ANALISIS DAN PEMETAAN PARTISIPATIF SUMBER DAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA TRI YULIANI DECRITIA SIREGAR

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. METODE PENELITIAN

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

3 METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

C E =... 8 FPI =... 9 P

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

BAB III BAHAN DAN METODE

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

3. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

3. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

3.1. Waktu dan Tempat

FAKTOR-FAKTOR INPUT BAGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis, Cantor 1849) DI TELUK PALABUHANRATU, SUKABUMI RIZKA SARI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

POTENSI LESTARI DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN KURISI (Nemipterus sp.) YANG DIDARATKAN PADA PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SUNGAILIAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Tangkapan Lestari dan Pola Musim Penangkapan Cumi-Cumi di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat-Bangka

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS MUSIM PENANGKAPAN DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYUR (TRICHIURUS SP) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS SUMBER DAYA IKAN KURISI (Nemipterus japonicus BLOCH 1791) YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU NISA AGUSTINA

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

3. METODE PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

3 METODOLOGI PENELITIAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

3. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

IV. METODE PENELITIAN. Model merupakan abstraksi atau simplifikasi dari dunia nyata. Model

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Transkripsi:

ANALISIS DAN PEMETAAN PARTISIPATIF SUMBER DAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA TRI YULIANI DECRITIA SIREGAR DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis dan Pemetaan Partisipatif Sumber Daya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di PPI Pulau Pramuka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2014 Tri Yuliani Decritia Siregar NIM C24100085

ABSTRAK TRI YULIANI DECRITIA SIREGAR. Analisis dan Pemetaan Partisipatif Sumber Daya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di PPI Pulau Pramuka. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan M MUKHLIS KAMAL Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan ikan ekonomis penting dan tangkapan dominan yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka. Ikan ekor kuning ditangkap menggunakan alat tangkap seperti jaring payang, jaring insang, bubu, pancing biasa, pancing tonda, dan jaring muroami. Jaring muroami merupakan alat tangkap yang tidak selektif dan bersifat destruktif. Tujuan dari penelitian ini menentukan pola produksi, musim penangkapan, mengidentifikasi daerah penangkapan Caesio cuning, dan mengidentifikasi pola pengelolaan ikan ekor kuning. Produksi tangkapan harian ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka berfluktuasi setiap hari. Daerah tangkapan dominan harian dan mingguan berada pada site yang sama. Musim penangkapan ikan ekor kuning dilakukan pada bulan Mei-Oktober. Ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu mengalami tangkap lebih secara biologi. Pengelolaan ikan ekor kuning dapat dilakukan dengan membatasi jumlah hasil tangkapan dan jumlah trip penangkapan ikan ekor kuning, melakukan penutupan disertai dengan mengintroduksi induk dan juwana, serta adanya artificial reef. Kata kunci: Caesio cuning, muroami, musim penangkapan, saran pengelolaan, skala Beaufort. ABSTRACT TRI YULIANI DECRITIA SIREGAR. Analysis and Participatory Mapping Resource Yellow Tail Fusilier Fish (Caesio cuning) landed on Fish Landing Base Pramuka Island. Supervised by LUKY ADRIANTO and M MUKHLIS KAMAL. Yellow tail fusilier fish (Caesio cuning) is an economically important fish and dominant catches landed on PPI in Pramuka Island. Yellow tail fusilier fishes were caught using gear gillnet, trap net, hand lines, troling line, and muroamis. Muroami are not selective and destructive gear. This study was aimed to determine the patterns of production, fishing season, and to identify fishing areas of Caesio cuning, as well as identifying yellow tail fusilier fishes management. Daily production of yellow tail fishes catch at PPI in Pramuka Island is fluctuating. Daily and weekly dominant fishing ground is at the same site. Yellow tail fusilier fishing season is in May-October. Yellow tail fusilier fishes in the Seribu Islands waters was in a biological overfishing condition. The management of yellow tail fusilier can be done with limiting the catch and the number of yellow tail fishing trips, closing area can be implemented with the combination of introducing brooder and juvenile, as well as the artificial reef. Keywords: Caesio cuning, muroami, fishing season, Beaufort scale, management advice.

ANALISIS DAN PEMETAAN PARTISIPATIF SUMBER DAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA TRI YULIANI DECRITIA SIREGAR Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Judul Skripsi : Analisis dan Pemetaan Partisipatif Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di PPI Pulau Pramuka Nama : Tri Yuliani Decritia Siregar NIM : C24100085 Program Studi : Manajemen Sumber Daya Perairan Disetujui oleh Dr Ir Luky Adrianto, MSc Pembimbing I Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerah-nya sehingga penyusunan Skripsi yang berjudul Analisis dan Pemetaan Partisipatif Sumber Daya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di PPI Pulau Pramuka ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan Skripsi ini, terutama kepada: 1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk studi 2. Bapak Untung dan Bapak Suwarna, serta seluruh pegawai Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKPS) 3. Bapak Wawan dan Bapak Arifin beserta seluruh pegawai Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu. 4. Seluruh Bapak Nelayan beserta keluarga 5. Bapak Furqon dan Ibu Willy selaku pegawai Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Divisi Maritim. 6. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing akademik 7. Dr Ir Luky Adrianto, MSc sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Mukhlis Kamal, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. 8. Ir Gatot Yulianto, MSi selaku penguji tamu dan Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan atas saran dan masukan yang sangat berarti. 9. Ir Friston Siregar, MP (Ayah), Irbawati Saragih, BA (Ibu), Hotchanna De Grace Siregar (kakak), Fernando Marpaung (abang), Joy Martin Siregar (abang), Keluarga besar Siregar dan Saragih, serta Herbeth Marpaung atas atas kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril ataupun materil. 11. Ayu, Susi, Sari, Lisa, serta seluruh anak Manajemen Sumber Daya Perairan 47. 12. Seluruh civitas Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi tersebut. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2014 Tri Yuliani Decritia Siregar

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Lokasi dan Waktu 2 Pengumpulan Data 3 Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Hasil 9 Pembahasan 20 KESIMPULAN DAN SARAN 25 Kesimpulan 25 Saran 26 DAFTAR PUSTAKA 26 LAMPIRAN 28 RIWAYAT HIDUP 32

DAFTAR TABEL 1 Rangkuman kebutuhan dan analisis data 4 2 Analisis Beaufort 9 3 Hasil pendekatan model Schaefer dan Fox 15 DAFTAR GAMBAR 1 Lokasi Penelitian di PPI Pulau Pramuka 3 2 Ikan ekor kuning (Caesio cuning) 10 3 Grafik sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning 10 4 Hasil tangkapan dari lima kapal yang mendaratkan ikan ekor kuning 11 5 Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ikan ekor kuning trip harian 12 6 Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ikan ekor kuning trip mingguan 13 7 Pengoperasian alat tangkap muroami 14 8 Hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan ekor kuning setiap bulan dari tahun 2005-2012 14 9 Hasil tangkapan per upaya tangkap (Catch per Unit Effort) 15 10 Hubungan antara Ln CPUE dengan effort 16 11 Hubungan antara CPUE dengan effort 16 12 Model Fox 17 13 Model Schaefer 17 14 Grafik analisis CPUE dan RPUE ikan ekor kuning 18 15 Nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) ikan ekor kuning 18 16 Grafik tinggi gelombang dan kecepatan arus Kepulauan Seribu tahun 2007-2013 17 DAFTAR LAMPIRAN 1 Alat penangkapan ikan muroami 28 2 Kuisioner Inventarisasi Data Wawancara 28 3 Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning 29 4 Standarisasi alat tangkap 30 5 Aktivitas penangkapan yang berbahaya bagi nelayan muroami 30 6 Kondisi terumbu karang di Pulau Tidung 30 7 Peta kerja wilayah SPTN III TNKPS 31 8 Hasil regresi model Fox 32 9 Hasil regresi model Schaefer 32

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKps) merupakan kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang secara geografis terletak pada 5 24-5 45 LS dan 106 25-106 40 BT. Pulau Pramuka merupakan pusat administrasi dan pemerintahan Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pulau Pramuka memiliki luas 2.000 m 2. Ikan yang menjadi target nelayan di Pulau Pramuka ialah ikan ekor kuning. Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan sumber daya ikan karang. Ikan ekor kuning dapat hidup di kedalaman 0-40 m. Sifat dari ikan ekor kuning seperti bergerombol (schooling), berenang dengan cepat (fast swimming), memakan zooplankton, dan dapat ditemukan di tubir laut (Padate et al. 2010). Ikan ekor kuning memiliki nama umum berupa Redbelly Yellow Tail Fusilier Fish (Reader et al. 1996). Daerah penyebarannya meliputi perairan laut tropis di perairan karang seluruh Indonesia, Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, bagian Selatan Ryukyu (Jepang), dan Perairan Tropis Australia (Subani dan Barus 1989). Ikan ekor kuning biasanya ditangkap menggunakan jaring payang, jaring pancing, bagan tancap, jaring tonda, bubu, serta muroami. Hasil tangkapan ikan ekor kuning terbesar di PPI Pulau Pramuka berasal dari nelayan muroami. Metode penangkapan ikan menggunakan muroami digolongkan ke dalam drive-in net (Subani dan Barus 1989). Menurut PERMENKP RI No. 02 Tahun 2011 pada Bab V Pasal 29 (11), muroami dilarang beroperasi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI). Muroami dilarang karena selektifitasnya rendah, serta proses pengoperasiannya di karang dengan beberapa penyelam menyebabkan alat tangkap tersebut juga tidak ramah lingkungan. Proses penangkapan dilakukan dengan cara menggiring jaring sambil menginjak terumbu karang, sehingga menyebabkan ekosistem terumbu karang rusak, serta dapat mengancam kelangsungan hidup dari ikan-ikan karang lainnya. Perubahan lingkungan atau aktivitas langsung merusak dapat menyebabkan perubahan di ekosistem terumbu karang (Lapointe 1992 in Faizal et al. 2012). Pengoperasian alat tangkap muroami juga membahayakan nelayan muroami tersebut, dikarenakan akan menyebabkan penyakit dekompresi. Produksi ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu cenderung meningkat pada beberapa tahun terakhir dan masih memegang peranan penting dalam memenuhi permintaan para konsumen di pasar. Permintaan masyarakat terhadap ikan ekor kuning menyebabkan peningkatan produksi penangkapan ikan ekor kuning dengan muroami. Upaya penerapan aturan pemakaian muroami di Kepulauan Seribu juga tidak diindahkan oleh nelayan dan instansi. Jika hal ini terus terjadi, maka potensi sumber daya ikan ekor kuning akan mengalami penurunan dan menyebabkan kematian nelayan muroami semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumber daya ikan ekor kuning dan penerapan aturan pemakaian muroami yang tepat khususnya di Pulau Pramuka agar sumber daya tersebut tetap lestari.

2 Perumusan Masalah Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan kawasan pelestarian alam bahari, dimana didalamnya terdapat PPI Pulau Pramuka. Ikan ekor kuning merupakan ikan yang bernilai ekonomis tinggi di Kepulauan Seribu, khususnya di Pulau Pramuka. Kondisi yang terjadi di Perairan Kepulauan Seribu berupa tekanan penangkapan yang tinggi, penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem terumbu karang dan berbahaya bagi nelayan, serta belum adanya kegiatan budidaya. Kondisi terumbu karang yang rusak dapat menyebabkan habitat dan sumber makanan ikan-ikan karang hilang. Hal ini dapat menyebabkan penurunan potensi sumber daya ikan ekor kuning di perairan Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pengelolaan agar pemanfaatan ikan ekor kuning yang berkelanjutan dapat tercapai. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika hasil tangkapan ikan ekor kuning, sedangkan tujuan khusus penelitian ini untuk: 1. Menentukan pola produksi ikan ekor kuning 2. Mengidentifikasi daerah tangkapan di sekitar Pulau Pramuka 3. Menentukan pola musim penangkapan ikan ekor kuning 4. Mengidentifikasi pola pengelolaan yang tepat bagi ikan ekor kuning (Caesio cuning) yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan informasi mengenai pemetaan daerah penangkapan, pola penangkapan ikan ekor kuning, pola musim penangkapan ikan ekor kuning, hasil tangkapan ikan ekor kuning harian dan beberapa tahun terakhir, serta pengelolaan sumber daya ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu. METODE Lokasi dan Waktu Pengambilan contoh ikan ekor kuning (Caesio cuning) dilakukan di PPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. (Gambar 1). Pengumpulan data primer (Tabel 1) yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka dilakukan mulai tanggal 24 Juli 2013 sampai dengan 30 Agustus 2013, sedangkan pengambilan data sekunder (Tabel 1) diambil pada bulan September-November 2013.

3 Gambar 1 Lokasi Penelitian di PPI Pulau Pramuka Pengumpulan Data Data primer Pengumpulan data untuk pemetaan partisipatif sederhana dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling secara langsung. Wawancara dilakukan pada responden utama (nelayan muroami) untuk mengetahui hasil tangkapan dan daerah penangkapan per trip selama 23 hari (Lampiran 2). Data panjang ikan ekor kuning diambil secara penarikan contoh acak sederhana (PCAS) dari setiap nelayan muroami dan diukur menggunakan alat pengukuran. Kondisi terumbu karang dan proses penangkapan diketahui dengan SCUBA (Self Containing Underwater Breathing Aparatus) Diving, dan underwater camera. Data sekunder Data sekunder diperoleh dari kantor Suku Dinas Kelautan dan Perikanan TNKps berupa data hasil tangkapan berkala (time series) dan upaya penangkapan (effort) ikan ekor kuning. Data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berupa data kecepatan arus dan tinggi gelombang. Rangkuman kebutuhan dan analisis data yang diperlukan tertuang dalam Tabel 1. Data-data tersebut akan diolah dengan menggunakan Microsoft Excel.

4 Tabel 1 Rangkuman kebutuhan dan analisis data No Tujuan Analisis Data Data 1 Mengetahui pola produksi ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka Analisis time series 1. Produksi ikan ekor kuning (S) 2. Harga ikan ekor kuning (S) 3. Biomassa dan panjang ikan per trip (P) 2 Mengetahui daerah tangkapan ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka 3 Mengetahui proses penangkapan ikan ekor kor kuning dan kondisi terumbu karang 4 Mengetahui pola musim penangkapan ikan ekor kuning 5 Mengidentifikasi pengelolaan yang tepat bagi ikan ekor kuning 6 Mengetahui kekuatan angin berdasarkan pengaruh pada obyek yang dikenainya Pemetaan partisipatif Metode foto bawah air Wawancara (P) Hasil dokumentasi IMP i = RBB i x FK CPUE (S) 1. Model Produksi Surplus Schaefer 2. Model Produksi Surplus Fox 3. CPUE = C/F 4. RPUE = CPUE x P Analisis Beaufort 1. Produksi ikan ekor kuning (S) 2. Usaha penangkapan ikan ekor kuning (S) 3. Harga ikan ekor kuning (S) 1. Kecepatan arus (S) 2. Tinggi gelombang (S) Keterangan: P = Primer S = Sekunder CPUE = Catch per unit of effort (hasil tangkapan per satuan upaya) C = Catch (hasil tangkapan) P = Price (harga) F = Fishing effort (upaya penangkapan) IMP i = Indeks musim penangkapan bulan ke-i RBB i = Rasio rata-rata untuk bulan ke-i FK = Faktor koreksi RPUE = Revenue per unit of effort

5 Analisis Data Analisis Spasial Sederhana Analisis spasial sederhana merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui sebaran daerah penangkapan ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menentukan daerah sebaran penangkapan ikan ekor kuning adalah sebagai berikut. 1. Penentuan banyaknya jumlah responden 2. Pembuatan peta dasar lokasi penelitian 3. Pembuatan lokasi-lokasi penangkapan 4. Formulasi pola daerah penangkapan Sebaran Frekuensi Panjang Analisis sebaran frekuensi panjang ikan dilakukan menggunakan data panjang total ikan yang ditangkap. Analisis data fekuensi panjang ikan: 1. Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan 2. Menentukan lebar selang kelas 3. Menentukan kelas frekuensi dan memasukan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang serta masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan. Standarisasi Alat Tangkap Standarisasi terhadap alat tangkap bertujuan untuk menyeragamkan satuansatuan upaya yang berbeda. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power index (FPI) = 1 (Tinungki 2005). Adapun nilai fishing power index (FPI) jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUE alat tangkap lain) dengan CPUE alat tangkap standar. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya penangkapan standar alat tersebut. i i (1) CPUE s = s (nilai CPUE terbesar) (2) s FPI s = FPI i = s s i i 1 (3) (4) Upaya standar i = FPI i x f i (5) Upaya standar s = FPI s x f s (6) Upaya standar total = ( I i x f i ) + (FPI s x f s ) (7) Keterangan: CPUE s = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar CPUE i = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i

6 C s C i F s F i FPI s FPI i = jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar = jumlah tangkapan jenis alat tangkap i = jumlah upaya jenis alat tangkap standar = jumlah upaya jenis alat tangkap i = faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar = faktor daya tangkap jenis alat tangkap i Analisis Model Produksi Surplus Analisis model produksi surplus merupakan analisis produksi maksimum lestari perikanan atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dilakukan dengan menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer yaitu hubungan linier antara hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dengan upaya penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Penentuan tingkat upaya penangkapan optimum (f MSY ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1957) dapat diketahui melalui persamaan berikut. q k f - q2 k f 2 (8) r atau dapat disederhanakan menjadi: Y = a f- f 2 (9) f optimum dan MSY diduga dengan rumus: f ms k 2q q r qr 2q 2 r 2 a (10) Keterangan: k = daya dukung (ton/tahun) q = koefisien ketertangkapan (ton/trip) r = laju pertumbuhan intrinsik (%/tahun) f msy = upaya pada kondisi MSY Y = hasil tangkapan (ton) f optimum = a/2b disubstitusikan kedalam persamaan (8) dapat diperoleh estimasi dari MSY sebagai berikut. S a a 2 - ( a 2 )2 (11) Model Fox merupakan model eksponensial yang menghasilkan garis i lengkung apabila secara langsung diplot terhadap upaya f t, akan tetapi apabila f i i f i diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya, maka akan menghasilkan garis lurus dengan persamaan sebagai berikut. ln i f i = 0 1f i (12) CPUE = i = exp ( f 0 i 1f i ) (13)

7 log f e (a - f (14) y = f d (- f (15) MSY dan upaya optimumnya (f MSY ) diduga dengan rumus: fmsy = -1 (16) MSY = -1 e (d-1 (17) Model Fox diduga melalui persamaan regresi linear 0 1, dengan ln CPUE sebagai absis (x), f i sebagai ordinat (y). a dan adalah konstanta dalam regresi log CPUE pada f dengan menggunakan Ms. Excel. Analisis Hasil Tangkapan per Upaya Tangkap dan Pendapatan per Upaya Tangkap Hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) mencerminkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan unit penangkapan. Data produksi per tahun dibagi dengan upaya penangkapan per tahun untuk menghasilkan CPUE. Rumus perhitungan CPUE berupa: CPUEt i = t i t i (18) Keterangan: CPUEt i = CPUE pada waktu t untuk jenis ke-i (ton/trip) Yt i = hasil tangkapan pada waktu t jenis ke-i (ton) Et i = upaya penangkapan pada waktu t jenis ke-i (trip) Analisis pendapatan per upaya tangkap (Revenue per unit of effort, RPUE) dilakukan untuk melihat apakah nelayan mengalokasikan upaya penangkapannya berdasarkan keuntungan yang diperoleh (Mulyono 2000). Perkiraan keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung seca`ra langsung, tetapi dapat diperkirakan dengan perhitungan RPUE. Rumus RPUE berupa: RPUE j = CPUE j x P (19) Keterangan: RPUEj = Revenue per unit of effort pada waktu ke- j CPUEj = Catch per unit effort pada waktu ke- j P = Price Pola Musim Penangkapan Pola musim penangkapan ikan ekor kuning dapat dihitung menggunakan analisis deret waktu terhadap data hasil tangkapan (Dajan in Taeran 2007). Langkah-langkahnya sebagai berikut. 1. Menyusun deret CPUE dalam periode kurun waktu tertentu:

8 CPUE i = n i (20) CPUE i adalah CPUE urutan ke-i, n i adalah CPUE urutan ke-i dan i adalah 1,2,3,... dst. 2. Menyusun rata-rata bergerak CPUE selama 12 bulan (RG) RG i = 1 i 6 12 j i-6 i (21) RG i adalah rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i, CPUE i adalah CPUE urutan ke-i dan i adalah 7,8,9,... n-5. 3. Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGP i ) RGP i = 1 i 1 2 j i i (22) RGP i adalah rata-rata bergerak CPUE terpusat ke-i, RG i adalah rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i dan i adalah 7,8,9,... n-5. 4. Rasio rata-rata tiap bulan (Rb) Rb i = i i (23) Rb i adalah rasio rata-rata bulan urutan ke-i, CPUE i adalah CPUE urutan ke-i dan RGP i adalah rata-rata bergerak CPUE terpusat urutan ke-i. 5. Menyusun nilai rata-rata dalam suatu matrik berurutan i x j yang disusun untuk setiap bulan, yang dimulai dari bulan Juli-Juni. RBB i = 1 ( n n j i ij (24) RBB i adalah rata-raya Rb ij untuk bulan ke-i, Rb ij adalah rasio rata-rata bulanan dalam matriks ixj, i adalah 1,2,3,...,12 dan j adalah 1,2,3,...,n. 6. Menghitung jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) 12 JRBB = i 1 i (25) JRBB adalah jumlah rasio rata-rata bulanan, RBB i adalah rata-rata Rb ij untuk bulan ke-i dan i adalah 1,2,3,...12. 7. Indeks Musim Penangkapan (IMP) Idealnya jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) sama dengan 1200. Banyak faktor yang menyebabkan JRBB tidak selalu sama dengan 1200. Oleh karena itu, nilai rata-rata bulanan harus dikoreksi dengan suatu nilai koreksi yang disebut dengan nilai faktor koreksi (FK). FK= 1200 (26)

9 IMP adalah indeks musim penangkapan bulan ke-i, RBBi adalah rasio rata-rata untuk bulan ke-i, FK adalah nilai faktor koreksi dan i adalah 1,2,3,...,12. IMP i = RBB i x FK (27) Kriteria Indeks Musim Penangkapan (IMP) berupa: IMP < 50% = Musim paceklik 50% < IMP < 100% = Bukan Musim Penangkapan IMP > 100% = Musim Penangkapan Analisis Beaufort Skala numerik Beaufort (Tabel 2) untuk memperkirakan kekuatan angin berdasarkan pengaruh pada obyek yang dikenainya. Data-data yang dibutuhkan untuk menentukan skala Beaufort bagi perairan Kepulauan Seribu ialah kecepatan arus, dan tinggi gelombang. Tabel 2 Analisis Beaufort Skala Beaufort Tingkatan Kecepatan Angin (m/s) 0 Tenang <3 1 Teduh 0,3-2 2 Sepoi lemah 2-3 3 Sepoi lembut 3-5 4 Sepoi sedang 6-8 5 Sepoi segar 8,1-10,6 6 Sepoi kuat 10,8-13,6 7 Angin ribut lemah 13,9-16,9 8 Angin ribut sedang 17,2-20,6 9 Angin ribut kuat 20,8-24,4 10 Badai 24,7-28,3 11 Badai amuk 28,6-32,5 12 Topan >32,8 Sumber : Anton (2011) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) Ikan ekor kuning merupakan ikan ekonomis penting bagi masyarakat Kepulauan Seribu. Ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka merupakan ikan ekor kuning dengan spesies Caesio cuning yang berasal dari famili Caesionidae. Ikan ekor kuning (Gambar 2) tersebut ditangkap dari kedalaman 15-30 m dengan alat tangkap muroami.

10 Gambar 2 Ikan ekor kuning (Caesio cuning) Sumber: (dokumentasi pribadi 2013) Sebaran Frekuesi Panjang Jumlah ikan ekor kuning yang diukur sebanyak 2.700 ekor dan setiap harinya diambil 50 ekor per nelayan. Panjang setiap ikan ekor kuning yang tertangkap berbeda-beda. Panjang minimum dan maksimum ikan ekor kuning yang tertangkap adalah 90 mm dan 330 mm (Lampiran 3). Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning yang tertangkap disajikan pada Gambar 3. Frekuensi 600 500 400 300 200 100 0 Selang Kelas Panjang (mm) Gambar 3 Grafik sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa frekuensi tertinggi panjang ikan ekor kuning terdapat pada selang kelas 210-229 mm sebanyak 498 ekor. Jumlah ikan ekor kuning dengan panjang dibawah selang kelas tersebut sebanyak 1.306 ekor. Frekuensi tertinggi panjang ikan ekor kuning pada penelitian Harmiyati (2009) terdapat pada selang kelas 125-134 mm, sedangkan pada Habinun (2011) terdapat pada selang kelas 132-153 mm.

11 Produksi Harian Nelayan Muroami Penelitian menganalisis hasil tangkapan harian yang dilakukan selama 23 hari terhadap lima kapal yang mendaratkan ikan di PPI Pulau Pramuka. Grafik produksi harian tiap nelayan disajikan pada Gambar 4. 1200 1000 Produksi harian (kg) 800 600 400 200 Nelayan 1 Nelayan 2 Nelayan 3 Nelayan 4 Nelayan 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Hari ke- Gambar 4 Hasil tangkapan dari lima kapal yang mendaratkan ikan ekor kuning Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa hasil tangkapan per nelayan mengalami fluktuasi. Nelayan pertama mendapat hasil tangkapan terbanyak pada hari ke-17, nelayan kedua pada hari ke-22, nelayan ketiga pada hari ke- 7, nelayan keempat pada hari ke-21, dan nelayan kelima pada hari ke- 16. Masing-masing hasil tangkapannya sebanyak 881 kg, 1.014 kg, 982 kg, 683 kg, dan 397 kg. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Pemetaan partisipatif berguna untuk mengidentifikasi keterbatasan serta kesempatan pemanfaatan sumber daya alam bagi pembangunan pesisir. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa alat tangkap jaring muroami dominan digunakan oleh nelayan di Pulau Pramuka. Kapal nelayan muroami rata-rata berukuran 5GT dan dioperasikan di perairan Kepulauan Seribu. Alat tangkap tersebut dioperasikan oleh 15-18 orang yang dibagi menjadi dua trip, trip mingguan dan trip harian. Daerah tangkapan nelayan dengan trip harian (Gambar 5) hampir tidak berubah. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif, dapat diketahui bahwa daerah tangkapan dominan nelayan harian berada di sekitar perairan Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Opak Besar, Pulau Opak Kecil, pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, dan Pulau Gosong Pandan. Daerah tangkapan nelayan mingguan (Gambar 6) berubah-ubah hingga mencapai pulau Lancang. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif, dapat diketahui daerah tangkapan dominan berada di Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Opak Besar, Pulau Opak Kecil, pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, dan Pulau Gosong Pandan. Daerah tangkapan dominan harian dan mingguan merupakan site yang sama.

12 Gambar 5 Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ikan ekor kuning trip harian 12

13 12 Gambar 6 Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ikan ekor kuning trip mingguan 13

14 Pengoperasian alat tangkap muroami Kapal muroami beroperasi dari pukul 07.00-17.00 WIB. Ikan ekor kuning ditangkap dengan menggunakan jaring insang, jaring payang, jaring tonda, bubu, jaring muroami, jaring hanyut, dan bagan tancap. Proses penangkapan ikan ekor kuning disajikan pada Gambar 7. Persiapan Penyelaman Pemasangan muroami Penggiringan Pengangkutan Pendaratan Ikan Gambar 7 Pengoperasian alat tangkap muroami Produksi per Upaya Tangkap Data hasil tangkapan per satuan upaya yang diperoleh dari instansi perikanan atapun dari hasil penelitian penarikan contoh di lapang, dapat digunakan untuk melihat kecenderungan kelimpahan relatif ikan di suatu wilayah (Widodo dan Suadi 2006). Hubungan antara produksi ikan ekor kuning dengan upaya penangkapan ikan ekor kuning setiap bulan dari tahun 2005-2012 dapat dilihat pada Gambar 8. Produksi (ton) 70 60 50 40 30 20 10 0 Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 tahunn 1800 1600 1400 1200 1000 Gambar 8 Hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan ekor kuning setiap bulan dari tahun 2005-2012 800 600 400 200 0 Upaya Tangkapan (trip) Produksi Upaya tangkapan

15 Hasil tangkapan serta upaya penangkapan ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Juli tahun 2005 dengan upaya penangkapan yang rendah. Hasil tangkapan mengalami penurunan dengan upaya penangkapan yang tinggi terjadi pada tahun 2006-2011. Indikasi pemulihan hasil tangkapan ikan ekor kuning terjadi pada tahun 2012. Catch per unit effort (CPUE) merupakan salah satu indikator bagi status pemanfaatan sumber daya ikan dan indeks kelimpahan stok, serta indikator kesehatan perairan. Pola sebaran hasil tangkap per upaya tangkap ikan ekor kuning dari tahun 2005 hingga 2012 disajikan pada Gambar 9. CPUE (ton/trip) 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober Januari April Juli Oktober 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Gambar 9 Hasil tangkapan per upaya tangkap (Catch per Unit Effort) Gambar diatas menunjukkan bahwa nilai CPUE berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. CPUE tertinggi terdapat pada bulan Maret tahun 2006 yaitu sebesar 0,2437 dengan hasil tangkapan sebesar 24,41 ton dan upaya penangkapan sebesar 104 trip. Penurunan nilai CPUE terjadi pada tahun 2007-2012, yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan rendah dengan upaya penangkapan yang tinggi. Model Produksi Surplus Hasil regresi dari pendekatan Schaefer dan pendekatan Fox, dapat diketahui hasil tangkapan lestari atau disebut maximum sustainable yield (MSY) dan upaya penangkapan optimal (f MSY ). Hasil pendekatan model Schaefer dan Fox disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil pendekatan model Schaefer dan Fox Parameter Schaefer Fox a 0,256035-1,013721 b -0,000047-0,000483 R 2 0,7701 0,8937 F MSY 2724,7778 2068,4561 MSY 348,8191 276,1204 TAC 279,0553 220,8963

16 Hubungan effort dengan Ln CPUE (pendekatan model Fox) ditunjukkan pada Gambar 10. Pendekatan model Schaefer (hubungan effort dengan CPUE) ditunjukkan pada Gambar 11. Model Fox tepat digunakan karena nilai koefisien determinasi (R 2 ) model tersebut lebih besar dibanding model Schaefer. 0-0.5 Effort (trip) 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000-1 Ln CPUE -1.5-2 -2.5 Ln CPUE = -0,0005effort - 1,0137 R² = 89,37% -3-3.5-4 Gambar 10 Hubungan antara Ln CPUE dengan effort 0.3 0.25 CPUE 0.2 0.15 CPUE = -5E-05effort + 0,256 R² = 77,01% 0.1 0.05 0 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 Effort (trip) Gambar 11 Hubungan antara CPUE dengan effort Hasil tangkapan lestari yang didapat sebesar 276,1204 ton dan upaya tangkapan lestari yang didapat sebesar 2.068,4561 trip, serta Total Allowable Catch dari ikan ekor kuning sebesar 220,8963 ton. Hasil tangkapan ikan ekor kuning pada tahun 2012 sudah melebihi MSY yaitu sebesar 286,6380 ton. Grafik model Fox (Gambar 12) dan grafik Schaefer (Gambar 13) menunjukkan upaya penangkapan aktual melebihi f MSY, yaitu sebesar 4.294 trip.

17 Yield 300 250 200 150 100 50 0 0 5000 10000 15000 20000 Effort (trip) Yield MSY Aktual Gambar 12 Model Fox Yield (Ton) 400 350 300 250 200 150 100 50 0 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 Upaya (Trip) Yield MSY Aktual Gambar 13 Model Schaefer Analisis Catch per unit Effort (CPUE) dan Revenue per unit of Effort (RPUE) Keuntungan ekonomi dapat diprediksi dengan mengestimasi perhitungan pendapatan per trip (RPUE). Nilai RPUE didapat dari CPUE dan harga ikan ekor kuning, yang dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai CPUE dan RPUE berbanding lurus. Keseimbangan CPUE dan RPUE terjadi pada tahun 2009, selanjutnya nilai RPUE dan CPUE berbanding terbalik.

18 CPUE 00.140 00.120 00.100 00.080 00.060 00.040 00.020 600000 500000 400000 300000 200000 100000 RPUE CPUE RPUE 00.000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun Gambar 14 Grafik analisis CPUE dan RPUE ikan ekor kuning Pola Musim Penangkapan Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) Kegiatan perikanan tangkap di Laut Utara Jawa sangat dipengaruhi oleh pola musim. Indeks musim penangkapan ikan ekor kuning disajikan pada Gambar 15. Musim penangkapan ikan ekor kuning terjadi pada bulan Mei- Oktober. 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 IMP (%) 94,64 62,42 162,78 162,35 121,88 106,10 115,30 107,85 96,18 68,45 52,84 49,17 Bulan Gambar 15 Nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) ikan ekor kuning Analisis Beaufort Skala Beaufort dapat ditentukan dengan melihat nilai tinggi gelombang dan kecepatan arus dari suatu perairan. Tinggi gelombang dan kecepatan arus perairan disajikan pada Gambar 16. Kondisi tinggi gelombang di Perairan Kepulauan Seribu pada musim timur lebih rendah dibandingkan musim barat. Keadaan perairan pada saat penelitian ini berlangsung cukup berombak karena keadaan angin yang berfluktuasi. Menurut skala Beaufort, keadaan Perairan Kepulauan Seribu pada musim barat tahun 2013 tergolong pada skala 5, sedangkan pada musim timur tergolong pada skala 4. Tinggi gelombang tertinggi terjadi pada bulan Februari tahun 2008 dan terendah terjadi pada bulan April tahun 2007.

17 2 MT MT MT MT MT MT 2000 1.8 1800 1.6 1600 1.4 1400 Tinggi gelombang (m) 1.2 1 0.8 0.6 1200 1000 800 600 Kecepatan arus (m/s) 0.4 400 0.2 200 0 juni agustus oktober desember februari april juni agustus oktober desember februari april juni agustus oktober desember februari april juni agustus oktober desember februari april juni agustus oktober desember februari april juni agustus oktober desember februari april juni agustus oktober desember februari april 0 tinggi gelombang musim timur kecepatan arus 20077 2008 2009 2010 2011 2012 2013 tahun Gambar 16 Grafik tinggi gelombang dan kecepatan arus Kepulauan Seribu tahun 2007-2013 Sumber : (BMKG 2013) 19

20 Pembahasan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) Caesio cuning merupakan ikan target yang sering diburu nelayan di Pulau Pramuka. Ikan-ikan target hidup secara soliter sehingga mudah dihitung satu demi satu dan ekor kuning merupakan ikan target dalam jumlah besar (Marasabessy 2010). Ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka termasuk kedalam spesies Caesio cuning, dikarenakan mempunyai ciri-ciri tubuh badan bagian atas berwarna putih kekuningan, sedangkan bagian sisi dan perut berwarna putih dan merah muda. Ikan ekor kuning dapat ditemukan di kedalaman 15-30 m. Ikan ekor kuning biasanya terdapat di kedalaman tersebut, dikarenakan banyaknya terumbu karang dan memangsa plankton sebagai makanannya. Kedalaman tersebut adalah kedalaman toleransi nelayan muroami, dikarenakan masih menggunakan alat penyelaman sederhana. Makanan ikan ekor kuning untuk jenis fitoplankton berupa Nitszchia dan zooplankton berupa Paracymula larva, sehingga dapat dikatakan ikan caesio cuning bersifat plankton feeder. Life form terumbu karang yang disukai oleh Caesio cuning ialah Coral Encrusting (CE). CE sesuai dengan sifatnya yang bergerombol dan banyaknya biota plankton yang tidak tersingkap di ronggarongga karang, sehingga mudah dalam pencarian makanan (Zamani et al. 2011). Bentuk life form ini berupa permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, sehingga mempengaruhi bentuk tubuh ikan ekor kuning yang pipih (adaptasi morfologi). Sebaran Frekuesi Panjang Frekuensi tertinggi ikan ekor kuning yang tertangkap berada pada selang kelas 210-229 mm, sedangkan Harmiyati (2009) terdapat pada selang kelas 125-134 mm dan pada Habinun (2011) terdapat pada selang kelas 132-153 mm. Perbedaan ukuran panjang ikan yang tertangkap tersebut diduga disebabkan karena ada faktor dalam antara lain keturunan, jenis kelamin dan umur. Faktor luar yaitu disebabkan oleh jumlah individu dalam ekosistem terumbu karang yang tidak sebanding dengan jumlah makanan sehingga terjadi kompetisi dalam mendapatkan makanan (Funjaya in Nggajo 2009). Panjang ikan ekor kuning yang tertangkap berukuran 90-330 mm menunjukkan muroami merupakan alat tangkap yang tidak selektif (Gambar 3). Hasil perhitungan standarisasi alat tangkap (Lampiran 4) menunjukkan jaring payang merupakan alat tangkap standar di Perairan Kepulauan Seribu. Ketidakselektifan muroami dapat menyebabkan growth overfishing dikarenakan ikan ekor kuning yang tertangkap lebih banyak yang tidak matang gonad. Menurut Habinun (2011), lenght maturity (ukuran ikan pertama kali matang gonad) ikan ekor kuning jantan sebesar 195,55-195,60 mm, sedangkan ukuran ikan ekor kuning betina yaitu sebesar 218,00-219,07 mm. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI terbagi atas dua yaitu, sudah matang gonad dan belum matang gonad. Ukuran ikan pertama kali matang gonad dipengaruhi oleh kelimpahan dan ketersediaan makanan, suhu, periode, cahaya dan faktor lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky 1963).

21 Produksi Harian Nelayan Muroami Nelayan di Kepulauan Seribu yang memiliki modal besar cenderung menggunakan muroami untuk menangkap ikan karang, tetapi nelayan dengan skala usaha kecil cenderung menggunakan bubu (Iskandar 2011). Proses pengoperasian muroami dimulai dengan persiapan dan penyelaman untuk memperkirakan adanya kelimpahan ikan dan keadaan arus air. Kekuatan arus skala sedang adalah yang paling baik untuk pemasangan atau penanaman jaring. Penggiringan segera dilakukan setelah pemasangan kantong, lama waktu penggiringan bervariasi antara 10-40 menit, pada selang kedalaman 5-35 m. Nelayan di atas kapal mengangkat jaring kantong ke permukaan secepat mungkin, setelah ikan digiring kedalam jaring kantong. Proses penangkapan ikan ekor kuning membutuhkan banyak anak buah kapal. Trip harian dan mingguan membutuhkan anak buah kapal minimal 17 orang. Alat-alat yang digunakan nelayan untuk menyelam hingga kedalaman 20 m ialah selang yang diisi oksigen dari kompressor, pemberat, masker, dan sepatu karet. Terlilit selang di bawah laut sangat membahayakan kesehatan dan nyawa nelayan-nelayan tersebut (Lampiran 5). Nelayan muroami di Pulau Pramuka bersifat one day fishing dengan hasil tangkapan berkisar 100-200 kg, sedangkan hasil tangkapan mingguan dapat mencapai 1 ton per minggu. Nelayan Pulau Pramuka lebih memilih one day fishing, dikarenakan masih sederhananya perahu yang dimiliki dan belum memiliki tempat pengawetan yang berguna untuk menjaga mutu hasil tangkapan. Harga bahan bakar mesin (BBM) berupa solar mempengaruhi produksi harian, dikarenakan harganya mahal dan belum adanya Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) di Pulau tersebut. Produksi tangkapan harian juga sangat dipengaruhi oleh musim dan cuaca di perairan tersebut. Cuaca di perairan Kepulauan Seribu selama pengambilan data produksi harian kurang baik. Angin kencang menyebabkan waktu operasi penangkapan menjadi lebih pendek. Cuaca di perairan tersebut membaik pada tanggal 29 Agustus 2013. Waktu operasi penangkapan menjadi lebih lama, sehingga menghasilkan tangkapan yang melimpah. Hasil tangkapan tidak hanya dipengaruhi oleh kelimpahan ikan, tetapi bergantung juga pada efisiensi unit alat tangkap, lamanya operasi penangkapan, dan ketersediaan ikan yang akan ditangkap (Laevastu dan Favorite 1988 in Taeran 2007). Nelayan di Pulau Pramuka masih tidak sejahtera, dibuktikan dengan sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraan nelayan sangat dipengaruhi oleh lama waktu penangkapan, hasil tangkapan, dan harga solar (Sugiharto et al. 2013). Resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya (Wasak 2012). Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Pemetaan partisipatif tersebut dibantu oleh nelayan muroami. Pemetaan partisipatif sederhana (Gambar 5 dan Gambar 6) menunjukkan kondisi terumbu karang di site dominan tersebut masih baik, khususnya Pulau Kotok yang akan dijadikan museum rangka mamalia paus. Kondisi di Utara Pulau Pramuka, Barat Pulau Panggang, dan Selatan Pulau Panggang hanya dijumpai ikan-ikan kecil. Timur Pulau Pramuka, Timur Pulau Karang Beras, dan Timur Pulau Karang Kecil

22 ditemui hanya ikan-ikan besar. Semakin beragam jenis terumbu karang, semakin akan meningkatkan jenis ikan karang (Supriharyono 2000 in Ahmad 2013). Pulau Tidung merupakan salah satu pulau yang jarang dijadikan fishing ground, dikarenakan kondisi terumbu karang sudah sangat rusak (Lampiran 6). Kondisi karang di suatu lokasi dapat dinilai berdasarkan persentase tutupan karang keras. Tutupan karang keras di lokasi penelitian pada tahun 2011 berupa 18,13%-54,35%. Kategori kondisi terumbu karang buruk terdapat di timur (18,13%) dan utara Pramuka (23,84%). Pulau Pramuka termasuk ke dalam zona pemukiman (mengacu pembagian zona oleh TNKPs, Lampiran 7), sehingga sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia (Zamani et al. 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi terumbu karang seperti suhu, kedalaman, cahaya matahari, kejernihan air, gelombang, dan substrat (Nybakken 1992). Produksi per Upaya Tangkap Hasil tangkapan yang tinggi pada bulan Juli dikarenakan bulan tersebut termasuk dalam musim penangkapan ikan ekor kuning. Kelebihan tangkap secara biologi (biological overfishing) terhadap ikan ekor kuning terjadi karena upaya penangkapan yang terus meningkat dan hasil tangkapan yang menurun dari tahun 2005 hingga 2012. Laju produksi sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan, interaksi dengan populasi lain, dan pemangsaan (Widodo dan Suadi 2006). Manfaat mengetahui produksi per upaya alat tangkap adalah mengetahui kelimpahan ikan ekor kuning dan melihat trend (kecenderungan) ikan ekor kuning setiap tahunnya. Hasil tangkapan pada tahun 2006 sangat tinggi, dikarenakan kondisi terumbu karang pada tahun tersebut masih sangat baik. Tahun 2007 hingga 2012 menunjukan penurunan nilai CPUE. Penurunan CPUE diduga karena kondisi terumbu karang yang rusak dan kesehatan daripada nelayannelayan tersebut. Menurut Prihartini (2007), penurunan CPUE dapat disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan yaitu cuaca, angin, salinitas,temperatur, populasi, serta komunitas. Pemulihan yang terjadi pada tahun 2012 diduga karena pada tahun-tahun sebelumnya telah diadakan rehabilitasi terumbu karang. Rehabilitasi terumbu karang tersebut telah dilakukan oleh berbagai pihak, seperti DKP, TNKps, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kondisi upaya alat tangkap lebih di suatu perairan dapat diindikasikan dengan melihat waktu melaut menjadi lebih panjang, lokasi penangkapan semakin jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil, ukuran ikan semakin kecil (Widodo dan Suadi 2006). Model Produksi Surplus Perbedaan koefisien determinasi (R 2 ) dari model Fox maupun Schaefer tidak terlalu jauh. Fhitung lebih besar daripada Ftabel (Lampiran 7) pada model Fox, sehingga menunjukkan effort mampu menjelaskan Ln CPUE sebesar 89,57%. Upaya penangkapan mampu menjelaskan CPUE sebesar 75,16% pada model Schaefer (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan model Fox yang paling tepat digunakan. Model Fox sangat tepat digunakan karena asumsi dari model Fox yang mengatakan bahwa setiap sumber daya tidak akan pernah punah (habis). Hasil tangkapan lestari yang didapat sebesar 276,1204 ton dan upaya tangkapan lestari

23 yang didapat sebesar 2.068,4561 trip, serta Total Allowable Catch dari ikan ekor kuning sebesar 220,8963 ton. Hasil tangkapan ikan ekor kuning pada tahun 2012 sudah melebihi MSY yaitu sebesar 286,6380 ton dan upaya penangkapan di tahun tersebut juga sudah melebihi f MSY yaitu sebesar 4.294 trip. Model Schaefer juga menunjukkan nilai f aktual melebihi f MSY. Jika hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang dilakukan telah melebihi dari hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang lestari menurut model Fox dan model Schaefer, maka telah terjadi overfishing secara biologi (biological overfishing) pada sumber daya ikan ekor kuning. Biological overfishing merupakan kondisi dimana tingkat penangkapan aktual telah melebihi upaya penangkapan lestari (Widodo dan Suadi 2006). Tangkap lebih (Overfishing) secara biologi terdiri dari growth overfishing yaitu kondisi tangkap lebih pada ukuran pertumbuhan, dan recruitment overfishing yaitu tangkap lebih pada ikan dewasa atau matang gonad (Dayton et al. 2002 in Prasetya 2010). Analisis Hasil Tangkapan per Upaya Tangkap dan Pendapatan per Upaya Tangkap Nilai CPUE dan RPUE yang terjadi pada ikan ekor kuning berbanding lurus. Hal ini dikarenakan permintaan pasar yang tinggi terhadap ikan tersebut. Nilai RPUE yang mengikuti CPUE menandakan bahwa harga ikan ekor kuning cenderung stabil, artinya pergerakan harga mengikuti hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan ekor kuning. Nilai CPUE yang rendah mengakibatkan nilai RPUE yang rendah pula karena harga ikan ekor kuning tidak mengalami fluktuasi yang terlalu nyata atau kisaran harga tidak terlalu besar setiap tahunnya. Kestabilan yang terjadi tergolong buruk karena RPUE mengalami penurunan dari sisi ekonomi. Hal ini dapat menyebabkan kerugian pada nelayan. Harga ikan ekor kuning pada tahun 2009-2012 di PPI Pulau Pramuka menunjukkan sinyal kelangkaan. Harga mengikuti hukum ekonomi, dimana pada saat produksi menurun maka harga akan meningkat. Penetapan harga dari ikan ekor kuning yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka harus lebih diperbaiki, karena dengan kisaran harga yang cenderung stabil dan permintaan yang tinggi, akan menyebabkan tidak seimbangnya biaya operasional dan keuntungan yang didapatkan oleh nelayan. Pola Musim Penangkapan Caesio cuning dan Analisis Beaufort Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2008), di Pulau Pramuka terjadi empat musim penangkapan setiap tahunnya yaitu Musim Barat (Desember-Maret), Musim Peralihan I (April-Mei), Musim Timur (Juni- September), dan Musim Peralihan II (Oktober-November). Nilai IMP lebih dari 100% menunjukkan bulan tersebut musim perikanan ikan ekor kuning, sedangkan nilai IMP 50%-100% menunjukkan bulan tersebut bukan musim penangkapan ikan ekor kuning, dan nilai IMP kurang dari 50% merupakan musim paceklik dari penangkapan ikan ekor kuning (Dajan 1986 in Taeran 2007). Musim penangkapan terjadi pada bulan Mei-Oktober. Bulan Januari-Maret dan bulan November merupakan bukan musim penangkapan ikan ekor kuning, sedangkan bulan Desember adalah musim paceklik bagi penangkapan ikan ekor kuning. Nilai IMP dapat digunakan untuk membantu nelayan dalam mengetahui waktu

24 penangkapan yang tepat sehingga penangkapan bisa dilakukan secara efektif dan efisien (Harjanti et al. 2012). Analisis Beaufort mempengaruhi pola musim penangkapan ikan ekor kuning. Musim penangkapan ikan ekor kuning sangat dipengaruhi oleh tinggi gelombang laut. Nilai skala Beaufort bergantung pada nilai tinggi gelombang dalam satuan feet. Besar tinggi gelombang Perairan Kepulauan Seribu pada musim barat sebesar 4,7879 ft, sehingga tergolong pada skala 5 (fresh breeze) terhadap tabel analisis Beaufort. Nilai skala Beaufort pada musim timur sebesar 4 (moderate breeze), dikarenakan nilai tinggi gelombang sebesar 3,7233 ft. Moderate breeze berarti perairan tersebut memiliki gelombang kecil 1-4 ft menjadi lebih lama dan banyak ombak. Fresh breeze berarti gelombang sedang 4-8 ft, bentuk yang lebih panjang, banyak ombak, serta beberapa semprotan (Cobb 2008). Moderate breeze berada pada musim timur, dimana hasil tangkapan sangat melimpah. Musim timur merupakan musim yang paling baik untuk operasi penangkapan. Musim barat berada pada skala 5 dan membuat nelayan jarang melaut, sehingga hasil tangkapan pada musim barat sangat minim. Nelayan lebih sering memilih melaut pada musim peralihan yang terjadi pada bulan April-Mei dan Oktober-November. Hal ini dikarenakan pada musim tersebut kondisi perairan tenang, sehingga pengoperasian alat tangkap berlangsung cukup baik. Musim peralihan dimanfaatkan dengan baik oleh nelayan sebagai persiapan pada musim barat. Tinggi gelombang rendah dikarenakan adanya proses peredaman gelombang oleh gugusan pulau yang berserakan di Kepulauan Seribu. Gelombang di daerah tubir akan lebih besar dibandingkan di kawasan pantai dikarenakan peredaman gelombang oleh rataan karang dangkal (Sachoemar 2008). Perubahan tinggi gelombang sangat bergantung pada waktu, dimana secara umum didapatkan saat siang tinggi gelombang menjadi meningkat dan waktu malam berubah menjadi berkurang atau menurun (Hadikusumah 2009). Alternatif Pengelolaan Caesio cuning yang Didaratkan di PPI Pulau Pramuka Hasil tangkapan ikan ekor kuning dan upaya penangkapan ikan ini telah melebihi hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang lestari. Jika operasi penangkapan terus berlangsung tanpa adanya pengelolaan dan regulasi, maka perikanan akan mengalami kepunahan. Pengelolaan sumber daya perikanan didefinisikan sebagai proses yang terpadu untuk mengatur aktivitas perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (Cochrane 2002). Pengelolaan yang dilakukan untuk ikan karang meliputi strategi input dan output (Hoggart et al. 2006). Strategi input dilakukan melalui pengurangan trip penangkapan. Pengurangan trip dapat dilakukan pada musim barat dan musim timur, sehingga memberikan kesempatan pada ikan ekor kuning untuk bertumbuh dan berkembang biak, serta mengurangi laju mortalitas tangkapan Kondisi tersebut harus diatasi dengan cara mengurangi jumlah hasil tangkapan dan mengurangi trip penangkapan terhadap ikan ekor kuning. Penangkapan ikan ekor kuning yang biasanya dilakukan setiap hari menjadi tiga hari sekali. Strategi pengelolaan output dilakukan dengan mengikuti nilai TAC sebesar 220 ton dan pengaturan

25 ukuran mata jaring muroami. Pengaturan ukuran mata jaring berguna untuk meningkatkan selektifitas muroami. Berdasarkan pemetaan partisipatif, dapat diketahui kondisi daerah penangkapan. Kondisi daerah penangkapan ikan ekor kuning sudah rusak dan terumbu karang mengalami bleaching dan terkena berbagai penyakit. Utara Pulau Pramuka, Barat Pulau Panggang, dan Selatan Pulau Panggang hanya dijumpai ikan-ikan kecil. Usulan pengelolaannya disamping melakukan penutupan pada daerah penangkapan dominan, perlu dilakukan introducing induk. Timur Pulau Pramuka, Timur Pulau Karang Beras, dan Timur Pulau Karang Kecil ditemui ikan-ikan besar. Usulan pengelolaan disamping melakukan penutupan, perlu diikuti dengan introducing juvenile ikan. Alat tangkap muroami merupakan alat tangkap yang selektifitasnya rendah, merusak ekologi, membahayakan nelayan, dan melawan aturan pemerintah. Bahaya yang dihadapi oleh nelayan dibagi menjadi dua, yaitu bahaya bagi keselamatan pekerja meliputi ombak, duri ikan, bahan bakar, gigitan biota laut, serta tubuh tersangkut baling-baling kapal. Bahaya kesehatan meliputi ergonomik, tekanan ekstrim, temperatur dingin dan panas, sengatan ikan dan karang beracun, gas CO, CO 2, dan nitrogen. Kematian nelayan sering terjadi karena mengidap penyakit dekompresi dan selang terlilit (Dharmawirawan et al. 2012). Kondisi proses penangkapan yang berbahaya bagi ekosistem terumbu karang dan bagi nelayan harus dihentikan di Kepulauan Seribu sesuai dengan aturan yang sudah ada sebelumnya. Alternatif profesi untuk nelayan muroami, seperti menjadi guide wisata, budidaya rumput laut dan ikan karang, serta menjadi guide dalam recreational fisheries. Alat tangkap muroami dapat diganti dengan alat tangkap bubu, jaring payang, jaring ulur. Pengelolaan yang dapat dilakukan di PPI Pulau Pramuka adalah dengan membatasi hasil tangkapan sampai dengan 210 ton, membatasi jumlah trip penangkapan sampai 1.800 trip, penyuluhan terhadap nelayan, mengatur daerah tangkapan, membatasi musim tangkapan, dan adanya artificial reef untuk pengganti terumbu karang yang rusak akibat proses penangkapan. Peningkatan kesejahteraan nelayan maupun masyarakat pesisir di Pulau Pramuka dapat dibantu dengan dibangunnya SPDN. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil tangkapan harian ikan ekor kuning di PPI Pulau Pramuka berfluktuasi setiap hari dan cenderung mengalami penurunan, sedangkan pola produksi ikan ekor kuning berada pada kondisi biological overfishing. 2. Daerah tangkapan ikan ekor kuning yang dominan berada di sekitar perairan Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Opak Besar, Pulau Opak Kecil, pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, dan Pulau Gosong Pandan. 3. Musim penangkapan ikan ekor kuning berada pada bulan Mei hingga bulan Oktober. Bulan Januari hingga bulan Maret dan bulan November