber : Analisis Data Primer,2013) Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa sampel yang menggunakan biaya sarana produksi sebesar < Rp.1.000.000,- paling banyak memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dengan 20 orang sampel, 15 sampel yang memperoleh pendapatan < Rp.4.000.000,- dan hanya 2 sampel yang memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,-. Sampel yang menggunakan biaya sarana produksi sebesar Rp.2.000.000,- s/d Rp.2.999.999,- memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dengan 1 sampel. Sedangkan Sampel yang menggunakan biaya sarana produksi sebesar Rp.3.000.000,- memperoleh pendapatan berkisar antara > Rp.12.000.000,- dengan 10 sampel. Berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa sampel yang menggunakan biaya sarana produksi kecil memperoleh pendapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan petani yang menggunakan biaya sarana produksi besar. Jadi semakin banyak jumlah biaya sarana produksi yang digunakan maka akan memperoleh pendapatan yang relatif besar. Namun yang perlu diperhatikan penggunaan biaya sarana produksi harus sesuai dengan kebutuhan, oleh karena itu penggunaan biaya sarana produksi tidak boleh berlebihan karena akan mengurangi produksi tembakau serta pendapatan petani. 4.2.3 Tenaga Kerja ( X 3 ) Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat dibutuhkan dalam usaha tani tembakau. Dalam usahatani tembakau tenaga kerja paling banyak dibutuhkan pada saat pengolahan tanah, panen dan pasca panen. Pengaruh jumlah HOK tenaga kerja terhadap pendapatan petani tembakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

19 Tabel 4.2.3. Distribusi Petani Menurut Penggunaan Tenaga Kerja (HOK) dan Pendapatan Petani Tembakau Jumlah Pendapatan ( Rp ) HOK < 4.000.000 4.000.000-8.000.000 8.100.000-12.000.00 > 12.000.000 < 199 9 9 0 0 200 299 6 15 7 0 300 399 0 0 1 0 > 400 0 0 3 10 Jumlah 15 24 11 10 (Sumber : Analisis Data Primer,2013) Dari hasil perhitungan analisis, jumlah penggunaan tenaga kerja tertinggi sebesar 475 HOK dan jumlah penggunaan tenaga kerja terendah sebesar 120 HOK. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa sampel yang menggunakan tenaga kerja sebesar < 199 HOK memperoleh pendapatan < Rp.4.000.000,- dan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dengan masing-masing 9 sampel. Sampel yang menggunakan tenaga kerja sebesar 300 s/d 399 HOK paling banyak memperoleh pendapatan > Rp.12.000.000,- dengan 1 sampel. Sedangkan Sampel yang menggunakan tenaga kerja sebesar > 400 HOK memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dengan 3 sampel dan memperoleh pendapatan > Rp.12.000.000,- dengan jumlah 10 sampel. 4.2.4 Umur Petani ( X 4 ) Umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan petani tembakau. Menurut Helder (1990) dalam Dwiyanti (2012), mengemukakan bahwa umur berpengaruh pada cara berpikir dan kemampuan fisik, motivasi, agresifitas, dan kebutuhan melaksanakan pekerjaan yang mengandung risiko biasanya melemah pada seseorang yang lebih tua. Pengaruh tingkat umur petani terhadap pendapatan petani tembakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.2.4. Distribusi Petani Menurut Umur Petani dan Pendapatan Petani Tembakau Umur Petani Pendapatan ( Rp ) < 4.000.000 4.000.000-8.000.000 8.100.000-12.000.00 > 12.000.000 35 tahun 9 15 3 1 36-45 tahun 2 4 2 3 46-55 tahun 3 3 2 3 56 tahun 1 2 4 3 Jumlah 15 24 11 10 (Sumber : Analisis Data Primer,2013) Dari hasil perhitungan analisis, tingkat umur petani tertinggi adalah 65 tahun dan tingkat umur petani terendah adalah 20 tahun. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa sampel yang berumur 35 tahun paling banyak memperoleh pendapatan berkisar antara

20 Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dengan 15 orang sampel dan memperoleh pendapatan < Rp.4.000.000,- dengan 9 sampel. Sedangkan 3 sampel memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dan 1 sampel memperoleh pendapatan > Rp.12.000.000,-. Sampel yang berumur 46 tahun s/d 55 tahun memperoleh pendapatan Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dengan 2 sampel. Sedangkan untuk pendapatan berkisar antara < Rp.4.000.000,-, Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dan > Rp.12.000.000,- masing-masing terdiri dari 3 sampel. Sampel yang berumur 56 tahun paling banyak memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dengan 4 sampel. 2 sampel memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dan 3 sampel memperoleh pendapatan > Rp.12.000.000,- 4.2.5 Tingkat Pendidikan Formal ( X 5 ) Salah satu faktor yang berperan atau berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani tembakau yaitu faktor pendidikan formal. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin tinggi pula kemampuan berpikir, dan mampu menganalisis setiap usaha, sehingga petani yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan menjalankan usaha dengan baik sehingga dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Pengaruh tingkat pendidikan petani terhadap pendapatan petani tembakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.2.5. Distribusi Petani Menurut Tingkat Pendidikan dan Pendapatan Petani Tembakau Tingkat Pendapatan ( Rp ) Pendidikan < 4.000.000 4.000.000-8.000.000 8.100.000-12.000.00 > 12.000.000 0 tahun 1 0 0 0 1-6 tahun 11 16 9 7 7-9 tahun 2 6 1 2 10-12 tahun 1 2 1 1 Jumlah 15 24 11 10 (Sumber : Analisis Data Primer,2013) Dari hasil perhitungan analisis, tingkat pendidikan petani tertinggi adalah SMA dan tingkat pendidikan petani terendah adalah tidak sekolah. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa sampel yang tidak pernah menempuh pendidikan memperoleh pendapatan < Rp.4.000.000,- dengan 1 orang sampel. Sampel yang memiliki tingkat pendidikan 1 tahun s/d 6 tahun paling banyak memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dengan 16 sampel, disusul dengan sampel yang memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dengan 9 sampel. Dan terdapat 7 sampel

21 yang memperoleh pendapatan berkisar antara > Rp.12.000.000,-. Sedangkan untuk sampel yang berpendidikan 10 tahun s/d 12 tahun paling banyak memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,- dengan 2 sampel. Sedangkan untuk pendapatan < Rp.4.000.000,-, berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000, dan > Rp.12.000.000,- masing-masing terdiri dari 1 sampel. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap pendapatan petani. Hal dapat dilihat dari adanya sampel yang memiliki tingkat pendidikan SD mampu memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang memiliki tingkat pendidikan SMP dan SMA. 4.2.6 Cara Penjualan Tembakau ( X 6 ) Cara penjualan merupakan salah satu faktor yang akan menentukan harga jual dari produk yang ditawarkan serta akan menentukan pendapatan dari petani itu sendiri. Pengaruh cara penjualan terhadap pendapatan petani tembakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.2.6. Distribusi Petani Menurut Penggunaan Cara Penjualan dan Pendapatan Petani Tembakau Cara Pendapatan ( Rp ) Penjualan < 4.000.000 4.000.000-8.000.000 8.100.000-12.000.00 > 12.000.000 Kering 0 2 9 10 Basah 15 22 2 0 Jumlah 15 24 11 10 (Sumber : Analisis Data Primer,2013) Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa sampel yang menjual hasil produksi tembakau dengan cara kering paling banyak memperoleh pendapatan > Rp.12.000.000,- dengan 10 sampel dan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,- dengan 9 sampel. Sedangkan sampel yang menjual hasil produksi tembakau secara basah paling banyak memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.4.000.000,- s/d Rp.8.000.000,-. dengan 22 sampel dan memperoleh pendapatan > Rp.4.000.000,- dengan 15 sampel. Hanya 2 sampel yang memperoleh pendapatan berkisar antara Rp.8.100.000,- s/d Rp.12.000.000,-. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa sampel yang menjual hasil produksi tembakau dengan cara kering memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menjual tembakau dengan cara basah.

22 4.3. Hasil Komputasi 4.3.1. Uji Asumsi Multikolinearitas Berdasarkan tabel nilai VIF dapat dilihat bahwa angka VIF ( Variance Inflaion Factor) berkisar antara 1-6 atau tidak melebihi angka 10 dan nilai Tolerance > 0,10. Melalui uji asumsi multikolinearitas, dengan angka tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terjadinya multikolienearitas atau tidak terjadinya kemiripan dan tidak terdapatnya kolerasi antara variabel-variabel independent. 4.3.2. Uji Asumsi Heteroskedastisitas Berdasarkan tabel scatterplot dapat diketahui bahwa tidak terjadi Heteroskedastisitas atau tidak terdapatnya perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan lain. Hal ini dapat dilihat dari penyebaran titik- titik sebagai berikut: 1. Titik- titik pada tabel menyebar secara menyeluruh dari atas dan dibawah. 2. Titik-titik data tidak mengumpul diatas atau dibawah saja. 3. Penyebaran titik-titik data tidak berpola. 4.3.3. Uji Asumsi Autokolerasi Berdasarkan tabel Durbin Watson dengan jumlah variabel (k) = 7 dan jumlah sampel (n) = 60 maka diperoleh nilai dl dan du adalah 1,371 dan 1,508. Hasil pengolahan data menunjukkan nilai Durbin Watson sebesar 1,645 dan nilai tersebut berada di antara du dan (4 du) atau 1,645 lebih besar dari 1.508 dan 1,645 lebih kecil dari 2,355 maka dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi linier Berganda tersebut tidak terdapat Autokorelasi atau tidak terjadi korelasi diantara kesalahan penggangu. 4.4. Pembahasan 4.4.1. Hasil Pengujian Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Pendapatan Petani Tembakau Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi jumlah bibit, biaya sarana produksi, tenaga kerja, umur, tingkat pendidikan dan sistem penjualan. Hasil analisis regresi linear berganda dengan variabel bebas yaitu luas lahan, biaya sarana produksi, tenaga kerja, umur petani, tingkat pendidikan dan cara penjualan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

23 Tabel 4.1.1. Hasil Analisis Komputasi Persamaan Regresi No Variabel Bebas Parameter Dugaan Signifikansi Keterangan t 1 Konstanta 756.098,630 0,418 2 Luas Lahan (X 1 ) 11.910.000 0,000* Signifikan 3 Biaya Sarana Produksi (X 2 ) 0,698 0,006* Signifikan 4 Tenaga Kerja (X 3 ) 5.162,260 0,043* Signifikan 5 Umur Petani (X 4 ) 5.463,797 0,740 Tidak Signifikan 6 Tingkat Pendidikan (X 5 ) 3.049,818 0,969 Tidak Signifikan 7 Cara Penjualan (X 6 ) 1.603.000 0,028* Signifikan R- Square = 0,913 Adjusted R Square = 0,904 F- Hitung = 93,147 F- tabel = 2,28 (Sumber : Analisis Data Primer, 2013). Keterangan: *= parameter dugaan signifikan pada taraf kepercayaan (α) 5%. Hasil pendugaan parameter persamaan pendapatan petani tembakau (Y) menunjukkan nilai koefisien determinasi R square adjusted (R 2 adjusted) sebesar 0,904. Hal ini menunjukkan bahwa 90,4 % variasi dari variabel pendapatan petani tembakau dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang meliputi: luas lahan (X 1 ), biaya sarana produksi (X 2 ), tenaga kerja (X 3 ), umur petani (X 4 ), tingkat pendidikan (X 5 ) dan dummy cara penjualan (X 6 ). Sedangkan 9,6 % dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak masuk dalam penelitian ini. Variabel- variabel lain yang kemungkinan berpengaruh terhadap pendapatan petani tembakau yang tidak diteliti antara lain: tingkat kesuburan tanah, jenis lahan, keadaan cuaca, luas lahan, pengalaman petani dan lain-lain. Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas maka digunakan uji F (0,05). Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai F- Hitung 93,147 lebih besar dari nilai F-Tabel sebesar 2,28 pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini berarti variabel bebas yaitu: luas lahan (X 1 ), biaya sarana produksi (X 2 ), tenaga kerja (X 3 ), umur petani (X 4 ), tingkat pendidikan (X 5 ) dan cara penjualan (X 6 ) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas yaitu pendapatan petani tembakau (Y) pada tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor terhadap pendapatan petani tembakau maka dilakukan uji t (0,00) dan uji signifikansi. Secara individual pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas digunakan uji signifikansi dengan uji t. Berdasarkan hasil analisis pada tabel di atas, Hasil Analisis Komputasi Persamaan Regresi diatas menunjukkan bahwa variabel bebas luas lahan, biaya sarana produksi, tenaga kerja dan sistem penjualan memiliki nilai signifikan lebih kecil dari 0,05 pada tingkat kesalahan 5%. Hal ini berarti variabel bebas luas lahan, biaya sarana produksi, tenaga kerja dan cara penjualan berpengaruh nyata terhadap

24 pendapatan petani tembakau. Sedangkan untuk variabel bebas umur petani dan tingkat pendidikan memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,05 pada tingkat kesalahan 5%. Hal ini berarti variabel bebas umur dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau pada tingkat kesalahan 5%. Koefisien regresi dari masing-masing faktor sosisal ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau dapat memberikan arti bahwa: - Tingkat variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau (Y) dengan nilai koefisien parameter dugaan sebesar 11.910.000. Ini berarti setiap penambahan luas lahan (X 1 ) sebesar 1 Ha akan meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 11.910.000,-. - Tingkat penggunaan biaya sarana produksi berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau (Y) dengan nilai koefisien parameter dugaan sebesar 0,698. Ini berarti setiap penambahan jumlah biaya sarana produksi (X 2 ) sebesar Rp.1,- akan meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp.0,698,-. - Tingkat penggunaan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau (Y) dengan nilai koefisien parameter dugaan sebesar 5.162,260. Ini berarti setiap penambahan tenaga kerja (X 3 ) sebesar 1 HOK akan meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp.5.162,-. - Tingkat cara penjualan yang digunakan berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau (Y) dengan nilai koefisien parameter dugaan sebesar 1.603.000. Ini berarti jika terjadi perubahan cara penjualan dari cara penjualan basah ke cara penjualan kering akan berpengaruh terhadap pendapatan petani tembakau yang akan semakin meningkat. Berikut ini akan dibahas hasil pengujian pengaruh masing-masing faktor sosial ekonomi terhadap pendapatan petani tembakau. 4.4.2. Pengaruh Luas Lahan (X 1 ) Terhadap Pendapatan Petani Tembakau Dari hasil analisa komputasi didapat bahwa variabel luas lahan (X 1 ) berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau (Y) dengan nilai koefisien parameter dugaan sebesar 11.910.000. Ini berarti setiap penambahan luas lahan (X 1 ) sebesar 1 Ha akan meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 11.910.000,-. Adapun variabel luas lahan (X 1 ) memiliki nilai signifikansi t 0,00 lebih kecil dari 0,05, Oleh karena itu maka Ha diterima dan

25 Ho ditolak. Dengan demikian hipotesa yang menyatakan terdapat pengaruh luas lahan terhadap tingkat pendapatan petani tembakau terbukti. Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan pada tabel 4.2.1, luas lahan memiliki pengaruh yang besar terhadap pendapatan yang diterima oleh petani. Semakin besar luas lahan yang digunakan untuk menanam tembakau maka jumlah pendapatan yang diperoleh petani akan semakin tinggi. Hal ini terjadi karena semakin luas lahan yang digunakan maka semakin besar jumlah bibit yang akan ditanam pada lahan sehingga menghasilkan produksi daun tembakau yang semakin tinggi, dengan demikian pendapatan petani tembakau akan semakin meningkat (citeris paribus). Berdasarkan hasil penelitian penguasaan lahan pertanian oleh petani tembakau di Desa Batur relatif sempit, rata-rata penguasaan lahan sebesar 0,27 Ha. Dari 60 sampel yang diteliti lahan yang digarap oleh petani untuk menanam tembakau merupakan lahan yang status kepemilikan lahan dimiliki sendiri oleh petani atau petani berstatus sebagai hak milik. Oleh karena itu petani tembakau yang memiliki lahan luas dapat memanfaatkan secara optimal penggunaan lahan, sehingga pada akhirnya pendapatan petani yang memiliki lahan luas akan lebih besar dibandingkan dengan petani yang memiliki lahan sempit. Lahan yang dimiliki oleh petani merupakan lahan yang diwariskan secara turun temurun. Lahan-lahan yang dimiliki oleh petani sebagian besar bukan merupakan lahan yang terdapat dalam 1 hamparan, namun lahan tersebut terletak dibeberapa tempat atau hamparan yang berbeda. Di Desa Batur sebagian besar lahan merupakan lahan tegalan yang berbentuk terasering. 4.4.3. Pengaruh Biaya Produksi (X 2 ) Terhadap Pendapatan Petani Tembakau Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian komputasi menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara biaya yang digunakan untuk penyediaan sarana produksi yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pengguanaan bibit, pupuk serta pestisida terhadap pendapatan petani tembakau (Y) dengan nilai koefisien parameter dugaan sebesar 0,698. Ini berarti setiap penambahan biaya sarana produksi (X 2 ) sebesar Rp.1,- akan meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 0,698,-. Selain itu variabel biaya sarana produksi (X 2 ) memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,006 lebih kecil dari 0,05, dengan demikian maka Ha diterima dan Ho ditolak. Maka hipotesa yang menyatakan terdapat pengaruh biaya sarana produksi terhadap tingkat pendapatan petani tembakau terbukti. Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan pada tabel 4.2.2, bahwa semakin besar jumlah biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan bibit, pupuk kimia, pupuk kandang dan

26 pestisida maka jumlah pendapatan yang diperoleh petani tembakau akan semakin tinggi. Pupuk digunakan untuk menambah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan. Pengunaan pupuk yang optimal akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih optimal sehingga hasil produksi yang diperoleh akan tinggi. Demikian pula dengan pestisida sangat diperlukan untuk menanggulangi serangan hama penyakit yang menyerang tanaman tembakau. Dengan penggunaan pestisida yang optimal, serangan hama penyakit dapat dicegah atau diberantas sehingga pertumbuhan tanaman tembakau menjadi optimal. Selain itu bibit juga merupakan salah satu faktor yang akan menentukan jumlah produksi dan tingkat pendapatan petani. Namun yang perlu diperhatikan penggunaan sarana produksi harus pada batas-batas tertentu karena jika penggunaan sarana produksi secara berlebihan, akan mengakibatkan hasil produksi menjadi menurun dan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan sarana produksi menjadi lebih tinggi. Hal ini diakibatkan karena penggunaan sarana produksi menjadi tidak optimal atau tidak efektif. Dengan demikian dengan penggunaan sarana produksi yang tidak optimal dan tidak efektif, menyebabkan pendapatan petani tembakau menjadi menurun. Dengan hasil produksi yang tinggi serta penggunaan biaya sarana produksi yang optimal, akan menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani tembakau semakin tinggi dengan syarat variabel lain seperti luas lahan, tenaga kerja, tingkat pendidikan, umur dan cara penjualan bersifat tetap atau konstan. Beberapa jenis pupuk yang digunakan oleh para petani tembakau di Desa Batur antara lain pupuk ZA, Urea, NPK, KNO 3 serta pupuk kandang baik pupuk yang berasal dari kotoran sapi, kambing maupun ayam. Sedangkan pestisida yang sering digunakan oleh para petani antara lain matador, kurakron, convedor, rendomil dan Mercis. Petani yang mengikuti kemitraan yang dibentuk oleh perusahaan Djarum dengan nama kelompok kemitraan vertila lebih mudah dalam hal penyediaan pupuk serta pestisida dibandingkan dengan petani yang tidak mengikuti kemitraan. Petani yang mengikuti kemitraan memperoleh modal pupuk dan pestisida, berupa pupuk KnO 3, NPK dan pestisida jenis Mercis, Convedor dan Rendomil yang berada dalam 1 paket dengan harga Rp.3.700.000,-. Pembalikan modal pinjaman oleh petani kepada pihak mitra Djarum dapat dilakukan pada saat penjualan tembakau. Namun hal yang perlu diketahui pada saat pemberian modal dari pihak mitra kepada petani, tidak langsung ditentukan harga jual tembakau pada saat melakukan penjualan dikemudiaan hari, melainkan harga tembakau tetap mengikuti harga pada waktu penjualan dilakukan. Sedangkan bagi petani kecil yang tidak mengikuti kemitraan, tidak mampu untuk membeli pupuk kimia, diakibatkan karena petani kecil memiliki keterbatasan modal. Oleh

27 karena itu petani kecil hanya mengandalkan pupuk kandang yang diambil dari kotoran ternak yang dipelihara baik kotoran ternak sapi, kambing maupun ayam. Selain itu, tanaman tembakau juga rentan terhadap serangan hama penyakit sehingga dibutuhkan pestisida yang cukup untuk mencegah terjadinya serangan hama penyakit. Bagi para petani besar yang tidak mengikuti kemitraan, dalam menyediakan pupuk dan pestisida dilakukan dengan cara membeli langsung ke pasar atau tempat penjualan pupuk serta pestisida yang terdapat di Desa Batur, Kopeng maupun Pasar Ngablak. Penggunaan jumlah bibit sangat bergantung pada luas lahan dan jarak tanam yang digunakan, oleh karena itu petani harus menggunakan lahan dengan seefektif mungkin dengan cara mengatur pola tanam. Salah satu akibat yang akan timbul apabila jumlah bibit yang digunakan terlalu banyak pada satuan luas tertentu atau melebihi kemampuan lahan dalam menampung bibit maka akan terjadi kompetisi atau persaingan antar bibit didalam lubang tanam dan pada akhirnya menyebabkan tanaman lain tidak tumbuh optimal. Akibatnya ongkos untuk kegiatan produksi menjadi bertambah dan pendapatan petani menjadi berkurang. Di Desa Batur harga bibit tembakau per batang berkisar antara Rp. 25,- sampai dengan Rp. 50,-. Sebagian besar para petani menggunakan tembakau dengan varietas soblem dan andong. 4.4.4. Pengaruh Jumlah Tenaga Kerja (X 3 ) Terhadap Pendapatan Petani Tembakau Berdasarkan hasil analisis, variabel penggunaan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau (Y) dengan nilai koefisien parameter dugaan sebesar 5.162,260. Ini berarti setiap penambahan tenaga kerja (X 3 ) sebesar 1 HOK akan meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp.5.162,-. Selain itu variabel jumlah HOK tenaga kerja (X 3 ) memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,043 lebih kecil dari 0,05, dengan demikian maka Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian hipotesa yang menyatakan terdapat pengaruh jumlah HOK terhadap tingkat pendapatan petani tembakau terbukti. Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan pada tabel 4.2.3, bahwa sampel yang menggunakan tenaga kerja yang banyak akan cenderung memperoleh pendapatan yang tinggi. Hal ini terjadi karena dengan penggunaan jumlah HOK tenaga kerja yang banyak maka proses perawatan menjadi lebih baik sehingga menyebabkan hasil produksi yang diperoleh tinggi. Dengan penggunaan jumlah HOK tenaga kerja yang banyak, maka menyebabkan kegiatan pemanenan dan penanganan pasca panen tembakau berjalan dengan baik sehingga kualitas dari hasil produksi dapat dijaga, dengan demikian pendapatan petani

28 tembakau akan semakin meningkat (citeris paribus). Namun yang perlu diperhatikan oleh petani, penggunaan jumlah HOK tenaga kerja harus pada batas-batas tertentu atau harus sesuai dengan kebutuhan, agar supaya penggunaan tenaga kerja dapat dilakukan secara efektif dan efisien sehingga penggunaan biaya untuk sewa tenaga kerja dapat ditekan. Tetapi apabila jumlah tenaga kerja bertambah secara terus menerus melampaui kebutuhan, maka akan mengakibatkan pendapatan petani tembakau menjadi menurun karena disebabkan penggunaan jumlah tenaga kerja yang tidak efektif dan tidak efisien serta biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan tenaga kerja yang sangat tinggi. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani tembakau sangat diperlukan pada beberapa tahapan seperti pada tahap pengolahan tanah, tahap pemanenan dan pada tahap pasca panen (tahap pengeringan dan perajangan). Kebutuhan tenaga kerja pada tahapan-tahapan tersebut mengharuskan petani atau responden mencurahkan tenaga kerja yang banyak. Karena pada tahapan-tahapan tersebut petani akan menghadapi permasalahan yang kompleks antara lain penanggulangan hama penyakit, pemupukan serta pengeringan dan perajangan tembakau. Bertambahnya jumlah tenaga kerja pada proses tahapan produksi tersebut secara langsung akan meningkatkan output atau hasil produksi pada usahatani tembakau dan meningkatkan pendapatan dari petani tembakau. Di Desa Batur, tenaga kerja yang tersedia oleh petani tembakau terbagi atas dua yaitu tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga dan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Petani besar yang memiliki luas lahan yang besar serta kepemilikan modal besar akan memperoleh tenaga kerja yang cukup kerena dapat menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Petani besar dengan mudah menghadapi permasalahan pada saat pengolahan tanah, pemanenan, panen dan pasca panen karena memiliki modal yang cukup untuk membiayai tenaga kerja. Dengan tenaga kerja yang cukup, petani besar akan menjual hasil produksi tembakau dalam bentuk kering dengan harga jual yang relatif tinggi. Bagi para petani kecil, hanya mengandalkan tenaga kerja dari dalam keluarga pada kegiatan proses produksi. Akibat dari tidak memiliki tenaga kerja yang cukup, petani kecil menjual hasil produksi secara tebasan atau petani hanya menjual tembakau dalam bentuk basah dengan harga yang relatif kecil. Hal ini mengakibatkan pendapatan dari petani kecil sangat rendah dibandingkan dengan pendapatan dari petani besar.

29 4.4.5. Pengaruh Umur Petani (X 4 ) Terhadap Pendapatan Petani Tembakau Dari hasil komputasi pengaruh umur terhadap pendapatan yang diterima petani tembakau, ternyata umur petani tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. Hal ini ditunjukan dari nilai signifikansi t 0,740 yang lebih besar dari 0,05 pada kepercayaan tingkat kepercayaan 95%. Menurut Helder (1990), dalam Dwiyanti (2012), mengemukakan bahwa umur berpengaruh pada cara berpikir dan kemampuan fisik, motivasi, agresifitas, dan kebutuhan melaksanakan pekerjaan yang mengandung risiko biasanya melemah pada seseorang yang lebih tua. Akan tetapi berdasarkan hasil analisa, petani yang memiliki umur 56 tahun memperoleh tingkat rata-rata pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang berumur 56 tahun. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan para petani tembakau yang memiliki umur 56 tahun memiliki pengalaman yang lebih baik dalam hal budidaya tembakau serta penanganan panen dan pasca panen tembakau dibandingkan dengan petani yang berumur 56 tahun. Semakin tinggi tingkat umur petani, maka petani akan semakin memiliki pengalaman yang baik sehingga dalam melakukan kegiatan produksi lebih telaten dibandingkan dengan petani yang memiliki umur yang lebih muda. Walaupun petani yang telah tua tidak memiliki kekuatan fisik yang bagus, tetapi dengan modal materi yang lumayan bagus seta modal sosial yang bagus maka petani yang tua dapat memperoleh tenaga kerja dalam proses pengolahan tanah, panen dan pasca panen tembakau yang cukup tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi. 4.4.6. Pengaruh Tingkat Pendidikan (X 5 ) Terhadap Pendapatan Petani Tembakau Dari hasil komputasi menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh nyata antara tingkat pendidikan terhadap pendapatan petani tembakau. Hal ini ditunjukkan dari nilai signifikansi t 0.969 lebih besar dari 0.05 pada tingkat kepercayaan 95%. Oleh karena itu maka Ho diterima dan Ha ditolak. Pengaruh tersebut diduga disebabkan karena sebagian besar para petani yang berada di Desa Batur memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah dimana dari 60 orang responden sekitar 43 orang atau 71.6% hanya berpendidikan sekolah dasar. Dalam proses budidaya tembakau para petani lebih mengandalkan pengalaman bertani dibandingkan dengan ilmu yang diperoleh pada saat menempuh pendidikan dalam menjalankan kegiatan usahatani tembakau. Sebagian besar petani telah mengikuti kegiatan bertani tembakau sejak kecil karena sejak kecil petani telah membantu orang tua dalam kegiatan budidaya tembakau.

30 Selain itu petani yang mengikuti kemitraan yang dibentuk oleh PT Djarum memperoleh pelatihan dan penyuluhan tentang budidaya tembakau, penanganan pasca panen tembakau. Dengan penyuluhan dan pelatihan, petani yang berada dibawah binaan kemitraan vertila lebih baik dalam melakukan usahatani tembakau serta dalam melakukan pemasaran hasil produksi. 4.4.7. Pengaruh Cara Penjualan (X 6 ) Terhadap Pendapatan Petani Tembakau Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian komputasi menunjukkan adanya pengaruh nyata cara penjualan yang digunakan terhadap tingkat pendapatan dari petani tembakau (Y). Hal ditunjukkan dari nilai signifikansi t variabel cara penjualan (X 6 ) sebesar 0,028 lebih kecil dari 0,05, maka Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian terdapat pengaruh yang signifikan dari dummy cara penjualan terhadap tingkat pendapatan petani tembakau. Dummy cara penjualan (X6) yaitu: 0 adalah cara penjualan daun tembakau secara basah yang meliputi penjualan secara tebasan dan daun basah, sedangkan 1 adalah cara penjualan dengan menjual daun tembakau secara kering, ini berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani tembakau (Y). Terdapat perbedaan cara penjualan tembakau yang dilakukan oleh petani terhadap pendapatan petani tembakau. Kelompok petani tembakau yang menjual dengan cara penjualan kering memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menjual dengan sistem penjualan basah yaitu penjualan daun basah dan tebasan. Perbedaan ini diduga karena pada cara penjualan kering petani memperoleh tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menjual tembakau dengan cara basah. Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukan pada Tabel 4.2.7, bahwa petani yang menjual tembakau dengan cara kering memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menjual tembakau dengan cara basah. Cara penjualan yang sering dilakukan oleh petani tembakau terbagi atas 2 yaitu penjualan secara kering dan basah. Penjualan basah terbagi atas 2 yaitu penjualan daun basah dan penjualan secara tebasan. Petani yang melakukan penjualan kering memiliki keunggulan dimana jumlah pendapatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang melakukan penjualan tembakau dalam bentuk basah atau secara tebasan. Hal ini disebabkan oleh harga jual tembakau kering jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual tembakau basah atau secara tebasan. Namun petani yang menjual tembakau dalam bentuk kering memerlukan tenaga kerja yang banyak pada saat melakukan kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan kegiatan pasca panen yaitu pada saat

31 pengeringan dan perajangan. Oleh karena itu petani harus memiliki modal yang besar yang digunakan untuk pembelian pupuk, pestisida serta pembiayaan tenaga kerja. Petani yang menjual tembakau dalam bentuk basah sebagian besar merupakan petani kecil. Para petani tidak menjual tembakau dalam bentuk kering karena dengan alasan petani tidak memiliki modal yang besar untuk proses pembelian pupuk, pestisida dan pembiayaan tenaga kerja serta petani juga tidak mau mengambil resiko karena di Desa Batur pada saat panen yaitu pada bulan Agustus Oktober sering terjadi hujan, sehingga petani akan kesulitan dalam melakukan pengeringan tembakau. Petani yang tidak menjual tembakau secara kering memiliki keunggulan dimana petani tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk pembelian pupuk, pestisida atau menyewa tenaga kerja untuk kegiatan panen maupun pengeringan atau perajangan tembakau. Namun petani yang menjual secara basah juga memiliki kerugian dimana petani harus menjual tembakau dengan harga yang murah kepada tengkulak atau pengumpul. Petani yang menjual tembakau dalam bentuk kering sebagian besar menjual hasil produksi tembakau ke PT. Djarum yang berada di Magelang. Petani yang menjual kering sebagian besar merupakan petani yang berada dalam kelompok tani vertila yang dibentuk oleh PT. Djarum. Pada musim tanam tahun 2013 harga per kilo tembakau kering berkisar antara Rp.45.000,- s/d Rp.60.000,-. Sedangkan petani yang menjual tembakau dalam bentuk basah, harga tembakau berkisar antara Rp.5.000,- s/d Rp.6.000,-. Petani menjual tembakau basah biasanya menjual tembakau kepada pengumpul yang berasal dari Temanggung, Magelang, Wonosari, Parakan dan pengumpul dari Desa Batur. Selain itu terdapat pula petani yang menjual tembakau secara tebasan. Alasan petani menjual secara tebasan karena petani tidak memiliki modal untuk sewa tenaga kerja pada proses pemanenan dan perajangan serta petani tidak mau mengambil resiko karena keadaan cuaca di Desa Batur yang sering hujan ketika dilakukan proses pemanenan. Petani kecil tidak memiliki keahlian dalam melakukan perajangan serta tidak memiliki alat untuk proses perajagan dan pengiringan tembakau. Sistem pembayaran dalam proses penjualan tembakau yaitu dengan sistem cash atau tunai pada saat melakukan penjualan. Para petani tidak akan menjual tembakaunya jika pembayaran dilakukan dengan sistem mencicil (kredit). Hal ini terjadi karena petani pernah mengalami pengalaman dimana hasil penjualan tembakau tidak dibayar lunas oleh pembeli atau pengumpul.