BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

BAB I PENDAHULUAN. dengan sedikit bantuan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/PMK.07/2015 TENTANG PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

KEBIJAKAN DAK BIDANG KESEHATAN 2010

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

RUANG FISKAL DALAM APBN

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

PERAN APBN-P 2014 TERHADAP DISKUSI INDEF 20 MEI 2014

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kemakmuran masyarakat dapat diukur dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengertian yang disampaikan oleh Sadono Sukirno. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat 1. Pengukuran pertumbuhan ekonomi diindikasikan oleh kenaikan Produk Domestik Bruto/PDB per kapita. PDB adalah nilai pasar keluaran total sebuah negara, yang merupakan nilai pasar semua barang jadi dan jasa akhir yang diproduksi selama periode waktu tertentu oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi di dalam sebuah negara 2. PDB merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi yang digunakan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan untuk daerah, digunakan istilah PDRB, yaitu Produk Domestik Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh belanja negara. Berdasarkan kerangka model teori yang dibangun oleh Keynes, pengaruh kenaikan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan bahwa pada saat pengeluaran pemerintah mengalami kenaikan, maka pengeluaran yang akan direncanakan oleh daerah akan mengalami kenaikan. Kenaikan pengeluaran ini akan menaikkan permintaan agregat, yang akan mendorong naiknya produksi barang dan jasa, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah tersebut 3. Perlu disampaikan penulis bahwa istilah pengeluaran pemerintah yang digunakan oleh Keynes dapat diartikan sebagai belanja negara. Berkaitan dengan pembuktian adanya pengaruh 1 Sadono Sukirno, 1994;10 2 Sumitro 1994 3 Muhammad Indarto 2011 1

yang signifikan dari belanja negara terhadap pertumbuhan ekonomi, selain teori Keynes, Dritsakis dan Adamopoulus (2004) juga membuktikan bahwa belanja negara berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebelum menginjak pada pembahasan lebih lanjut. Ada baiknya, penulis mengungkapkan alasan penulis mengambil pertumbuhan ekonomi dan belanja negara sebagai variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dimulai dari ketertarikan penulis pada aspek kemakmuran masyarakat Indonesia. Untuk meneliti aspek tersebut, penulis kemudian dapat menggunakan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, alasan penulis mengambil belanja negara sebagai variabel yang menemani variabel pertumbuhan ekonomi, yaitu karena belanja negara mempunyai komponen Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Subsidi Pangan, yang merupakan bidang yang terkait dengan pekerjaan penulis di kantor. Melanjutkan pembahasan sebelumnya, belanja negara adalah bagian dari APBN. Belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Belanja pemerintah pusat mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, belanja modal, bantuan sosial, belanja subsidi, belanja hibah, dan belanja lain-lain. Berkaitan dengan hal itu, belanja subsidi terdiri atas subsidi bahan bakar minyak/bbm, subsidi pajak, subsidi listrik, subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi public service obligation/pso, dan subsidi kredit program. Dalam tesis ini, dari belanja pemerintah pusat tersebut dan sesuai dengan bidang pekerjaan penulis, penulis akan mengangkat Subsidi Pangan. Berikutnya, transfer ke daerah, yang merupakan komponen kedua dari belanja negara, terdiri atas Dana Bagi Hasil/DBH, Dana Alokasi Umum/DAU, Dana Alokasi Khusus/DAK, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian. Dari transfer ke daerah dan sesuai dengan bidang pekerjaan penulis, penulis akan mengangkat DAU dan DAK dalam tesis ini. 2

Sementara itu, dengan mengangkat variabel DAU, DAK, dan Subsidi Pangan ini, penulis mendapatkan manfaat yang sangat besar karena variabel-variabel tersebut merupakan variabel yang berkaitan erat dengan pekerjaan penulis. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, dampak dari ketiga dana tersebut akan dilihat sejauh mana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 1.2. Identifikasi Masalah Sebagaimana yang penulis telah sampaikan, variabel independen yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah DAU, DAK, dan Subsidi Pangan. Alokasi ketiga dana tersebut setiap tahunnya ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tujuan yang melekat pada Alokasi DAU, DAK, dan Subsidi Pangan tersebut. Dalam Undangundang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, DAU dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, DAK dialokasikan untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran nasional, dan subsidi pangan (bersama-sama dengan subsidi lainnya) dialokasikan untuk ikut meredam gejolak perekonomian global yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan kondisi perekonomian dalam negeri dengan memberikan akses pangan, baik secara fisik (beras tersedia di titik distribusi dekat) maupun ekonomi (harga jual yang terjangkau) kepada rumah tangga sasaran. Dari tujuan-tujuan ini, dapat dikatakan bahwa tujuan ketiga dana tersebut ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Kemakmuran masyarakat dapat diukur dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam usaha pencapaian tujuannya, pengalokasian DAU telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. DAU dihitung berdasarkan celah fiskal, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal 3

tercermin dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, indeks pembangunan manusia, dan PDRB per kapita. Sementara itu, kapasitas fiskal diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBH SDA tidak termasuk DBH SDA Dana Reboisasi. Sementara itu, tujuan tersebut juga didukung oleh prinsip non-hold harmless yang dimiliki oleh DAU. Prinsip ini memungkinkan suatu daerah memperoleh DAU lebih kecil dari DAU yang diterima pada tahun sebelumnya, atau bahkan tidak mendapatkan DAU sama sekali. Untuk lebih rinci, DAU akan dibahas dalam BAB II. Namun, berkaitan dengan dukungannya terhadap pertumbuhan ekonomi, kontribusi DAU antardaerah dapat bervariasi hasilnya terhadap pertumbuhan ekonomi, karena penggunaan DAU telah diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Daerah yang mempunyai pengelolaan keuangan yang baik, berpotensi untuk menggunakan DAU dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonominya. Misalnya, ia menggunakan DAU yang ia terima, lebih banyak porsinya ke belanja modal. Sebaliknya, daerah yang tidak mempunyai pengelolaan keuangan yang baik, memungkinkan menggunakan DAU tersebut ke belanja yang tidak mendukung pertumbuhan ekonominya, misalnya mengalokasikan ke belanja pegawai. Pada tahun 2007-2011, belanja pegawai dalam APBD menduduki peringkat tertinggi dibandingkan belanja-belanja lainnya. Masing-masing mencapai 26,1%, 25,1%, 24,1%, 24,4%, dan 24,7%. Peringkat kedua diduduki oleh belanja modal, yang masing-masing mencapai 23,9%, 21,2%, 23,7%, 22,5%, dan 20,7% (sumber: NK dan APBN 2013). Dengan demikian, DAU tidak mempunyai masalah dalam pencapaian tujuan pengalokasiannya, tetapi penulis akan mengangkat permasalahan DAU yang berkaitan dengan pengelolaan DAU-nya. Begitu halnya dengan DAK, dalam aturan dan praktiknya, tujuan DAK sudah dapat tercapai. Setiap tahun, DAK dialokasikan ke dalam bidangbidang yang telah ditetapkan. Bidang-bidang yang didanai DAK juga telah sesuai dengan prioritas nasional dalam rangka pencapaian sasaran nasional. Namun, masalah terjadi pada komitmen dari pemerintah daerahnya. Banyak 4

daerah yang terlambat dalam menyampaikan persyaratan yang diperlukan untuk pencairannya. Jika melihat pengalokasian DAK, DAK dialokasikan dalam 4 tahap. Setiap tahap pencairannya mensyaratkan penyampaian laporan pelaksanaan tahap sebelumnya. Pencairan DAK Tahap I mensyaratkan laporan penyerapan penggunaan DAK tahun sebelumnya, perda APBD, dan pernyataan penyediaan dana pendamping DAK sebesar 10% dari DAK yang diterima. Pencairan Tahap II mensyaratkan laporan penyerapan penggunaan Tahap I, Pencairan Tahap III mensyaratkan laporan Tahap II, dan Pencairan Tahap IV mensyaratkan laporan Tahap III. Persyaratan laporan dalam penyaluran DAK tersebut dimaksudkan untuk mendorong daerah agar dapat merealisasikan kegiatan DAK sehingga dapat menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya, yaitu memenuhi kebutuhan daerah dan prioritas nasional. Adanya keterlambatan ini mengakibatkan realisasi DAK yang menumpuk di akhir tahun. Bahkan ada beberapa daerah yang tidak mencairkan DAK Tahap II s.d. III. Berdasarkan data realisasi DAK 2005-2010, realisasi triwulan I menunjukkan pencapaian yang paling rendah, yaitu rata-ratanya sekitar 7%, sedangkan realisasi triwulan IV menunjukkan pencapaian yang paling tinggi, yaitu rata-ratanya sekitar 60%. Berbeda dari DAU dan DAK, yang tujuan alokasinya tercapai, tetapi penggunaannya tidak tepat (untuk DAU) dan kurangnya komitmen pemerintah daerahnya (untuk DAK), tujuan Subsidi Pangan dapat dikatakan kurang tercapai. Hal ini terkait dengan adanya ketidaktepatsasaran dalam pengalokasiannya. Dari pengalaman penulis, dalam melakukan kunjungan kerja di kabupaten Cianjur, terdapat laporan bahwa banyak rumah tangga sasaran yang menerima beras miskin, sedangkan mereka tidak memenuhi syarat. Sebaliknya, banyak rumah tangga sasaran yang memenuhi syarat untuk menerima beras miskin, tetapi tidak menerima beras tersebut. Begitu halnya di daerah tempat tinggal penulis (Kelurahan Poris Jaya, Kecamatan Batuceper, Kota Tangerang), kondisi yang sama juga terjadi di sana. 5

1.3. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah pada hal-hal sebagai berikut: 1. Hanya menggunakan variabel DAU dan DAK dari Transfer ke Daerah karena: a. DAU mendapatkan porsi yang paling besar dalam Transfer ke Daerah, sehingga DAU diharapkan dapat mempunyai efek yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dari tahun 2005-2010, DAU mencapai rata-rata sekitar 60% dari Transfer ke Daerah. b. DAK mempunyai sifat specific grant, sehingga manfaatnya sudah jelas karena tujuan penggunaannya telah ditentukan sebelumnya. c. Tidak menggunakan variabel DBH karena mempunyai sifat block grant, yang sama dengan DAU, sehingga cukup menggunakan variabel DAU saja. d. Tidak menggunakan variabel Dana Otonomi Khusus karena hanya diberikan kepada 3 provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, dan Aceh. e. Tidak menggunakan variabel Dana Penyesuaian karena mempunyai komposisi yang berbeda-beda tiap tahunnya, sehingga dana tersebut akan sulit untuk diteliti. 2. Dari Belanja Pemerintah Pusat, penulis mengambil variabel subsidi Pangan karena mempunyai ciri khas, yaitu alokasinya langsung menyentuh rakyat miskin. 3. Jumlah daerah yang diteliti adalah 6 provinsi. Provinsi-provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Riau, dan Maluku. Alasan memilih 6 provinsi adalah data yang dapat terkumpul dan lengkap dari pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu 2007-2011 per triwulan, hanya dari 6 provinsi tersebut. Data provinsi lainnya tidak terkumpul dengan lengkap. 6

4. Terakhir, penulis akan membahas permasalahan-permasalahan yang ada terbatas pada: a. Pengelolaan DAU dalam APBD; b. penyaluran triwulan, DAU, DAK, dan Subsidi Pangan, c. data porsi belanja pegawai dan modal dari APBD nasional dalam kurun waktu 2007-2011. 1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian identifikasi masalah dan batasan pembahasan di atas, penelitian ini akan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1) Sejauh mana pengaruh DAU (X1), DAK (X2), dan Subsidi Pangan (X3) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Y)? 2) Variabel independen mana yang memberikan pengaruh yang lebih besar atau kecil terhadap variabel dependennya? 3) Faktor-faktor apakah yang dapat mempengaruhi hubungan antara ketiga variabel independen dan variabel dependen tersebut? 1.5. Tujuan Penelitian Beberapa tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: 1) Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh DAU (X1), DAK (X2), dan Subsidi Pangan (X3) terhadap pertumbuhan ekonomi (Y)? 2) Untuk mengetahui variabel independen mana yang memberikan pengaruh yang lebih besar atau kecil terhadap variabel dependennya? 3) Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antara ketiga variabel independen dan variabel dependen tersebut? 7

1.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1) Aspek teoretis: dapat digunakan sebagai masukan untuk pengembangan ilmu administrasi publik. 2) Aspek praktis: dapat digunakan oleh pihak-pihak untuk menyusun ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang lebih baik, terkait dengan pengalokasian dan penggunaan DAU, DAK, dan Subsidi Pangan. BAB II berikutnya akan membahas kajian pustaka yang mencakup 1. Pertumbuhan ekonomi; 2. Anggaran; 3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 4. Dana Alokasi Umum; 5. Dana Alokasi Khusus; 6. Subsidi Pangan; 7. Kebijakan Publik, 8. Pengelolaan Keuangan Daerah, dan 9. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan. 8