II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci Kelinci lokal tipe pedaging merupakan kelinci yang sudah didomestikasi dari kelinci ras lain. Kelinci ini mempunyai potensi sebagai penghasil daging, bulu, feses dan urin menjadi pupuk. Selain itu kelinci sering dipakai dalam labolatorium sebagai hewan percobaan. Kelinci lokal merupakan persilangan antara berbagai jenis kelinci, yang kemudian membentuk suatu adaptasi lingkungan sekitarnya (Trisunawati, 1989). Meski memiliki ukuran tubuh lebih kecil dan laju pertumbuhan lebih lambat dari kelinci impor, namun kelinci lokal berguna dalam penyilangan dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi panas (Sarwono, 2001). Pada awal abad ke-19 kelinci dipelihara secara tradisional dengan sistem semi intensif memanfaatkan lahan yang tersedia di belakang rumah. Seiring meningkatnya kebutuhan protein sistem pemeliharaan menjadi lebih intensif. Kelinci dapat dipelihara pada suhu optimum 21 C, sedangkan pada suhu 25-30 C dapat menyebabkan stres pada kelinci (Lebas dkk., 1986). Kehidupan kelinci memiliki dimensi sosial yang kuat sehingga ia akan merasa tertekan manakala terpisahkan dari lingkungannya yang tadinya nyaman berubah ke lingkungan yang tak nyaman (Manshur dan Fakkih, 2010). Menurut Rahardjo dkk (2004) bahwa kelinci yang telah cukup lama dikenal oleh peternak dan telah beradaptasi dengan lingkungan tropis Indonesia adalah kelinci-kelinci impor dari berbagai negara di Eropa dan Amerika. Adaptasi di daerah tropis
9 menyebabkan perubahan kinerja biologis pada ternak-ternak tersebut yang sangat berbeda dengan kinerja rumpun murni di negara asalnya. Masalah pokok bagi ternak yang dipelihara di daerah tropis, termasuk kelinci ialah bertambahnya panas tubuh (body heat load) akibat tingginya suhu lingkungan yang melebihi daerah termonetral ternak (Qiston, 2012). Hal tersebut menyebabkan kelinci mengalami penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi minum. Keunggulan kelinci menurut Kartadisastra (1994), yaitu menghasilkan daging yang berkualitas tinggi dengan kadar lemak rendah, tidak membutuhkan areal yang luas dalam pemeliharaannya, dapat memanfaatkan berbagai bahan pakan hijauan, sisa dapur dan hasil sampingan olahan pertanian; hasil sampingannya (kulit/bulu, kepala, kaki dan ekor serta kotorannya) dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, biaya produksi relatif murah, pemeliharaannya mudah, dan dapat melahirkan anak 4-6 per tahun dan menghasilkan 4-12 anak setiap kelahiran. 2.2 Sistem Pemeliharaan Kelinci 2.2.1 Kandang Perkandangan dalam peternakan kelinci perlu mendapatkan perhatian yang cukup. Kandang sangat berperan dalam kesehatan dan produktivitas kelinci. Kandang yang tepat dan sehat menurut Manshur dan Fakkih (2010), kandang yang baik selalu berpijak pada prinsip mudah dibersihkan. Jarak antara lantai ke alas kandang minimal 50 cm. Upaya menjauhkan kelinci dari kotoran dengan jarak 50 cm ini agar sirkulasi udara dan kelembaban tidak bergerak ekstrem. Sistem kandang susun boleh. Tetapi pada praktiknya tujuan efektivitas ini sering
10 menjadi boomerang karena tidak efektif dalam kebersihan. Kandang lebar lebih sehat. Tidak ada yang baku untuk menentukan luas kandang. Semua harus mempertimbangkan besar kecilnya kelinci. Minimal 4x ukuran besar kelinci dan semakin luas semakin baik karena pada saat musim kemarau butuh kelonggaran. Tinggi kandang tidak boleh pendek sebab salahsatu kesehatan kelinci juga ditentukan oleh seringnya berdiri. Membuat ruang yang tinggi untuk kelinci. Jika ukuran panjang kelinci mencapai 50 cm, maka kita harus membuat tinggi kandang 60 cm. Membuat ruangan kandang kelinci senyaman mungkin dengan sirkulasi udara yang lancar. Kandang boleh berjajar, tetapi tidak boleh terlalu dekat dalam hal model hadap-hadapan. Prinsipnya harus dibuat selonggar-longgarnya. Uraian mengenai bagaimana kandang yang tepat dan sehat bagi kelinci tersebut memberi gambaran bahwa memelihara kelinci perlu perhatian dan keterampilan yang cukup, sebab bila tidak maka rawan bagi kelinci untuk bisa hidup lebih lama dan menyebabkan kerugian yang besar bila ini dilakukan dalam peternakan besar. Adapun cara yang tepat ketika menempatkan kelinci dalam sebuah perkandangan menurut Manshur dan Fakkih (2010), betina dewasa tidak baik ditempatkan berdampingan dengan jantan, terlebih berdampingan dengan lubang terbuka sehingga masing-masing bisa melihat setiap hari. Ini bisa menimbulkan gangguan pada betina karena agresivitas seksual jantan. Terutama pada induk hamil dan menyusui sangat beresiko stres. Penempatan betina di samping betina tidak menjadi masalah selama tidak ada kemungkinan bertengkar dan memang hanya sedikit agresivitas pertengkaran antar betina dalam satu kandang. Betina dengan betina biasanya hanya agresif bertarung ketika berada di area terbuka. Jantan berdampingan dengan jantan tidak masalah selama lubang kandang tidak
11 lebar. Kekuatan pagar kandang harus kokoh dan tidak berlubang karena antar kelinci jantan sering bertarung dengan memanfaatkan celah kandang. Pemeliharaan kelinci potong pada kandang koloni dan individu memiliki perbedaan dalam aspek fisiologis. Pemeliharaan kelinci koloni dapat dilihat dari perilaku makan lebih lahap dan terjadi persaingan. Bila suhu ruangan menurun kelinci-kelinci tersebut saling berdekatan untuk menghangatkan tubuh. Kandang yang baik dan memenuhi syarat akan memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup dan kesehatan ternak. Kandang yang acak-acakan akan menimbulkan masalah dalam kesehatan dan penyakit yang menyerang kelinci di dalamnya. Kandang kelinci yang terbaik terbuat dari besi dan pagar kawat. Kelinci adalah hewan pengerat, dimana gigi-giginya akan tumbuh memanjang disepanjang usianya. Mengerat pada besi lebih baik daripada mengerat pada kayu. Kelinci memiliki sensitifitas terhadap lingkungan sekitarnya. Kelinci akan merasa tidak aman dan nyaman bila ditempatkan di ruang yang sempit, ventilasi kurang, dan tentunya kurang interaksi dengan dunia luar. 2.2.2 Ukuran Kandang Sistem pemeliharaan kelinci erat kaitannya dengan perkandangan. Prawirodigdo dkk., (1985), pemeliharaan kelinci untuk tujuan sebagai penghasil daging menunjukkan kepadatan yang menunjang penampilan produksi terbaik adalah 14,4 ekor/m² atau sekitar 10 ekor/ 0,7 m² dengan pertambahan bobot hidup sebesar 40,5 g/ekor/hari dan konversi pakan 2,7 pada lama pemeliharaan 4 minggu setelah sapih.
12 Sistem perkandangan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kelinci. Sistem perkandangan berpengaruh terhadap sirkulasi udara di dalam kandang tersebut sehingga mempengaruhi stres panas pada kelinci (Finzi dkk., 1992). Kondisi demikian menyebabkan konsumsi ransum menurun dan meningkatnya konsumsi air, sehingga zat-zat makanan yang diserap oleh tubuh juga lebih sedikit yang kemudian menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat. 2.2.3 Kepadatan Kandang Kepadatan kandang memiliki peranan penting dalam pemeliharaan kelinci, tingginya kepadatan kandang akan mempengaruhi pertambahan bobot badan dan menambah jumlah kematian. Hal ini tergantung pada jumlah ternaknya per kandang (Prawirodigdo dkk., 1985). Menurut Finzi dkk (1992), sistem perkandangan berpengaruh terhadap sirkulasi udara di dalam kandang tersebut sehingga mempengaruhi stres panas pada kelinci. 2.2.4 Lingkungan Kandang Di daerah-daerah yang beriklim panas dalam pemeliharaan kelinci akan mengalami permasalahan hampir sama seperti cekaman panas, kualitas pakan rendah dan mudah terkena penyakit. Pengaruh negatif dari cekaman panas dapat diminimalkan melalui perbaikan faktor lingkungan termasuk makanan dan pemilihan jenis kandang yang lebih sesuai dengan lokasi peternakan (Nuriyasa, dkk., 2010) Adapun temperatur optimal untuk pertumbuhan kelinci berkisar 9-19 C (McNitt dll., 1996) dan kelembaban relatif udara dalam kandang optimal 80-86% (Kamal dkk., 2010). Menurut Junus (1985) bahwa kelembaban ideal untuk ternak
13 kelinci adalah 60-90% dimana kelembaban udara maksimum terjadi pada waktu pagi hari dan minimum pada sore hari. 2.2.5 Sejarah Kelinci Pada awalnya kelinci merupakan hewan liar yang hidup di Afrika hingga daratan Eropa. Setelah manusia bermigrasi ke berbagai benua baru, kelinci pun turut menyebar ke berbagai pelosok benua baru, kelinci pun turut menyebar ke berbagai pelosok benua baru, seperti Amerika, Australia, dan Asia. Di Indonesia, khususnya di Jawa, kelinci dibawa oleh orang-orang Belanda sebagai ternak hias pada tahun 1835. Hingga tahun 1912 kelinci diklasifikasikan dalam ordo Rodentia (Rodent). Selanjutnya dalam klasifikasi biologi, kelinci dimasukan dalam ordo Lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua family, yakni Ochtonidae (jenis pika yang bersiul) dan Leporidae (jenis kelinci dan terwelu). Famili Ochtonidae terdiri dari terwelu (tegalan) dan pika (Hustamin, 2006). 2.2.5 Taksonomi Ternak Kelinci Menurut sistem binomial, bangsa kelinci diklasifikasikan sebagai berikut (Bappenas, 2005) : Kingdom Phylum Subphylum Classis Ordo Familia : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Lagomorpha : Leponidae
14 Sub-Familia Genus Species : Leporine : Lepus : Lepus sp., 2.3 Pakan Kelinci Tatalaksana pemberian pakan yang berorientasi pada kebutuhan kelinci dan ketersediaan bahan pakan merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan produktivitas ternak kelinci. Tatalaksana pemberian pakan meliputi pemilihan jenis bahan baku pakan, pemenuhan jumlah pakan, dan pola pemberian pakan. Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang pertumbuhan kelinci. Pakan hijauan yang diberikan antara lain rumput lapangan, limbah sayuran (kangkung, sawi, wortel, lobak), daun ubi jalar maupun daun kacang tanah. Pemberian konsentrat untuk pakan kelinci ddapat berupa pelet (pakan buatan dari pabrik), bekatul, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas tapioka atau gaplek (Sarwono, 2001). Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Secara fisiologis, pakan ternak menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses dalam tubuh, menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaharui jaringan tubuh yang aus atau terpakai, mengatur kelestarian proses-proses dalam tubuh dan kondisi lingkungan dalam tubuh (Sunarso dan Christiyanto). Kelinci mempunyai sistem pencernaan yang sederhana yaitu monogastrik herbivore dengan caecum dan usus besarnya dapat mencerna serat kasar dan
15 mengkonsumsi biji-bijian. Sehingga kelinci dapat makan dan memanfaatkan pakan hijauan maupun sayuran, umbi-umbian, biji-bijian yang telah ditumbuk. Menurut Nugroho (1982), kebutuhan kelinci potong tiap hari adalah hijauan dan umbi-umbian, untuk kelinci dewasa jumlahnya sebanyak 0,5-1 kg/ekor/hari. Konsentrat adalah 200-300 gr/ekor/hari dengan kadar protein 12%, sedangkan untuk anak kelinci (1-6 bulan) kadar proteinnya 16% dan DE 2500 Kcal. Faktor ketersediaan pakan merupakan faktor penting setelah perkandangan, oleh karena itu berhasil atau tidaknya suatu usaha memberikan pakan yang terjaga baik kualitas maupun kuantitasnya. 2.4 Kebutuhan Nutrisi Kelinci Kebutuhan nutrisi kelinci merupakan suatu hal yang penting untuk diukur agar dapat menentukan keberhasilan performa produksi yang diinginkan. Kebutuhan nutrisi kelinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci Nutrient Kebutuhan Nutrisi Kelinci Pertumbuhan Hidup Pokok Bunting Laktasi Digestible Energy (kcal/kg) 2500 2100 2500 2500 TDN (%) 65 55 58 70 Serat Kasar (%) 10-12 14 10-12 10-12 Protein Kasar (%) 16 12 15 17 Lemak (%) 2 2 2 2 Ca (%) 0.45-0.40 1.75 P (%) 0.55 0.5 Metionin + Cystine 0.6 0.6 Lysin 0.65 0.75 Sumber: NRC (1977)
16 Kebutuhan protein kelinci berkisar antara 12-18%, tertinggi pada fase menyusui (18%) dan terendah pada dewasa (12%), kebutuhan serat kasar induk menyusui, bunting dan muda (10-12%), kebutuhan serat kasar kelinci dewasa (14%) sedangkan kebutuhan lemak pada setiap periode pemeliharaan tidak berbeda (2%) (Cheeke, 1987). Kebutuhan nutrisi kelinci disajikan dalam Tabel 1. menurut NRC (1977). Dalam hal kebutuhan bahan kering untuk kelinci adalah 3-3,5% berat badan (Arrigton dan Kelley, 1976). Sedangkan menurut NRC (1977) melaporkan bahwa kebutuhan pakan kelinci yaitu 60 gr per kg berat badan per hari. Berat badan dan status fisiologis kelinci didasarkan pada pemberian pakan. 2.5 Penampilan Performa Produksi Kelinci 2.5.1 Konsumsi Ransum Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan yang tersisa. Banyak sedikitnya konsumsi pakan sangat tergantung pada ukuran tubuh ternak, sifat genetis (breed), suhu lingkungan, tingkat produksi, perkandangan, kualitas dan kuantitas pakan serta penyakit (Wahyu, 1985). Banyak sedikitnya konsumsi pakan dipengaruhi beberapa faktor antara lain bentuk fisik pakan, imbangan kandungan zat makanan dalam pakan, kualitas pakan, bobot badan ternak, tingkat produksi, kecepatan pertumbuhan, sistem pemeliharaan, keadaan lingkungan atau suhu lingkungan, bangsa atau jenis ternak, jenis kelamin, tingkat energi pakan (Srigandono, 1991). Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak atau kelompok ternak dalam periode waktu tertentu, biasanya dalam satuan waktu
17 sehari, yaitu perhitungan dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi pakan yang tersisa dan tercemar. 2.5.2 Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan merupakan selisih antara bobot badan akhir dengan bobot badan awal. Pertambahan bobot badan akan cepat pada saat sebelum dewasa tubuh, namun pada tingkat usia tertentu akan melambat sampai pertumbuhan berhenti setelah ternak dewasa (Health dan Olusanya, 1980). Menurut (Church dan Pond, 1980) pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makanan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-zat makanan dari ransum yang diberikan. Dan dari data pertambahan bobot badan akan diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor genetik merupakan salahsatu faktor utama yang mempengaruhi pertambahan bobot badan. Piles dkk (2004) menyatakan bahwa faktor genetik mempengaruhi pertumbuhan, konsumsi, dan karkas. Ditunjang juga oleh Kartadisastra (1997), bahwa bobot badan ternak berbanding lurus dengan tingkat dari konsumsi pakannya. 2.5.3 Konversi Ransum Konversi pakan digunakan untuk mengetahui efisiensi pakan (Maertens, 2009). Konversi ransum adalah jumlah ransum yang habis dikonsumsi ternak dalam jangka waktu tertentu dibandingkan dengan bobot hidup (pada akhir waktu tertentu).
18 Secara umum konversi pakan adalah jumlah ransum yang diberikan untuk menghasilkan produk dalam jumlah tertentu. Semakin besar angka konversi pakan maka penggunaan pakan tersebut kurang ekonomis, sebaliknya jika angka konversi itu semakin kecil berarti semakin ekonomis. Pakan menjadi tidak ekonomis bila nilai konversinya lebih dari dua (Sarlas dkk, 1976). 2.6 Tingkah Laku Kelinci Ethology merupakan ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku hewan. Ethos berarti karakter atau alam dan logos yang berarti ilmu. Mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakteristik hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya. (Gonyou, 1991). Tingkah laku makan adalah pola tingkah laku yang digunakan oleh hewan untuk mencari, mendapatkan, menyeleksi dan memakan pakan yang penting sekali untuk berhasilnya pengembangan usaha peternakan (Tomaszewska, 1991) Pada kelinci lepas sapih yang memang sedang mengalami masa pertumbuhan bila dikaitkan dengan tingkah lakunya terhadap kandang maka menurut hasil penelitian Verga dkk, (2004), kandang tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, namun berpengaruh terhadap tingkah laku kelinci. Dengan kata lain bahwa kandang tidak berpengaruh terhadap performa ternak tersebut akan tetapi berpengaruh terhadap tingkah laku ternak. Hal demikian berlaku dalam pola kandang untuk individu maupun koloni yang menempatkan ternak berumur seragam. Dimana ternak bila berumur tidak seragam yang ditempatkan pada satu kandang dalam jumlah banyak atau lebih dari satu ekor maka kemungkinan akan terjadi tingkah laku yang agresif berupa kekuasaan territorial,
19 makanan dan minuman di kandang tersebut. Sedangkan pada kandang individu tetap bisa terjadi hal yang sama namun bila terdapat sekat yang terbuka dengan kandang lainnya misalnya memakai sekat kawat ram. Kelinci yang berdampingan kandang dengan lainnya kemungkinan mengalami tingkah laku agresif yang minimal berbeda dengan kandang koloni. Tingkah laku yang paling menonjol pada kelinci jantan lepas sapih yang mendekati umur dewasa di kandang individu yang berdekatan dengan kandang lainnya bisa mengalami fisiologi hormonal dengan tingkah laku mengendus-endus kelinci yang ada di sebelah kandangnya. Adapun tingkah laku kelinci yang mengalami stress akibat beberapa hal terutama akibat suhu lingkungan namun tidak begitu signifikan pengaruhnya terhadap performa kelinci pada suhu lingkungan tertentu. Menurut hasil penelitian Qisthon (2012) bahwa kelinci akan mengalami stress apabila hidup pada suhu lingkungan lebih dari 28-30 C dan mengalami cekaman yang hebat apabila selisih suhu lingkungan antara siang dan malam hari lebih dari 2 C.