BAB V MARJINALISASI PEREMPUAN DALAM PUTTING OUT SYSTEM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V11 KESEJAHTERAAN KELUARGA PEKERJA PEREMPUAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

TINGKAT KESEJAHTERAAN BURUH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANALISIS GENDER TERHADAP SUMBER DAYA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)

IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR

Situasi Global dan Nasional

MARJINALISASI PEREMPUAN DALAM PUTTING OUT SYSTEM (POS) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN KELUARGA

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VII KONDISI KETAHANAN PANGAN PADA RUMAHTANGGA KOMUNITAS JEMBATAN SERONG

STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR TIDAK MASUK BEKERJA (2014)

BAB VI KONFLIK PERAN WANITA BEKERJA

CV. WARNET FAUZAN TANGERANG PERATURAN DIREKTUR NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN KARYAWAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

LeIP. Peraturan Lembaga Manajemen Kepegawaian. Peraturan LeIP Tentang Manajemen Kepegawaian. 1. Kategorisasi Pegawai

PERLINDUNGAN DAN PENGAWASAN TENAGA KERJA (2)

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Bekerja sebagai buruh pabrik memiliki tantangan tersendiri terutama bagi

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berdasarkan pada jenis kelamin tentunya terdiri atas laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

VI. MEKANISME PENYALURAN KUR DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

KUESIONER. DIISI OLEH PENELITI 1. Nama Pewawancara : Kelompok : 2. Tanggal Wawancara : Waktu :... WIB

Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan. Pekerja rumah tangga, seperti juga pekerja-pekerja lainya, berhak atas kerja layak.

PEMBAYARAN UPAH PASAL 88 UUK : BAHWA TIAP PEKERJA/BURUH BERHAK MEMPEROLEH PENGHASILAN YANG MEMENUHI PENGHIDUPAN YANG LAYAK BAGI KEMANUSIAAN

PENDEKATAN TEORETIS TINJAUAN PUSTAKA

Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN

Abstrak. Kata kunci: perempuan, bekerja, sektor publik, adat

BAB I PENDAHULUAN. Jatiwangi merupakan wilayah yang memproduksi genteng, baik genteng

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI DENGAN PERAN GENDER DALAM RUMAH TANGGA PERIKANAN

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian

BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN

Pasal 88 s.d pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. penelitian pada penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:

KONTRIBUSI EKONOMI PEREMPUAN. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

PENERAPAN KONTRAK KERJA PEKERJA RUMAH TANGGA- PEMBERI KERJA PERJUANGAN KE KERJA LAYAK PEKERJA RUMAH TANGGA JALA PRT

PERTANYAAN DAN JAWABAN PEMBERIAN PENJELASAN Pengadaan Jasa Tenaga Cleaning Service 2017 Rabu, 23 November 2016 Pukul : s/d 15.

Contoh Formulir Lamaran Kerja

STANDARD OPERATION PROCEDURE TIDAK MASUK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKAT PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU BURUH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN CV TKB

BERITA RESMI STATISTIK

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan: Tiap-tiap

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN AJAR Jurusan : Administrasi Bisnis Konsentrasi : Mata Kuliah : Pengantar Bisnis

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB V PEMBAHASAN MASALAH. karyawan. Jenis-jenis kompensasi yang dibahas adalah kompensasi finansial baik

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA

BAB VI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah masalah pengangguran (Sukirno,1985). Menurut Nanga

BAB V PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702]

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dari keseluruhan tingkat perencanaan sampai dengan evaluasi yang

BAB I PENDAHULUAN. makin banyak wanita yang bekerja di sektor formal. Ada yang sekedar untuk

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB IV KARAKTERISTIK PEDAGANG MAKANAN DI SEKTOR INFORMAL

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

MODUL I MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

AVRIST. S/D Rp 300 JUTA ATAU US$

BAB VII HUBUNGAN ANTARA REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SPP PNPM TERHADAP PERILAKU RESPONDEN DALAM MENGIKUTI PROGRAM SPP PNPM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2015 TENTANG JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN BAGI PEGAWAI APARATUR SIPIL NEGARA

BAB II URAIAN TEORITIS

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAH TANGGA PERIKANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

Pada hari ini, tanggal bulan tahun. Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA ( PERUSAHAAN)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

FORMULIR PELAMAR KERJA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGUPAHAN BURUH KONSTRUKSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETENAGAKERJAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

GAMBARAN UMUM PROFIL PERUSAHAAN

K102. Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 mengenai (Standar Minimal) Jaminan Sosial

Terimakasih untuk waktu dan kesediaan untuk mengisi kuisioner ini.

V. KARAKTERISTIK, MOTIVASI KERJA, DAN PRESTASI KERJA RESPONDEN

SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

I. PENDAHULUAN. dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh

TINGKAT KEBERDAYAAN EKONOMI PEREMPUAN

2016 WORK FAMILY CONFLICT - KONFLIK PERAN GANDA PADA PRAMUDI BIS WANITA

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA DAN PEKERJA. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam passal 1 angka (2)

BPS PROVINSI JAWA BARAT

Transkripsi:

34 BAB V MARJINALISASI PEREMPUAN DALAM PUTTING OUT SYSTEM 5.1 Perempuan Pekerja Putting Out System Pekerja perempuan yang bekerja dengan POS di Desa Jabon Mekar ada sebanyak 75 orang. Pekerja perempuan tersebut terdiri dari perempuan yang belum menikah sebanyak 12 orang, perempuan yang sudah menikah tapi tidak punya anak sebanyak 8 orang, serta perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak sebanyak 55 orang, akan tetapi data mengenai pekerja POS ini tidak tercatat di Desa Jabon Mekar. Pekerjaan dengan POS di Desa Jabon Mekar ini adalah menjahit mute ke baju atau kerudung yang sudah jadi. Sistem pengupahan pekerja dengan POS ini diberikan setiap dua minggu sekali. Upah yang diberikan kepada pekerja dihitung berdasarkan jumlah baju atau kerudung yang telah selesai diberi hiasan mute. Upah per potongnya berkisar antara Rp 3.000,00 sampai Rp 5.000,00. Pekerjaan ini dapat dilakukan di tempat yang telah disediakan oleh majikan maupun dikerjakan di rumah pekerja tersebut, sehingga pekerja yang merupakan ibu rumah tangga tetap bisa mengurus rumah tangganya. Pekerjaan dengan POS ini bisa masuk ke Desa Jabon Mekar pertama kali dibawa oleh Bapak Rais. Bapak Rais mendapat tawaran dari salah satu perusahaan tekstil, kemudian ia menerima tawaran tersebut dan membawanya ke Desa Jabon Mekar. Dari mulut ke mulut ia menawarkan pekejaan tersebut ke tetanggatetangganya kemudian berdatanganlah perempuan yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga tersebut untuk melamar menjadi pekerjanya. Proses melamar ini mudah saja, perempuan yang ingin bekerja di tempat Bapak Rais ini tinggal datang saja, ia bisa langsung bekerja saat itu juga kalau ia mau. Bapak Rais tidak membatasi jumlah pekerjanya, ia tidak akan dirugikan oleh hal tersebut karena upah yang dibayarkan tergantung jumlah potong yang diselesaikan oleh pekerja. Perempuan yang melamar untuk bekerja di tempat Bapak Rais tersebut tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain. Mereka terpaksa harus bekerja karena adanya desakan ekonomi, namun mereka tidak punya pendidikan yang cukup

35 untuk bekerja di tempat yang lebih layak dan suami mereka tidak mengijinkan mereka untuk bekerja di tempat yang jauh dari rumah. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk bekerja di tempat Bapak Rais, selain mereka bisa bekerja mencari nafkah mereka juga tetap bisa mengurus rumah tangganya. Para pekerja dalam POS yang bekerja di perusahaan garmen terbagi menjadi, orang pertama adalah pengusaha dari perusahaan garmen, orang kedua adalah orang yang bertugas menjadi penjahit baju sesuai dengan pesanan, orang ketiga adalah orang yang bertugas menjadi perantara yang membagi-bagikan pekerjaan, serta orang keempat adalah para pekerja perempuan dalam POS itu sendiri, dan Bapak Rais merupakan orang ketiga. Bapak Rais menyediakan tempat beserta alat-alat yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Perusahaan memberikan jaminan keluarga berupa THR sebesar Rp 50.000,00, pinjaman, serta sembako bulanan berupa mie instan, kopi, gula dan garam. Bapak Rais dalam tugasnya memberikan kebebasan kepada pekerjanya untuk mengerjakan pekerjaan baik di tempatnya maupun di rumah pekerjanya. Jam masuk kerja pun ia bebaskan, kalau ada pekerjanya yang ijin libur baik ijin sakit maupun beribadah ataupun kegiatan lainnya ia memperbolehkan karena upah yang dibayarkan tergantung jumlah potong yang diselesaikan pekerja tersebut. Selain upah yang rendah, jaminan keluarga dan jaminan kerja tersebut dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebetulnya para perempuan tersebut bekerja untuk sektor formal, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai pekerja tidak formal. 5.2 Ideologi Gender versus Kebutuhan Ekonomi Saptari dan Holzner (1997) mengatakan bahwa ideologi gender adalah segala aturan, nilai stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki, malalui pembentukan identitas feminin dan maskulin yang menjadi struktur dan sifat manusia, dimana ciri-ciri dasar dan sifat itu dibentuk sejak masa kanak-kanak awal. Ideologi gender seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilakunya laki-laki maupun perempuan. Peran perempuan dalam dunia kerja pun tidak terlepas dari nilai dan norma yang dianut kuat oleh masyarakat tersebut. Ideologi tersebut tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga akan melekat sangat kuat pada diri seseorang dan menjadi dasar untuk bersikap dan

36 berperilaku. Ideologi gender juga menyebabkan pengklasifikasian peran kerja perempuan dan laki-laki dalam dua sektor yang berbeda, dimana perempuan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, sedangkan pria bertanggung jawab atas pekerjaan nafkah. Keadaan ideologi gender yang menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga di Desa Jabon Mekar Bogor pun dianut sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari pandangan perempuan menikah yang mempunyai anak dan bekerja di Desa Jabon Mekar Bogor tentang ideologi terhadap kerja yang digambarkan pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Ideologi Gender yang dianut di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011 Ideologi Gender Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak sadar gender (skor 9-13) 32 64 Sadar gender (skor 14-18) 18 36 Total 50 100 Berdasarkan data pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebanyak 32 responden (64 persen) di Desa Jabon Mekar Bogor masih menganut ideologi gender, yaitu ideologi tidak sadar gender padahal responden tersebut merupakan perempuan yang bekerja. Sementara itu sebanyak 18 responden lainnya (36 persen) termasuk dalam kategori ideologi sadar gender. Hasil tersebut menyatakan bahwa ideologi gender yang merupakan suatu pandangan yang menunjukkan ketimpangan dalam membagi peran antara laki-laki dan perempuan, yaitu peran laki-laki dalam sektor publik dan perempuan dalam sektor domestik masih kuat dianut oleh sebagian besar pekerja perempuan di Desa Jabon Mekar Bogor. Sebanyak 64 persen pekerja perempuan di desa tersebut masih menganut pandangan yang membagi peran perempuan pada sektor domestik juga didukung oleh suami dan anggota keluarganya. Hasil penelitian ini memang menggabarkan bahwa perempuan yang bekerja dengan POS di Desa Jabon Mekar masih menganut ideologi gender, yaotu ideologi tidak sadar gender, akan tetapi mereka mengabaikan norma dan nilai

37 ideologi gender yang mereka anut. Para perempuan tersebut bekerja pada sektor publik yang berarti mereka telah melanggar ideologi gender yang mengharuskan mereka bekerja pada sektor domestik saja. Ideologi gender berpandangan bahwa perempuan hanyalah pekerja rumah yang harus mengurus rumah tangga. Hal ini mengakibatkan mereka hanya bisa bekerja dengan POS karena berada dekat dengan rumah, sehingga di samping mereka bisa bekerja menghasilkanuang, mereka juga dapat mengurus rumah tangga. Pekerja perempuan di wilayah Desa Jabon Mekar Bogor memilih untuk mengabaikan ideologi gender yang mereka anut dan memutuskan untuk bekerja di sektor publik. Hal tersebut mereka lakukan bukan tanpa alasan, melainkan dilandasi oleh faktor ekonomi. Suami mereka pun pada awalnya tidak memperbolehkan istrinya untuk bekerja, namun karena keluarga mereka memiliki masalah dengan keuangan rumah tangga mereka, yaitu tidak cukupnya pendapatan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka suami mengijinkan istrinya untuk bekerja. Perempuan diijinkan untuk bekerja oleh suaminya dengan syarat tidak boleh bekerja jauh dari rumah dan harus tetap mengurus rumahtangganya. Desakan ekonomi dan persetujuan dari suami itulah yang mendorong perempuan untuk bekerja yang dapat membantu pendapatan keluarga dan mengabaikan ideologi gender yang mereka anut. Hal ini didukung dengan pernyataan B (32 tahun) selaku suami dari pekerja perempuan dalam POS:...harusnya sih istri ga kerja di luar, ngurus rumah aja. Tapi kan gaji saya kurang jadi saya bolehin aja istri saya kerja ngejait mute, deket juga jadi bisa sambil ngurus rumah.. E (30 tahun) selaku istri yang bekerja dengan POS juga mendukung dengan pernyataan:...awalnya suami ga ngebolehin kerja, tapi karena gajinya kurang dan ga bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari akhirnya dia ngijinin juga tapi kerjanya ga boleh jauh-jauh dan harus ngurusin rumah... 5.3 Marjinalisasi Perempuan dalam Putting Out System Ideologi gender berhubungan dengan kondisi pekerja perempuan dalam POS. Kondisi kerja pekerja perempuan merupakan perlakuan POS kepada pekerja perempuan yang meliputi pengupahan, jaminan keluarga, dan jaminan kerja. Tabel 12 menunjukkan kondisi pekerja perempuan dalam POS.

38 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011 Kondisi Kerja Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (skor 15-22) 50 100 Tinggi (skor 23-30) 0 0 Total 50 100 Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa semua responden (100 persen) memiliki kondisi kerja yang rendah. Pekerja perempuan yang bekerja pada POS memiliki kondisi kerja yang kurang rendah dikarenakan upah yang mereka peroleh rendah serta mereka tidak mendapatkan jaminan keluarga dan jaminan kerja yang seharusnya diterima oleh pekerja pada umumnya. Menurut Scott (1986) dalam Saptari dan Holzner (1997), kondisi kerja perempuan dalam POS yang rendah tersebut mengakibatkan terjadinya marginalisation as concentration on the margins of the labour market. Terjadinya marjinalisasi tersebut karena perempuan tergeser ke pinggiran pasar tenaga kerja yaitu hanya dapat bekerja dengan POS dimana perempuan sebagai pekerja formal namun dianggal sebagai pekerja informal. Perempuan tersebut dianggap melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan khusus dan memperoleh upah yang rendah. Kondisi kerja pekerja perempuan dalam POS akan dipaparkan lebih lanjut pada sub bab berikut. 5.2.1 Pengupahan Dalam hal pengupahan, POS dianggap belum memenuhi syarat Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor tahun 2011, yaitu sebesar Rp 1.172.060,00 per bulan. POS memberikan upah setiap dua minggu sekali. Upah yang diberikan berkisar antara Rp 3.000,00 per potong sampai Rp 5.000,00 per potong dikalikan dengan jumlah hasil yang dikerjakan oleh pekerja perempuan. Upah terendah yang diperoleh perempuan dari hasil bekerja dengan POS adalah sebesar Rp 30.000,00 per bulan dan upah tertinggi sebesar Rp 500.000,00 per bulan. Data Tabel 11 menunjukkan pengupahan para pekerja perempuan dari hasil bekerja di POS.

39 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengupahan di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011 Pengupahan Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (skor 1) 50 100 Tinggi (skor 2) 0 0 Total 50 100 Dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa semua responden (100 persen) yang bekerja dengan POS memiliki upah yang rendah. Tinggi rendahnya upah ditentukan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) wilayah kajian penelitian, yaitu Kabupaten Bogor, sebesar Rp 1.172.060,00 per bulan. Upah dapat dikatakan tinggi apabila upah yang diterima oleh pekerja perempuan di POS di atas UMR, dan upah dapat dikatakan rendah apabila upah yang diterima oleh pekerja perempuan di POS di bawah UMR. Pada Tabel 13, persentase jumlah responden mengenai pengupahan, sebanyak 100 persen pekerja perempuan mendapatkan upah yang rendah (lebih kecil dari UMR) dan tidak ada (0 persen) pekerja perempuan yang mendapatkan upah yang tinggi atau di atas UMR. Rendahnya upah yang diterima oleh pekerja perempuan tersebut menunjukkan bahwa mereka berada dalam posisi yang termarjinalkan dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada lagi pekerjaan yang memberikan kesempatan pada mereka untuk bekerja, namun hal ini tidaklah menjadi suatu masalah yang besar bagi pekerja perempuan, karena mereka berfikir kalau upah yang mereka dapatkan bukanlah suatu nafkah utama untuk keluarga, melainkan hanya sebagai nafkah tambahan untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Hal ini didukung dengan pernyataan I (23 tahun) selaku pekerja perempuan dalam POS:...kerja di sini sih gajinya emang kecil yah, tapi mau kerja dimana lagi dong yah, ga boleh jauh-jauh sama suami, lagian kan ini cuman gaji tambahan doang... Data di atas selain menggambarkan sistem pengupahan yang rendah dalam POS, juga menggambarkan bahwa rendahnya kondisi kerja yang disebabkan masih dianutnya ideologi tidak sadar gender.

40 5.2.2 Jaminan Keluarga Jaminan keluarga merupakan salah satu indikator dalam melihat tinggi atau rendahnya kondisi kerja seorang pekerja. POS memberikan jaminan keluarga seperti Tunjangan hari Raya (THR), pemberian sembako (sembilan bahan pokok) bulanan, dan pinjaman atau hutang. Jaminan keluarga tersebut diberikan oleh POS sebagai wujud kepedulian terhadap kesejahteraan keluarga pekerjanya, akan tetapi jaminan keluarga lain seperti santunan menikah, santunan anggota keluarga sakit, santunan pendidikan anak, santunan keluarga meninggal dunia, biaya pengobatan rawat jalan bila sakit, dan biaya pengobatan rawat inap bila sakit tidak dipenuhi oleh POS seperti yang seharusnya diterima oleh pekerja formal, padahal mereka pun bekerja pada sektor formal. Pada Tabel 12 dapat dilihat jumlah dan persentase jaminan keluarga yang diperoleh oleh responden seperti yang biasa diterima oleh pekerja di sektor formal. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Bentuk Jaminan Keluarga di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011 Tidak Diperoleh (skor 1) Diperoleh (skor 2) Jaminan Keluarga Jumlah Persen Jumlah Persen Memperoleh THR 0 0 50 100 Memperoleh pinjaman/hutang 0 0 50 100 Memperoleh sembako bulanan 0 0 50 100 Memperoleh santunan menikah 50 100 0 0 Memperoleh santunan anggota keluarga sakit Memperoleh santunan pendidikan anak Memperoleh santunan keluarga meninggal dunia Biaya pengobatan rawat jalan bila sakit Biaya pengobatan rawat inap bila sakit 50 100 50 100 50 100 50 100 0 0 0 0 0 0 0 0 50 100 0 0

41 Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa semua responden tidak mendapatkan jaminan keluarga yang tinggi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data pada Tabel 12 dari sembilan jaminan keluarga yang ada, hanya tiga jenis jaminan yang diterima oleh responden padahal jaminan-jaminan tersebut merupakan jaminan keluarga yang seharusnya didapatkan oleh seorang pekerja pada umumnya. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa jaminan keluarga yang diperoleh responden dari bekerja pada POS hanya berupa THR, pinjaman atau hutang, dan sembako bulanan saja. THR yang diperoleh responden pun hanya sebesar Rp 50.000,00 dan sembako bulanan yang diperoleh hanya berupa mie instan, kopi, gula dan garam saja. Pada Tabel 13 ditunjukkan jumlah dan presentase responden berdasarkan jaminan keluarga yang diperoleh. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011 Jaminan Keluarga Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (skor 9-13) 50 100 Tinggi (skor 14-18) 0 0 Total 50 100 Dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa tidak ada perempuan yang bekerja pada POS (0 persen) yang mendapatkan jaminan keluarga yang tinggi. Semua responden sebanyak 50 pekerja (100 persen) mendapatkan jaminan keluarga yang rendah. Meskipun ada beberapa jaminan keluarga yang mereka peroleh, namun tidak sampai setengah jaminan keluarga yang ada diberikan POS kepada pekerja perempuan, yaitu dari sembilan jaminan keluarga yang ada hanya tiga yang diberikan POS kepada pekerja perempuan. Hal ini didukung dengan pernyataan L (26 tahun) selaku pekerja perempuan dalam POS:...ya ga dapet jaminan lah, paling cuma THR lima puluh ribu, utang sama sembako mie, kopi, gula sama garam aja. Orang kerjaannya kaya ginian doang ya ga dapet yang lainnya...

42 5.2.3 Jaminan Kerja Selain pengupahan dan jaminan keluarga, indikator lain untuk melihat tinggi atau rendahnya kondisi kerja perempuan adalah jaminan kerja. Pekerja berhak untuk menerima jaminan kerja berupa libur/cuti jika sakit, hak beribadah, asuransi keselamatan kerja, dan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja, serta fasilitas kerja dan keselamatan kerja seperti pelindung jari. Pada Tabel 14 dapat dilihat jumlah dan presentase jaminan kerja yang diperoleh responden. Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Bentuk Jaminan Kerja di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011 Tidak Diperoleh (skor 1) Diperoleh (skor 2) Jaminan Kerja Jumlah Persen Jumlah Persen Memperoleh libur/cuti jika sakit 0 0 50 100 Memperoleh hak beribadah 0 0 50 100 Memperoleh asuransi keselamatan kerja Memperoleh kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja Memperoleh fasilitas kerja dan keselamatan kerja (pelindung jari) 50 100 0 0 50 100 0 0 50 100 0 0 Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa semua responden tidak mendapatkan jaminan kerja yang baik. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa jaminan kerja yang diperoleh pekerja perempuan dari bekerja pada POS hanya berupa libur atau cuti bila sakit dan hak untuk beribadah saja. Jaminan tersebut diberikan oleh POS kepada pekerja perempuan karena memang sistem kerja yang diterapkan membebaskan pekerjanya untuk bekerja atau tidak bekerja. Jam bekerja pun dibebaskan karena upah yang dibayarkan majikan tergantung dari hasil para pekerjanya jadi tidak masalah untuk majikan apabila ada pekerjanya yang tidak bekerja. Pada Tabel 15 ditunjukkan jumlah dan persentase responden berdasarkan jaminan kerja yang diperoleh.

43 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011 Jaminan Kerja Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (skor 5-7) 50 100 Tinggi (skor 8-10) 0 0 Total 50 100 Dapat dilihat pada Tabel 15 bahwa tidak ada (0 persen) responden yang mendapatkan jaminan kerja yang tinggi atau baik. Semua responden (50 persen) mendapatkan jaminan kerja yang rendah atau kurang baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data pada Tabel 16, dari lima jaminan yang ada, pekerja perempuan pada POS hanya mendapatkan dua jaminan kerja saja, dimana seharusnya semua jaminan kerja yang ada tersebut diberikan kepada para pekerja perempuan sebagai wujud pertanggung jawaban majikan kepada para pekerjanya. Diberikan atau tidak diberikannya kedua jaminan kerja itu pun tidak akan merugikan perusahaan karena tidak ada kaitannya dengan pemberian upah pekerja. Hal ini didukung dengan pernyataan R (38 tahun) selaku pekerja perempuan dalam POS: jaminan kerja yang dikasih cuma libur sakit sama buat solat doang. Itu sih terserah kita aja soalnya gajinya diitung per potong baju 5.4 Ikhtisar Sebagian besar perempuan menikah dan mempunyai anak yang bekerja dengan POS di Desa Jabon Mekar masih kuat menganut ideologi gender, akan tetapi ideologi gender yang kuat tersebut diabaikan dan mereka pun bekerja mencari nafkah karena adanya desakan ekonomi dari keluarganya. Perempuan bekerja dengan POS karena tidak mempunyai pilihan kerja lain yang mempunyai hubungan dengan ideologi gender tersebut. Mereka bekerja dengan tujuan untuk membantu suami mendapatkan tambahan pendapatan agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi mereka tidak boleh bekerja yang jauh dari rumah serta mereka juga harus mengurus rumah tangganya, sehingga pekerja perempuan tersebut mendapatkan kondisi kerja yang rendah karena rendahnya upah, jaminan keluarga, dan jaminan kerja yang mereka peroleh

44 dari hasil bekerja dengan POS dan mengalami marginalisation as concentration on the margins of the labour market.