Dari hasil analisi sensitivitas, maka diketahui bahwa air merupakan paremater yang paling sensitif terhadap produksi jagung, selanjutnya berturut-turut adalah benih, pupuk, penanganan pasca panen, pengendalian OPT dan penyuluhan. Hasil uji sensitivitas dapat dijadikan skala prioritas dalam pengambilan kebijakan. 3.4. HASIL ANALISIS Hasil analisis berdasarkan perilaku model jagung yang dibangun pada aspek sensitivitas menunjukkan adanya 6 variabel yang dapat dikategorikan sebagai leverage factors yaitu: air, benih, pupuk, penanganan pasca panen, pengendalian organisme pengganggu (OPT), dan penyuluhan. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mencapai swasembada jagung berkelanjutan, kebijakan pemerintah menjadikan faktor-faktor tersebut sebagai bahan pertimbangan utama karena perubahan yang dilakukan pada faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi produksi jagung secara nasional. Evaluasi model pada tahun 2012, dengan kondisi existing (gambar 3.6.) dimana luas lahan jagung sekitar 3 996 973 ha, produktivitas ratarata 5,45 ton/ha, penggunaan benih jagung Hibrida 54%, susut pasca panen 5,20%, aplikasi pemupukan 46%, tanpa peningkatan pengendalian OPT, tanpa penambahan ketersediaan air dan tidak ada peningkatan sosialisasi melalui penyuluhan, maka produksi jagung pada tahun 2013 sebanyak 20 358 254 ton dan pada tahun 2014 sebanyak 21 770 856 ton. Capaian produksi ini masih dibawah target swasembada berkelanjutan dengan sasaran produksi sebanyak 29 000 000 ton. Untuk mencapai produksi yang ditargetkan, dilakukan simulasi pada leverage factors yang memungkinkan untuk diterapkan pada semua pelaku produksi jagung. 50
LUAS LAHAN (Ha) 3.996.973,00 PRODUKTIVITAS (ton/ha) 5,45 PRODUKSI (ton) 21.770.856,43 PENAMBAHAN AIR PADA LAHAN 20.000.000 ADOPSI REKOMENDASI PUPUK 46,00 HIBRIDA 54,00 SUSUT PASCA PANEN 5,20 Produksi (ton) 15.000.000 10.000.000 5.000.000 KEBUTUHAN PRODUKSI PENGENDALIAN OPT PENYULUHAN 0 2.012 2.013 2.014 Tahun Gambar 3.6: Hasil simulasi model pada kondisi eksisting Pada simulasi model (gambar 3.7), luas lahan jagung ditingkatkan menjadi 4.996.215 ha dengan cara penyediaan air melalui pembuatan embung dan pompanisasi di 25% lahan, produktivitas ditingkatkan menjadi 5,82 ton/ha melalui penggunaan benih hibrida sebanyak 80%, adopsi rekomendasi pupuk ditingkatkan dari semula 46 menjadi 54%, pengendalian OPT lebih diintesifkan sebesar 10% luas lahan dimana angka ini merupakan angka rata-rata serangan OPT terhadap luas lahan, penyuluhan lebih intensif dan meningkat sampai 10%, dan sarana/prasarana pasca panen lebih baik sehingga susut panen turun menjadi 4,2% dari semula 5,2%. Dengan simulasi tersebut, produksi jagung pada tahun 2013 sebanyak 21.317.315 ton dan pada tahun 2014 sebanyak 29.374.400 ton. Untuk mencapai luas lahan 4 996 215 ha, tidak dilakukan pencetakan lahan untuk jagung, tetapi dengan meningkatkan Indeks Pertanaman Jagung (IP Jagung) pada lahan kering iklim basah yang memungkinkan ditanami jagung pada musim kering/kemarau I dari 51
IP100 menjadi IP200 atau setara dengan luas tanam 1 000 000 ha. Lahan yang ditingkatkan IP nya dipadukan dengan sentra pabrik pakan selaku konsumen utama jagung di Indonesia. Berdasarkan data Database Jagung Tahun 2009, lahan kering iklim basah yang bisa ditingkatkan IP nya adalah provinsi Aceh seluas 119 ha, Sumatera Barat 178 ha untuk memenuhi pabrik pakan di Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Selatan seluas 509 ha, Lampung 167 ha, Jawa Barat 177 ha untuk memenuhi pabrik pakan di Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah seluas 271 ha, dan Jawa Timur seluas 220 ha untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan di Jawa Timur (Direktorat Budidaya Serelia, 2011). LUAS LAHAN (Ha) 4.996.215,75 PRODUKTIVITAS (Ton/Ha) 5,82 PRODUKSI (Ton) 29.374.400,08 PENAMBAHAN AIR PADA LAHAN 30.000.000 ADOPSI REKOMENDASI PUPUK 25,00 25.000.000 54,00 HIBRIDA 8 SUSUT PASCA PANEN 4,20 Produksi (Ton) 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000 KEBUTUHAN PRODUKSI PENGENDALIAN OPT 1 PENYULUHAN 1 0 2.012 2.013 2.014 Tahun Gambar 3.7: Simulasi model pencapaian swasembada jagung dengan produksi 29 juta ton pada tahun 2014 Pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada ketersediaan air sepanjang siklus hidupnya. Pada model ini, penyediaan air untuk tanaman jagung ditingkatkan sampai 25% dengan cara mengoptimalkan 52
teknologi pemanenan air hujan dengan pembuatan embung/ long storage, dan pembuatan pompa irigasi. Dengan strategi tersebut, dibutuhkan pembuatan embung/long storage dan pompa sebanyak 269.129 unit pada tahun 2012;67.282 unit pada tahun 2013. Produktivitas lahan ditingkatkan menjadi 5,82 ton/ha diperoleh dengan meningkatkan penggunaan benih jagung hibrida sampai 80% terhadap kebutuhan benih total. Dengan peningkatan tersebut, kebutuhan benih jagung hibrida pada tahun 2012 dan 2013 sebanyak 47.963 ton, dan pada tahun 2014 sebanyak 59.954 ton. Adanya keterbatasan kemampuan penyediaan benih jagung hibrida, perlu dilakukan peningkatan kapasitas penyediaan benih jagung hibrida baik oleh pemerintah maupun swasta nasional dengan membentuk networking yang lebih luas dan kelembagaan yang lebih kuat. Jika dilakukan subsidi sebesar 25% maka total kebutuhan benih tahun 2012 dan 2013 adalah sebesar 14.989 ton dan 2014 sebesar 18.735 ton. Penanganan biji jagung pipilan untuk mencapai kadar air sekitar 17% belum banyak mendapat perhatian dari petani sehingga susut/rusak biji setelah disimpan masih relatif tinggi yaitu 5,2%. Model mengindikasikan susut pasca panen sekitar 4,2% atau turun 1% dengan penyediaan cornsheller, memperbaiki/membuat mesin pengering baru, dan membuat silo masing-masing sebanyak 1.653 unit, 5.500 unit, dan 2.025 unit pada tahun 2013 dan masing-masing sebanyak 5.500 unit, 1.653 unit, dan 2.025 unit pada tahun 2014. Peningkatan produksi jagung tidak terlepas dari penggunaan pupuk dimana untuk mencapai produksi yang sudah ditargetkan, penggunaan pupuk sesuai rekomendasi perlu ditingkatkan menjadi 54%. Peningkatan tersebut setara dengan kebutuhan pupuk organik pada tahun 2012 dan 2013 adalah 3.197.578 ton; tahun 2014 dibutuhkan 3.996.973 ton; kebutuhan pupuk anorganik; 2012 dan 2013 sebesar 53
479.636.760 ton urea dan 319.757.840 ton NPK; pada tahun 2014 dibutuhkan 599.545.890 ton urea dan 399.697.260 ton NPK. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) juga menjadi faktor penentu dalam mengoptimalkan produksi jagung. Berdasarkan kondisi tahun-tahun sebelumnya, maka perkiraan luasan lahan yang terkena serangan OPT dan lahan yang puso adalah sebesar 10%, sehingga agar produksi jagung optimal, diperlukan peningkatan penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT sebanyak 10% atau setara dengan pestisida sebanyak 599.545 liter pada tahun 2012 dan 2013 dan sebanyak 749.432 liter pada tahun 2014. Penyuluhan teknologi pertanian ke pengguna teknologi (petani, badan usaha swasta, dll) untuk mempercepat perluasan adopsi teknolgi semakin menjadi penting, terlebih lagi pada geografis Indonesia yang sangat luas, terdiri dari banyak pulau. Model yang dibangun mengindikasikan adanya peningkatan aspek penyuluhan sebanyak 10%. Strategi yang bisa ditempuh adalah dengan merevitalisasi kelembagaan dan kapasitas penyuluh pertanian yang sudah tersebar pada sentrasentra pertanian di seluruh Indonesia. Implementasi dari revitalisasi penyuluhan pertanian tersebut memerlukan dana sebanyak Rp. 257,34 milliar setiap tahunnya (tahun 2012, 2013, dan 2014). 3.5. REKOMENDASI KEBIJAKAN Agar target yang telah dicanangkan yaitu pencapaian swasembada jagung secara berkelanjutan pada tahun 2014 dapat diwujudkan maka hasil analisis berdasarkan system dynamics jagung ini merekomendasikan kebijakan sebagai berikut: 1. Peningkatan ketersediaan air pada 25% lahan melalui penyediaan pompa,dengan total kebutuhan pompa 336.441 unit. 54