4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODOLOGI PENELITIAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

BAB III BAHAN DAN METODE

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE

3 METODOLOGI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

: Perikanan Tangkap Udang Nomor Sampel Kabupaten / Kota : Kecamatan : Kelurahan / Desa Tanggal Wawancara : Nama Enumerator :..

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN ALAT CANTRANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI SADENG, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Small Scale Fisheries Effort At Sadeng, Yogyakarta Province)

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DAN KOMPOSISI JENIS IKAN HASIL TANGKAPAN DI SEKITAR PULAU BENGKALIS, SELAT MALAKA

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

C E =... 8 FPI =... 9 P

ANALISIS KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN RAWAI (LONG LINE) PAGI DAN SIANG HARI DI PERAIRAN TELUK PAMBANG KECAMATAN BANTAN KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan Purse seine (1) Alat tangkap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KONDISI PERIKANAN DEMERSAL DI KOTA TEGAL. 4.1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISA POLA PEMBIAYAAN USAHA PENANGKAPAN IKAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP JARING INSANG (GILL NET) NELAYAN BULAK KOTA SURABAYA

JOURNAL OF MANAGEMENT AQUATIC RESOURCES Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

PENANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp.) DI SEKITAR PULAU TIMOR. (SNAPPER (Lutjanus sp.) FISHERIES IN KUPANG REGENCY OF EAST NUSA TENGGARA PROVINCE)

3 METODOLOGI PENELITIAN

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang

DESKRIPSI ALAT TANGKAP IKAN DI KECAMATAN BONTOMANAI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

KARAKTERISTIK JARING CANTRANG YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Jumlah kapal (unit) pada ukuran (GT) >100

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ini adalah gambar secara skematis karangka pemikiran penelitian :

Fishing Technology: Longline. Ledhyane Ika Harlyan

6 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI EKONOMI

Muhamad Farhan 1), Nofrizal 2), Isnaniah 2) Abstract

3. METODE PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM PENELITIAN. Kecamatan Labuhan Haji merupakan Kecamatan induk dari pemekaran

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak pada lintang LS LS dan BT. Wilayah tersebut

Lampiran 1. Desain dan spesifikasi alat tangkap gillnet dan trammel net. Gillnet

6 USAHA PENANGKAPAN PAYANG DI DESA BANDENGAN

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

Transkripsi:

31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39 kapal motor > 5 GT (Kecamatan Mempawah Hilir, 2006). Kapal motor yang digunakan pada perikanan bubu memiliki kapasitas antara 0-5 GT, panjang kapal 8-10 m, lebar 2-3 m dan dalam 1-1,5 m, rata-rata menggunakan bahan dasar kayu. Kapal yang digunakan selama penelitian berkapasitas 3 GT, panjang kapal 10 m, lebar 2,85 dan dalam 1 m (Gambar 8). Kapal tersebut menggunakan mesin berkekuatan 22 HP/2200 RPM, model ZS 1110, merk Shanhai, bobot 210 kg, bahan bakar solar dengan harga beli (second) sebesar 6,7 juta pada tahun 2007. Dimensi Kapal secara umum dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 4.1.2 Alat Tangkap Alat tangkap yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari pukat pantai 559 unit, bubu sekitar 350 unit, pancing lain 202 unit, jaring insang 67 unit dan long line 11 unit (Kecamatan Mempawah Hilir, 2006). Bubu yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Perbedaan antara kedua jenis bubu dapat dilihat pada Tabel 7. Dimensi bubu dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

32 Tabel 7 Perbedaan Bubu Bambu dengan Bubu Jaring No Uraian Bubu Bambu Bubu Jaring 1. Harga (lengkap) Rp. 100.000,- Rp. 150.000,- 2. Bentuk Empat persegi panjang, bag. depan elips 3. Panjang 1,83 m 1,55 m Empat persegi panjang, lebar bawah > lebar atas 4. Lebar 1,55 m B = 1,23 m / A = 0,85 m 5. Tinggi Dp = 0,78 m/bk = 0,43 m 0,45 m 6. Bahan funnel Bambu Kawat loket (tebal 1 mm, P & L = 1 inch) 7. Lebar funnel 0,51 m 0,43 m 8. Tinggi funnel 0,71 m 0,43 m 9. Mesh size - 3 inch 10. Bahan Bambu PE 11. Rangka Kayu (jenis mata udang) utk bag. bawah 12. Daya tahan 2-3 bulan 6-7 bulan Kayu (jenis mata udang) 13 Pemberat 6 bh @ 5-10 kg 4 bh @ 5-10 kg Sumber : Hasil wawancara dan pengukuran langsung di lapangan 4.1.3 Nelayan/Anak Buah Kapal (ABK) Jumlah nelayan yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir sekitar 1078 orang, 103 orang diantaranya merupakan nelayan bubu (Kecamatan Mempawah Hilir, 2006). Nelayan yang membantu selama penelitian berjumlah 4 orang, yang terdiri dari seorang nahkoda dan tiga orang ABK (salah seorang ABK juga ahli mesin). Ketiga ABK bertugas melakukan seluruh kegiatan penangkapan ikan, seperti menurunkan dan mengangkat bubu, menangani hasil tangkapan, memasak, membersihkan bubu dan kapal, dan lain-lain. Nahkoda hanya tamat SD, seorang ABK hanya tamat SD, lainnya tamat SMP dan SMA. Dua orang ABK baru menjadi nelayan selama 4 tahun, nahkoda kapal selama 12 tahun dan seorang lagi 30 tahun dan pernah mengikuti pelatihan pukat plastik pada tahun 1985, sedangkan kedua ABK lainnya termasuk nahkoda belum pernah mengikuti pelatihan. Sedangkan pemilik kapal tidak tamat SD, pernah menjadi nelayan selama 20 tahun dan mengikuti kursus pengenalan GPS pada tahun 2006.

33 4.2 Metode Pengoperasian Bubu Sebelum kegiatan penangkapan ikan menggunakan bubu di Mempawah Hilir dilakukan, ada beberapa persiapan yang dilakukan sebelum operasi peletakan bubu, seperti: mempersiapkan bumbu masakan, pengisian bahan bakar, mempersiapkan alat, pengecekan mesin kapal, penyusunan bubu yang akan direndam (sore hari sebelum berangkat, Gambar 9) dan pemasangan GPS serta accu (pagi hari sebelum berangkat), dan lain-lain. Setelah persiapan selesai, maka pada pagi hari antara pukul 05.20 s/d 06.00 WIB kapal bubu meninggalkan fishing base pada posisi 0 19 LU dan 108 58 BT menuju fishing ground pada posisi 0 13-0 25 LU dan 108 47-108 52 BT. Gambar 9 Bubu yang akan direndam disusun di atas kapal. Pada perjalanan menuju fishing ground, kegiatan yang dapat dilakukan ABK adalah memasak nasi, mengolah bumbu dan lain-lain. Setelah kapal berlayar selama 1,5-3 jam dan tiba di fishing ground yang berjarak antara 7-14 mil, maka setting dimulai dengan menununggu aba-aba dari nahkoda kapal (sambil merekam posisi bubu pada GPS), setelah aba-aba diberikan, maka ABK menjatuhkan bubu pertama (Gambar 10), kemudian menjatuhkan bubu kedua juga setelah ada abaaba dari nahkoda kapal (sambil merekam posisi bubu pada GPS juga), untuk satu rangkaian bubu. Peletakan bubu ini diusahakan agar mulut bubu (funnel) saling berhadapan. Demikian dilakukan pada semua rangkaian bubu pada semua perlakuan (dua, tiga, empat dan lima hari). Proses setting untuk satu rangkaian bubu berlangsung selama 5-10 menit.

34 Gambar 10 Setting dimulai dengan menjatuhkan bubu jaring (kiri) dan bubu bambu (kanan) oleh ABK. Setelah semua bubu diletakkan (untuk setting I pada satu perlakuan), maka dapat dilakukan proses hauling pada bubu nelayan yang berada di sekitar lokasi penelitian. Proses hauling sama untuk semua bubu, yaitu mula-mula dengan mempersiapkan arit (Gambar 11), yang digunakan untuk mengait tali antara bubu bambu dengan bubu jaring di dasar perairan. Setelah tiba di lokasi peletakan bubu, maka nahkoda kapal memberikan aba-aba kepada ABK untuk menjatuhkan arit. Arit ini dijatuhkan antara bubu bambu dan bubu jaring, kemudian nahkoda kapal menjalankan kapal secara perlahan diantara kedua bubu (Gambar 12), sambil sesekali melihat ke GPS dan ABK. Apabila dirasa arit telah tersangkut tali bubu, maka ABK memberikan aba-aba kepada nahkoda untuk menghentikan kapal (mesin kapal tetap hidup) dan proses hauling pun dilakukan dengan menarik tali arit tersebut. Gambar 11 ABK bersiap untuk menjatuhkan arit pada saat hauling.

35 Gambar 12 GPS menunjukkan lintasan kapal bergerak menyisir diantara kedua bubu pada saat hauling. Tarikan demi tarikan dilakukan oleh ABK (Gambar 13) hingga arit sampai di atas kapal, setelah itu maka giliran tali bubu (main line) diangkat dan diletakkan melintang pada kapal. Kemudian kapal menyisir main line pada salah satu sisi kapal untuk memperpendek jarak bubu. Apabila diperkirakan jarak bubu hampir dekat dengan kapal, maka ABK mulai menarik main line hingga bubu naik ke kapal (Gambar 14). Gambar 13 ABK sedang menarik tali arit pada saat hauling.

36 Gambar 14 Para ABK dan Nakhoda sedang berusaha menaikkan bubu bambu ke atas kapal. Setelah bubu naik ke kapal maka dilakukan proses pengeluaran hasil tangkapan (Gambar 15). Proses hauling ini dapat berlangsung selama 20-30 menit. Hauling dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali dan dinyatakan sebagai 7 (tujuh) kali ulangan. Masing-masing perlakuan (lama perendaman dua hari, tiga hari, empat hari dan lima hari) melakukan 7 (tujuh) kali ulangan. Hasil tangkapan dibedakan antara bubu bambu dan bubu jaring, dimana ikan hasil tangkapan bubu bambu dipotong ekornya, sedangkan ikan hasil tangkapan bubu jaring tidak (Gambar 16). Setelah proses hauling selesai dilakukan, maka kapal kembali menuju fishing base. Pencatatan semua hasil tangkapan dilakukan setelah kapal tiba di fishing base (antara pukul 16.00 s/d 18.00 WIB), yang meliputi jenis, jumlah (individu), bobot (gr) dan ukuran (cm) hasil tangkapan. Gambar 15 ABK sedang mengeluarkan hasil tangkapan pada bubu jaring.

37 Gambar 16 Hasil tangkapan bubu bambu yang dipotong ekornya (kiri) dan bubu jaring (kanan). 4.3 Komposisi Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian meliputi jenis, jumlah (individu), bobot (gr) dan ukuran ikan (cm). Pengukuran bobot dan ukuran ikan dilakukan setelah kapal tiba di fishing base. Ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan pada bubu adalah Lutjanus sanguineus, Lutjanus johni dan Pomadasys sp. Hasil tangkapan total yang diperoleh terdiri dari beberapa jenis ikan dan udang, seperti: ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus), ikan tambangan (Lutjanus johni), ikan gerot-gerot (Pomadasys sp.), ikan kerapu (Epinephelus tauvina), ikan gulamah (Seudociena sp.), ikan gebel (Platax sp.) dan udang barong (Panulirus sp.) (Lampiran 5). Komposisi jumlah (individu) hasil tangkapan selama penelitian pada bubu bambu didonimasi oleh species target sebesar 84%, terdiri dari ikan kakap merah (36%), ikan gerot-gerot (26%) dan ikan tambangan (22%), disajikan pada Gambar 17. Pada komposisi bobot (gr) hasil tangkapan bubu bambu selama penelitian juga didominasi oleh species target sebesar 91%, terdiri dari ikan tambangan (58%), ikan gerot-gerot (18%) dan ikan kakap merah (15%), disajikan pada Gambar 18.

38 3 ; 4% - ; 0% 16 ; 22% 6 ; 8% 19 ; 26% Gerot-gerot Kkp. Merah Kerapu Gebel Tambangan Udang Barong Gulamah 3 ; 4% 25 ; 36% Gambar 17 Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu bambu (individu). 2.400 ; 3% - ; 0% 13.850 ; 18% Gerot-gerot Kkp. Merah Kerapu Gebel Tambangan Udang Barong Gulamah 43.300 ; 58% 11.450 ; 15% 1.800 ; 2% 3.300 ; 4% Gambar 18 Komposisi bobot hasil tangkapan pada bubu bambu (gr). Komposisi jumlah (individu) hasil tangkapan selama penelitian pada bubu jaring didominasi oleh species target sebesar 90%, terdiri dari ikan kakap merah (46%), ikan gerot-gerot (29%) dan ikan tambangan (15%), disajikan pada Gambar 19. Pada komposisi bobot (gr) hasil tangkapan bubu jaring selama penelitian juga didominasi oleh species target sebesar 95%, teridiri dari ikan tambangan (45%), ikan gerot-gerot (27%) dan ikan kakap merah (23%), disajikan pada Gambar 20.

39 1 ; 1% 2 ; 2% - ; 0% 8 ; 7% 17 ; 15% 32 ; 29% Gerot-gerot Kkp. Merah Kerapu Gebel Tambangan Udang Barong Gulamah 50 ; 46% Gambar 19 Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu jaring (individu). 700 ; 1% 1.300 ; 2% 37.200 ; 45% 21.600 ; 27% Gerot-gerot Kkp. Merah Kerapu Gebel Tambangan Udang Barong Gulamah 18.450 ; 23% - ; 0% 2.000 ; 2% Gambar 20 Komposisi bobot hasil tangkapan bubu jaring (gr). Secara keseluruhan, komposisi hasil tangkapan bubu (bubu bambu dan jaring) selama penelitian diperoleh ikan/udang sebanyak 182 individu, yang didominasi oleh ikan kakap merah sebesar 42% (75 individu), ikan gerot-gerot sebesar 28% (51 individu), ikan tambangan sebesar 18% (33 individu), disajikan pada Gambar 21.

40 4 ; 2% 2 ; 1% 6 ; 3% 11 ; 6% 33 ; 18% 51 ; 28% Gerot-gerot Kkp. Merah Kerapu Gebel Tambangan Udang Barong Gulamah 75 ; 42% Gambar 21 Komposisi jumlah total hasil tangkapan bubu selama penelitian (individu). Komposisi hasil tangkapan bubu (bubu bambu dan jaring) selama penelitian meliputi jumlah (individu), persentase jumlah, kisaran bobot (gr), rerata bobot (gr/individu) dan kisaran panjang (cm) dan rerata panjang (cm/individu) masingmasing spesies dapat di lihat pada Tabel 8. Tabel 8 Komposisi jumlah (individu), persentase jumlah, bobot (gr), persentase bobot, rerata bobot (gr/individu) dan rerata panjang (cm/individu) masing-masing spesies selama penelitian JENIS IKAN Jumlah % Jum lah Hasil Tangkapan Ikan/Udang Kisaran Bobot (gr) Rerata Bobot (gr/individu) Kisaran Panjang (cm) Rerata Panjang (cm/individu) Gerot-gerot 51 28 200-1.400 695 26-49 39 Kkp. Merah 75 42 100-1.000 399 18-43 31 Kerapu 11 6 100-1.200 345 22-47 29 Gebel 6 3 300-1.200 550 23-35 26 Tambangan 33 18 100-4.300 2.439 22-73 56 Udang Barong 4 2 700-900 775 37-39 38 Gulamah 2 1 300-900 650 30-43 37 JUMLAH 182 100 Sumber : Data olahan dari hasil penelitian, 2007

41 4.4 Pengaruh Lama Perendaman dan Jenis Bubu terhadap Hasil Tangkapan 4.4.1 Analisis Deskripsi Lama Perendaman dan Jenis Bubu Pada penelitian, operasi penangkapan berlangsung selama satu hari (one day trip), pergi antara pukul 05.20 s/d 06.00 WIB dan kembali antara pukul 16.00 s/d 18.00 WIB. Setting dimulai sekitar pukul 07.00 WIB dan berakhir pada sekitar pukul 09.00 WIB, sedangkan hauling dilakukan setelah setting dilakukan, sekitar pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 15.00 WIB, hal ini dilakukan apabila kapal menuju fishing ground membawa bubu yang akan diletakkan. Namun, apabila kapal menuju fishing ground tanpa membawa bubu, maka proses hauling dapat dilakukan pada sekitar pukul 09.00 WIB. Hasil tangkapan ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) selama penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis bubu dengan lama perendaman lima hari efektif menangkap ikan kakap merah sebesar 7.350 gr (Gambar 22). Meskipun demikian, ternyata produktivitas hasil tangkapan ikan kakap merah pada bubu jaring dengan lama perendaman dua hari sebesar 314 gr/hari, lebih tinggi daripada lama perendaman lainnya dan jenis bubu bambu (Gambar 23). Hasil perhitungan produktivitas ikan kakap merah (gr/hari) disajikan pada Lampiran 10. Berat (gram) 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000-2 HR 3 HR 4 HR 5 HR Hari Bubu Bambu Bubu Jaring Gambar 22 Bobot ikan kakap merah pada kedua jenis bubu dengan perbedaan lama perendaman (gr).

42 350 Produktivitas (gr/hari) 300 250 200 150 100 50-2 HR 3 HR 4 HR 5 HR Hari Bubu Bambu Bubu Jaring Gambar 23 Produktivitas hasil tangkapan ikan kakap merah pada kedua jenis bubu dengan perbedaan lama perendaman (gr/hari). Perbandingan bobot (gr) hasil tangkapan ikan tambangan (Lutjanus johni) pada kedua jenis bubu selama penelitian menunjukkan bahwa bubu bambu yang direndam selama empat hari efektif menangkap ikan tambangan sebesar 36.100 gr lebih tinggi daripada bubu jaring sebesar 20.900 gr (Gambar 24). Berdasarkan produktivitas hasil tangkapan ikan tambangan pada bubu bambu dengan lama perendaman empat hari sebesar 1.289 gr/hari, lebih tinggi produktivitasnya daripada lama perendaman lainnya dan jenis bubu jaring Gambar 25). Hasil perhitungan produktivitas ikan tambangan (gr/hari) disajikan pada Lampiran 10. Berat (gram) 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000-2 HR 3 HR 4 HR 5 HR Hari Bubu Bambu Bubu Jaring Gambar 24 Bobot ikan tambangan pada kedua jenis bubu dengan perbedaan lama perendaman (gr).

43 Produktivitas (gr/hari) 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200-2 HR 3 HR 4 HR 5 HR Hari Bubu Bambu Bubu Jaring Gambar 25 Produktivitas hasil tangkapan ikan tambangan pada kedua jenis bubu dengan perbedaan lama perendaman (gr/hari). Scatter plot perbedaan hasil tangkapan ikan kakap merah selama penelitian menunjukkan bahwa ikan kakap merah banyak tertangkap pada bubu jaring pada seluruh perbedaan lama perendaman (Gambar 26). Di sisi lain, scatter plot perbedaan hasil tangkapan ikan tambangan selama penelitian menunjukkan bahwa ikan tambangan banyak tertangkap pada bubu jaring dengan lama perendaman tiga hari, sedangkan pada lama perendaman empat hari ikan tambangan banyak tertangkap pada bubu bambu (Gambar 27).

44 2000 Hasil Tangkapan Bubu Bambu (gr) 1500 1000 500 0 0 500 1000 1500 2000 Hasil Tangkapan Bubu Jaring (gr) Perlakuan 2 hari Perlakuan 4 hari x = y Perlakuan 3 hari Perlakuan 5 hari Gambar 26 Scatter plot perbedaan hasil tangkapan antara bubu bambu dan bubu jaring untuk ikan kakap merah. 20000 Hasil Tangkapan Bubu Bambu (gr) 15000 10000 5000 0 0 5000 10000 15000 20000 Hasil Tangkapan Bubu Jaring (gr) Perlakuan 2 hari Perlakuan 4 hari x = y Perlakuan 3 hari Perlakuan 5 hari Gambar 27 Scatter plot perbedaan hasil tangkapan antara bubu bambu dan bubu jaring untuk ikan tambangan.

45 4.4.2 Analisisi Statistik Lama Perendaman dan Jenis Bubu Analisis ragam digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dengan perbedaan lama perendaman dari kedua jenis bubu yang digunakan terhadap hasil tangkapan ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) dan ikan tambangan (Lutjanus johni). Analisis ragam yang dilakukan hanya terhadap data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan berupa bobot (gr) kedua jenis ikan. Data primer berupa bobot (gr) hasil tangkapan yang diperoleh menyebar tidak normal. Hal ini disebabkan karena banyak terdapat data pencilan. Selanjutnya untuk dapat dilakukan analisis sidik ragam, maka data primer tersebut ditransformasi terlebih dahulu sebelum dianalisis. Hasil analisis sidik ragam adalah sebagai berikut: 1) Pada ikan kakap merah diperoleh nilai F hitung pada perlakuan lama perendaman sebesar 2,58 dan kelompok jenis bubu sebesar 3,08. Kedua nilai tersebut lebih kecil dari F Tabel 5% (tingkat kepercayaan 95%) pada perlakuan lama perendaman sebesar 9,28 dan kelompok jenis bubu sebesar 10,13 (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa lama perendaman dan jenis bubu tidak berbeda nyata terhadap hasil tangkapan ikan kakap merah. Ini berarti bahwa untuk menangkap ikan kakap merah dapat dilakukan dengan lama perendaman dua, tiga, empat dan lima hari menggunakan bubu bambu atau bubu jaring. Hasil tangkapan ikan kakap merah yang optimal terjadi pada lama perendaman lima hari (Gambar 21) pada kedua jenis bubu. 2) Pada ikan tambangan, diperoleh nilai F hitung pada perlakuan lama perendaman sebesar 14,81 dan kelompok jenis bubu sebesar 0,38. Nilai F hitung perlakuan lama perendaman lebih besar dari F Tabel 5% (tingkat kepercayaan 95%) sebesar 9,28, sedangkan F hitung kelompok jenis bubu lebih kecil dari F Tabel 5% sebesar 10,13 (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa lama perendaman berbeda sangat nyata terhadap hasil tangkapan ikan tambangan, walaupun jenis bubu tidak. Lama perendaman empat hari sangat berbeda nyata dengan lama perendaman dua, tiga dan lima hari. Hasil tangkapan ikan tambangan yang optimal terjadi pada lama perendaman empat hari (Gambar 23) pada kedua jenis bubu.

46 4.5 Analisis Pendapatan Usaha 4.5.1 Biaya Pengoperasian Pada penelitian ini, pengeluaran biaya hanya dilakukan untuk biaya operasional bubu per tripnya yang disebut biaya tetap. Baik bubu bambu maupun bubu jaring memiliki biaya tetap yang sama dalam satu kali trip. Rata-rata biaya tetap per trip unit penangkapan bubu terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-rata biaya tetap per trip (Rp/trip) yang dikeluarkan oleh unit penangkapan bubu yang dioperasikan di Mempawah Hilir tahun 2007 No Komponen Biaya Harga (Rp) Persentase (%) 1 Biaya operasional Solar 90.000 60 Oli 10.000 7 Minyak tanah 5.000 3 Ransum 30.000 20 2 Biaya penyusutan 15.000 10 TOTAL 150.000 100 Sumber : Hasil wawancara langsung kepada pemilik kapal (Toke) Berdasarkan Tabel 9 di atas, biaya penangkapan per trip alat tangkap bubu di Mempawah Hilir sebesar Rp. 150.000. Khusus biaya operasional sebesar Rp. 135.000, dengan persentase terbesar pada pembelian solar sebesar 60%, diikuti ransum sebesar 20% dan biaya penyusutan sebesar 10%. Biaya penyusutan termasuk dalam biaya operasi penangkapan karena diasumsikan bahwa setiap melakukan operasi penangkapan terjadi penyusutan terhadap komponen alat tangkap bubu. 4.5.2 Harga Ikan dan Jumlah Penerimaan Hasil tangkapan bubu selama penelitian, baik pada bubu bambu maupun bubu jaring dengan perbedaan lama perendaman (dua, tiga, empat dan lima hari), diperoleh ikan/udang yang seluruhnya masih dalam kondisi hidup (saat hauling). Harga tiap spesies ikan berbeda-beda, namun perbedaan lama perendaman tidak menyebabkan terjadinya perbedaan harga jual kepada agen (Lampiran 8). Seluruh hasil tangkapan bubu dengan bobot minimal 450 gr/individu secara rutin dimanfaatkan oleh agen untuk di ekspor ke Singapura dan Malaysia. Hasil tangkapan tersebut adalah: kakap merah (Lutjanus sanguineus), tambangan

47 (Lutjanus johni), gerot-gerot (Pomadasys sp), kerapu (Epinephelus tauvina) dan udang barong (Panulirus sp) (Lampiran 8). Jumlah total hasil tangkapan selama penelitian pada kedua jenis bubu diperoleh sebanyak 182 individu dengan berat total sebesar 157.350 gr (Tabel 8). Hasil tangkapan sebagian besar diperoleh pada bubu jaring sebesar 60,44% (110 individu) dengan bobot sebesar 51,64% (81.250 gr). Dari hasil tangkapan bubu jaring tersebut yang dapat dimanfaatkan agen sebesar 54,55% (60 individu) dengan bobot sebesar 84,92% (69.000 gr) (Lampiran 9). Jumlah penerimaan dari penjualan hasil tangkapan kepada agen pada bubu jaring diperoleh sebesar Rp. 1.339.500. Pada bubu bambu diperoleh hasil tangkapan sebesar 39,56% (72 individu) dengan bobot sebesar 48,36% (76.100 gr). Dari hasil tangkapan tersebut yang dapat dimanfaatkan agen sebesar 66,67% (48 individu) dengan bobot sebesar 89,42% (68.050 gr) (Lampiran 9). Jumlah penerimaan dari penjualan hasil tangkapan kepada agen pada bubu bambu diperoleh sebesar Rp. 1.450.500. Penerimaan dan biaya per trip pada kedua jenis bubu dengan perbedaan lama perendaman secara lengkap dapat di lihat pada Lampiran 8. Dari total hasil tangkapan pada kedua jenis bubu, terdapat ikan-ikan yang tidak dimanfaatkan oleh agen, baik species target maupun by catch. Pada species target dan by catch ikan kerapu (Epinephelus tauvina) dan udang barong (Panulirus sp) yang tidak dimanfaatkan disebabkan bobot tersebut ikan lebih kecil dari 450 gr/individu, sedangkan untuk by catch ikan gulamah (Seudociena sp) dan Gebel (Platax sp) meskipun bobotnya lebih besar dari 450 gr/individu namun tidak dimanfaatkan agen. Seluruh ikan-ikan yang tidak dimanfaatkan agen, dimanfaatkan sendiri oleh nelayan beserta keluarga sebagai lauk untuk makannya. Komposisi species target pada bubu jaring yang memiliki bobot lebih kecil dari 450 gr/individu sebesar 44,55% (49 individu) dengan bobot sebesar 13,97% (11.350 gr) (Lampiran 9). Dari komposisi tersebut, komposisi jumlah species target sebesar 36,36% (40 individu) dengan bobot sebesar 11,02% (8.950 gr) dan by catch sebesar 8,18% (9 individu) dengan bobot sebesar 2,95% (2.400 gr). Komposisi species target pada bubu bambu yang memiliki bobot lebih kecil dari 450 gr/individu sebesar 30,56% (22 individu) dengan bobot sebesar 8,21%

48 (6.250 gr) (Lampiran 9). Dari komposisi tersebut, komposisi jumlah species target sebesar 22,22% (16 individu) dengan bobot sebesar 5,45% (4.150 gr) dan by catch sebesar 8,33% (6 individu) dengan bobot sebesar 2,76% (2.100 gr). 4.5.3 Pendapatan Usaha Analisis pendapatan usaha dilakukan untuk mengetahui secara finansial apakah usaha perikanan bubu di Mempawah Hilir masih menguntungkan sehingga layak untuk dikembangkan/dilanjutkan atau telah mengalami kerugian sehingga tidak untuk dikembangkan/dilanjutkan. Analisis pendapatan usaha yang dilakukan hanya berdasarkan pada perhitungan Return Cost Ratio (R/C Ratio) menggunakan perbandingan besarnya total penerimaan dari penjualan hasil tangkapan ikan terhadap biaya pengeluaran per trip operasi penangkapan, secara rinci dapat di lihat pada Tabel 10. Pada Tabel tersebut memperlihatkan bahwa nilai R/C Ratio terbesar 3,76 pada bubu bambu dengan lama perendaman empat hari, diikuti oleh bubu jaring dengan lama perendaman empat hari, tiga hari dan lima hari masingmasing sebesar 2,33, 1,58 dan 1,04. Ini berarti bahwa usaha perikanan bubu bambu dengan lama perendaman empat hari dan bubu jaring dengan lama perendaman empat, tiga dan lima hari mengalami keuntungan dan layak dilanjutkan/dikembangkan usahanya, sedangkan yang lainnya mengalami kerugian dan tidak layak dikembangkan. Tabel 10 Hasil analisis pendapatan usaha pada perikanan bubu berdasarkan R/C Ratio Uraian BUBU BAMBU BUBU JARING 2 Hr 3 Hr 4 Hr 5 Hr 2 Hr 3 Hr 4 Hr 5 Hr Pengeluaran 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 Rerata Penerimaan 6.914,3 131.257,1 563.257,1 127.428,6 21.371 237.200 350.114,3 156.742,9 R/C Ratio 0,05 0,88 3,76 0,85 0,14 1,58 2,33 1,04 Sumber: Data olahan dari hasil penelitian, 2007 4.6 Sistem bagi Hasil Perikanan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak dapat dibedakan antara pemilik kapal (Toke) dan ABK. Pemilik kapal selama kegiatan penangkapan ikan tidak ikut melaut, ia hanya menyediakan keperluan para ABK untuk melaut (biaya per trip), seperti solar, oli, minyak tanah, bahan makanan dan

49 rokok. Sistem bagi hasil pada perikanan bubu memiliki komposisi 1 : 1. Komposisi ini berlaku setelah hasil yang diperoleh dikurangi dahulu dengan biaya per trip. Sistem bagi hasil dapat dilihat pada Gambar 28. Nilai jual hasil tangkapan Dikurangi biaya per trip HASIL 1/2 bagian ABK 1/2 bagian Toke Gambar 28 Komposisi sistem bagi hasil.