4. KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN

dokumen-dokumen yang mirip
4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

Deskripsi dan Analisis

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

Assalamu alaikum Wr. Wb.

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 12 APRIL 2016)

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:


INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota)

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia

DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 5 FEBRUARI 2016)

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Pemerintah Provinsi Bali

Daftar Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T)

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I TAHUN 2016

Tinjauan Ekonomi. Keuangan Daerah

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

Monitoring Realisasi APBD Triwulan I

DAFTAR DAERAH TERTINGGAL, TERLUAR DAN TERDEPAN (3T)

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

Transkripsi:

34 4. KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN 2008-2010 4.1. Gambaran Umum Dalam kajian ini dipilih 45 sampel yang berasal dari 135 kabupaten/kota hasil pemekaran daerah yang penetapannya dilakukan antara tahun 1999 hingga 2005. Sampel diambil dari 26 provinsi, dengan masing-masing provinsi dipilih 1-2 kabupaten/kota hasil pemekaran secara acak. Adapun ke-45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang terpilih menjadi sampel dalam kajian ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran yang Dijadikan Sampel Berdasarkan Provinsi No Provinsi Kabupaten/Kota Jml 1. Aceh Kab. Gayo Lues 1 2. Sumut Kab. Serdang Bedagai, Kota Padang Sidimpuan 2 3. Sumbar Kab. Dharmasraya, Kab. Pasaman Barat 2 4. Riau Kab. Rokan Hilir, Kab. Kuantan Singingi 2 5. Jambi Kab. Tebo, Kab. Muaro Jambi 2 6. Sumsel Kab. OKU Selatan 1 7. Bengkulu Kab. Kepahiang, Kab. Lebong 2 8. Lampung Kab. Lampung Timur, Kota Metro 2 9. Babel Kab. Bangka Barat, Kab. Belitung Timur 2 10. Kepri Kab. Lingga, Kota Tanjung Pinang 2 11. NTB Kab. Sumbawa Barat 1 12. NTT Kab. Lembata, Kab. Manggarai Barat 2 13. Kalbar Kab. Bengkayang, Kab. Sekadau 2 14. Kalteng Kab. Lamandau, Kab. Barito Timur 2 15. Kalsel Kota Banjarbaru, Kab. Tanah Bumbu 2 16. Kaltim Kab. Kutai Timur 1 17. Sulut Kab. Kepulauan Talaud, Kab. Minahasa Selatan 2 18. Sulteng Kab. Morowali, Kab. Banggai Kepulauan 2 19. Sulsel Kab. Luwu Utara, Kab. Luwu Timur 2 20. Sultra Kab. Bombana, Kab. Wakatobi 2 21. Gorontalo Kab. Boalemo 1 22. Sulbar Kab. Mamuju Utara 1 23. Maluku Kab. Kepulauan Aru, Kab. Seram Bagian Barat 2 24. Malut Kab. Kepulauan Sula 1 25. Papua Kab. Keerom, Kab. Supiori 2 26. Papua Barat Kab. Raja Ampat, Kab. Teluk Wondama 2 Total 45 Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Ke-45 kabupaten/kota yang dijadikan sampel tersebut diambil dari kabupaten/kota hasil pemekaran yang telah berusia 3 tahun atau lebih (dengan menggunakan basis perhitungan usia per 31 Desember 2008). Berdasarkan kriteria

tersebut, kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel memiliki rentang usia antara 5 sampai 9 tahun. Tidak terdapat kabupaten/kota hasil pemekaran yang memiliki usia 3 dan 4 tahun karena pada tahun 2004 dan 2005 tidak ada penetapan kabupaten/kota baru (lihat kembali Gambar 2). Bila diklasifikasi lebih rinci, sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel telah berusia 5 sampai 6 tahun. Jumlahnya mencapai 29 kabupaten/kota atau sekitar 64,4 persen dari seluruh sampel. Mereka adalah kabupaten/kota hasil pemekaran yang penetapannya dilakukan pada tahun 2002 dan 2003. Sementara sisanya, 16 kabupaten/kota (35,6 persen) telah genap berusia 7 tahun dan 9 tahun. Tidak ada sampel kabupaten/kota yang berusia 8 tahun karena memang tidak ada pemekaran yang ditetapkan pada tahun 2000. 35 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 19 14 10 2 0 0 0 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 9 tahun Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Gambar 5. Usia 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran (basis 31 Desember 2008) Memperhatikan komposisi di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran yang menjadi sampel dalam penelitian ini masih dipimpin oleh Bupati/Walikota definitif di periode 5 tahun pertama, yakni 32 kabupaten/kota hasil pemekaran yang berusia 5 dan 6 tahun. Sedangkan sisanya (16 kabupaten/kota hasil pemekaran) sudah memasuki periode kepemimpinan kepala daerah di 5 tahun kedua. 3 Oleh karena itu, program kerja sebagian besar pemerintah daerah kabupaten/kota hasil pemekaran masih memusatkan perhatiannya pada pemenuhan kelengkapan kelembagaan daerah, seperti: DPRD dan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), pengisian jabatan pada SKPD, rekrutmen pegawai, dan sebagainya. 3 Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 jo PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah maka setelah penetapan daerah pemekaran baru diundangkan, Menteri Dalam Negeri segera melantik Pejabat Bupati/ Walikota yang pemilihannya dilakukan melalui mekanisme penunjukan oleh pejabat kepala daerah asal sebelum pemekaran. Pejabat Bupati/ Walikota ini, dengan difasilitasi oleh gubernur bersama bupati/walikota daerah induk, diberi waktu setahun untuk menyusun perangkat pemerintahan dan mempersiapakan pemilihan bupati/walikota.

36 Berdasarkan proses pembentukannya, pembentukan kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dilakukan melalui 3 prosedur, yakni: mekanisme usulan dari pemerintah, mekanisme hak inisiatif di DPR, dan transformasi daerah otonom dari kabupaten menjadi kota. 3 14 Pemerintah Pusat 28 Hak Inisiatif DPR Transformasi Kab ke Kota Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Gambar 6. Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Prosedur Pemekaran Sebagian besar kabupaten hasil pemekaran dibentuk melalui pengajuan aspirasi ke pemerintah pusat. Hal ini karena memang pada tahun-tahun awal kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah pusat masih dapat mengakomodasi usulan pembentukan daerah baru yang masuk. Namun dalam perkembangannya ketika usulan pemekaran daerah sudah semakin banyak, DPR melalui hak inisiatifnya menjadi pintu masuk alternatif dalam pengajuan aspirasi pemekaran daerah baru. 14 12 14 13 10 8 6 7 9 Pemerintah Pusat Hak Inisiatif DPR 4 2 0 5 th 0 6 th 2 0 0 0 7 th 2 0 9 th 1 Transformasi Kab ke Kota Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Gambar 7. Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Usia dan Prosedur Pemekaran

Gambar di atas menunjukkan bahwa semakin mutakhir, usulan pemekaran daerah baru yang diajukan melalui pengajuan ke pemerintah pusat semakin menurun. Sementara, pembentukan daerah pemekaran melalui hak inisiatif DPR justru semakin meningkat. Kecenderungan tersebut menunjukkan pergeseran tingkat peran pemerintah pusat dan DPR dalam mekanisme pengajuan kabupaten/ kota baru hasil pemekaran. 4.2. Perkembangan PDRB Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diambil adalah data PDRB Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 yang dimaksudkan untuk menghilangkan faktor inflasi dalam melihat tingkat pertumbuhannya. Di samping itu, kajian ini juga memilih untuk menggunakan data PDRB Tanpa Minyak dan Gas untuk melihat PDRB riil yang dihasilkan oleh masyarakat. Hal ini karena hampir semua tambang minyak dan gas dikelola oleh korporasi asing sehingga sumber pendapatan dari sektor tersebut tidak murni dari produksi masyarakat. Nilai PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 di kabupaten/kota hasil pemekaran selama periode 2008-2010 menunjukkan komposisi yang sangat beragam (lihat Tabel 2). Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel, terlihat bahwa PDRB Kabupaten Kutai Timur memiliki nilai rata-rata tertinggi, yakni: 15.545 milyar rupiah. Nilai rata-rata PDRB Kabupaten Kutai Timur ini bahkan sangat jauh dibandingkan dengan ratarata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat yang berada di posisi kedua dengan nilai rata-rata mencapai 4.737 milyar rupiah. Sedangkan Kabupaten Luwu Timur yang berada di posisi ketiga memiliki rata-rata PDRB yang tidak jauh dari rata-rata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat, yakni: 4.529 milyar rupiah. Memang jika dicermati, hanya ada 17 kabupaten/kota hasil pemekaran (37,8 persen) yang rata-rata PDRB-nya mencapai angka 1 triliun rupiah. Sisanya yakni 28 kabupaten/kota hasil pemekaran (62,2 persen) memiliki nilai rata-rata PDRB di bawah 1 triliun rupiah. Bahkan, ada 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang hanya memiliki rata-rata PDRB di bawah 200 milyar rupiah, yakni: Kabupaten Supiori (118 milyar rupiah), Kabupaten Lembata (146 milyar rupiah), Kabupaten Teluk Wondama (177 milyar rupiah), dan Kabupaten Kepulauan Aru (198 milyar rupiah). Situasi ini menggambarkan betapa jauhnya kesenjangan kinerja perekonomian di antara kabupaten/kota hasil pemekaran. Ada catatan menarik terkait perbedaan tingkat perekonomian kabupaten/kota hasil pemekaran yang cukup jauh. Pertama, dari perhitungan statistik diketahui bahwa tidak terdapat korelasi yang cukup kuat antara usia kabupaten/kota hasil pemekaran dengan rata-rata PDRB masing-masing, ditunjukkan dari nilai r yang hanya 0,2117. Kedua, sektor pertanian masih menjadi sektor utama (leading sector) bagi sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran dalam memacu pertumbuhan ekonominya. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector). Ketiga, meskipun terdapat 35 kabupaten yang mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector), namun hanya 10 kabupaten/kota hasil pemekaran yang berhasil mencapai rata-rata PDRB di atas 1 trilyun rupiah. 37

38 Tabel 2. PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan 2000 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah) No. Kab/Kota Provinsi Tahun 2008 2009 2010 Rata-rata 1 Gayo Lues NAD 391 410 431 411 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 836 885 936 886 3 Serdang Bedagai Sumut 4.048 4.287 4.551 4.295 4 Dharmas Raya Sumbar 1.020 1.088 1.159 1.089 5 Pasaman Barat Sumbar 2.395 2.545 2.707 2.549 6 Rokan Hilir Riau 3.567 3.826 4.115 3.836 7 Kuantan Singingi Riau 2.719 2.907 3.111 2.912 8 Tebo Jambi 787 828 879 831 9 Muaro Jambi Jambi 845 906 1.027 926 10 OKU Selatan Sumsel 1.137 1.206 1.279 1.207 11 Kepahiang Bengkulu 670 708 750 709 12 Lebong Bengkulu 468 490 515 491 13 Lampung Timur Lampung 3.483 3.703 3.938 3.708 14 Kota Metro Lampung 504 531 563 533 15 Bangka Barat Babel 2.418 2.520 2.653 2.530 16 Belitung Timur Babel 799 837 886 841 17 Lingga Kep. Riau 529 564 601 565 18 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 2.209 2.363 2.531 2.368 19 Sumbawa Barat NTB 3.827 4.888 5.496 4.737 20 Lembata NTT 139 146 152 146 21 Manggarai Barat NTT 381 395 409 395 22 Bengkayang Kalbar 1.067 1.115 1.166 1.116 23 Sekadau Kalbar 601 633 670 635 24 Lamandau Kalteng 526 556 591 558 25 Barito Timur Kalteng 595 627 665 629 26 Kota Banjarbaru Kalsel 851 901 954 902 27 Tanah Bumbu Kalsel 2.879 3.043 3.243 3.055 28 Kutai Timur Kaltim 14.505 15.314 16.815 15.545 29 Kepulauan Talaud Sulut 384 404 426 405 30 Minahasa Selatan Sulut 1.150 1.224 1.329 1.234 31 Morowali Sulteng 1.262 1.385 1.575 1.407 32 Banggai Kepulauan Sulteng 625 675 732 677 33 Luwu Utara Sulsel 1.357 1.447 1.533 1.446 34 Luwu Timur Sulsel 4.430 4.251 4.905 4.529 35 Bombana Sultra 361 389 420 390 36 Wakatobi Sultra 206 235 262 234 37 Boalemo Gorontalo 293 311 333 312 38 Mamuju Utara Sulbar 533 605 711 616 39 Kepulauan Aru Maluku 188 197 209 198 40 Seram Bagian Barat Maluku 292 307 320 306 41 Kepulauan Sula Malut 297 313 333 314 42 Supiori Papua 111 118 126 118 43 Keerom Papua 287 321 352 320 44 Raja Ampat Papua Barat 234 247 263 248 45 Teluk Wondama Papua Barat 164 180 187 177 Sumber : diolah dari data BPS

Secara keseluruhan selama periode 2008-2010 laju perkembangan PDRB Tanpa Minyak dan Gas di kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan yang positif. Bahkan jika dibandingkan antara laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran dengan laju PDRB kabupaten/kota secara nasional pada periode yang sama terdapat fenomena yang menarik. Di tahun 2009, saat laju PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami sedikit penurunan, laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran justru mengalami peningkatan besar. 9.00 8.00 7.00 6.00 2.00 1.00 0.00 Sumber: diolah dari data BPS 2012 Gambar 8. 6.53 8.21 5.90 5.00 % 5.47 5.41 Laju PDRB 4.00 3.00 3.21 Laju PDRB nas 2008 2009 2010 Perbandingan Laju PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran dengan Laju PDRB Kabupaten/Kota secara Nasional 2008-2010 (dalam persen) Penurunan laju PRDB pada tahun 2009 lebih banyak disebabkan oleh kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis. Situasi krisis global tersebut mengakibatkan penurunan ekspor karena adanya penurunan permintaan produk ekspor dari luar negeri. Di sisi lain, suku bunga perbankan yang masih tinggi menyebabkan pada melambatnya pertumbuhan investasi. Meskipun terjadi penurunan ekspor dan investasi ini, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 masih tetap positif karena masih banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Memperhatikan latar situasi tersebut, ada beberapa kemungkinan mengapa di saat PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami penurunan, namun PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tetap mengalami peningkatan. Argumentasi pertama adalah sebagian besar kabupaten /kota hasil pemekaran mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi mereka sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Padahal sektor pertanian ini relatif kebal dampak terhadap situasi keuangan global yang tengah krisis. Hal ini karena sektor tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan domestik dan tidak terkait dengan pergerakan di pasar modal sehingga gejolak ekonomi di luar negeri tidak mempengaruhi pertumbuhan sektor ini. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector) dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi mereka. Sedangkan 6 39

40 kabupaten hasil pemekaran menjadikan sektor pertambangan dan penggalian sebagai sektor terbesar yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, yakni Kab. Rokan Hilir, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Tanah Bumbu, Kab. Kutai Timur, Kab. Luwu Timur, dan Kab. Raja Ampat. Kemudian, yang menumpukan sektor perdagangan sebagai sektor utama dalam pertumbuhan ekonomi adalah 3 daerah yang ketiganya merupakan kota, yaitu: Kota Padang Sidimpuan, Kota Tanjung Pinang, dan Kota Banjarbaru. Hanya ada 1 kabupaten yang mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor industri pengolahan, yakni: Kab. Bangka Barat. 6 1 3 pertanian, kehutanan, per ikanan pertambangan dan penggalian industri pengolahan 35 perdagangan, hotel, resto ran Sumber: diolah dari data BPS 2010 Gambar 9. Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Sektor yang Terbesar Kontribusinya dalam Pertumbuhan Ekonomi Argumentasi kedua adalah semua kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel pada penelitian ini berasal dari luar Jawa. Sementara, struktur perekonomian nasional masih lebih banyak berpusat di Jawa. Hal ini bisa dicermati dari kontribusi PDRB 45 kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap PDB yang hanya berkisar 3,7%-3,8%. Artinya, peningkatan PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tidak banyak pengaruhnya terhadap pertumbuhan PDB nasional. Argumentasi ketiga adalah kuatnya pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang antara lain didorong peningkatan belanja pemerintah. Pada tahun 2009, pertumbuhan belanja pemerintah cukup tinggi mencapai 19,25%. Peningkatan belanja pemerintah tersebut teraktualisasi melalui pengeluaran untuk program sosial terkait penyelenggaraan Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi. Berdasarkan kajian yang dilakukan UNDP dan Bappenas tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran relatif masih tinggi. Hal ini karena ada kecenderungan daerah induk melepas kecamatan-kecamatan yang selama ini menjadi kantong-kantong kemiskinan. Terkait hal itu, keberadaan program sosial dan pengeluaran terkait Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi cukup membantu peningkatan konsumsi rumah tangga miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran sehingga turut mendorong pertumbuhan PDRB.

4.3. Perkembangan Belanja Pemerintah Dalam pandangan ekonom neoklasik, salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah pembentukan kapital/modal. Dengan pemahaman tersebut, besarnya belanja pemerintah daerah dinilai akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. 41 90,000 80,000 70,000 78,819 72,840 68,378 milyar rupiah 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 20,970 22,700 22,987 total belanja PDRB 10,000-2008 2009 2010 Sumber: diolah dari data BPK 2008-2010 dan BPS 2008-2010 Gambar 10. Perbandingan Agregat Realisasi Total Belanja Pemerintah dengan Agregat PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah) Secara kumulatif, nilai realisasi total belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dalam periode tahun anggaran 2008-2010. Demikian halnya dengan nilai agregat PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran selama 2008-2010, terjadi peningkatan setiap tahun. Kondisi ini sesuai dengan hukum Wagner yang menyatakan bahwa semakin tinggi PDB/PDRB akan semakin tinggi pula pengeluaran (belanja) pemerintah. Namun jika dicermati lebih jauh, slope (kemiringan) kurva peningkatan realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran sedikit lebih landai ketimbang slope kurva peningkatan PDRB. Artinya, selama periode tersebut, porsi kenaikan realisasi belanja pemerintah per tahun lebih lambat daripada kenaikan PDRB per tahun (Gambar 10). Dari hasil analisis terhadap laporan realisasi APBD kabupaten/kota hasil pemekaran untuk tahun anggaran 2008-2010, ditemukan bahwa realisasi Total Belanja pemerintah daerah kabupaten/kota hasil pemekaran selalu menunjukkan adanya peningkatan tiap tahunnya. Namun jika dicermati lebih jauh, peningkatan realisasi Total Belanja tersebut tidak diikuti dengan peningkatan realisasi Belanja Modal (Gambar 11). Bahkan dalam periode 2008-2010 tersebut justru terlihat bahwa realisasi Belanja Modal terus mengalami penurunan. Realisasi anggaran tahun 2009 menunjukkan bahwa meskipun Total Belanja pemerintah meningkat (dari 20.970 milyar rupiah menjadi 22.700 milyar rupiah), tapi pada realisasi Belanja Modal justru mengalami penurunan dibanding tahun 2008 (dari 8.353 milyar rupiah menjadi 8.135 milyar rupiah). Demikian halnya dengan yang terjadi dalam realisasi anggaran tahun 2010.

42 25,000 milyar rupiah 20,000 15,000 10,000 22,700 20,970 22,987 belanja modal total belanja 5,000-6,782 8,135 8,353 2008 2009 2010 Sumber: diolah dari data BPK 2008-2010 Gambar 11. Perkembangan Agregat Realisasi Belanja Modal dan Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah) Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat alokasi belanja di luar Belanja Modal yang mengalami peningkatan cukup besar. Dari hasil pengamatan terhadap LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran di tahun anggaran 2009 terlihat bahwa rata-rata di tahun anggaran tersebut terdapat peningkatan cukup besar pada realisasi Belanja Operasional sub Belanja Sosial. Hal ini bisa dimengerti karena pada tahun 2009 merupakan tahun pemilu dimana para kepala daerah kabupaten/kota hasil pemekaran mengalokasikan Belanja Sosial yang sangat besar untuk kepentingan politik partai yang mengusung mereka. Di samping untuk kepentingan Pemilu 2009, sub Belanja Sosial juga meningkat terkait programprogram sosial untuk meredam dampak krisis ekonomi global. Sedangkan pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010, peningkatan belanja umumnya disebabkan oleh peningkatan pada realisasi Belanja Operasi sub Belanja Pegawai. Hal ini terkait banyaknya penambahan aparat pegawai negeri sipil (PNS) baru di tahun tersebut. Sementara untuk realisasi belanja Operasional sub Belanja Sosial justru mengalami penurunan dibanding realisasi tahun anggaran sebelumnya. Fakta ini semakin memperkuat kesimpulan bahwa kepentingan politik praktis dalam penyusunan anggaran dan belanja pemerintah daerah (APBD) masih sedemikian besar. Hal lain yang menarik untuk dilihat pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010 adalah penurunan yang cukup tajam pada realisasi Belanja Modal. Jika pada tahun anggaran 2008-2009, agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 8 trilyun rupiah. Namun pada tahun 2010, nilai agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 6 trilyun rupiah. Meskipun terjadi penurunan Belanja Modal yang cukup besar, namun realisasi Total Belanja tetap terjadi peningkatan. Setelah dicermati dari LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran ternyata terdapat peningkatan pada alokasi Belanja Hibah pada tahun anggaran 2010. Peningkatan Belanja Hibah inilah yang menopang peningkatan Total Belanja.

Peningkatan realisasi Belanja Hibah pada tahun anggaran 2010 tersebut tidak lepas dari kebijakan dari Kementerian Keuangan yang mengalihkan Belanja Modal DAK Pendidikan ke Belanja Hibah DAK Pendidikan (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2011). Pengalihan inilah yang menjadikan realisasi Belanja Modal menurun, namun Total Belanja tetap meningkat. Sebagai dampak dari kebijakan, kondisi ini tidak hanya berlaku di kabupaten/kota hasil pemekaran tetapi terjadi dalam realisasi APBD 2010 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jika dibandingkan dengan kajian lain, tren penurunan realisasi Belanja Modal selama periode 2008-2010 ternyata senada dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Direktorat Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (2013). Kajian tersebut menemukan bahwa tren penurunan realisasi Belanja Modal selama 2008-2011 merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Beberapa faktor yang ditengarai sebagai sebab penurunan realisasi Belanja Modal adalah, pertama, masih sering terjadi keterlambatan pemerintah kabupaten/kota dalam menetapkan APBD untuk kemudian diajukan kepada Kementerian Keuangan, maksimal akhir Januari tahun bersangkutan. Keterlambatan tersebut umumnya disebabkan oleh berlarutnya proses penetapan Perda tentang APBD antara pihak eksekutif dengan legislatif (DPRD). Akibat keterlambatan ini daerah yang bersangkutan dikenakan sanksi penundaan DAU sebesar 25 persen dari pagu perbulan hingga daerah tersebut menetapkan APBD. Kedua, realisasi Belanja Modal pada APBD di akhir tahun seringkali pelaksanaannya di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini ditengarai karena daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan lainnya. Di samping itu, daerah mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan APBD sekitar bulan Agustus-September tahun anggaran berjalan, setelah diketahuinya hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun sebelumnya sehingga dapat mengetahui secara pasti berapa besarnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Kombinasi antara pelampauan pendapatan, besarnya angka SiLPA yang telah diaudit, dan penetapan perubahan APBD menjelang akhir tahun anggaran berjalan (di atas bulan September) mengakibatkan waktu yang tersisa untuk menyesuaikan belanja dan merealisasikannya menjadi sangat sempit. Apalagi setelah APBD- Perubahan ditetapkan, daerah masih memerlukan proses tender yang sudah pasti akan berakibat pula terhadap keterlambatan pelaksanaan kegiatan. Apabila kegiatan terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran, maka akan mengakibatkan rendahnya penyerapan anggaran dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan. Ketiga, pemerintah daerah cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinfokan tersebut pada saat proses perencanaan APBD di daerah. Mengingat bahwa struktur pendapatan APBD sangat didominasi oleh transfer dari Pusat (PAD hanya berkisar 20 persen dari total pendapatan, bahkan untuk Kabupaten/Kota hanya sekitar 9 persen), maka kecepatan dan keakuratan informasi transfer dari pemerintah pusat menjadi sangat krusial bagi daerah. 43

44 Tabel 3. Realisasi Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten /Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah) No. Kab/Kota Provinsi Tahun 2008 2009 2010 Rata-rata 1 Gayo Lues NAD 302 363 380 348 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 371 374 356 367 3 Serdang Bedagai Sumut 502 461 666 543 4 Dharmas Raya Sumbar 382 441 440 421 5 Pasaman Barat Sumbar 398 483 491 457 6 Rokan Hilir Riau 1.485 1.673 1.517 1.558 7 Kuantan Singingi Riau 845 901 796 847 8 Tebo Jambi 514 484 513 504 9 Muaro Jambi Jambi 513 528 560 534 10 OKU Selatan Sumsel 480 452 456 463 11 Kepahiang Bengkulu 365 396 379 380 12 Lebong Bengkulu 340 321 329 330 13 Lampung Timur Lampung 695 754 919 789 14 Kota Metro Lampung 340 371 429 380 15 Bangka Barat Babel 348 412 388 383 16 Belitung Timur Babel 320 392 401 371 17 Lingga Kep. Riau 420 520 500 480 18 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 463 589 585 546 19 Sumbawa Barat NTB 305 439 459 401 20 Lembata NTT 318 333 316 322 21 Manggarai Barat NTT 351 333 362 349 22 Bengkayang Kalbar 437 447 438 441 23 Sekadau Kalbar 360 390 439 396 24 Lamandau Kalteng 359 420 373 384 25 Barito Timur Kalteng 393 367 397 386 26 Kota Banjarbaru Kalsel 363 421 416 400 27 Tanah Bumbu Kalsel 466 637 549 551 28 Kutai Timur Kaltim 1.450 1.797 2.050 1.766 29 Kepulauan Talaud Sulut 331 287 342 320 30 Minahasa Selatan Sulut 359 386 379 375 31 Morowali Sulteng 545 551 599 565 32 Banggai Kepulauan Sulteng 381 452 433 422 33 Luwu Utara Sulsel 447 479 501 476 34 Luwu Timur Sulsel 536 678 492 569 35 Bombana Sultra 320 318 285 308 36 Wakatobi Sultra 393 376 355 375 37 Boalemo Gorontalo 320 328 326 325 38 Mamuju Utara Sulbar 274 325 334 311 39 Kepulauan Aru Maluku 279 297 414 330 40 Seram Bagian Barat Maluku 429 449 410 429 41 Kepulauan Sula Malut 409 418 410 412 42 Supiori Papua 360 334 270 321 43 Keerom Papua 509 531 447 496 44 Raja Ampat Papua Barat 629 592 672 631 45 Teluk Wondama Papua Barat 401 410 414 408 Sumber : diolah dari data BPS

Dalam praktiknya, dalam penyusunan APBD, daerah hanya menaikkan pendapatan transfernya dengan prosentase kecil. Pada kenyataannya, realisasi pendapatan dari transfer tersebut ditambah lagi dengan komponen pendapatan lainnya misalnya dari PAD pasti melampaui angka perencanaan yang berujung pada lebihnya dana pada tahun anggaran yang bersangkutan dan belum tentu semuanya terserap menjadi belanja, bahkan ada yang idle dalam bentuk SiLPA. Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan penurunan realisasi belanja pemerintah. Secara lebih terperinci, perkembangan belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ada 3 kabupaten hasil pemekaran yang memiliki rata-rata realisasi total belanja di atas 1 triliun rupiah, yakni: Kabupaten Kutai Timur (1.766 milyar rupiah) dan Kabupaten Rokan Hilir (1.558 milyar rupiah). Kedua kabupaten tersebut termasuk kabupaten kaya dengan rata-rata PDRB di atas 1 trilun rupiah (lihat Tabel 4.2). Sedangan 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang memiliki rata-rata total belanja terkecil adalah Kabupaten Mamuju Utara (311 milyar rupiah), Kabupaten Kepulauan Talaud (320 milyar rupiah), Kabupaten Supiori (321 milyar rupiah), dan Kabupaten Lembata (322 milyar rupiah). 4.4. Perkembangan Infrastruktur Di antara berbagai jenis infrastruktur, jalan merupakan infrastruktur yang sangat penting dalam membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik akan memperlancar distribusi barang dan faktor produksi antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Kondisi pelayanan jalan yang lebih baik menyebabkan reduksi biaya operasional kendaraan (vechicle operating cost) dan biaya kecelakaan (accident cost) serta peningkatan nilai waktu (time value). Wardman (1998) menyatakan nilai penghematan waktu perjalanan memiliki dua komponen yaitu opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk perjalanan dan disulitas relatif dari waktu tersebut. 45 0.250 (km/km 2 ) 0.200 0.150 0.100 0.189 0.200 0.206 0.133 0.141 0.147 sampel nasional 0.050 0.000 2008 2009 2010 Sumber: diolah dari data BPS 2012 Gambar 12. Perbandingan Pertambahan Rasio Panjang Jalan 45 Kabupaten/ Kota Hasil Pemekaran terhadap Pertambahan Rasio Panjang Jalan Kabupaten/Kota Secara Nasional 2008-2010

46 Pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap luas wilayah selama kurun waktu 2008-2010 menunjukkan peningkatan walaupun lambat. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan rasio peningkatan jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota secara nasional. Lambatnya pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan minimnya anggaran yang disediakan untuk membangun jalan baru setiap tahunnya. Situasi ini menunjukkan bahwa secara umum kebijakan otonomi daerah belum memberi dampak yang signifikan pada pertumbuhan rasio panjang jalan. Demikian halnya dengan kebijakan pemekaran daerah, Gambar 12 di atas memperlihatkan bahwa secara nasional kinerja daerah-daerah pemekaran dalam penambahan panjang jalan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain (yang bukan hasil pemekaran). Kenyataan tentang lambatnya pertumbuhan rasio jalan di daerah pemekaran tersebut selaras dengan penjelasan pada bagian sebelumnya tentang belanja pemerintah. Porsi Belanja Modal dalam Total Belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran terlihat kurang memadai (lihat Gambar 11). Padahal bila mengacu pada model Rostow dan Musgrave tentang perkembangan pengeluaran pemerintah, pengeluaran untuk investasi (modal) pada daerah baru hasil pemekaran idealnya memiliki porsi yang terbesar dari Total Belanja. Hal ini ditujukan untuk pengadaan sarana maupun prasarana publik, seperti: infrastruktur transportasi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan lain sebagainya, yang biasanya minim atau belum tersedia di daerah baru. Namun, dalam kasus daerah-daerah baru hasil pemekaran di Indonesia ternyata tidak seluruhnya sesuai dengan model Rostow dan Musgrave tersebut. Porsi belanja modal terhadap total belanja pemerintah tidak cukup besar. Akibat minimnya porsi belanja modal inilah maka perkembangan infrastruktur termasuk jalan di kabupaten/kota hasil pemekaran tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota lain. Selain soal kinerja dalam pertumbuhan panjang jalan, satu hal lagi yang menarik adalah semua daerah pemekaran yang berstatus kota memiliki nilai rasio panjang jalan di atas 1 (lihat Tabel 4). Artinya, daerah pemekaran yang berstatus kota relatif memiliki rasio panjang jalan yang memadai. Kota Padang Sidimpuan, misalnya, memiliki rasio jalan 2,53. Sementara Kota Tanjung Pinang dan Kota Banjarbaru masing-masing memiliki rasio panjang jalan 1,64 dan 1,39. Bahkan Kota Metro memiliki rata-rata rasio panjang jalan 5,93 yang merupakan rasio tertinggi dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel. Selain karena luas wilayahnya relatif lebih kecil dan tingkat kepadatan penduduknya yang tinggi, kota-kota hasil pemekaran lebih banyak mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor-sektor tersebut memang mensyaratkan adanya dukungan infrastruktur jalan yang memadai. Situasi berbeda terjadi di daerah hasil pemekaran yang berstatus kabupaten. Semua kabupaten hasil pemekaran memiliki rasio panjang jalan di bawah 1, termasuk kabupaten yang dikategorikan kabupaten kaya. Hal yang diduga menyebabkan lambatnya pertumbuhan panjang jalan di kabupaten hasil pemekaran adalah luasnya wilayah kabupaten hasil pemekaran walaupun sudah direduksi dengan adanya pemekaran tersebut. Di sisi lain, kondisi demografis kurang mendukung dimana jumlah penduduk relatif sedikit dan penyebaran penduduk tidak merata sehingga kebutuhan untuk mobilitas juga kurang.

47 Tabel 4. Rasio Panjang Jalan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 No. Kab/Kota Provinsi luas wilayah Tahun (km 2 ) 2008 2009 2010 1 Gayo Lues NAD 5.719,67 0,109 0,109 0,109 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 139,39 2,530 2,530 2,530 3 Serdang Bedagai Sumut 1.900,22 0,770 0,663 0,770 4 Dharmas Raya Sumbar 2.961,13 0,393 0,399 0,406 5 Pasaman Barat Sumbar 3.887,77 0,320 0,324 0,320 6 Rokan Hilir Riau 8.881,59 0,212 0,212 0,212 7 Kuantan Singingi Riau 7.656,03 0,260 0,260 0,260 8 Tebo Jambi 6.461,00 0,123 0,123 0,123 9 Muaro Jambi Jambi 5.246,00 0,195 0,209 0,209 10 OKU Selatan Sumsel 5.495,94 0,075 0,078 0,089 11 Kepahiang Bengkulu 6.648,00 0,064 0,074 0,079 12 Lebong Bengkulu 2.731,31 0,113 0,113 0,133 13 Lampung Timur Lampung 5.325,03 0,196 0,196 0,312 14 Kota Metro Lampung 68,74 5,930 5,930 5,930 15 Bangka Barat Babel 2.883,70 0,210 0,259 0,271 16 Belitung Timur Babel 2.506,91 0,106 0,148 0,148 17 Lingga Kep. Riau 2.117,72 0,166 0,172 0,178 18 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 239,50 1,027 1,076 1,568 19 Sumbawa Barat NTB 1.849,02 0,106 0,142 0,150 20 Lembata NTT 1.266,39 0,555 0,555 0,539 21 Manggarai Barat NTT 2.947,50 0,238 0,238 0,238 22 Bengkayang Kalbar 5.396,30 0,222 0,242 0,259 23 Sekadau Kalbar 5.444,30 0,078 0,084 0,092 24 Lamandau Kalteng 6.414,00 0,111 0,112 0,112 25 Barito Timur Kalteng 3.834,00 0,129 0,170 0,183 26 Kota Banjarbaru Kalsel 371,38 1,387 1,387 1,387 27 Tanah Bumbu Kalsel 5.066,96 0,258 0,258 0,258 28 Kutai Timur Kaltim 35.747,50 0,021 0,028 0,029 29 Kepulauan Talaud Sulut 1.251,02 0,213 0,213 0,139 30 Minahasa Selatan Sulut 1.484,47 0,298 0,298 0,298 31 Morowali Sulteng 15.490,12 0,095 0,101 0,101 32 Banggai Kepulauan Sulteng 3.214,46 0,339 0,367 0,393 33 Luwu Utara Sulsel 7.843,57 0,298 0,299 0,328 34 Luwu Timur Sulsel 6.944,88 0,209 0,242 0,246 35 Bombana Sultra 3.316,16 0,172 0,209 0,209 36 Wakatobi Sultra 823,00 0,335 0,454 0,457 37 Boalemo Gorontalo 2.300,90 0,285 0,299 0,301 38 Mamuju Utara Sulbar 3.043,75 0,375 0,390 0,410 39 Kepulauan Aru Maluku 6.425,77 0,017 0,025 0,031 40 Seram Bagian Barat Maluku 6.948,40 0,030 0,031 0,033 41 Kepulauan Sula Malut 14.166,29 0,046 0,055 0,046 42 Supiori Papua 9.692,60 0,007 0,007 0,010 43 Keerom Papua 9.365,00 0,083 0,087 0,093 44 Raja Ampat Papua Barat 6.084,50 0,020 0,028 0,036 45 Teluk Wondama Papua Barat 14.953,80 0,029 0,030 0,031 Sumber : diolah dari data BPS

48 Hal lain yang juga dianggap sebagai penghambat peningkatan rasio panjang jalan adalah kondisi geografis dan topografis yang kurang mendukung. Ada beberapa kabupaten hasil pemekaran yang secara alamiah merupakan daerah kepulauan dan pegunungan sehingga sulit dan berbiaya mahal untuk meningkatkan jumlah panjang jalan di daerah tersebut. Kondisi alamiah yang menghambat pertumbuhan panjang jalan tersebut banyak dijumpai di daerahdaerah pemekaran yang berada di Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua. Dari Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa kondisi rasio panjang jalan kabupaten/kota hasil pemekaran di keempat provinsi tersebut sangat rendah, hingga kurang dari 0,1. Sebagai gambaran, angka rasio panjang jalan di tahun 2010 untuk Kab. Kepulauan Aru tercatat hanya 0,03. Selanjutnya, Kab. Seram Bagian Barat (0,03), Kab. Kepulauan Sula (0,05), Kab. Supiori (0,01), Kab. Keerom (0,09), Kab. Raja Ampat (0,04), Kab. Teluk Wondama (0,03). Sedangkan rasio panjang jalan pada tahun-tahun sebelumnya malah lebih rendah lagi. 4.5. Perkembangan Tenaga Kerja Konsekuensi dari adanya pemekaran daerah adalah berkurangnya jumlah penduduk secara drastis jika dibandingkan ketika masih bersama daerah induk. Akibatnya hal ini akan berdampak langsung terhadap jumlah tenaga kerja yang ada di daerah induk maupun daerah pemekaran. Dalam pandangan ekonomi neoklasik, penurunan jumlah tenaga kerja dinilai akan ikut menurunkan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (orang) 4,400,000 4,300,000 4,200,000 4,100,000 4,000,000 3,900,000 3,800,000 3,700,000 3,600,000 3,500,000 3,400,000 3,300,000 4,105,431 4,339,579 3,821,112 4,083,061 3,712,093 3,968,197 angkatan kerja kesempatan kerja 2008 2009 2010 Sumber: diolah dari data BPS 2012 Gambar 13. Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja 45 Kabupaten /Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam orang) Sebagaimana diketahui, model pertumbuhan ekonomi neoklasik didasari pada dua faktor utama, yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Kedua faktor ini yang menjadi kekuatan dalam meningkatkan pertumbuhan. Boediono (1995) menyatakan bahwa meningkatkan output sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penerapan sistem pembangian kerja yang tepat berdasarkan

keterampilan pekerja dan penggunaan mesin-mesin yang dapat memudahkan dan mempercepat serta meningkatkan produktifitas tenaga kerja. Peningkatan dalam penggunaan tenaga kerja menandakan adanya kesempatan kerja sebagai akibat dari peningkatan output tersebut. Dalam konteks pemekaran daerah, penurunan jumlah tenaga kerja setelah dilakukan pemekaran akan berdampak pada daerah induk maupun daerah pemekaran. Secara langsung, dampak ekonomi yang dihadapi oleh daerah induk adalah penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak dan retribusi daerah. Secara tidak langsung, hal ini akan berpengaruh pada angka pertumbuhan ekonomi. Bagi daerah hasil pemekaran, faktor tenaga kerja tidak selalu memberi dampak yang sama, tergantung tarikan ekonomi yang ada. Jika pemekaran daerah tersebut merupakan transformasi dari kabupaten ke kota, maka ada kemungkinan akan terjadi migrasi (urbanisasi) yang akan berpengaruh positif pada peningkatan jumlah tenaga kerja. Demikian pula jika daerah pemekaran itu memiliki sumberdaya ekonomi yang besar (misalkan: hasil tambang) yang mendorong terbukanya kesempatan kerja. Situasinya akan berbeda manakala pemekaran daerah tersebut justru tidak berhasil menjadikan daerah hasil pemekaran dapat memanfaatkan potensi ekonomi yang tersedia. Secara keseluruhan, selama periode 2008-2010 terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja, baik dalam pengertian angkatan kerja maupun kesempatan kerja, di kabupaten/kota hasil pemekaran (Gambar 13). Meskipun jika dicermati secara individual, tidak semua kabupaten/kota hasil pemekaran yang mengalami peningkatan jumlah angkatan kerja ataupun kesempatan kerja. Sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran mengalami pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang fluktuatif. Bahkan, ada pula yang menurun selama periode tersebut, seperti yang terjadi di Kota Padang Sidimpuan, Kab. Kuantan Singingi, dan Kab. Supiori. Namun fluktuasi jumlah tenaga kerja di sebuah daerah dalam jangka pendek merupakan situasi yang normal. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang diiringi dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja di kabupaten/kota hasil pemekaran mengindikasikan bahwa kinerja perekonomian telah menghasilkan pasar tenaga kerja yang positif. Artinya, pertambahan supply tenaga kerja masih bisa diimbangi dengan pertambahan demand tenaga kerja. Hanya saja, pertambahan demand tenaga kerja (kesempatan kerja) masih belum cukup optimal dalam menekan pertambahan supply tenaga kerja. Akibatnya, jumlah angkatan kerja masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah kesempatan kerja. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel, terlihat bahwa Kabupaten Lampung Timur merupakan daerah dengan rata-rata jumlah kesempatan kerja tertinggi selama periode 2008-2010, dengan jumlah rata-rata 448.175 orang. Berikutnya adalah Kabupaten Serdang Bedagai dengan jumlah rata-rata kesempatan kerja mencapai 285.548 orang (Tabel 5). Fakta yang menarik adalah kedua kabupaten tersebut mengandalkan sektor pertanian sebagai sektor utama dalam menyerap tenaga kerja. Masyarakat di kedua kabupaten ini memiliki kultur agraris yang kuat sejak masa kolonial sehingga sektor pertanian di kedua daerah ini mampu menjadi tumpuan utama dalam penyerapan tenaga kerja. Kondisi tersebut selaras dengan kondisi ketenagakerjaan secara nasional dimana sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar dalam menyerap tenaga kerja. 49

50 Tabel 5. Jumlah Kesempatan Kerja di Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 No. Kab/Kota Provinsi Tahun 2008 2009 2010 Rata-rata 1 Gayo Lues NAD 29.907 29.845 37.243 32.332 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 76.890 76.408 87.880 80.393 3 Serdang Bedagai Sumut 271.879 301.475 283.291 285.548 4 Dharmas Raya Sumbar 75.551 75.844 87.419 79.605 5 Pasaman Barat Sumbar 143.122 139.868 158.617 147.202 6 Rokan Hilir Riau 188.122 153.496 194.049 178.556 7 Kuantan Singingi Riau 117.429 115.464 114.363 115.752 8 Tebo Jambi 124.188 121.078 149.421 131.562 9 Muaro Jambi Jambi 132.873 134.985 151.175 139.678 10 OKU Selatan Sumsel 176.953 185.411 171.102 177.822 11 Kepahiang Bengkulu 60.479 64.334 64.636 63.150 12 Lebong Bengkulu 45.883 49.328 49.995 48.402 13 Lampung Timur Lampung 419.610 448.736 476.179 448.175 14 Kota Metro Lampung 65.344 63.096 71.172 66.537 15 Bangka Barat Babel 66.867 66.824 89.828 74.506 16 Belitung Timur Babel 41.460 41.730 49.752 44.314 17 Lingga Kep. Riau 33.321 34.159 33.460 33.647 18 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 72.800 76.094 74.299 74.398 19 Sumbawa Barat NTB 38.628 39.882 53.343 43.951 20 Lembata NTT 52.483 55.327 53.548 53.786 21 Manggarai Barat NTT 98.271 135.410 120.238 117.973 22 Bengkayang Kalbar 95.529 94.570 101.452 97.184 23 Sekadau Kalbar 94.360 94.595 94.625 94.527 24 Lamandau Kalteng 25.480 25.840 29.999 27.106 25 Barito Timur Kalteng 47.369 48.763 53.557 49.896 26 Kota Banjarbaru Kalsel 68.666 73.492 87.024 76.394 27 Tanah Bumbu Kalsel 96.515 101.119 116.765 104.800 28 Kutai Timur Kaltim 78.752 71.218 106.174 85.381 29 Kepulauan Talaud Sulut 30.758 35.073 38.333 34.721 30 Minahasa Selatan Sulut 76.261 77.467 89.795 81.174 31 Morowali Sulteng 86.106 85.388 93.490 88.328 32 Banggai Kepulauan Sulteng 74.959 75.968 79.419 76.782 33 Luwu Utara Sulsel 121.697 123.826 124.319 123.281 34 Luwu Timur Sulsel 86.464 90.064 105.898 94.142 35 Bombana Sultra 54.658 56.539 65.474 58.890 36 Wakatobi Sultra 48.018 48.467 39.538 45.341 37 Boalemo Gorontalo 47.875 51.629 54.697 51.400 38 Mamuju Utara Sulbar 51.373 57.485 57.879 55.579 39 Kepulauan Aru Maluku 30.604 32.414 33.416 32.145 40 Seram Bagian Barat Maluku 60.399 64.556 70.837 65.264 41 Kepulauan Sula Malut 51.221 48.314 45.545 48.360 42 Supiori Papua 6.825 6.814 5.571 6.403 43 Keerom Papua 25.475 25.851 22.885 24.737 44 Raja Ampat Papua Barat 17.171 19.332 15.147 17.217 45 Teluk Wondama Papua Barat 11.344 10.505 11.453 11.101 Sumber : diolah dari data BPS