dokumen-dokumen yang mirip



INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

Kata pengantar. Tanjungpinang, September 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PROVINSI PAPUA BARAT 2008 WELFARE INDICATORS OF PAPUA BARAT PROVINCE 2008


BERITA RESMI STATISTIK

BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN

BADANPUSATSTATISTIKPROVINSILAMPUNG


Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012

KATALOG DALAM TERBITAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN 2017

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

PROYINSI PAFUABARAT 2015

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KABUPATEN PASER TAHUN : Bappeda Kabupaten Paser bekerjasama dengan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

KERJASAMA BAPPEDA KABUPATEN SEMARANG BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEMARANG

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G /

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR


STATISTIK GENDER 2011

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014

terdapat di tingkat SD/Sederajat. lebih tinggi di luar Temanggung. 1) Angka Kematian Bayi waktu satu tahun per kelahiran hidup.

Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau

BAB IV ANALISA DATA SEKUNDER DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PROPINSI SUMATERA BARAT

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

Profile Perempuan Indonesia

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

KATA PENGANTAR. iii. Alfatah Sibua, S.Ag, M.Hum. Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2015

DAFTAR ISI. BAB IV Analisis isu-isu srategis Permasalahan Pembangunan Isu Strategis... 77

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI GORONTALO FEBRUARI 2017

terdapat di tingkat SD/Sederajat. lebih tinggi di luar Temanggung. waktu satu tahun per kelahiran hidup.

STRUKTUR DATA BPS DAN PROSEDUR MENDAPATKAN DATA DI BPS Hady Suryono 8 Maret 2016

BPS PROVINSI JAWA BARAT

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2008

TANTANGAN MEWUJUDKAN BONUS DEMOGRAFI DI PROVINSI BENGKULU

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

KATA PENGANTAR. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009

ANALISIS KESEJAHTERAAN RAKYAT KALIMANTAN TENGAH 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KALIMANTAN TENGAH 2011/2012

Mengeluarkan uang dalam rangka membiayai proses pendidikan adalah investasi yang sangat menguntungkan dan dapat dinikmati selama-lamanya.

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KABUPATEN GUNUNGKIDUL WELFARE INDICATORS OF GUNUNGKIDUL REGENCY 2015

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

Bonus Demografi Menjelaskan Hubungan antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi

INIJIKATDR RAKYAT. ~~QI!i. l~e~ejaht&raan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pekalongan dengan Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

madiunkota.bps.go.id

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016


INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA METODE BARU KABUPATEN SORONG TAHUN 2014

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG

INDIKATOR KETENAGAKERJAAN

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

Indikator Kesejahteraan Rakyat 2014

BERITA RESMI STATISTIK

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

dari target 28,3%. dari target 25,37%. dari target 22,37%. dari target 19,37%.

KONDISI PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA, 2010




KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014


PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DI INDONESIA 2013

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN

PENYUSUNAN DATA SOSIAL EKONOMI DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PANDEGLANG

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012

PEMETAAN POTENSI TENAGA KERJA DI KOTA PEKANBARU TAHUN


BERITA RESMI STATISTIK. Keadaan Ketenagakerjaan NTB Agustus Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 3,32 persen

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT SUMATERA SELATAN 2009

KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU AGUSTUS 2015

PROFIL PEMBANGUNAN PAPUA BARAT

PROFIL KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

Transkripsi:

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PROVINSI PAPUA BARAT 2013 WELFARE INDICATORS OF PAPUA BARAT PROVINCE 2013 ISSN : No. Publikasi/Publication Number : 91522.1405 Katalog BPS/BPS Catalogue : 4102004.9100 Ukuran Buku/Book Size : 16,5 cm x 21 cm Jumlah Halaman/Total Pages : xix + 77 halaman (96 halaman) Naskah/Manuscript : Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Papua Barat Gambar Kulit/Cover Design : Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik BPS Provinsi Papua Barat Diterbitkan Oleh/Published by : Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat

Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2013 merupakan publikasi tahunan yang diterbitkan BPS Provinsi Papua Barat. Publikasi ini merupakan terbitan kelima yang menyajikan tingkat perkembangan kesejahteraan rakyat Provinsi Papua Barat. Perubahan taraf kesejahteraan dikaji menurut berbagai bidang yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pola dan taraf konsumsi, perumahan, serta indikator sosial lainnya. Semua indikator kesejahteraan rakyat bersumber dari hasil pengolahan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Survei ini telah dilaksanakan di Provinsi Papua Barat sejak tahun 2006. Indikator ketenagakerjaan bersumber dari data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Kepada semua pihak yang secara aktif memberikan sumbangsih hingga terbitnya publikasi ini, kami sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya, kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan publikasi serupa di masa mendatang. Manokwari, September 2014 Kepala BPS Provinsi Papua Barat Simon Sapary i

KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL LAMPIRAN xi TINJAUAN UMUM xiii I. KEPENDUDUKAN 1 Gambaran Umum Penduduk 1 Struktur Umur Penduduk 3 II. KESEHATAN 5 Angka Harapan Hidup 6 Morbiditas 7 Pertolongan Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan 8 Imunisasi dan ASI 10 III. PENDIDIKAN 15 Angka Partisipasi Sekolah (APS) 16 Angka Partisipasi Murni (APM) 18 Angka Melek Huruf Dan Rata Rata Lama Sekolah 21 Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan 22 IV. KETENAGAKERJAAN 25 iii

Struktur Penduduk Usia Kerja Agustus 2013 25 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka 27 TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan 28 Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha 30 Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan 32 Penduduk Bekerja Menurut Jam Kerja 33 V. TARAF DAN POLA KONSUMSI 35 Perkembangan Kemiskinan di Papua Barat, 2006-2014 35 Perkembangan Tingkat Kesejahteraan 38 Perkembangan Distribusi Pendapatan 39 Konsumsi Rumah Tangga 41 VI. PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN 45 Kualitas Perumahan 46 Air Minum Layak 47 Sanitasi Layak 50 Penerangan 52 VII. SOSIAL LAINNYA 55 Program Penanggulangan Kemiskinan 55 Akses Teknologi Komunikasi dan Informasi 57 Akses Internet 58 LAMPIRAN-LAMPIRAN 61 iv

Tabel 1.1 Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Rasio Ketergantungan di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 2013 3 Tabel 4.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010-2013 27 Tabel 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011-2013 29 Tabel 4.3 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2013 31 Tabel 4.4 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011-2013 32 Tabel 4.5 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Jam Kerja di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011-2013 33 Tabel 5.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua Barat Menurut Daerah, 2006 2013 36 Tabel 5.2 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2009 2013 38 Tabel 5.3 Ukuran Tingkat Pemerataan Pendapatan di Provinsi Papua Barat Menurut Bank Dunia dan Koefisien Gini, Tahun 2007 2013 41 v

Tabel 5.4 Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011 2013 42 Tabel 7.1 Persentase Rumah Tangga yang Membeli/Menerima Beras Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2011 2013 56 vi

Gambar 1.1 Persebaran Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 2 Gambar 2.1 Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2013 7 Gambar 2.2 Angka Kesakitan Penduduk Papua Barat Tahun 2009 2013 8 Gambar 2.3 Penolong Kelahiran Balita di Papua Barat Tahun 2009 2013 9 Gambar 2.4 Cakupan Layanan Imunisasi Pada Bayi Berumur 12 23 Bulan di Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2013 10 Gambar 2.5 Persentase Balita 0 23 Bulan yang Mendapat ASI dan ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2011 2013 12 Gambar 2.6 Persentase Balita 1 5 Bulan yang Mendapat ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2013 12 Gambar 3.1 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 24 Tahun di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 2013 16 Gambar 3.2 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 24 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat, Tahun 2013 18 vii

Gambar 3.3 Gambar 3.4 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang Pendidikan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 2013 19 Angka Partisipasi Murni di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013 20 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 4.1 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Tahun 2006 2013 21 Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Penduduk 10 Tahun atau Lebih Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 23 Struktur Penduduk Usia Kerja di Provinsi Papua Barat Agustus Tahun 2013 26 Sebaran Penduduk Miskin di Papua Barat Tahun 2013 37 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 39 Persentase Rumah Tangga Menurut Status Kepemilikan Rumah di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 46 Kondisi Perumahan Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011 2013 47 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Air Minum Layak Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2012 2013 48 Gambar 6.4 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Air Minum Layak Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2013 49 viii

Gambar 6.5 Persentase Rumah Tangga Menurut Akses terhadap Sanitasi yang Layak Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2006 2013 50 Gambar 6.6 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Sanitasi Layak Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2013 51 Persentase Rumah Tangga Menurut Status Kemiskinan dan Pembelian Beras Miskin Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2013 57 Persentase Rumah Tangga Pengguna HP dan Persentase Penduduk yang Mengakses Internet Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2006 2013 59 ix

x

I (1) I (2) Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2000 2013 62 Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2008 2013 63 II (1) Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat Tahun 2009 2013 64 II (2) Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2012 65 II (3) Angka Kesakitan Penduduk di Provinsi Papua Barat, Tahun 2009 2013 66 III (1) Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat, Tahun 2009 2013 67 III (2) Angka Partisipasi Sekolah di Provinsi Papua Barat, 2010 2013 68 III (3) Angka Partisipasi Murni di Provinsi Papua Barat, 2010 2013 69 V (1) Perkembangan Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2011 dan 2013 70 V (2) Garis Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2007 2013 71 V (3) Indeks Kedalaman (P1) dan Indeks Keparahan (P2) Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2007 2013 72 xi

V (4) Kemampuan Daya Beli Masyarakat di Papua Barat, Tahun 2009 2013 73 VI (1) Persentase Rumah Tangga Menurut Kondisi Perumahan di Papua Barat, Tahun 2010 2013 74 VI (2) Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Air Minum Layak dan Sanitasi Layak Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 2013 75 VI (3) Persentase Rumah Tangga Menurut Kabupaten/Kota dan Sumber Penerangan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 2013 76 VII (1) Prsentase Rumah Tangga yang Mempunyai Alat Komunikasi Informasi dan Teknologi di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 2013 77 VII (2) Persentase Penduduk yang Mengakses Intenet di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 78 xii

Ruang Lingkup Tinjauan Umum Memajukan kesejahteraan umum adalah cita-cita mulia bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan undang- Undang Dasar 1945. Sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan umum tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan pemantauan perkembangan kesejahteraan penduduk mulai dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemantauan tingkat kesejahteraan tersebut melalui penyelenggaraan survei sosial ekonomi seperti: Susenas, Sakernas, SDKI dan lain-lain. BPS Provinsi Papua Barat melakukan pemantauan tingkat kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua Barat sejak tahun 2008. Pemantauan tersebut dibukukan dalam publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat. Dalam publikasi ini, kesejahteraan rakyat diamati melalui berbagai aspek spesifik yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pengeluaran konsumsi rumah tangga, perumahan dan aspek sosial lainnya. Permasalahan kesejahteraan rakyat diukur baik dengan menggunakan indikator tunggal maupun indikator komposit. Perkembangan tingkat kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua Barat hingga xiii

2013 secara ringkas sebagai berikut: Di bidang kependudukan: Penduduk Provinsi Papua Barat pada tahun 2013 diproyeksikan menjadi 828.293 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk selama tahun 2010 sampai dengan 2013 sebesar 2,89 persen per tahun. Sebaran penduduk Papua Barat tidak merata dengan kepadatan penduduk pada tahun 2013 sebesar 8 Jiwa/ Km 2. Dependency ratio, yaitu perbandingan penduduk usia tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun) dan penduduk usia produktif (15 64 tahun), masih cukup besar yaitu 51,09. Di bidang kesehatan: Angka Harapan Hidup (AHH) Provinsi Papua Barat tahun 2013 sebesar 69,14 tahun. Angka kesakitan penduduk turun dari 12,76 persen pada tahun 2012 menjadi 11,38 persen pada tahun 2013. Sebagian besar penolong kelahiran dari balita adalah tenaga kesehatan. Komposisi penolong kelahiran balita pada tahun 2013 adalah 66,42 persen oleh tenaga kesehatan; 30,53 persen oleh bukan tenaga kesehatan dan 3,02 persen oleh tenaga paramedis lain. Persentase bayi 12 23 bulan yang telah mendapat imunisasi BCG mencapai 92,92 persen. Berbeda dengan xiv

imunisasi BCG, capaian imunisasi Campak dan Hepatitis B masih rendah. Pada tahun 2013, capaian imunisasi campak sebesar 87,75 persen dan imunisasi Hepatitis B sebesar 87,99 persen. Di bidang pendidikan: Angka partisipasi sekolah (APS) tahun 2013 untuk APS 7 12 tahun sebesar 95,58 persen; APS 13 15 tahun sebesar 92,81 persen; APS 16 18 tahun sebesar 72,04 persen dan APS 19 24 tahun sebeesar 24,00 persen. Angka partisipasi murni tahun 2013 untuk APM SD sebesar 89,94 persen; APM SMP sebesar 60,99 persen; APM SMA sebesar 54,20 persen dan APM PT sebesar 20,10 persen. Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk Papua Barat tahun 2013 sebagian besar masih rendah. Penduduk 10 tahun atau lebih yang tamat SD sebesar 23,46 persen sementara mereka yang menamatkan perguruan tinggi hanya 9,25 persen. Di bidang ketenagakerjaan: Jumlah penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) berdasarkan hasil Sakernas 2013 diestimasi mencapai 558.262 jiwa. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada tahun 2013 sebesar 66,41 persen, lebih rendah daripada TPAK tahun 2012 yaitu sebesar 67,12 persen. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) tahun 2013 sebesar xv

4,62 persen, lebih rendah daripada TPT tahun 2012 yaitu sebesar 5,49 persen. Mayoritas penduduk yang bekerja pada tahun 2013 terserap di sektor pertanian. Penduduk Papua Barat yang bekerja di sektor pertanian sebesar 48,71 persen, di sektor industri 10,25 persen dan di sektor jasa sebesar 41,04 persen. Secara umum telihat bahwa pekerja di Papua Barat lebih dominan bekerja di sektor informal. Persentase pekerja di sektor informal mencapai 61,75 persen pada tahun 2013 Taraf dan Pola Konsumsi Jumlah dan persentase penduduk miskin di Papua Barat Maret tahun 2014 sebesar 229.430 jiwa atau sebesar 27,13 persen. Rata-rata pengeluaran penduduk Papua Barat meningkat dari 816.137 rupiah per kapita per bulan pada tahun 2012 menjadi 876.253 rupiah per kapita per bulan pada tahun 2013. Tingkat pemerataan pendapatan yang diukur dengan proxy pengeluaran pada tahun 2013 dengan menggunakan indeks gini ratio sebesar 0,41 yang bermakna ada ketimpangan pendapatan tetapi masih dalam status ketimpangan rendah. Tingkat kemerataan menurut Bank Dunia mencatat 16,03 persen pengeluaran penduduk berasal dari kelompok rumah tangga dengan 40 persen pengeluaran terbawah dan 48,38 persen disumbang oleh 20 persen rumah xvi

tangga pada kelompok 20 persen pengeluaran rumah tangga teratas. Di bidang perumahan Persentase rumah tangga yang tinggal di rumah sendiri pada tahun 2013 sebesar 72,46 persen lebih tinggi dari tahun 2012 yaitu sebesar 66,79 persen. Sebesar 67,32 persen rumah tangga di Papua Barat pada tahun 2013 telah mengakses air minum layak. Persentase rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi layak pada tahun 2013 sebesar 51,83 persen. Sosial Lainnya Akses penduduk terhadap program penanggulangan kemiskinan di Papua Barat tahun 2012 sebagai berikut: Sebesar 63,94 persen di antara rumah tangga tergolong miskin membeli/menerima beras miskin. Sebaliknya, ada 29,82 persen rumah tangga tidak miskin juga menerima/ membeli beras miskin. Penduduk Papua Barat yang menggunakan telepon selular (handphone) meningkat selama periode tahun 2006 2013 dari 16,23 persen menjadi 68,27 persen. Seiring dengan pesatnya pengguna telepon selular, penduduk Papua Barat yang mengakses internet pada tahun 2013 mencapai 11,11 persen. xvii

xviii

K e p e n d u d u k a n K e s e h a t a n P e n d i d i k a n K e t e n a g a k e r j a a n T a r a f d a n P o l a K o n s u m s i R u m a h T a n g g a P e r u m a h a n d a n L i n g k u n g a n S o s i a l L a i n n y a

Isu kependudukan di tingkat nasional adalah penyiapan langkah-langkah strategis pemerintah menghadapi the window of opportunity dari bonus demografi 2020 2030. Bonus demografi adalah keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya Rasio Ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang (Wongboonsin, dkk. 2003). Bonus Demografi terjadi karena penurunan kelahiran yang dalam jangka panjang menurunkan proporsi penduduk muda sehingga investasi untuk pemenuhan kebutuhannya berkurang dan sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga (John Ross, 2004). Gambaran Umum Penduduk Bab 1 Kependudukan Penduduk Provinsi Papua Barat pada tahun 2013 diproyeksikan menjadi 828.293 jiwa (BPS Provinsi Papua Barat, 2014). Meskipun belum diketahui kapan Papua Barat memasuki the window of opprtunity, tetapi mulai tahun 2015 dependency ratio kurang dari 50. Artinya, mulai tahun 2015 proporsi penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk usia tidak produktif. Pada tahun 2025, dependency 1

KOTA SORONG MANOKWARI SORONG FAKFAK TELUK BINTUNI KAIMANA RAJA AMPAT SORONG SELATAN MAYBRAT TELUK WONDAMA PEGUNUNGAN ARFAK MANOKWARI SELATAN TAMBRAW 2,53 1,61 4,32 3,44 3,23 5,38 4,96 6,83 6,17 ratio Papua Barat diperkirakan mencapai 45,3 dan masih akan lebih rendah lagi hingga tahun 2035 (Kementerian PPN/ Bappenas, BPS dan UNFPA 2013) Penduduk Provinsi Papua Barat tersebar tidak merata. Berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2013, satu di antara empat penduduk Provinsi Papua Barat tinggal di Kota Sorong dan 18 persen penduduk tinggal di Kabupaten Manokwari. Penduduk yang lain tersebar tidak merata di sebelas kabupaten lainnya dengan persentase kurang dari 10 persen (Gambar 1.1). Sebaran penduduk yang tidak merata tersebut berdampak pada kepadatan penduduk yang juga tidak merata. Kota Sorong dengan luas wilayah hanya 0,68 persen dari luas Papua Barat dihuni oleh 25,58 persen penduduk Papua Barat dengan kepadatan 322 penduduk per Km 2. Sebaliknya, Kabupaten Teluk Bintuni dengan luas 21,48 persen dari luas Papua Barat dihuni oleh 6,83 persen penduduk Papua Barat dengan kepadatan hanya tiga jiwa per Km 2. Kepadatan 9,26 8,56 18,13 25,58 Gambar 1.1 Persebaran Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 2

penduduk di Kabupaten Tambrauw terkecil. Struktur Umur Penduduk Perubahan struktur umur penduduk akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Adioutomo (2011), pengaruh struktur penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai berikut: a. Suplai tenaga kerja yang besar meningkatkan pendapatan per kapita apabila mendapat kesempatan kerja yang produktip b. Peranan perempuan yang juga memasuki pasar kerja, membantu peningkatan pendapatan c. Tabungan masyarakat yang diinvestasikan secara produktif d. Modal manusia yang besar apabila ada investasi untuk itu. Dampak keberhasilan pengendalian penduduk tercermin dari Tabel 1.1 Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Rasio Ketergantungan di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 2012 Tahun 0-14 15-64 65 + Rasio Ketergantungan (1) (2) (3) (4) (5) 2010 33,12 65,07 1,80 53,67 2011 32,68 65,47 1,84 52,74 2012 32,28 65,84 1,88 51,89 2013 31,88 66,18 1,93 51,09 Sumber: BPS (2013), Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 2035 3

perubahan struktur umur penduduk yang terlihat dari berkurangnya proporsi penduduk usia tidak produktif khususnya 0 14 tahun. Di sisi lain, proporsi penduduk usia produktif bertambah. Akibatnya, angka beban ketergantungan penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia produktif berkurang. Tingginya proporsi penduduk 0 14 tahun mengakibatkan tingginya angka beban ketergantungan (dependency ratio). Tabel 1.1 memperlihatkan angka beban ketergantungan di Provinsi Papua Barat pada tahun 2013 sebesar 51,09. Artinya, di antara 100 penduduk usia produktif berumur 15 64 tahun, menanggung 51 penduduk yang tidak produktif. Hingga tahun 2013, penduduk usia tidak produktif masih didominasi oleh kelompok anak-anak (0 14 tahun). Konsekuensinya adalah pendapatan dari penduduk usia produktif terserap pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan anak-anak. Dengan demikian, masih dibutuhkan pembangunan sarana pendidikan khususnya untuk pendidikan dasar dan menengah juga dibutuhkan pembangunan sarana kesehatan. 4

Bab 2 Kesehatan Mulai 1 Januari 2014, Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan Program Jaminan Kesehatan Nasional sebagai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Sebelumya, dalam UU No. 36 Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional). Sebelum program jaminan kesehatan nasional bergulir, Pemerintah RI telah menjalankan program jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesmas. Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin. Tujuan Jamkesmas adalah meningkatkan akses terhadap masyarakat miskin dan hampir miskin agar dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan 5

demikian, sebelum tahun 2014, pemerintah memberikan jaminan kesehatan terbatas pada penduduk miskin atau hampir miskin. Sejauhmana program jaminan kesehatan mempengaruhi derajat kesehatan di Papua Barat dapat dilihat dari beberapa indikator berikut: Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup (AHH) Provinsi Papua Barat selama tahun 2006 hingga tahun 2013 meningkat (Lampiran II.1). AHH pada tahun 2006 mencapai 67,3 tahun meningkat menjadi 69,14 tahun pada tahun 2013. Meskipun harapan hidup meningkat, AHH Provinsi Papua Barat lebih rendah daripada AHH Indonesia tahun 2013 yaitu sebesar 70,07 tahun. AHH tahun 2014 ditargetkan mencapai 72 tahun. Baik Provinsi Papua Barat maupun Indonesia tidak mencapai target tersebut. Ada perbedaan harapan hidup antar kabupaten/kota di Papua Barat. Pada tahun 2013, harapan hidup paling lama di Kota Sorong yang mencapai 72,80 tahun. AHH Kota Sorong telah melebihi target AHH tahun 2014 sejak tahun 2011. Harapan hidup paling pendek di Kabupaten Tambrauw yaitu 66,48 tahun. Disparitas harapan hidup di tingkat kabupaten/kota di Papua Barat mengindikasikan perbedaan yang sangat nyata pada ketersediaan fasilitas kesehatan, akses pelayanan dasar di bidang kesehatan serta sarana dan prasarana kesehatan. Data Potensi Desa (Podes) 2011 menunjukkan bahwa hanya 9,68 persen desa di Kota Sorong dengan rata-rata jarak ke Puskesmas atau Pustu. Bandingkan dengan Kabupaten 6

Tambrauw Maybrat Raja Ampat orong Selatan luk Wondama Sorong Manokwari Teluk Bintuni PAPUA BARAT Kaimana Fak-Fak Kota Sorong Tahun 66,48 66,95 67,07 67,07 68,06 68,65 68,73 68,90 69,14 70,11 71,33 72,80 75,00 65,00 55,00 45,00 35,00 25,00 Gambar 2.1 Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 Tambrauw di mana semua desa berjarak lebih dari 5 Km ke Puskesmas atau Pustu (Lampiran II.2). Morbiditas Indikator lain untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah angka kesakitan atau morbiditas. Angka ini menunjukkan persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan yang mengakibatkan gangguan terhadap aktivitas sehari-hari seperti bekerja, sekolah atau mengerjakan pekerjaan rumah. Secara umum, angka kesakitan penduduk Papua Barat menurun dari 19,62 persen pada tahun 2009 menjadi 19,50 persen pada tahun 2010; 12,76 persen pada tahun 2012 dan menjadi 11,38 persen pada tahun 2013. Penurunan angka kesakitan tersebut berbanding terbalik dengan peningkatan angka harapan hidup. Hal ini mengindikasikan adanya 7

Tahun 25,00 20,00 19,62 19,50 15,00 10,00 5,00 0,00 13,92 12,76 Gambar 2.2 Angka Kesakitan Penduduk Papua Barat Tahun 2009 2013 peningkatan derajat kesehatan di masyarakat. Angka kesakitan menurut kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat disajikan selengkapnya pada Lampiran II.3. Pertolongan Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan 11,38 2009 2010 2011 2012 2013 Penurunan angka kesakitan dan peningkatan angka harapan hidup tidak terlepas dari upaya pencegahan (preventif) dan kuratif (pengobatan) baik yang dilakukan oleh masing-masing individu maupun diinisiasi oleh pemerintah. Beberapa upaya preventif tersebut antara lain: peningkatan peran tenaga kesehatan dalam proses persalinan, peningkatan peran ibu dalam pemberian ASI eksklusif dan pemberian imunisasi. Peningkatan peran tenaga kesehatan dalam proses persalinan bertujuan untuk mengurangi kasus kematian bayi. Dengan menurunkan jumlah kasus kematian bayi dapat 8

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 54,78 39,57 71,50 25,94 63,10 32,69 Gambar 2.3 Penolong Kelahiran Balita di Papua Barat Tahun 2009 2013 meningkatkan lama harapan hidup. 71,02 66,42 24,00 30,53 2009 2010 2011 2012 2013 Tenaga Paramedis Lain Non Tenaga Kesehatan Tenaga Kesehatan Gambar 2.3 memperlihatkan persentase balita (0 59 bulan) menurut penolong kelahiran pada tahun 2009 hingga tahun 2013. Pesentase penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan selama periode tersebut tampak fluktuatif tetapi menunjukkan tren yang meningkat. Meskipun begitu, persentase pertolongan kelahiran oleh tenaga non kesehatan masih cukup dominan. Pada tahun 2013, persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di Provinsi Papua Barat sebesar 66,42 persen. Persentase penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan tertinggi di Kota Sorong dan terendah di Kabupaten Tambrauw. Hal ini sepola dengan disparitas angka harapan hidup di kabupaten/kota di Papua Barat di mana angka harapan hidup tertinggi dan terendah di dua wilayah tersebut. Hanya tiga dari 10 persalinan di Kabupaten Tambrauw 9

86,60 86,04 87,75 85,52 87,98 87,99 Persen 91,71 89,78 92,92 88,56 90,43 92,17 89,21 91,53 91,90 ditolong oleh tenaga kesehatan sementara di Kota Sorong persentasenya 2,8 kali lebih tinggi. Imunisasi dan ASI Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi yang berfungsi melindungi dan mencegah dari penyakit agar anak tetap sehat. Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi menetapkan bahwa imunisasi wajib diberikan kepada bayi berumur satu tahun adalah BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B. Waktu pemberiannya sudah ditetapkan secara bertahap. Imunisasi BCG diberikan satu kali pada anak usia 0-2 bulan. Demikian juga untuk imunisasi Polio dan Hepatitis B untuk pertama kali. Imunisasi DPT dan Polio diberikan secara 100,00 95,00 90,00 85,00 80,00 75,00 BCG DPT POLIO CAMPAK HEP-B 2011 2012 2013 Gambar 2.4 Cakupan Layanan Imunisasi Pada Bayi Berumur 12 23 Bulan di Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2013 10

bersamaan dan berulang pada usia 2, 3, atau 4 bulan dan pengulangannya 4 bulan kemudian sebanyak 3 kali. Imunisasi campak diberikan sebanyak 2 kali. Pertama, pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih, dan kedua diberikan pada usia 5-7 tahun. Pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada usia 6 bulan dan diulangi 6 bulan kemudian. Gambar 2.4 menunjukkan cakupan layanan imunisasi pada anak berumur 12 23 bulan. Susenas 2013 mencatat persentase bayi 12 23 bulan yang telah mendapat imunisasi BCG mencapai 92,92 persen. Berbeda dengan imunisasi BCG, capaian imunisasi Campak dan Hepatitis B masih rendah. Pada tahun 2013, capaian imunisasi campak sebesar 87,75 persen dan imunisasi Hepatitis B sebesar 87,99 persen. Selain imunisasi, upaya meningkatkan ketahanan tubuh bayi adalah dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI). Pemberian ASI pada anak balita merupakan pola asuh yang sangat dianjurkan. Bila kondisi kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara memberi makan yang paling ideal untuk 4-6 bulan pertama sejak dilahirkan tanpa memberikan makanan tambahan, karena ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Bayi memperoleh ASI ekslusif apabila dalam enam bulan hanya diberikan ASI tanpa makanan tambahan. ASI ekslusif merupakan asupan terbaik bagi bayi yang tidak dapat digantikan oleh susu formula manapun. Keunggulan dan manfaat menyusui dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: aspek gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek kecerdasan, neurologis, ekonomis dan aspek penundaan kehamilan (http://www.f-buzz.com/2008/05/21/kelebihanair-susu-ibu-asi-dan-manfaat-menyusui/). 11

Persen Persen 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 90,56 91,1 89,31 22,66 22,83 2011 2012 2013 35,66 Gambar 2.5 Persentase Balita 0 23 Bulan yang Mendapat ASI dan ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2011 2013 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 89,32 69,2 ASI ASI Eksklusif 63,96 62,95 58,43 1 2 3 4 5 Umur (bulan) Gambar 2.6 Persentase Balita 1 5 Bulan yang Mendapat ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2013 12

Gambar 2.4 menunjukkan pemberian ASI eksklusif kepada bayi berumur 0 23 bulan di Provinsi Papua Barat pada tahun 2011 2013. Secara umum, pemberian ASI ekslusif meningkat. Jika diperhatikan lebih lanjut Gambar 2.5, persentase pemberian ASI Eksklusif menurun seiring usia bayi. Pada bulan pertama, pemberian ASI eksklusif pada tahun 2013 hampir 90 peren. Tetapi pada bulan kedua, ketiga sampai dengan kelima, persentase bayi yang memperoleh ASI eksklusif terus berkurang hingga tersisa. Banyak hal yang menyebabkan ASI Ekslusif tidak diberikan khususnya bagi ibu-ibu di Indonesia. Menurut Siregar (2004), Beberapa di antaranya dipengaruhi oleh: a. Kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai hasil kemajuan teknologi pembuatan makanan bayi seperti pembuatan tepung makanan bayi, susu buatan bayi, mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan makanan olahan lain. b. Para ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena tugas-tugas sosial, maka susu sapi adalah satu-satunya jalan keluar dalam pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan dirumah. c. Pengaruh melahirkan dirumah sakit atau klinik bersalin. Belum semua petugas paramedis diberi pesan dan diberi cukup informasi agar menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi mereka, serta praktek yang keliru dengan memberikan susu botol kepada bayi yang baru lahir. 13

14

Bab 3 Pendidikan Provinsi Papua Barat telah memasuki pembangunan lima tahun kedua, yaitu periode tahun 2011 2015. Target dan sasaran misi pembangunan pada masa ini ditekankan pada upaya mencapai kemandirian wilayah. Salah satu upaya mencapai kemandirian tersebut melalui akses, layanan, dan kualitas pendidikan. Ada tiga agenda penting dalam rangka mewujudkan kemandirian wilayah melalui akses, layanan, dan kualitas pendidikan. Pertama, mengejar kenaikan angka melek huruf sebesar 1% setiap tahunnya sehingga 100% penduduk papua melek huruf. Kedua, pembangunan sekolah berpola asrama yang didukung program kemitraan pada minimal 15 distrik setiap tahunnya. Ketiga, setiap tahunnya dilakukan pembinaan tenaga pengajar di Papua Barat sebesar 20% dari total pengajar dan kemudian diberikan stimulus dana ataupun rekrutmen baru untuk disebarkan kedalam kampungkampung terisolir secara merata dan bertahap (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Papua Barat Tahun 2012 2016). Pembahasan pada Bab 3 ini difokuskan pada capaian pembangunan pada sektor pendidikan di Provinsi Papua 15

Persen Barat. Beberapa indikator pendidikan digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan pendidikan di Provinsi Papua Barat seperti angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah, dan tingkat pendidikan yang ditamatkan. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka partisipasi sekolah mengukur proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada satu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. Indikator ini untuk menunjukkan tingkat partisipasi pendidikan menurut kelompok umur tertentu. APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 93,18 93,35 94,04 94,38 95,56 95,58 88,75 88,59 89,95 88,59 57,53 57,95 58,98 12,25 12,72 14,45 65,40 67,18 18,31 19,90 91,65 92,81 72,04 24,00 2008 2009 2010 2011 2012 2013 7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun Gambar 3.1 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 24 Tahun di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 2013 16

Gambar 3.1 menyajikan APS menurut kelompok umur 7 12 tahun, 13 15 tahun, 16 18 tahun hingga 19 24 tahun. Pada tahun 2013, sebanyak 95,58 persen penduduk usia 7 12 tahun berstatus masih sekolah. APS untuk penduduk usia 13 15 tahun sebesar 92,81 persen. APS untuk kelompok umur 16 18 tahun dan 19 24 tahun kurang dari 75 persen. Artinya, semakin tinggi umur anak semakin kecil peluang untuk bersekolah. Sejak program wajib belajar 6 tahun digulirkan pada tahun 1984, hingga saat ini telah dibangun 774 unit sekolah dasar di 166 distrik di Provinsi Papua Barat (BPS: Provinsi Papua Barat Dalam Angka, 2013). Pembangunan SD yang cukup merata berdampak positif pada terbukanya peluang yang sama bagi penduduk usia 7 12 tahun untuk sekolah. APS terendah untuk kelompok usia ini di Kabupaten Teluk Wondama yaitu sebesar 86,78 persen. APS di kabupaten/ lainnya lebih dari 90 persen. Program wajib belajar 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun pada tahun 1994. Sejak saat itu hingga tahun 2013 telah dibangun SMP sebanyak 180 unit (BPS: Provinsi Papua Barat Dalam Angka, 2013). Setidaknya, hampir di setiap distrik telah dibangun SMP. Seperti APS 7 12 tahun, capaian APS 13 15 tahun antar kabupaten/kota juga tidak berbeda. APS cukup rendah untuk penduduk usia 16 18 tahun dan 19 24 tahun. Perbedaan APS pada kedua kelompok usia ini sangat dipengaruhi jumlah SMA/SMK dan Perguruan Tinggi. Masih mengacu pada hasil data Podes 2011, ada 82 SMA, 35 SMK dan 24 perguruan tinggi di Provinsi Papua Barat. Fasilitas pendidikan SMA/SMK/PT tersebut banyak terpusat di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari. Jumlah SMU di 17

Gambar 3.2 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 24 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat, Tahun 2013 95,54 95,63 95,58 92,90 92,71 92,81 Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Wondama, dan Kabupaten Tambrauw hanya ada satu unit. Besaran APS berbeda menurut jenis kelamin. Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa pada kelompok umur 7 12 tahun, hampir tidak ada perbedaan partisipasi sekolah. Tetapi, pada kelompok umur 16 18 tahun, perbedaan partisipasi sekolah antara anak laki-laki dan perempuan tampak nyata. Keterbatasan jumlah SMA dan PT berdampak pada partisipasi sekolah penduduk usia 16 24 tahun khususnya pada kaum perempuan. Angka Partisipasi Murni (APM) 71,93 72,15 72,04 27,38 20,14 24,00 L P L+P L P L+P L P L+P L P L+P 7 12 13 15 16 18 19 24 Berbeda dengan APS, angka partisipasi murni (APM) 18

Persen Gambar 3.3 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang Pendidikan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2013 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 90,71 91,25 91,91 48,92 49,03 49,65 43,61 43,55 43,93 6,06 6,25 7,36 88,28 88,97 89,94 57,66 59,76 60,99 47,88 46,46 13,86 15,75 54,20 20,10 2008 2009 2010 2011 2012 2013 SD SMP SMA PT mengukur proporsi anak sekolah pada satu kelompok usia tertentu yang bersekolah pada jenjang yang sesuai dengan kelompok usianya terhadap seluruh anak pada kelompok usia tersebut. Sebagai contoh, APM SD mengukur partisipasi sekolah penduduk usia 7 12 tahun yang masih bersekolah SD/sederajat, APM SMP mengukur partisipasi sekolah penduduk usia 13 15 tahun yang masih bersekolah SMP/ sederajat, dan seterusnya. APM menurut jenjang pendidikan di Provinsi Papua Barat pada tahun 2008 hingga 2013 disajikan pada Gambar 3.3. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah APM. Dikaitkan dengan target Pendidikan Untuk Semua-PUS (Education for All-EFA) di mana pada tahun 2015, semua anak mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan yang bermutu. Target nasional PUS adalah 100 persen APM pada 19

pendidikan dasar dan menengah. Untuk capaian APM SD, Provinsi Papua Barat optimis dapat mencapai target nasional PUS tersebut hingga tahun 2015 tetapi tidak untuk APM SMP dan SMA. Target nasional PUS untuk APM SMP dan SMA akan tercapai jika dalam tiga tahun dari sekarang terjadi penambahan gedung sekolah SMP dan SMA dan fasilitasnya serta penambahan guru yang tersebar hingga ke daerah terisolir sekalipun. Dengan demikian, peningkatan capaian APM SMP/sederajat dan SMA/sederajat menjadi isu strategis pembangunan pendidikan di Papua Barat. Lampiran III.1 memperlihatkan capaian APM di tingkat kabupaten/kota untuk semua jenjang pendidikan. capaian APM SMP/sederajat masih rendah dan terdapat perbedaan capaian antar wilayah yang cukup tinggi. Pada tahun 2013, Kabupaten Teluk Wondama merupakan kabupaten dengan 91,31 88,36 89,94 58,73 63,30 60,99 55,80 52,45 54,20 22,26 17,64 20,10 L P L+P L P L+P L P L+P L P L+P SD SMP SMA PT Gambar 3.4 Angka Partisipasi Murni di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013 20

Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama sekolah (tahun) capaian APM SMP/terendah yaitu 40,21 persen. Sebaliknya, Kabupaten Maybrat merupakan wilayah dengan APM SMP tertinggi yaitu lebih dari 74,98 persen. Gambar 3.4 selanjutnya menunjukkan perbedaan APM antara anak laki-laki dan perempuan di jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Secara umum, perbedaan gender tidak begitu kentara dalam capaian APM ini. Terlalu cepat masuk SD bagi lulusan TK yang berumur 6 tahun berdampak pada penurunan APM sebaliknya memperbesar angka partisipasi kasar. Angka Melek Huruf Dan Rata Rata Lama Sekolah Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah merupakan dua indikator yang dijadikan sebagai komponen untuk mengukur pembangunan manusia dari aspek pendidikan. 95,00 94,00 93,00 92,00 91,00 90,00 89,00 88,00 87,00 86,00 85,00 88,55 7,20 90,32 92,15 7,65 7,67 92,34 93,19 93,39 8,21 8,26 8,45 8,01 93,74 94,14 8,53 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 9,00 8,50 8,00 7,50 7,00 6,50 AMH RLS Gambar 3.5 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2013 21

Angka melek huruf menunjukkan proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ditulisnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang). Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami kenaikan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Angka melek huruf meningkat dari 88,55 persen pada tahun 2006 menjadi 92,15 persen pada tahun 2008 dan menjadi 94,14 persen pada tahun 2013. Rata rata lama sekolah penduduk Provinsi Papua Barat mengalami kenaikan (dari 7,20 tahun di tahun 2006 menjadi 8,01 tahun pada tahun 2009 dan 8,53 tahun pada tahun 2013). Kenaikan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah ini berdampak nyata pada capaian IPM Provinsi Papua Barat. IPM Provinsi Papua Barat tahun 2013 mencapai 70,62 dan menempati peringkat ke-31 dari 33 provinsi se-indonesia. Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan salah satu indikator output penyelenggaraan pendidikan. Gambar 3.6 memberikan gambaran tentang pencapaian pendidikan penduduk usia 10 tahun ke atas pada tahun 2013 dan mengindikasikan beberapa isu pendidikan sebagai berikut: a. Sebesar 48,16 persen penduduk berumur 10 tahun ke atas memiliki setinggi-tingginya ijazah SD. Hal ini 22

9,86 8,55 9,25 18,05 18,64 18,33 21,85 20,02 22,24 24,70 24,84 23,46 24,26 27,95 27,99 Gambar 3.6 Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Penduduk 10 Tahun atau Lebih Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 Tanpa Ijazah SD SMP SMA PT Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan mencerminkan, kualitas SDM dari aspek pendidikan di Papua Barat masih tergolong rendah. Hanya satu di antar empat penduduk yang berijazah SMA. b. Lulusan perguruan tinggi di Papua Barat masih sangat rendah (9,25 persen). Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah papua, Pemerintah Provinsi Papua Barat merencanakan untuk: a. Pembangunan SD Kecil (Kelas 1 3) di kampungkampung di distrik terpencil dan pembangunan SD-SMP Satu Atap di 20 distrik yang sama. b. Peningkatan kapasitas guru SD dan SMP seperti pelatihan keterampilan penyusunan kurikulum dan pemanfaatan media elektronik dalam proses KBM. 23

24

Isu jendela kesempatan atau window of opportunity saat memasuki fase bonus demografi tidak akan banyak bermanfaat bagi percepatan pembangunan apabila lapangan pekerjaan yang ada tidak mampu menyerap ledakan angkatan kerja. Oleh karena itu, pengamatan kondisi ketenagakerjaan dari waktu ke waktu penting dilakukan untuk dapat dijadikan dasar perencanaan pembangunan ketenagakerjaan di masa yang akan datang. Bab 4 ini menyajikan beberapa indikator kunci ketenagakerjaan. Struktur Penduduk Usia Kerja Agustus 2013 Bab 4 Ketenagakerjaan Estimasi jumlah penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) di Provinsi Papua Barat berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2013 sebanyak 558.262 jiwa. Penduduk usia kerja yang termasuk angkatan kerja sebesar 66,41 persen. Penduduk angkatan kerja yang bekerja sebesar 95,38 persen. Dengan kata lain, sekitar 4,62 persen penduduk angkatan kerja termasuk sebagai kelompok pengangguran terbuka. Selama empat tahun terakhir ini, pengangguran terbuka terus menurun. Struktur penduduk usia kerja selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.1. 25

Gambar 4.1 Struktur Penduduk Usia Kerja di Provinsi Papua Barat Agustus Tahun 2013 Penduduk Usia Kerja (15 +) 558.262 Angkatan Kerja: 370.750 Bekerja: 353.619 Pengangguran: 17.131 Bukan Angkatan Kerja: 187.512 Sekolah: 78.815 Mengurus Rumah Tangga: 94.447 Lainnya: 14.250 26

Tabel 4.1 Daerah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah perbandingan jumlah penduduk usia kerja yang bekerja dan pengangguran dengan jumlah penduduk usia kerja. Perkembangan TPAK selama tahun 2010 sampai dengan 2013 menunjukkan tren menurun. Selain itu, penduduk usia kerja yang masuk dalam pasar kerja sedikit berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan sedikit tambahan penduduk angkatan kerja yang tidak terserap oleh dunia kerja. Jika dibandingkan antara perkotaan dan perdesaan, TPAK perdesaan lebih besar dibandingkan TPAK perkotaan. Salah satu penyebabnya adalah akses pendidikan di pedesaan lebih sulit daripada di perkotaan. Akibatnya, penduduk usia sekolah di perdesaan lebih banyak tergolong sebagai penduduk angkatan kerja. Sebaliknya, di perkotaan banyak yang termasuk bukan angkatan kerja. Selain itu, banyak angkatan kerja di perdesaan tergolong sebagai pekerja meskipun dengan status pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 2013 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (Agustus) Tingkat Pengangguran Terbuka (Agustus) 2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Perkotaan 61,04 72,31 64,61 62,25 14,57 18,64 10,28 10,32 Perdesaan 73,49 67,21 68,20 68,26 4,77 5,08 3,55 2,31 Total 69,29 70,78 67,12 66,41 7,68 8,94 5,49 4,62 Sumber: BPS, Sakernas 2009 2012 27

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menggambarkan banyaknya angkatan kerja yang menganggur. Mereka yang tergolong pengangguran yaitu penduduk usia kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari kerja atau mempersiapkan suatu usaha, dan mereka yang sementara belum mulai kerja walau sudah mendapat pekerjaan dan mereka yang tidak mencari kerja karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Semakin banyak angkatan kerja yang berstatus pengangguran, maka semakin tinggi TPT. TPT di Provinsi Papua Barat untuk kondisi Agustus 2013 sebesar 4,62 persen, lebih rendah dibandingkan dengan TPT tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,49 persen. Tingkat pengangguran di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Dapat disimpulkan bahwa penyerapan tenaga kerja pada tahun 2013 lebih baik dibandingkan tahun 2012. TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan angkatan kerja, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar TPT. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa TPT dari angkatan kerja dengan pendidikan SMP ke bawah lebih rendah daripada TPT dari angkatan kerja dengan tingkat pendidikan minimal SMA. Puncak TPT tertinggi pada kelompok pendidikan SMA. Angkatan kerja dengan tingkat pendidikan rendah jauh lebih mudah terserap dalam lapangan pekerjaan daripada mereka yang berpendidikan tinggi. Tingginya TPT pada kelompok pendidikan SMA ini mengindikasikan dua hal: a. Potret dropout dari penduduk usia 16 18 tahu yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi; 28

Tabel 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011-2013 Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Perkotaan Perdesaan Kota + Desa 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) TDK/BLM SEKOLAH 30,99 1,121 3,49 14,27 9,02 0,96 0,56 TDK/BLM TAMAT SD 7,42 2,538 3,5 2,59 1,38 SD 7,44 7,89 3,75 2,058 1,23 1,64 2,91 2,33 1,94 SLTP 11,77 7,82 7,70 5,615 2,6 1,62 7,5 4,24 3,54 SLTA UMUM/SMU 24,08 10,137 15,51 12,51 14,20 8,32 4,14 SLTA KEJURUAN/SMK 17,05 5,649 10,94 DIPLOMA I/II dan AKADEMI 17,78 5,951 10,38 6,80 8,20 6,17 4,81 UNIVERSITAS 35,52 13,591 23,13 10,06 8,23 6,46 6,42 Total 18,64 10,28 10,32 5,08 3,55 2,31 8,94 5,49 4,62 Sumber: BPS, Sakernas 2011 2013 29

b. Tidak seperti lulusan pendidikan rendah, pencari kerja berpendidikan SMA lebih selektif mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Lebih ekstrim lagi jika TPT per tingkat pendidikan dibandingkan antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Semakin jelas bahwa daya serap lapangan pekerjaan terhadap angkatan kerja di perkotaan tidak sekuat di perdesaan. Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha Gambaran ketenagakerjaan berdasarkan sektor/lapangan usaha dari tahun 2008 2013 menjelaskan terjadinya pergeseran struktur lapangan pekerjaan di Papua Barat. Sektor pertanian semakin menurun karena semakin ditinggalkan angkatan kerja yang lebih memilih sektor Industri (manufacture) dan Jasa-jasa (services). Persentase angkatan kerja yang bekerja pada kedua sektor terakhir semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ciri-ciri terjadinya urbanisasi ketika sektor industri dan jasa semakin diminati para pencari kerja. Selama pertanian terus menjadi sektor yang subsisten dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan sektor lain maka pertanian akan semakin ditinggalkan. Mereka yang memasuki sektor pertanian adalah mereka yang tidak punya kesempatan masuk ke sektor industri dan jasajasa dan kalah bersaing dengan pencari kerja lain yang lebih berkualitas. Namun perlu diperhatikan juga bahwa mayoritas penduduk yang bekerja terserap di sektor pertanian. Meski sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Papua Barat hanya seperlima dibandingkan sumbangan sektor Industri, namun 30

Tabel 4.3 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2013 Daerah Lapangan Usaha Pertanian Industri Jasa (1) (2) (3) (4) Perkotaan Perdesaan Kota + Desa 2008 10,16 20,81 69,03 2009 11,95 17,95 70,10 2010 9,52 19,93 70,55 2011 9,60 16,80 73,60 2012 2,89 16,57 80,53 2013 11,45 16,20 72,35 2008 74,39 7,84 17,77 2009 70,43 9,64 19,94 2010 70,93 7,98 21,09 2011 61,70 9,00 29,30 2012 64,77 10,54 24,69 2013 62,56 8,04 29,40 2008 58,79 10,99 30,22 2009 55,68 11,73 32,59 2010 54,04 11,27 34,69 2011 48,50 11,00 40,50 2012 47,63 12,21 40,16 2013 48,71 10,25 41,04 Sumber: BPS, Sakernas 2008 2013 31

pengembangan sektor pertanian perlu diarahkan agar dapat menopang pembangunan di Provinsi Papua Barat. Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan Salah satu pengelompokkan status pekerjaan utama adalah dengan mengelompokkan pekerja ke dalam sektor informal atau fomal. Pekeja di sektor informal adalah penduduk yang bekerja dengan status pekerjaan sebagai berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar atau pekerja keluarga, pekerja bebas, atau pekerja keluarga. Pekerja di sektor formal adalah penduduk yang bekerja dengan status sebagai berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar atau buruh/karyawan/pegawai. Secara umum telihat bahwa pekerja di Papua Barat lebih dominan bekerja di sektor informal. Persentase pekerja di sektor informal mencapai 61,75 persen pada tahun 2013 (Tabel 4.4). Persentase pekerja formal di perkotaan dua kali lebih besar dibandingkan di perdesaan. Tabel 4.4 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011-2013 Status Pekerjaan Perkotaan Perdesaan Kota + Desa 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Formal 43,89 74,12 60,08 32,11 30,18 30,13 38,21 42,35 38,25 Informal 56,11 25,88 39,92 67,89 69,82 69,87 61,79 57,65 61,75 Sumber: BPS, Sakernas 2011 2013 32

Penduduk Bekerja Menurut Jam Kerja Meskipun TPT pada tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012, namun dari sisi tingkat setengah pengangguran mengalami peningkatan. Setengah pengangguran didefinisikan sebagai penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal yaitu 35 jam seminggu. Informasi setengah pengangguran ini disajikan pada Tabel 4.5 pada kolom (5) sampai dengan kolom (7) yang menyajikan setengah pengangguran pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2013. Tampak bahwa kenaikan setengah pengangguran terjadi baik di perkotaan maupun di perdesaan. Tabel 4.5 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Jam Kerja di Provinsi Papua Barat, Tahun 2011-2013 Jam Kerja Daerah Tempat < 15 jam < 35 jam Tinggal 2011 2012 2013 2011 2012 2013 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Perkotaan 3,70 4,01 8,52 17,71 21,80 24,76 Perdesaan 4,00 6,76 9,05 37,72 39,47 48,83 Perkotaan + Perdesaan Sumber: BPS, Sakernas 2011 2013 3,93 6,01 8,91 32,67 34,64 42,30 33

34

Bab 5 Taraf dan Pola Konsumsi Agenda pokok keempat pembangunan Papua Barat adalah penanggulangan kemiskinan. Penurunan persentase penduduk miskin dapat dimaknai adanya peningkatan tingkat pendapatan penduduk yang juga menunjukkan peningkatan tingkat kesejahteraannya. Yang menjadi permasalahan adalah apakah peningkatan tingkat pendapatan tersebut telah dinikmati oleh semua penduduk secara merata atau hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Pembahasan bab ini mengulas jawaban permasalahan tersebut dengan mengkaji bagaimana taraf dan pola konsumsi sebagai proksi dari taraf dan pola pendapatan penduduk Papua Barat. Perkembangan Kemiskinan di Papua Barat, 2006-2014 Nellson Mandela pernah berujar bahwa kemiskinan itu bukan kutukan tuhan tetapi karena ulah kita, karena itu untuk mengentaskannya perlu campur tangan kita. Siapa di antara kita yang tergolong miskin? BPS menggunakan garis kemiskinan untuk menentukan penduduk miskin yaitu penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan kurang dari garis kemiskinan. Garis Kemiskinan Provinsi Papua Barat pada Maret 2014 sebesar 35

Tabel 5.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua Barat Menurut Daerah, 2006 2013 Tahun Jumlah Penduduk Miskin (000) Kota Desa Kota+ Desa Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+ Desa (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2006 13,3 270,80 284,10 8,42 51,17 41,34 2007 11,0 255,80 266,80 7,14 48,82 39,31 2008 9,48 237,02 246,50 5,93 43,74 35,12 2009 8,55 248,29 256,84 5,22 44,71 35,71 2010 9,59 246,66 256,25 5,73 43,48 34,88 2011 10,78 239,06 249,84 6,05 39,56 31,92 2012 13,99 216,00 229,99 5,76 37,73 28,20 2013 14,21 210,06 224,27 5,65 35,64 26,67 2014 14,78 214,65 229,43 5,86 36,16 27,13 Sumber: BPS, BRS Profil Kemiskinan Papua Barat Maret 2006 2014 Rp. 397.662,- per kapita per bulan terdiri dari garis kemiskinan makanan sebesar Rp. 316.314,- per kapita per bulan dan garis kemiskinan non makanan sebesar Rp. 81.348,- per kapita per bulan. Dengan batas garis kemsikinan tersebut, penduduk miskin di provinsi Papua Barat sebesar 27,13 persen atau sebanyak 229,430 jiwa. Persentase penduduk miskin di perdesaan lebih tinggi enam kali lipat dari persentase penduduk miskin di perkotaan. Masalah lain dari penanggulangan kemiskinan di Papua Barat adalah perbedaan persentase penduduk miskin antar kabupaten kota yang terlalu besar. Gambar 5.1 memetakan persentase penduduk miskin menurut kabupaten/kota di 36