II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

I. PENDAHULUAN. bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak

Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk organik cair

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. jerami padi dan feses sapi perah dengan berbagai tingkat nisbah C/N disajikan pada

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA II.

I. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

Macam macam mikroba pada biogas

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tinggi. Fakta ini menyebabkan kebutuhan yang tinggi akan protein hewani

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami

BAB 6. BAHAN ORGANIK DAN ORGANISME TANAH

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. limbah, mulai dari limbah industri makanan hingga industri furnitur yang

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Latar Belakang. Produktivitas padi nasional Indonesia dalam skala regional cukup tinggi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk

I. PENDAHULUAN. Kacang hijau merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak dibudidayakan

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada saat sekarang ini lahan pertanian semakin berkurang

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

BAB I PENDAHULUAN. Ternak ruminansia seperti kerbau, sapi, kambing dan domba sebagian besar bahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terutama diperkotaan. Budidaya jamur di Indonesia masih sangat

MAKALAH KIMIA ANALITIK

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya.

Transkripsi:

8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada proses atau kegiatan tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto, 2008). Selanjutnya dijelaskan batasan limbah peternakan dan limbah ternak, yaitu sebagai berikut: Limbah peternakan adalah bahan buangan yang dihasilkan dari sisa semua kegiatan yang dilakukan dalam usaha peternakan, sedangkan limbah ternak adalah bahan buangan yang dihasilkan dari sisa kegiatan metabolisme ternak, yang terdiri atas feses, urin, keringat dan sisa metabolisme yang lain. Perkembangan usaha peternakan yang selalu meningkat setiap tahunnya menyebabkan limbah yang dihasilkan semakin meningkat (Djaja, 2008). Pemanfaatan limbah ternak pada umumnya digunakan langsung sebagai pupuk kandang tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu, sehingga potensi yang cukup tinggi tersebut mempunyai nilai guna yang terbatas. Pengolahan limbah yang tepat dapat mengurangi dampak buruk yang dihasilkan terhadap lingkungan serta keuntungan yang diperoleh untuk mengurangi biaya produksi dalam usaha peternakan dan pertanian (Sudiarto, 2008). Oleh karena itu, pengetahuan mengenai karakteristik limbah ternak merupakan hal yang penting guna menetukan proses penanganan limbah yang tepat dan benar.

9 2.1.2. Litter Broiler Keberhasilan usaha peternakan ayam broiler ditentukan oleh bibit, pakan dan manajemen. perkandangan. Salah satu aspek dari manajemen adalah tatalaksana Kandang yang biasa digunakan dalam pemeliharaan ayam pedaging adalah kandang sistem litter (Achmanu dan Muharlien, 2011). Selanjutnya dijelaskan penggunaan alas kandang akan berpengaruh besar terhadap produktifitas unggas seperti pertambahan bobot badan dan produksi. Kandang yang lantainya diberi alas (litter) berfungsi untuk menyerap air, agar lantai kandang tidak basah oleh air minum dan kotoran ayam. Oleh karena itu bahan yang digunakan untuk litter harus mempunyai sifat mudah menyerap air, tidak berdebu dan tidak basah. Litter adalah suatu material alas lantai yang berfungsi sebagai penyerap, sehingga dapat mengurangi tingkat kebasahan lantai kandang, menyerap uap air, dan menyediakan lingkungan yang dapat membantu agar terjaga dari debu (Widodo, 2009). Bahan litter yang paling banyak digunakan pada peternakan ayam broiler di Indonesia yang menggunakan sistem litter adalah sekam (rice hull). Sekam paling banyak digunakan untuk alas kandang karena mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : penyerapan air baik, bebas debu, kering, mempunyai kepadatan (density) yang baik, memberi kehangatan kandang (Reed dan McCartney, 1970). Sekam padi adalah kulit biji padi berupa lapisan keras yang meliputi kariopsis, terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan beras, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Komposisi kimiawi sekam mengandung beberapa unsur kimia penting seperti kadar air 9,02 %, protein kasar

10 3,03 %, lemak 1,18 %, serat kasar 35,68 %, abu 17,1 7%, karbohidrat kasar 33,71 % (Sutanto, 2000). 2.2. Pengolahan Limbah Peternakan 2.2.1. Limbah Peternakan Sebagai Pupuk Organik Proses pengolahan limbah peternakan dapat menghasilkan pupuk organik alami yang sangat diperlukan sebagai sarana produksi bagi usaha pertanian, baik tanaman pangan, perkebunan ataupun tanaman hias (Sudiarto, 2008). Selanjutnya dinyatakan bahwa limbah peternakan merupakan sumber daya yang sangat potensial sebagai energi dan nutrisi mikroorganisme. Pemanfaatan limbah peternakan oleh mikroorganisme yaitu perombakan dari bahan organik senyawa kompleks (selulose, protein, lemak, pati) menjadi senyawa sederhana (asam amino, asam lemak, gula) disertai hasil ikutannya berupa enzim, hormon, mineral dan mikroorganisme dorman. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Kementan, 2006). Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006).

11 2.2.2 Limbah Peternakan Sebagai Sumber Energi Pemanfaatan feses ternak sebagai sumber energi diperoleh melalui fermentasi feses ternak menjadi biogas (Boyle,1976). Energi biogas ini merupakan campuran gas yang dihasilkan dari proses perombakan feses ternak sebagai bahan organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Pengolahan secara anaerob yang dilakukan oleh mikroorganisme tanpa kehadiran oksigen (O 2 ) akan merubah senyawa organik menjadi gas sebagai hasil akhir berupa gas metana (CH 4 ) dan karbondioksida (CO 2 ). Komposisi biogas yang berasal dari limbah organik adalah : gas metana (CH 4 ) 54-70 %, karbondioksida (CO 2 ) 27-45 %, nitrogen (N 2 ) 0,5-3 %, karbon monoksida (CO) 0,1 %, oksigen (O 2 ) 0,1-1% dan hidrogen sulfida (H 2 S) 1000-2000 ppm (Filino Harahap, dkk 1978). 2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan Pengomposan merupakan proses dekomposisi secara biologis yang mengkonversi bahan organik (BO) padat menjadi stabil (humus) yang digunakan sebagai pupuk (Gaur, 1983). Dekomposisi sendiri merupakan proses penguraian bahan organik yang berasal dari hewan dan tumbuhan yang dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme menjadi zat hara sebagai nutrisi bagi tumbuhan. Faktor faktor yang memperlambat atau menghentikan pertumbuhan mikroba juga menghambat proses pengomposan adalah nisbah C/N, aerasi, kadar air dan temperatur (Prihandrijanti, 2006).

12 2.3.1. Nisbah C/N Nisbah C/N merupakan faktor penting dalam proses pengomposan, hal ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel, dan nitrogen untuk membentuk sel. Aktivitas mikoorganisme memerlukan unsur karbon dan nitrogen dalam jumlah yang seimbang untuk melakukan perombakan bahan komposan, karena pada kondisi ideal dimana kadar C dan N terpenuhi, maka aktivitas perombakan bahan organik atau penyusutan bahan komposan akan berjalan dengan baik (Yurmiati dan Hidayati2008). Nisbah C/N yang terlalu tinggi menyebabkan laju pengomposan berjalan lambat dan dapat menyebabkan suasana pengomposan terlalu asam, sedangkan bila terlalu rendah menyebabkan terjadinya kehilangan nitrogen dalam bentuk gas amonia, akibatnya dapat meracuni dan mematikan jenis mikroba yang diperlukan dalam pengomposan (CSIRO, 1979). Nisbah C/N kurang dari 26 menyebabkan terjadinya peningkatkan kehilangan nitrogen yang berubah menjadi amonia, sedangkan jika nisbah C/N lebih dari 35 menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lama (Merkel 1981). Kisaran nisbah C/N yang baik untuk dikomposkan berkisar 25-30 (Trautmann dan Olynciw, 2003). 2.3.2. Aerasi Oksigen diperlukan mikroba untuk menguraikan limbah organik secara efisien (Prihandrijanti, 2006). Mikroorganisme mengoksidasi karbon untuk energi dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen yang tidak tercukupi mengakibatkan proses akan menjadi anaerobik dan menghasilkan bau yang tidak diinginkan, seperti bau telur busuk dari gas hidrogen

13 sulfida (Obeng and Wright, 1987 dalam prihandrijanti, 2006). Dekomposisi dapat terjadi dalam kondisi tanpa oksigen (kondisi anaerobik). Pengomposan tanpa oksigen tidak dianjurkan karena permasalahan bau yang ditimbulkan, kecuali proses dilakukan dalam sistem sepenuhnya tertutup. 2.3.3. Kadar Air Penambahan air penting untuk pengkondisian substrat yang kering agar terbebas dari kurangnya kadar air. Kompos kering tidak akan terurai secara efisien dan kelebihan air juga dapat menyebabkan kondisi anaerobik yang memperlambat proses degradasi dan menyebabkan bau busuk. Kadar air sangat penting untuk mempertahankan aktivitas mikroorganisme dalam menjalankan aktivitasnya. Kisaran kadar air yang umumnya dianggap paling baik untuk pengomposan adalah 50 sampai 60 %. Aktivitas mikroorganisme akan menurun dan mikroorganisme akan menjadi tidak aktif jika kadar air turun di bawah tingkat kritis (<30 %) dan kadar air yang terlalu tinggi (> 65 %) dapat menyebabkan penipisan oksigen dan hilangnya nutrisi yang terlarut dalam air (Ryckeboer dkk, 2003). 2.3.4. Suhu Suhu tumpukan kompos sangat penting selama berlangsungnya aktivitas biologis yang dilakukan mikroorganisme pengurai (Prihandrijanti,2006). Suatu proses fermentasi yang terkendali, suhu akan meningkat secara bertahap mulai dari suhu mesofilik atau suhu awal yaitu <40 0 C kemudian meningkat sampai suhu thermofilik (40-70 0 C) dan kemudian turun kembali menjadi <40 0 C. Peningkatan suhu tersebut menyebabkan proses fermentasi mampu membunuh

14 bakteri yang bersifat thermofilik dan patogen seperti bakteri kelompok koliform yaitu Salmonella, Shigellae, dan Escherichia coli (Rusdi dan Kurnani, 1994). 2.4. Karakteristik Jerami Padi Jerami padi merupakan bagian dari batang padi tanpa akar yang tertinggal setelah diambil biji buahnya. Jerami merupakan komponen terbesar biomassa tanaman padi (Mahmoud dkk, 2009). Batang padi sebagian besar terdiri dari selsel berdinding tebal dengan isi sel yang lebih sedikit dari tanaman lain. Setiap sel tumbuhan terdiri dari isi sel dan dinding sel. Isi sel mengandung zat-zat makanan organik seperti lemak, protein, dan karbohidrat, sedangkan dinding sel lebih banyak mengandung serat kasar. Komponen serat kasar dalam dinding sel jerami padi yaitu 30 sampai 51 % selulosa, 6 sampai 28 % hemiselulosa dan lignin 4 sampai 10 % bahan kering (Doyle, 1986). Jerami berfungsi sebagai sumber karbon dalam zat arang atau karbon (C) yang terdapat di seluruh bahan organik. Komponen terbesar penyusun jerami padi adalah selulosa (35-50 %), hemiselulosa (20-35 %) dan lignin (10-25 %) dan zat lain penyusun jerami padi (Saha, 2004) Pemanfaatan substrat jerami padi dapat dilakukan sebagai media fermentasi yang banyak mengandung selulosa untuk pertumbuhaan mikroorganisme memiliki prospek yang cerah di masa yang akan datang, karena memberikan alternatif biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan pembuatan enzim dengan menggunakan bahan-bahan kimia sintetik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. jerami memiliki 40 % karbon, 0,5 % nitrogendan kadar air sekitar 25 % (Gaur, 1983). Unsur hara ini akan menjadi sumber makanan mikroorganisme dalam proses pengomposan.

15 2.5. Penurunan Nisbah C/N Pengomposan adalah proses perombakan (dekomposisi) bahan-bahan organik dengan memanfaatkan peran atau aktivitas mikroorganisme. Bahan-bahan organik akan diubah menjadi pupuk kompos yang kaya dengan unsur-unsur hara baik makro ataupun mikro yang sangat diperlukan oleh tanaman. Tujuan dari pengomposan adalah menurunkan nisbah C/N bahan organik dan mengubah bahan yang bersifat organik menjadi anorganik atau bahan yang siap diserap oleh tumbuhan (Makarim dkk., 2007). Dekomposisi awal pada proses pengomposan akan mengubah kandungan unsur hara dalam substrat yang tercermin dari penurunan C/N bahan komposan. Oleh karena itu, penurunan C/N yang terjadi harus sesuai dengan persyaratan standar kualitas kompos. Nisbah C/N yang direkomendasikan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk persyaratan pupuk organik padat adalah 10 20 (SNI 19-7030-2004) Nisbah C/N pada campuran bahan bahan organik yang seimbang dapat mempercepat terjadinya proses dekomposisi, ini dapat dilihat dari menurunnya nilai C-organik, sehingga menyebabkan nilai C/N rendah (Supadma dan Arthagama, 2008). Limbah kotoran ayam yang dikomposkan selama 2 minggu pada lingkungan artifisial mengalami penurunan C/N sebesar 4,06 (Yulipriyanto, 2005). Hal ini menunjukan adanya degradasi yang dilakukan oleh mikroorganime pengurai, semakin banyak mikroorganisme yang bekerja semakin tinggi penurunannya. Kandungan C/N yang terkandung dalam substrat akan digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber kebutuhan hidup, jika kandungan nutrisi substrat seimbang dengan jumlah mikroorganisme maka proses degaradasi berjalan baik dan memberikan hasil yang berkualitas (Hidayati dkk, 2010).

16 2.6. Penyusutan Bahan Komposan Dekomposisi bahan organik merupakan mekanisme awal pada proses pengomposan. Prinsip dasar dalam proses pengomposan adalah terjadinya penguraian bahan organik oleh sejumlah besar mikroorganisme pengurai, dalam lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik dengan hasil akhir berupa kompos (Supadma dan Arthagama, 2008). Bobot dan isi bahan dasar kompos akan berkurang antara 40 60 %, tergantung bahan dasar kompos dan proses pengomposannya (Musnamar, 2007). Pengomposan secara aerobik akan mengurangi bahan komposan sebesar 50 % dari bobot awalnya (Yurmiati dan Hidayati 2008). Pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme pengurai sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi yang terkandung di dalam bahan komposan. Kandungan nutrisi tersebut dicerminkan oleh keseimbangan kadar karbon sebagai sumber energi dan kadar nitrogen sebagai zat pembentuk dan perbanyakan sel. Apabila nisbah C/N tinggi, maka akan terjadi kemungkinan kekurangan unsur nitrogen dan berlebihnya unsur karbon yang tidak terdegradasi dan tertinggal di dalam substrat (pupuk organik kompos) (Tchobanoglous, dkk. 1993 dalam Yurmiati, 2011). Lebih lanjut dinyatakan bahwa apabila nisbah C/N komposan dalam keseimbangan, maka unsur nitrogen sangat efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan sel, dan unsur karbon tidak tersisa, sehingga penyusutan bahan komposan akan lebih baik.