Mengoptimalkan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Dalam Unit Daerah Aliran Sungai 1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013


BUKU RENCANA MANAJEMEN PLAN SUB DAS GOPGOPAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

BAB I PENDAHULUAN. DAS Serayu, terutama di bagian hulu DAS berkaitan dengan pemanfaatan lahan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

PENGELOLAAN DAS TERPADU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT)

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebidang lahan yang menampung air hujan

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah *

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

OLEH: LALU ISKANDAR,SP DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN LOMBOK TENGAH

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING. di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

REVITALISASI KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR

TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Hutan. Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

Rencana Strategis

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

Mengoptimalkan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Dalam Unit Daerah Aliran Sungai 1 Arif Ismail GIS Specialist SCBFWM Disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) menjadi angin segar dalam mempercepat upaya rehabilitasi 108 2 DAS kritis prioritas di Indonesia. Meskipun upaya penanganan DAS kritis telah dilakukan sejak tahun 1970, namun hasil yang dicapai belum menunjukkan adanya perbaikan kinerja DAS secara signifikan. Bahkan jumlah DAS kritis terus bertambah sejak 30 tahun yang lalu dari 22 DAS tahun 1970 menjadi 36 DAS tahun 1980-an dan sejak tahun 1999 menjadi 60 DAS 3. Naiknya jumlah DAS yang termasuk dalam kelas kritis, menunjukkan bahwa pengelolaan DAS selama ini belum efektif dan tepat sasaran sehingga perlu adanya evaluasi baik dari perencanaan, pelaksanaan, dan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) terhadap kelestarian fungsi DAS. Disadari bahwa keterlibatan stakeholder sangat besar peranannya dalam mewujudkan pengelolaan DAS terpadu dan pola pembangunan sektoral harus sudah mulai ditinggalkan. Aspek legal pelibatan stakeholder mulai dari lembaga/instansi pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat lokal telah dipayungi melalui PP 37 tahun 2012 di atas. Masing-masing stakeholder memberikan peran dan fungsi sesuai dengan tupoksinya. Di tingkat lokal, peran masyarakat menjadi penting bahkan harus terus didorong sebagai pelaku utama dalam upaya mengurangi laju degradasi hutan dan lahan dalam satuan/unit DAS. Sebagaimana telah diamanatkan pula dalam peraturan tersebut (pasal 57) yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memberikan informasi, saran dan pertimbangan dalam pengelolaan DAS. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan DAS adalah DAS tidak dibatasi oleh batas administrasi, melainkan oleh topografi punggungan bukit yang terbentuk secara alami. Cakupan wilayah administrasi bisa mencakup provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan desa, sesuai dengan luas DAS yang akan dikelola. Di tingkat lokal (desa) peran masyarakat secara otomatis dibatasi oleh unit administrasi yang paling kecil bisa dari tingkat desa sampai pada dusun. Seperti pengalaman penulis menemui CBO (community based organization) Tunas Baru di Desa Netpala Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kelompok tersebut memiliki visi kedepan terhadap kelestarian alam sebagai tempat tinggalnya melalui pengelolaan DAS. Salah seorang pengurus CBO tersebut menuturkan bahwa ketika pertama kali bertempat tinggal di lokasi tersebut tahun tahun 1970-an, kondisi lahan saat itu kering dan tandus. Dengan bekal pengetahuan pengembangan tanaman agroforestry yang cukup baik, saat ini kelompok Tunas Baru mengembangkan komoditas jeruk keprok So e, mangga dengan jenis yang cukup variatif, tanaman berkayu jenis cendana, mahoni, dan gamelina untuk ditanam di lahan-lahan kritis di sekitar tempat tinggalnya. Namun, aktifitas dari kelompok hanya terkonsentrasi pada wilayah dusun (1 dusun), yang dalam unit DAS termasuk pada wilayah sub-subdas atau sungai tingkat ordo 1. Berdasarkan permasalahan di atas, tulisan ini mencoba mengkaji dari perspektif wilayah/keruangan bagaimana peran masyarakat dalam perencanaan penataan ruang di lingkup administrasi desa dapat 1 Dimuat dalam bulletin Bina DAS, Volume 4 Nomor 12 Juni 2013 ISSN 2087-7951 2 Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.328/Menhut-II/2009 3 Kementerian Kehutanan, 2009, Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia, http://www.scbfwm.org/wpcontent/uploads/2013/02/framework_das_09.pdf, diakses tanggal 2 Juli 2013 1

dikembangkan kedalam unit DAS sebagai bagian dari implementasi pengelolaan DAS berbasis masyarakat. Agar kedepannya pelibatan masyarakat di tingkat lokal dalam unit administrasi dapat dikelola juga dalam unit DAS dan aktivitas-aktivitas yang dikerjakan dapat mendukung pengelolaan DAS dengan lebih optimal. Peran Masyarakat dalam Menentukan Pola Penggunaan Ruang Wilayah Sebagai pemangku wilayah di tingkat lokal, masyarakat memiliki pengetahuan dan tingkat kedalaman informasi yang lebih baik tentang kondisi geografis tempat tinggalnya dibandingkan dengan orang luar wilayah tersebut. Pengetahuan dan Informasi merupakan hasil dari proses interaksi dengan lingkungan dalam jangka waktu yang cukup lama dan setiap individu memiliki informasi yang berbeda, bergantung pada bagaimana proses interaksinya dengan ruang. Sehingga akumulasi informasi dari beberapa individu akan menghasilkan informasi yang lebih bernilai, lengkap dan update. Secara historis, masyarakat lokal memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan/perubahan lingkungan disekitar tempat tinggalnya. Dengan demikian informasi keruangan yang dimiliki oleh masyarakat merupakan sumber informasi sebagai bahan perencanaan penataan ruang wilayah di kemudian hari. Pengalaman penulis dalam kegiatan pemetaan wilayah partisipatif di Desa Pakuan Kecamatan Narmada Kab. Lombok Tengah, menunjukkan masyarakat mampu menggambarkan pola penggunaan lahan di wilayahnya (lihat Gambar 1), yang disajikan dalam bentuk peta sketsa wilayah struktur penggunaan lahan di sebagian Desa Sesaot. Jenis penggunaan lahan terdiri atas hutan, kebun campuran pola agroforestry pada lahan Hkm, kebun milik, sawah, sungai, jalan raya, infrastruktur bangunan penting seperti kantor kepala desa, sekolah, pemukiman, dan fasilitas umum lainnya. Entitas-entitas yang terdistribusi pada wilayah tersebut menggambarkan wujud aktifitas dan bisa juga menggambarkan kultur sosial masyarakat setempat. Gambar 1. Peta Sketsa Penggunaan Lahan Desa Sesaot Kec. Narmada Kab. Lombok Barat 4 4 Pemetaan Partisipatif Desa Pakuan NTB, September 2012 2

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa masyarakat dapat berperan memberikan dan menyajikan memberikan informasi pola penggunaan lahan di wilayahnya sebagai sumber dalam perencanaan penataan ruang di masa mendatang. Aspek legal peran masyarakat dalam penataan ruang telah diatur dalam UU No. 26 tahun 2007, yang mana masyarakat diberikan keleluasaan dalam penataan ruang di berbagai level perencanaan dengan berpartisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang, masyarakat diberikan kesempatan dalam proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Dalam pemanfaatan, masyarakat diberikan kesempatan dalam penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Dalam pengendalian pemanfaatan ruang, masyarakat diberikan kesempatan untuk mewujudkan tertib tata ruang. Seperti yang terlihat pada Gambar 1, terdapat jenis penggunaan lahan perkebunan/kebun campuran dengan pola agroforestry pada kawasan hutan lindung/lahan milik pemerintah yang legal dalam bentuk hutan kemasyarakatan (HKm). Hal ini menunjukkan terdapat peran masyarakat dalam usulan pemanfaatan ruang dalam kawasan hutan. Peran pengendalian pemanfaatan ruang diwujudkan dalam pembuatan peraturan-peraturan desa (Perdes) serta peraturan kelompok Hkm untuk mewujudkan tertib penggunaan ruang dan atau untuk pengelolaan sumberdaya alam yang ada di wilayahnya agar memberikan manfaat yang berkelanjutan. Memadukan Perencanaan Ruang Desa Dalam Unit DAS Dalam konteks pengelolaan DAS berbasis masyarakat, peran masyarakat dalam penataan ruang di tingkat desa, menjadi potensi yang cukup strategis dalam optimalisasi upaya rehabilitasi lahan kritis dan pemulihan DAS prioritas di level yang lebih kecil. Unit DAS yang meliputi satu atau lebih wilayah administrasi tingkat desa, perlu dipertimbangan sebagai unit wilayah dalam perencanaan dalam penataan ruang. Boleh jadi satu perencanaan ruang di satu desa bersinergi dengan perencanaan ruang di desa lain jika ternyata lokasinya ada dalam satu unit DAS/SubDAS. Dengan keterpaduan perencanaan di tingkat desa diharapkan pengelolaan DAS dari hulu ke hilir dapat dimulai dari unit DAS dengan luasan yang paling kecil atau tingkat sungai ordo ke-1. Ilustrasi sederhana untuk memudahkan pemahaman di atas ditunjukkan pada Gambar 2, yang mengambil contoh di subdas Tulis Jawa Tengah. SubDAS Tulis (Gambar 2 a) terletak pada unit administrasi Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, merupakan bagian dari DAS Serayu yang dalam SK.328/Menhut- II/2009 termasuk dalam 108 DAS Prioritas. Bagian hulu subdas merupakan kawasan Dieng yang didalamnya terdapat aktifitas pemanfaatan lahan pertanian yang cukup intensif. Laju erosi di kawasan Dieng cukup tinggi mencapai 400 ton/ha/tahun 5. Oleh karena terletak pada dua daerah administrasi, maka upaya perbaikan daya dukung sub DAS Tulis terutama di bagian hulu harus menjadi bagian dari rencana penataan ruang di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten wonosobo. Gambar 2 (b) lebih menunjukkan bagaimana wilayah desa merupakan bagian dari SubDAS dengan luasan yang lebih kecil. Masih bagian dari kawasan Dieng, terdapat desa Desa Sumber Rejo, Desa Pekasiran, Desa Pesurenan, dan Desa Gembol yang secara hidrologis terletak pada subdas Dolok dan SubDAS Putih. Jaringan jalan menunjukkan lokasi pusat-pusat pertumbuhan/pemukiman dan jaringan prasarana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat di empat desa tersebut. Penggunaan lahan di keempat desa tersebut berupa pertanian lahan kering dengan komoditas utama tanaman kentang. Jika dilihat dari peran DAS sebagai ekosistem dari hulu ke hilir, maka pola dan aktifitas masyarakat di Desa Pekasiran akan berpengaruh terhadap Desa Pesurenan dan Desa Gembol yang terletak di Hilir subdas Dolok. Sedangkan pada subdas Putih Aktifitas di Desa Pekasiran akan berpengaruh pada Dusun Sidomulyo, Desa Pasurenan, 5 Hasil perhitungan dengan metode USLE tahun 2011,Update Baseline data SCBFWM Regional Jawa Tengah 3

dan sebagian Desa Gembol di bagian hilir. Tingginya laju erosi lahan di subdas Putih dan subdas Dolok akan mempengaruhi tingkat kesuburan tanah akibat berkurangnya lapisan organic horizon tanah kemudian mengurangi produktivitas hasil pertanian. Selain itu laju aliran permukaan akan naik seiring dengan berkurangnya tutupan vegetasi permanen dan akumulasi dari aliran permukaan dari hulu (Desa Pekasiran dan Sumberrejo) akan berdampak pada banjir di bagian hilir (Desa Gembol, Pesurenan). Batas subsubdas SubSubDAS Putih (1137 Ha) SubSubDAS Dolok (1592 Ha) Sungai Jalan (a) subdas Tulis, lintas Kabupaten dan dikelola oleh Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo (b) SubSubDAS Dolok dan SubSubDAS Putih, dikelola oleh Desa Pekasiran, Desa Gembol, Desa Pasurenan dan Desa Sumberejo Gambar 2. Ilustrasi unit subdas Tulis dan struktur ruang dalam unit subdas Dalam perencanaan penataan ruang kedepan, sinergi antara masyarakat Desa pekasiran, Sumberejo, Gembol, dan Pasurenan sangat diperlukan, khususnya dalam menentuan wilayah-wilayah untuk fungsi lindung, budidaya, dan pemukiman yang didasarkan pada kemampuan lahan dan keberadaannya dalam satu ekosistem subdas Putih dan Dolok. Wilayah fungsi lindung perlu ditentukan untuk memperbaiki tata air dalam DAS dan menjamin kesinambungan sumber-sumber mata air yang digunakan oleh masyarakat di keempat desa tersebut. Wilayah dengan fungsi budidaya sangat penting diatur bersama, mengingat kondisi lahan yang sangat peka terhadap erosi, dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang sesuai dengan kondisi kemiringan dan jenis tanah. Terakhir wilayah dengan fungsi pemukiman harus ditentukan dengan mempertimbangkan laju populasi penduduk, aktifitas ekonomi, dan lokasi yang memiliki resiko tinggi terhadap bencana alam. Hasil dari sinergi perencanaan ruang di atas selanjutnya selanjutnya dapat diintegrasikan dalam rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes). Penutup Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa peran aktif masyarakat dalam merencanakan penataan ruang dalam unit desa (administasi) berpotensi untuk dikembangkan kedalam unit DAS, dengan 4

memadukan perencanaan di satu desa dengan desa lainnya yang letak wilayahnya ada dalam satu unit DAS dengan tingkatan ordo sungai ke-1 sampai 2. Masyarakat berperan memberikan dan menyajikan informasi pola penggunaan lahan di wilayahnya sebagai sumber dalam perencanaan penataan ruang di masa mendatang. Dengan keterpaduan perencanaan di tingkat desa dalam satu unit DAS dari hulu ke hilir dapat mengoptimalkan upaya perbaikan 108 DAS Prioritas di Indonesia dalam kurun 2010 2014. ----------------------------------- 5