Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba

dokumen-dokumen yang mirip
Respon Eosinofil dan Packed Cell Volume (PCV) pada Domba yang Diinfeksi Fasciola gigantica

Seminar Nasional Teknologi Peternakan (Ian Veteriner 2002

(Diterima dewan redaksi 11 April 1999) ABSTRACT ABSTRAK

PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) IRADIASI TERHADAP GAMBARAN DARAH KAMBING (Capra hircus LINN.)

STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica

Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica secara In Vitro

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia 2

Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.)

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi

PENGARUH LINGKAR SCROTUM DAN VOLUME TESTIS TERHADAP VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PEJANTAN SIMMENTAL, LIMOUSINE DAN BRAHMAN

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG

PERBEDAAN KEPEKAAN KERBAU DAN SAM ONGOLE TERHADAP INFEKSI BERULANG DENGAN FASCIOLA GIGANTICA

TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT INOKULASI METASERKARIA Fasciola gigantica IRADIASI

KETERANDALAN PITA DALTON UNTUK MENDUGA BOBOT HIDUP KERBAU LUMPUR, SAPI BALI DAN BABI PERSILANGAN LANDRACE

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses

HUBUNGAN ANTARA UKURAN UKURAN TUBUH TERHADAP BOBOT BADAN DOMBA WONOSOBO JANTAN DI KABUPATEN WONOSOBO JAWA TENGAH

FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN

PERBANDINGAN TINGKAT INFEKSI PARASIT SALURAN PENCERNAAN PADA KAMBING KOSTA, GEMBRONG DAN KACANG

KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

DEPOSISI PROTEIN PADA DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG DIBERI PAKAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT DENGAN METODE PENYAJIAN BERBEDA

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

Analisis Usaha Pemanfaatan Sisa Panen Tanaman Pisang Sebagai Pengganti Rumput Dalam Pakan Komplit Berbentuk Pelet Pada Domba Jantan Lokal Lepas Sapih

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KELINCI REX, SATIN DAN REZA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental

HUBUNGAN ANTARA BOBOT BADAN DENGAN PROPORSI ORGAN PENCERNAAN SAPI JAWA PADA BERBAGAI UMUR SKRIPSI. Oleh NUR FITRI

PENGARUH INFEKSI LARVA-3 Haemonchus contortus TERHADAP POTENSI KEKEBALAN DAN GAMBARAN DARAH DOMBA EKOR TIPIS I MADE PRADIPTA KRISNAYANA

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG PADA KONDISI DI KANDANGKAN: 1. BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH, JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN DAYA HIDUP ANAK PRASAPIH

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

F.K. Mentari, Y. Soepri Ondho dan Sutiyono* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p Online at :

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

PENGAMBILANMETASERI{ARIAFASCIOLA IGANTICA PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSADI SURADE SUKABUMI JAWA BARAT

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung

FLUKTUASI BOBOT HIDUP KAMBING KACANG INDUK YANG DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN BOER DARI KAWIN SAMPAI ANAK LEPAS SAPIH

RESPON PRODUKSI SAPI MADURA DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LINGKUNGAN

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats)

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

RESPONS KOMPOSISI TUBUH DOMBA LOKALTERHADAP TATA WAKTU PEMBERIAN HIJAUAN DAN PAKAN TAMBAHAN YANG BERBEDA

Peta Potensi Genetik Sapi Madura Murni di Empat Kabupaten di Madura. Nurgiartiningsih, V. M. A Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN ANTIBODI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA UNTUK DETEKSI ANTIGEN

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

OPTIMALISASI HASIL EKSTRAKSI DNA DARI DARAH SEGAR SAPI MENGGUNAKAN HIGH SALT METHOD

PEMANFAATAN Indigofera sp. DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA DOMBA JANTAN

PENGARUH STATUS GIZI DAN FREKUENSI SENAM DIABETES TERHADAP PROFIL LIPID PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 TESIS

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

PENGARUH PANHISTEREKTOMI TERHADAP RETENSI KALSIUM DAN FOSFOR TIKUS SPRAGUE DAWLEY YANG DIBERI PAKAN KEDELAI SELAMA EMPAT MINGGU

DAFTAR PUSTAKA. Abidin, Z Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta

The doxycycline half life in broiler and layer chickens

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Rumah Potong Pegirian Surabaya Tahun 2014

TINGKAT KEPADATAN GIZI RANSUM TERHADAP KERAGAAN ITIK PETELUR LOKAL

Lokakarya Fungsional Non Peneli BAHAN DAN METODE Percobaan ini dilaksanakan di laboratorium nutrisi Balai Penelitian Ternak di Bogor dengan meng

ABSTRAK. GAMBARAN HISTOLOGIS HATI MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN YANG DIBERIKAN MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.)

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Keunggulan Relatif Produksi Susu Domba Garut dan Persilangannya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 25 September 17 Oktober 2012 di unit kandang

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

GAMBARAN PATOLOGI DAN KLINIKOPATOLOGI KERBAU YANG DIINFEKSI BERULANG DENGAN FASCIOLA GIGANTICA

Karakteristik Morfologi Rusa Timor (Rusa timorensis) di Balai Penelitian Ternak Ciawi

MATERI DAN METODE. Materi

Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

L a j u P e r t u m b u h a n D o m b a L o k a l 1

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG DIINFEKSI Haemoncus contortus HAYATULLAH FRIO MARTEN

Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda

Transkripsi:

JITV Vol. 9 No. 3 Th. 24 Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba S. WIDJAJANTI 1, S.E. ESTUNINGSIH 1, SUBANDRIYO 2, D. PIEDRAFITA 3 dan H.W. RAADSMA 4 1 Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114, Indonesia 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 162, Indonesia 3 Centre for Animal Biotechnology, Melbourne University, Australia 4 Reprogen-Centre for Advanced Technologies in Animal Genetics and Reproduction, University of Sydney, Australia (Diterima dewan redaksi 2 Oktober 24) ABSTRACT WIDJAJANTI, S., S.E. ESTUNINGSIH, SUBANDRIYO, D. PIEDRAFITA and H.W. RAADSMA. 24. The effect of the liver fluke Fasciola gigantica infestation on the leucocyte eosinophil cell profile on sheep. JITV 9(3): 191-196. Eosinophil is one of the major leucocyte cell in the blood which specifically reacted on parasite infection, thus it is important to determine its profile against the infection. The aims of this study is to determine the differences of the eosinophil count profiles on the different breed of sheep infected with and its relation with the resistance of sheep bred against parasitic disease. Four groups of sheep consist of Indonesian Thin Tail (ITT) sheep, Merino sheep, backcross sheep (1 families) and sheep were infected with 3 metacercariae of Fasciola gigantica. The total sheep used in this trial is 621. Those sheep were observed for 12 weeks and the blood samples were collected every 2 weeks after infection. The results showed that total eosinophil counts in all infected sheep increased after two weeks post infection and ITT sheep showed the highest counts. On the other hand, the mean fluke counts on ITT sheep is the lowest compared with the other groups of sheep. Merino and sheep had the highest mean fluke counts. Three families of backcross sheep had the mean flukes count similar to ITT sheep and the other 7 families were similar to the Merino sheep. In conclusion, the highest total eosinophil count at the early stage of infection on ITT sheep might be related with the genetic resistance, which was showed by the lowest flukes count, and the resistance was inherited to some of the backcross sheep, which had similar flukes count with ITT sheep. Key words: Fasciola gigantica, eosinophil, sheep ABSTRAK WIDJAJANTI, S., S.E. ESTUNINGSIH, SUBANDRIYO, D. PIEDRAFITA dan H.W. RAADSMA. 24. Pengaruh infestasi cacing hati Fasciola gigantica terhadap gambaran darah sel leukosit eosinofil pada domba. JITV 9(3): 191-196. Sel leukosit eosinofil merupakan sel yang dominan dalam darah yang akan bereaksi terhadap infeksi parasit, sehingga sangat penting untuk diketahui gambarannya akibat dari infeksi parasit cacing Fasciola gigantica. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sel leukosit eosinofil pada berbagai bangsa domba yang diinfeksi dengan dan kaitannya dengan resistensi hewan terhadap infeksi penyakit parasiter. Empat kelompok bangsa domba yang terdiri dari domba ekor tipis (ET), domba Merino, domba backcross (1 famili) dan domba diinfeksi dengan 3 metaserkaria Fasciola gigantica. Total domba yang digunakan adalah sebanyak 621 ekor. Pengamatan dilakukan selama 12 minggu dan sampel darah diambil setiap 2 minggu sejak domba tersebut diinfeksi. Setelah 12 minggu seluruh domba dibunuh dan dikoleksi cacing F. gigantica dari hatinya. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah eosinofil total pada semua jenis domba mulai meningkat setelah 2 minggu pasca infeksi, namun jumlah eosinofil tertinggi ditunjukkan oleh domba ET. Sedangkan rataan jumlah cacing hati F. gigantica yang diperoleh dari hati domba ET adalah yang paling sedikit dibandingkan dengan kelompok domba lainnya. Domba Merino dan domba memiliki rataan jumlah cacing yang terbanyak, sedangkan 3 famili domba backcross memiliki rataan jumlah cacing yang hampir sama dengan domba ET dan 7 famili lainnya mirip dengan domba Merino. Dari hasil tersebut diduga bahwa tingginya jumlah eosinofil total pada awal infeksi pada domba ET berkaitan erat dengan resistensi genetik yang ditunjukkan dengan rendahnya jumlah cacing hati yang diperoleh di dalam hatinya serta adanya sebagian domba backcross famili yang memiliki ketahanan yang menyerupai domba ET. Kata kunci: Fasciola gigantica, eosinofil total, domba PENDAHULUAN Eosinofil merupakan salah satu sel pertahanan tubuh yang dominan di dalam darah dan akan meningkat tajam jumlahnya bila terjadi infeksi penyakit parasiter, terutama terhadap infeksi parasit cacing (TIZARD, 1995; OVINGTON dan BEHM, 1997; HILLYER, 1999). Bersama sel makrofag, secara in vitro, eosinofil terbukti mampu membunuh cacing Fasciola gigantica dengan cara fagositosis (ESTUNINGSIH et al., 22). 191

WIDJAJANTI et al.: Pengaruh infestasi cacing hati Fasciola gigantica terhadap gambaran darah sel leukosit eosinofil pada domba Fasciola gigantica merupakan satu-satunya cacing trematoda di Indonesia yang menyebabkan infeksi fasciolosis pada hewan ruminansia (EDNEY dan MUCHLIS, 1962). Prevalensi penyakit ini pada sapi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat dapat mencapai 9% (SUHARDONO, 1997) dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara 4-9% (ESTUNINGSIH et al., 24), sedangkan prevalensi penyakit ini pada domba belum diketahui. Penyakit ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan produksi, pengafkiran organ tubuh terutama hati sehingga hati terbuang percuma, bahkan dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6 milyar/tahun (ANONYMOUS, 199). Dari berbagai hewan ruminansia yang ada di Indonesia dilaporkan bahwa domba ekor tipis merupakan domba yang resisten terhadap infeksi fasciolosis dan daya resistensi tersebut dapat diturunkan secara genetik (WIEDOSARI dan COPEMAN, 199; ROBERTS et al., 1997a,c). Dari pengamatan pendahuluan yang dilakukan oleh WIDJAJANTI et al. (22), telah diketahui bahwa jumlah eosinofil dalam darah tidak ada korelasinya dengan jumlah cacing F. gigantica, sehingga jumlah eosinofil tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksi jumlah infestasi cacing di dalam hati hewan yang terinfeksi. Dalam penelitian ini akan diketahui gambaran sel leukosit eosinofil pada berbagai bangsa domba akibat infeksi dan kaitannya dengan resistensi hewan terhadap infeksi parasit. Hewan percobaan MATERI DAN METODE Digunakan 4 bangsa domba yang terdiri dari domba ekor tipis (ET), domba Merino, 1 famili domba backcross (BC) dan domba. Domba BC merupakan domba hasil persilangan antara domba Merino dan domba F1 (hasil persilangan domba Merino dan domba ET), sedangkan domba adalah hasil persilangan antara domba F1. Total domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 621 ekor, terdiri dari 34 ekor domba betina dan 317 ekor domba jantan, adapun perincian jumlah dan jenis kelamin domba dapat dilihat pada Tabel 1. Seluruh domba tersebut merupakan hasil breeding di kandang percobaan Balitvet selama 3 tahun, pada tahun I dihasilkan 3 famili domba BC (1261, 1263, 1265), tahun II dihasilkan 4 famili domba BC (1258, 1262, 1267, 1273) dan tahun III dihasilkan 3 famili domba BC (1348, 1578, 163). Berhubung kapasitas kandang percobaan di Cimanglid tidak mencukupi maka seluruh domba hasil breeding tersebut dipindahkan ke kandang percobaan LIPI di Cibinong setelah lepas sapih. Pakan yang diberikan adalah rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan konsentrat khusus untuk domba. Setiap domba diinfeksi satu kali dengan 3 metaserkaria dan pada saat infeksi domba berumur 1-11 bulan dengan bobot hidup antara 15-2 kg. Pengamatan dilakukan selama 12 minggu dan sampel darah diambil setiap 2 minggu sekali setelah infeksi dengan menggunakan venoject 5 ml yang mengandung antikoagulan Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA). Tabel 1. Bangsa, jumlah dan jenis kelamin domba yang diinfeksi dengan 3 metaserkaria Bangsa domba Betina Jantan Total 17 18 35 Merino 14 12 26 27 33 6 BC 1261 24 24 48 BC 1263 3 3 6 BC 1265 25 24 49 BC 1258 17 3 47 BC 1262 3 3 6 BC 1267 23 4 63 BC 1273 26 22 48 BC 1348 2 16 36 BC 1578 33 15 48 BC 163 18 23 41 Total 34 317 621 = domba ekor tipis; = domba hasil persilangan F1; BC = domba backcross, hasil persilangan antara domba F1 dan Merino Penghitungan jumlah eosinofil Penghitungan jumlah eosinofil mengikuti metode yang digunakan DAWKINS et al. (1989), yaitu dengan rumus sebagai berikut: Σ eosinofil terhitung x pengenceran Σ eosinofil = x 1 3 Volume x jumlah kotak Darah domba sebanyak 1 µl dicampur dengan 9 µl larutan Carpentiers, lalu diambil 1 µl dari campuran larutan tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam Haemocytometer chamber. Penghitungan eosinofil dilakukan pada 5 kotak dalam ruang Haemocytometer chamber, yaitu 4 kotak di bagian luar dan 1 kotak di tengah-tengah. 192

JITV Vol. 9 No. 3 Th. 24 Koleksi dan penghitungan cacing Seluruh domba dibunuh 12 minggu setelah domba diinfeksi dengan metaserkaria. Hatinya diambil kemudian dihancurkan dengan tangan lalu disaring dengan saringan yang diameter lubang saringannya 1 mm, untuk mendapatkan jaringan hati yang jernih. Sedikit demi sedikit hancuran jaringan hati diambil dan diletakkan di dalam baki berdasar hitam yang berisi air. Kemudian cacing yang ditemukan di antara hancuran jaringan hati tersebut dikoleksi dan disimpan di dalam kontainer plastik. Semua cacing yang diperoleh kemudian dihitung jumlahnya. Analisa statistik Data jumlah eosinofil yang diperoleh dari tiap bangsa domba dihitung nilai rataannya, kemudian dibuat grafik rataan jumlah eosinofil. Data jumlah cacing dari masing-masing bangsa domba dibuat grafik distribusinya. Selain itu dilakukan pula analisa regresi dan korelasi (STEEL dan TORRIE, 1981) antara jumlah eosinofil dan jumlah cacing pada setiap pengambilan sampel darah. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran perbedaan rataan jumlah eosinofil pada domba betina dan jantan yang diinfeksi dengan F. gigantica dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam gambar tersebut terlihat perbedaan jumlah yang cukup jelas antara bangsa domba dan jenis kelamin domba. Pada domba betina, rataan jumlah eosinofil pada domba Merino, BC dan mulai meningkat pada minggu ke-2 pasca infeksi dan puncak rataan jumlahnya terjadi pada minggu ke-4 pasca infeksi. Sedangkan pada domba ET betina peningkatan rataan jumlah eosinofil dan puncak jumlahnya terjadi pada saat yang bersamaan, yaitu pada minggu ke-2 pasca infeksi, dengan rataan jumlah yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan jenis domba lainnya (Gambar 1A). Adapun pada semua domba jantan, peningkatan dan puncak rataan jumlah eosinofilnya terjadi pada saat yang bersamaan, yaitu berturut-turut pada minggu ke-2 dan ke-4 pasca infeksi, dan rataan jumlah eosinofil terbanyak ditunjukkan oleh domba ET dan (Gambar 1B). Puncak jumlah eosinofil domba ET jantan lebih lambat 2 minggu dibandingkan dengan domba ET betina. Kejadian ini diduga ada kaitannya dengan resistensi yang berhubungan dengan jenis kelamin hewan. eosinofil (x Jumlah 1.) 4 35 3 25 2 15 1 5 4 35 3 25 2 15 1 5 Jumlah eosinofil (x 1.) Infeksi 3 2 4 6 8 1 12 Minggu ke Infeksi 3 2 4 6 8 1 12 Minggu ke B A Merino BC-163 Merino BC-163 Gambar 1. Rataan jumlah eosinofil domba betina (A) dan domba jantan (B) yang diinfeksi dengan 3 metaserkaria cacing F. gigantica 193

WIDJAJANTI et al.: Pengaruh infestasi cacing hati Fasciola gigantica terhadap gambaran darah sel leukosit eosinofil pada domba Gambaran perbedaan frekuensi distribusi jumlah cacing pada masing-masing bangsa domba betina dan jantan dapat dilihat pada Gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat dengan jelas bahwa domba ET memiliki jumlah cacing yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jenis domba lainnya, yang ditunjukkan dengan adanya beberapa ekor domba ET yang hanya memiliki <1 ekor cacing. Sebaliknya, tidak ada satu pun domba Merino yang memiliki cacing <1 ekor, bahkan ada beberapa ekor domba Merino yang memiliki cacing >6 ekor. Yang lebih menarik lagi, ada 3 famili domba BC yang frekuensi distribusi jumlah cacingnya menyerupai domba ET, yaitu domba backcross 1261, 1263 dan 1265, sedangkan frekuensi distribusi jumlah cacing 7 famili lainnya dan domba menyerupai domba Merino (Gambar 2). Bila dihitung rataan jumlah cacing, maka diperoleh bahwa domba ET betina memiliki rataan jumlah cacing yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan domba ET jantan dan bangsa domba lainnya (Tabel 2). Dari analisa regresi dan korelasi antara jumlah eosinofil pada minggu ke-2 pasca infeksi dan jumlah cacing pada domba ET betina, diperoleh korelasi positif dengan koefisien korelasi (r) sebesar,51 (Gambar 3); sedangkan pada domba ET jantan dan bangsa domba lainnya tidak diperoleh adanya korelasi diantara kedua parameter tersebut. Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh ROBERTS et al. (1997a,b,c), diketahui bahwa cacing yang ditemukan di dalam hati berkisar antara 1-16% dari jumlah metaserkaria yang diinfeksikan. Dalam penelitian ini, diperoleh jumlah cacing antara 7-18% dari 3 metaserkaria yang diinfeksikan. Jumlah domba A 14 12 1 8 6 4 2-1 11-2 21-3 31-4 41-5 51-6 >6 MERINO Bangsa domba BC-163 Jumlah domba B 14 12 1 8 6 4 2 MERINO Bangsa domba -1 11-2 21-3 31-4 41-5 51-6 >6 BC-163 Gambar 2. Perbedaan frekuensi distribusi jumlah cacing pada domba betina (A) dan domba jantan (B) setelah 12 minggu diinfeksi dengan 3 metaserkaria cacing 194

JITV Vol. 9 No. 3 Th. 24 Tabel 2. Rataan jumlah cacing dan rataan jumlah eosinofil pada minggu ke-4 setelah domba diinfeksi dengan 3 metaserkaria cacing Jenis domba Rataan jumlah cacing Betina Rataan jumlah eosinofil (x 1 4 ) Rataan jumlah cacing Jantan Rataan jumlah eosinofil (x 1 4 ) 27,8 ± 13,5 275,2* ± 134,7 34,1 ± 16,4 373,7 ± 273,5 Merino 43,7 ± 17 121,1 ± 77,1 45,2 ± 19,5 155,2 ± 176,8 39,3 ± 18,1 212,9 ± 312,5 48,7 ± 21,1 373,6 ± 543,2 23 ± 1,8 29,6 ± 211,9 34,7 ± 19,9 254,2 ± 19,3 31,9 ± 12,6 267,4 ± 27,6 37,8 ± 14,9 194,9 ± 124,4 21,4 ± 8,4 282,6 ± 276,5 36,2 ± 17,3 295 ± 16,9 45,6 ± 13,6 16,9 ± 56,3 56 ± 16,3 65,7 ± 47 45,7 ± 15,6 115,1 ± 7,5 54,2 ± 22 13,9 ± 72,2 35,3 ± 19,7 11,7 ± 55,6 4,6 ± 2,5 88,1 ± 59,5 45,3 ± 21,6 17,9 ± 6,5 44,7 ± 24 118,6 ± 62,9 44,5 ± 11 131 ± 13,6 55,8 ± 22,2 133,6 ± 88,8 36,7 ± 2 159,1 ± 73,8 49,4 ± 16,1 13,1 ± 42,2 BC-163 39,6 ± 14,3 95,6 ± 49,6 55,5 ± 18,1 155,4 ± 54,4 *Rataan jumlah eosinofil pada minggu ke-2 pasca infeksi; = domba ekor tipis; = domba hasil persilangan F1; BC = domba backcross hasil persilangan antara domba F1 dan Merino Jumlah eosinofil (x 1.) 6 5 4 3 2 1 y = 5,632x + 134,3 R =,2586 2 4 6 Jumlah cacing Gambar 3. Hubungan antara jumlah eosinofil dan jumlah cacing pada domba ET betina 2 minggu pasca infeksi, dengan koefisien korelasi (r) =,51 Menurut BUTTERWORTH (1984) dan ROTHWELL et al. (1993), jumlah eosinofil yang dihasilkan oleh tubuh hewan dapat digunakan untuk menentukan tingkat resistensi hewan tersebut terhadap infeksi parasit cacing. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana domba ET betina bereaksi paling awal setelah diinfeksi dan memiliki jumlah eosinofil terbanyak pada minggu ke-2 pasca infeksi, serta memiliki jumlah cacing relatif paling sedikit di dalam hatinya dibandingkan dengan domba ET jantan dan bangsa domba lainnya. Dengan adanya beberapa famili domba BC yang memiliki jumlah cacing menyerupai domba ET betina, maka memperkuat dugaan bahwa resistensi pada domba ET berkaitan erat dengan jenis kelamin dan bangsa domba, serta resistensi tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya yang kemungkinan diatur oleh suatu gen tertentu. Namun untuk menentukan gen mana yang berperan dalam kejadian resistensi, masih diperlukan analisa genotyping pada semua jenis domba tersebut. 195

WIDJAJANTI et al.: Pengaruh infestasi cacing hati Fasciola gigantica terhadap gambaran darah sel leukosit eosinofil pada domba KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jumlah eosinofil di dalam tubuh hewan dapat digunakan sebagai indikator resistensi hewan terhadap infeksi cacing hati. Diduga resistensi tersebut berkaitan erat dengan jenis kelamin betina dan bangsa domba, yaitu domba ET. Namun untuk membuktikannya masih perlu dilakukan analisa genotyping pada semua jenis domba yang digunakan dalam penelitian ini. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada ACIAR PROJECT AS1/9727 yang telah mendanai penelitian ini. Selain itu terima kasih juga disampaikan kepada teknisi di bagian Parasitologi, Balitvet, terutama Sudrajat, Suharyanta dan Yayan Daryani, serta teknisi dari Bioteknologi LIPI, yaitu Handri dan Agus yang telah membantu kelancaran penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA ANONYMOUS. 199. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta. BUTTERWORTH, A.E. 1984. Cell-mediated damage to helminths. Adv. Parasitol. 23: 143-235. DAWKINS, H.J.S., R.G. WINDON and G.K. ENGLESON. 1989. Eosinophil responses in sheep selected for high and low responsiveness to Trichostrongylus colubriformis. Int. J. Parasitol. 19: 199-25. EDNEY, J.M. and A. MUCHLIS. 1962. Fascioliasis in Indonesian livestock. Comm. Vet. 2: 49-62. ESTUNINGSIH, S.E., S. WIDJAJANTI, S. PARTOUTOMO, T.W. SPITHILL, H. RAADSMA dan D. PIEDRAFITA. 22. Peran sel imunologi domba ekor tipis dalam membunuh cacing hati Fasciola gigantica secara in vitro. JITV 7: 124-129. ESTUNINGSIH, S.E., G. ADIWINATA, S. WIDJAJANTI dan D. PIEDRAFITA. 24. Pengembangan teknik diagnosa Fasciolosis pada sapi dengan antibodi monoklonal dalam capture ELISA untuk deteksi antigen. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. 2-21 April, Bogor. hlm. 27-43. HILLYER, G.V. 1999. Immunodiagnosis of human and animal fasciolosis. In: Fasciolosis. DALTON, J.P. (Ed.). CAB International. pp. 4435-4447. OVINGTON, K.S. and C.A. BEHM. 1997. The enigmatic eosinophil: Investigation of the biological role eosinophils in parasitic helminth infection. Mem. Inst. Oswaldo Cruz 92(2): 93-14. ROBERTS, J.A., S.E. ESTUNINGSIH, S. WIDJAJANTI, E. WIEDOSARI, S. PARTOUTOMO and T.W. SPITHILL. 1997a. Resistance of Indonesian Thin Tail sheep against Fasciola gigantica and Fasciola hepatica. Vet. Parasitol. 68: 69-78. ROBERTS, J.A., S.E. ESTUNINGSIH, E. WIEDOSARI and T.W. SPITHILL. 1997b. Acquisition of resistance against Fasciola gigantica by Indonesian thin tail sheep. Vet. Parasitol. 73: 215-224. ROBERTS, J.A., S. WIDJAJANTI, S.E. ESTUNINGSIH and D.J. HETZEL. 1997c. Evidence for a major gene determining resistance of Indonesian thin tail sheep against Fasciola gigantica. Vet. Parasitol. 68: 39-314. ROTHWELL, T.L.W., R.G. WINDON, B.A. HORSBURGH and B.H. ANDERSON. 1993. Relationship between eosinophilia and responsiveness to infection with Trichostrongylus colubriformis in sheep. Int. J. Parasitol. 23: 23-211. STEEL, R.G.D and J.H. TORRIE. 1981. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2nd ed. McGraw-Hill International Book Company. Auckland, Hamburg, London, Singapore, Sydney, Tokyo. SUHARDONO. 1997. Epidemiology and control of fasciolosis by Fasciola gigantica in ongole cattle in West Java. Ph.D. thesis. James Cook University of North Queensland, Australia. TIZARD, I.R. 1995. Immunology: An Introduction. 5th ed. Saunders College Publishing. Philadelphia, New York, Orlando. WIEDOSARI, E. and D.B. COPEMAN. 199. High resistance to experimental infection with Fasciola gigantica in Javanese thin-tailed sheep. Vet. Parasitol. 37: 11-111. WIDJAJANTI, S., S.E. ESTUNINGSIH, S. PARTOUTOMO, H.W. RAADSMA. T.W. SPITHILL dan D. PIEDRAFITA. 22. Respon eosinofil dan packed cell volume (PCV) pada domba yang diinfeksi Fasciola gigantica. JITV 7: 2-26. 196