Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

dokumen-dokumen yang mirip
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL 1)

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

METODE ANALISIS HARGA PANGAN 1

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

KOMPARASI EKONOMI JAGUNG INDONESIA DENGAN NEGARA PRODUSEN UTAMA PENDAHULUAN

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

MANAJEMEN KETAHANAN PANGAN ERA OTONOMI DAERAH DAN PERUM BULOG 1)

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan tingginya ketidakpastian perekonomian global, nilai tukar

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

III. METODOLOGI PENELITIAN. yang terletak di Jalan Taman Cut Mutiah nomor 11, Menteng, Jakarta Pusat

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada. Penelitian tentang tata niaga gabah/ beras ini berusaha menggambarkan

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH KERITING

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia ( ) terutama bagi

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

III. KERANGKA PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN BERAS DAN JAGUNG DI PROVINSI SUMATERA UTARA

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

KETERPADUAN PASAR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA KAKAO INDONESIA. Muhammad Firdaus 1 dan Ariyoso 2. Institut Pertanian Bogor

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

1 Universitas Indonesia

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

Judul : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Minyak Bumi Di Indonesia Tahun Nama : Made Ayu Julia Kusuma Dewi NIM :

IV. METODE PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa

TINJAUAN PUSTAKA Situasi Penawaran dan permintaan Beras di Indonesia. Kondisi penawaran dan permintaan beras di Indonesia dapat diidentifikasi

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

PROSPEK KETAHANAN PANGAN NASIONAL (ANALISIS DARI ASPEK KEMANDIRIAN PANGAN)

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

KORELASI HARGA DAN DERAJAT INTEGRASI SPASIAL ANTARA PASAR DUNIA DAN PASAR DOMESTIK UNTUK KOMODITAS PANGAN DALAM ERA LIBERALISASI PERDAGANGAN (Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Abstrak Liberalisasi perdagangan komoditas pangan memunculkan dua pertanyaan penting, yaitu: (1) apakah dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis akan mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik, dan (2) apakah pasar domestik secara otomatis akan menjadi pasar bagi komoditas pangan impor yang harganya relatif lebih murah. Pertanyaan pertama mempunyai hubungan dengan permasalahan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu, sedangkan pertanyaan kedua memiliki kaitan dengan permasalahan kemandirian pangan nasional/regional. Hasil analisis (di tingkat nasional) untuk menjawab pertanyaan pertama dengan menggunakan metode statistik deskriptif menunjukkan bahwa naik turunnya harga beras, jagung, dan kedelai di tingkat konsumen domestik dalam dasawarsa terakhir 1991-2001 praktis tidak dipengaruhi oleh dinamika harga beras, jagung dan kedelai di pasar dunia, tetapi dipengaruhi sepenuhnya oleh dinamika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sementara itu, hasil analisis (kasus di Sulawesi Selatan) untuk menjawab pertanyaan kedua dengan menggunakan metode ekonometrika menunjukkan bahwa indeks keterkaitan (integrasi) dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang antara pedagang besar beras, jagung dan kedelai di Provinsi Sulawesi Selatan dengan importir masuk dalam kategori lemah atau sangat lemah. Artinya, dinamika harga beras, jagung dan kedelai di tingkat perdagangan besar di Provinsi Sulawesi Selatan praktis tidak mengikuti dinamika harga beras, jagung dan kedelai di tingkat importir, sehingga paling tidak selama periode analisis 1998-2001, Provinsi Sulawesi Selatan tidak menjadi pasar bagi beras, jagung maupun kedelai impor. Kata kunci : liberalisasi perdagangan, ketahanan pangan, korelasi harga, integrasi pasar PENDAHULUAN Secara teoritis liberalisasi perdagangan global yang ditandai dengan penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan lainnya akan membuat pasar pangan dunia dan pasar pangan domestik secara spasial semakin terintegrasi (Erwidodo, 1999; Amang dan Sawit, 1997). Inilah yang membuat kalangan pembuat kebijaksanaan khawatir sehingga seringkali muncul pertanyaan, yaitu: (1) apakah dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis akan mempengaruhi naik 70

turunnya harga di tingkat konsumen domestik, dan (2) apakah pasar domestik secara otomatis akan menjadi pasar bagi komoditas pangan impor yang harganya relatif lebih murah. Munculnya kedua pertanyaan diatas adalah wajar. Justifikasinya, apabila dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik maka berarti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga rentan terhadap gejolak harga di pasar dunia. Padahal syarat kecukupan (sufficiency condition) terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu adalah bahwa harga pangan terjangkau daya beli masyarakat (Dewan Bimas Ketahanan Pangan, 2001). Salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh harga tersebut sudah barang tentu adalah stabil. Demikian pula, apabila pasar domestik secara otomatis menjadi pasar bagi komoditas pangan impor maka berarti kemandirian pangan nasional menurun. Hal ini karena semakin tinggi persentase pangan impor terhadap ketersediaan pangan nasional berarti semakin rendah kemandirian pangan nasional. Padahal ketahanan pangan perlu diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada produksi pangan domestik (Dewan Bimas Ketahanan Pangan, 2001). Bertitik tolak dari fakta diatas makalah ini bertujuan (1) menganalisis korelasi harga pangan di pasar dunia dan di pasar domestik dan (2) menganalisis derajat integrasi spasial antara pasar pangan dunia dengan pasar pangan domestik. METODE ANALISIS Untuk menjawab tujuan pertama digunakan metode statistik deskriptif berupa pengukuran korelasi sederhana antara harga dunia dan harga domestik, antara harga dunia dan nilai tukar, serta antara harga domestik dan nilai tukar. Data harga dunia, harga domestik maupun data nilai tukar adalah data bulanan selama periode waktu 1974 2001. Untuk menjawab tujuan kedua digunakan metode ekonometrika berupa pendugaan model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dengan spesifikasi sebagai berikut: dimana: PF t PF t-1 = c 0 (PF t-1 PC t-1 ) + c 1 (PC t - PC t-1 ) + c 2 PC t-1 + c 3 X PF t dan PF t-1 = harga di pasar cabang/pengikut pada waktu t dan t-1 PC t dan PC t-1 = harga di pasar sentral/pemimpin pada waktu t dan t-1 X = vektor non-harga Provinsi yang diambil sebagai kasus untuk menjawab tujuan kedua adalah Sulawesi Selatan dengan pertimbangan sebagai sentra produksi pangan dan bahan 71

pangan impor telah beredar di pasar setempat. Mengingat dalam perdagangan dunia Indonesia berstatus sebagai pengimpor bersih (net importer) beras, jagung maupun kedelai, maka posisi Indonesia adalah sebagai penerima harga (price taker). Dalam posisi seperti ini, hubungan spasial antara pasar dunia dan pasar domestik bersifat hirarkis dalam arti pasar dunia merupakan pasar sentral (pemimpin), sedangkan pasar domestik adalah pasar cabang (pengikut). Dengan perkataan lain, harga di pasar dunia menjadi acuan dalam pembentukan harga di pasar domestik. Dalam hubungan ini, harga di pasar dunia direpresentasikan oleh harga di tingkat importir di Ujung Pandang, sedangkan harga di pasar domestik direpresentasikan oleh harga di tingkat pedagang besar (grosir), di tingkat produsen atau harga di tingkat konsumen di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk pendugaan model diatas digunakan data harga nominal bulanan di tingkat importir, pedagang besar (grosir), produsen, dan pengecer selama periode tahun 1998-2001. Berdasarkan parameter-parameter hasil pendugaan model bersangkutan selanjutnya dihitung indeks keterkaitan vertikal dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang diantara berbagai tingkat pasar. HASIL DAN PEMBAHASAN Korelasi Harga Pangan di Pasar Dunia dan Domestik Selama tiga dasawarsa terakhir perkembangan trend harga beras, jagung maupun harga kedelai di pasar dunia adalah sebagai berikut. Trend harga beras di pasar dunia pada dasawarsa 1974-1980 sebesar 1,85 persen per tahun, pada dasawarsa 1981-1990 sebesar 0,98 persen per tahun, dan pada dasawarsa 1991-2001 sebesar -3,56 persen per tahun. Trend harga jagung di pasar dunia pada dasawarsa 1974-1980 sebesar 6,18 persen per tahun, pada dasawarsa 1981-1990 sebesar 1,01 persen per tahun, dan pada dasawarsa 1991-2001 sebesar -2,60 persen per tahun. Trend harga kedelai di pasar dunia pada dasawarsa 1974-1980 sebesar 7,92 persen per tahun, pada dasawarsa 1981-1990 sebesar -0,30 persen per tahun, dan pada dasawarsa 1991-2001 sebesar 0,55 persen per tahun. Tampak bahwa trend harga beras dan jagung di pasar dunia pada dasawarsa 1991-2001 turun. Penurunan harga beras dan jagung di pasar dunia pada dasawarsa 1991-2001 pada hakekatnya merupakan konsekuensi logis pemberlakuan liberalisasi perdagangan global sejak awal dasawarsa 1990-an. Argumentasinya, liberalisasi perdagangan global akan menciptakan persaingan semakin ketat diantara negara-negara produsen untuk komoditas sejenis sehingga hanya negara produsen yang berproduksi dengan cara yang efisien (least cost production) yang akan bertahan. Dengan perkataan lain hanya negara produsen yang memiliki keunggulan komparatif yang akan bertahan. Karena liberalisasi perdagangan global secara teoritis akan mendorong pasar komoditas pangan dunia dan pasar domestik secara spasial semakin terintegrasi 72

(terkait), maka kenaikan ataupun penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia akan ditransmisikan secara sempurna ke pasar domestik. Dengan demikian, penurunan harga beras, jagung atau kedelai di pasar dunia sudah barang tentu diharapkan akan membuat harga komoditas yang sama di tingkat konsumen domestik juga turun. Namun ternyata realita menunjukkan lain, yaitu harga beras, jagung, dan kedelai di tingkat konsumen domestik (di tingkat nasional) justru menunjukkan kecenderungan meningkat. Trend harga beras di tingkat konsumen domestik pada dasawarsa 1974-1980 sebesar 13,16 persen per tahun, pada dasawarsa 1981-1990 sebesar 9,53 persen per tahun dan pada dasawarsa 1991-2001 sebesar 20,13 persen per tahun. Trend harga jagung di tingkat konsumen domestik pada dasawarsa 1974-1980 sebesar 15,87 persen per tahun, pada dasawarsa 1981-1990 sebesar 9,03 persen per tahun dan pada dasawarsa 1991-2001 sebesar 20,40 persen per tahun. Trend harga kedelai di tingkat konsumen domestik pada dasawarsa 1974-1980 sebesar 7,92 persen per tahun, pada dasawarsa 1981-1990 sebesar 10,05 persen per tahun dan pada dasawarsa 1991-2001 sebesar 18,32 persen per tahun. Fenomena ini sudah barang tentu menarik untuk dibahas. Untuk itu terlebih dahulu akan disajikan persamaan paritas harga impor sebagai berikut (Simatupang dan Syafaat, 1999): dimana: HKD = (1+t) * HIP * E + M* HIP *E HKD t HIP E M = harga komoditas pangan di pasar konsumen domestik (Rp/unit) = koefisien tarif impor efektif (bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya) = harga komoditas pangan impor di pelabuhan (US$/unit) = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (Rp/US$) = koefisien biaya pemasaran (ongkos dan laba pemasaran) Berdasarkan persamaan diatas dapat diperhatikan bahwa ada empat faktor yang berpengaruh terhadap harga komoditas pangan di tingkat konsumen domestik, yaitu: (a) tarif impor (t), (b) tingkat harga komoditas pangan di pelabuhan (HIP), (c) nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (E), dan (d) biaya pemasaran (M). Implikasinya, walaupun tarif impor (t) dihapuskan sama sekali dan biaya pemasaran (M) menjadi rendah sekali sebagai dampak peningkatan efisiensi pemasaran, penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia (HIP) tidak secara otomatis akan menurunkan harga pangan di tingkat konsumen domestik (HKD) selama persentase penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia (HIP) jauh lebih rendah dibandingkan dengan persentase kenaikan nilai tukar (persentase depresiasi nilai tukar) (E). Dengan perkataan lain, ada kemungkinan bahwa dinamika harga beras, jagung dan kedelai di tingkat konsumen domestik lebih dipengaruhi oleh dinamika nilai tukar rupiah terhadap 73

dollar Amerika Serikat daripada oleh dinamika harga beras, jagung dan kedelai di pasar dunia. Tabel 1. Koefisien Korelasi Harga Dunia, Harga Domestik dan Nilai Tukar pada Pasar Beras, Jagung dan Kedelai, 1974-2001 Korelasi antara 1974-1980 Harga dunia dan harga domestik Harga dunia dan nilai tukar Harga domestik dan nilai tukar Koefisien korelasi Pasar beras Pasar jagung Pasar kedelai 1981-1991- 1974-1981- 1991-1974- 1981-1990 2001 1980 1990 2001 1980 1990 1991-2001 0,2727 0,4495-0,6064 0,2190 0,1036-0,6168-0,1929-0,1181-0,1865 0,3874 0,2785-0,5923 0,3074-0,0085-0,6660 0,1953-0,2178-0,0672 0,9111 0,9574 0,9475 0,9277 0,9608 0,9475 0,8590 0,9647 0,9494 Pernyataan diatas didukung oleh data pada Tabel 1. Data pada tabel ini menunjukkan bahwa pada dasawarsa 1991-2001 perkembangan harga dunia dan harga konsumen domestik untuk komoditas beras, jagung, dan kedelai memiliki arah yang bertolak belakang yang diindikasikan oleh nilai koefisien korelasi yang relatif besar dan bertanda negatif. Dalam hal ini koefisien korelasi harga dunia dan harga konsumen domestik untuk ketiga komoditas pangan tersebut adalah sebagai berikut : beras (-0,6064), jagung (-0,6168), dan kedelai (-0,1865). Sementara itu dalam dasawarsa yang sama perkembangan nilai tukar dan harga konsumen domestik untuk ketiga komoditas pangan yang sama memiliki arah yang sama yang diindikasikan oleh nilai koefisien korelasi yang besar dan bertanda positif, yaitu beras (0,9475), jagung (0,9475), dan kedelai (0,9494). Dapat disimpulkan bahwa pada dasawarsa 1991-2001 dinamika harga beras, jagung dan kedelai di tingkat konsumen domestik memang praktis dipengaruhi sepenuhnya oleh dinamika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan tidak dipengaruhi oleh dinamika harga beras, jagung dan kedelai di pasar dunia. Dari uraian diatas yang patut dicatat adalah bahwa dalam era liberalisasi perdagangan global yang ditandai oleh penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan lainnya, penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia tidak secara otomatis akan menurunkan harga komoditas pangan serupa di tingkat konsumen domestik selama persentase penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan persentase kenaikan nilai tukar (persentase depresiasi nilai tukar). Implikasinya, kecenderungan penurunan harga beras, jagung dan 74

kedelai di pasar dunia hanya akan memiliki arti positif bagi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu jika nilai tukar berada dalam kondisi kuat dan stabil. Derajat Integrasi Spasial Antara Pasar Dunia dan Domestik Indeks keterkaitan vertikal dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang diantara berbagai tingkat pasar untuk komoditas beras, jagung dan kedelai di Provinsi Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 2. Perlu diketahui bahwa derajat keterkaitan jangka pendek adalah kuat jika indeks bernilai 0 (nol), sedangkan derajat keterkaitan jangka panjang adalah kuat jika indeks bernilai 1 (satu). Tabel 2. Indeks Keterkaitan Vertikal Diantara Beberapa Tingkat Pasar untuk Komoditas Beras, Jagung, dan Kedelai di Provinsi Sulawesi Selatan, 1998-2001 Keterkaitan antara 1. Importir dengan pedagang besar (grosir) Indeks keterkaitan dalam jangka pendek Pasar Pasar Pasar beras jagung kedelai 7,1257-8,7972-1,4689 Indeks keterkaitan dalam jangka panjang Pasar Pasar Pasar beras jagung kedelai 0,2616 ( 0,0199-0,1051 2. Importir dengan produsen 7,8855 7,1877 5,7136 0,1189 ( 0,0182 ( 0,0796 ( 3. Importir dengan konsumen 8,5600-9,5754 42,8325 0,0820 ( 0,0405 ( Catatan: Indeks keterkaitan jangka pendek = 0 berarti derajat keterkaitannya adalah kuat Indeks keterkaitan jangka panjang = 1 berarti derajat keterkaitannya adalah kuat -0,0113 Pada pasar beras indeks keterkaitan jangka pendek dan jangka panjang berikut kategorinya diantara beberapa tingkat pasar adalah sebagai berikut: antara importir dengan pedagang besar (jangka pendek:7,1257/sangat lemah, dan jangka panjang: 0,2616/, antara importir dengan produsen (jangka pendek: 7,8855/ sangat lemah, dan jangka panjang:0,1189/, dan antara importir dengan pengecer (jangka pendek:8,5600/sangat lemah, dan jangka panjang:0,0820/. Pada pasar jagung indeks keterkaitan jangka pendek dan jangka panjang berikut kategorinya diantara beberapa tingkat pasar adalah sebagai berikut: antara importir dengan pedagang besar (jangka pendek:-8,7972/sangat lemah, dan jangka panjang: 0,0199/ sangat, antara importir dengan produsen (jangka pendek: 7,1877/sangat lemah, dan jangka panjang:0,0182/, dan antara importir dengan pengecer (jangka 75

pendek:-9,5754/sangat lemah, dan jangka panjang:0,0405/. Sementara itu, pada pasar kedelai indeks keterkaitan jangka pendek dan jangka panjang berikut kategorinya diantara beberapa tingkat pasar adalah sebagai berikut: antara importir dengan pedagang besar (jangka pendek:-1,4689/sangat lemah, dan jangka panjang:-0,1051/, antara importir dengan produsen (jangka pendek: 5,7136/sangat lemah, dan jangka panjang:0,0796/agak kuat), dan antara importir dengan pengecer (jangka pendek: 42,8325/sangat lemah, dan jangka panjang:-0,0113/sangat. Karena indeks keterkaitan jangka pendek maupun jangka panjang antara importir dengan pedagang besar (grosir), antara importir dengan produsen, dan antara importir dengan pengecer baik pada pasar beras, jagung maupun kedelai secara umum masuk dalam kategori lemah atau sangat lemah, maka berarti dinamika harga beras, jagung, dan kedelai di tingkat pedagang besar, produsen maupun di tingkat pengecer di Provinsi Sulawesi Selatan praktis tidak mengikuti dinamika harga beras, jagung dan kedelai di tingkat importir. Dengan perkataan lain, paling tidak selama periode analisis 1998-2001 Provinsi Sulawesi Selatan tidak menjadi pasar bagi beras, jagung maupun kedelai impor. Implikasinya, paling tidak hingga periode tersebut kemandirian pangan di Provinsi Sulawesi Selatan tetap tinggi. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Dalam era liberalisasi perdagangan global, penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia tidak secara otomatis akan menurunkan harga komoditas pangan serupa di tingkat konsumen domestik selama persentase penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan persentase kenaikan nilai tukar (persentase depresiasi nilai tukar). Kecenderungan penurunan harga beras, jagung dan kedelai di pasar dunia hanya akan memiliki arti positif bagi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu jika nilai tukar berada dalam kondisi kuat dan stabil. Di Provinsi Sulawesi Selatan dinamika harga beras, jagung, dan kedelai di tingkat pedagang besar, produsen maupun di tingkat pengecer praktis tidak mengikuti dinamika harga beras, jagung dan kedelai di tingkat importir. Dengan perkataan lain, paling tidak selama periode analisis 1998-2001 Provinsi Sulawesi Selatan tidak menjadi pasar bagi beras, jagung maupun kedelai impor, sehingga paling tidak hingga periode tersebut kemandirian pangan di Provinsi Sulawesi Selatan tetap tinggi. Implikasi Kebijakan Kebijakan stabilisasi nilai tukar harus dijadikan sebagai salah satu instrumen dalam mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu. Karena nilai 76

tukar yang tidak stabil akan menyebabkan harga pangan berfluktuasi dan akibatnya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan menjadi tidak pasti. Agar kemandirian pangan di provinsi-provinsi sentra produksi pangan seperti Sulawesi Selatan dapat dipertahankan dalam era liberalisasi perdagangan global maka yang harus diperhatikan adalah: (a) pemasukan bahan pangan impor pada provinsiprovinsi yang berstatus surplus jangan dilakukan menjelang/pada musim panen raya, (b) pemasukan bahan pangan impor hanya dilakukan pada provinsi-provinsi yang berstatus defisit dan setelah memperhatikan bahwa perdagangan antar pulau tidak mungkin menutupi defisit tersebut ditinjau dari segi fisik (volume) maupun ekonomi (harga), dan (c) pencegahan penyelundupan bahan pangan ke pasar domestik. DAFTAR PUSTAKA Amang, B dan M.H. Sawit. 1997. Perdagangan Global dan Implikasinya pada Ketahanan Pangan Nasional. Agro-Ekonomika No. 2 Tahun XXVII:1-14. Perhepi, Jakarta. Dewan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Kebijakan Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta. Erwidodo. 1999. Effects of Trade Liberalization on Agriculture in Indonesia: Institutional and Structural Aspects. Working Paper Series No. 41. The CGPRT Centre, Bogor. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultura Economics, 68 (1): 102-109. Simatupang, P dan N. Syafaat. 1999. Analisis Penyebab Anjloknya Harga KomoditasPertanian Selama Semester-1 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 77