4 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Endometriosis Endometriosis merupakan penyakit yang terjadi pada masa belasan tahun sampai mencapai usia menopause, yang berarti dapat diderita sepanjang kehidupan wanita (Oepomo, 2007). Definisi yang sekarang dianut ialah endometriosis merupakan sebukan jaringan (selsel kelenjar dan stroma) tidak normal mirip endometrium (endometrium like tissue) yang tumbuh di sisi luar kavum uterus, dan memicu reaksi peradangan menahun (Jacoeb dan Hadisaputra, 2009). Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis (Prabowo, 2007). Secara histologis ditemukan kelenjar, stroma mirip endometrium atau keduanya, dengan atau tanpa makrofag termuat hemosiderin, dan dapat berubah mengikuti siklus menstruasi. Sebukan endometriosis bereaksi terhadap hormon steroid yang sama dengan jaringan endometrium normal. Hormon esterogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis dan endometrium ektopik. Jaringan mirip endometrium ini memberikan fenomena khas karena
5 dapat memunculkan aneka tampilan visual, meski dapat pula ditemukan pada peritoneum yang kelihatannya normal (Jacoeb, 2009). Endometriosis pada dasarnya bersifat jinak, tetapi dapat menginvasi organ-organ dalam tubuh. Ada tiga bentuk utama yang saling berbeda, yaitu: a) endometriosis peritoneal, b) kista endometriosis ovarium (endometrioma), dan c) endometriosis rektovaginal atau adenomiosis (endometriosis interna). Secara anatomis, lokasi paling umum terkena endometriosis adalah ovarium dan tuba fallopii. Lokasi lain yang umum didapatkan endometriosis adalah cul-de-sac anterior dan posterior, ligamentum sakrouterina, rotundum, latum, dan septum rektovaginal. Lokasi yang kurang umum didapatkan endometriosis adalah kandung kemih, ginjal, serosa kolon sigmoid, rektum, serviks, vagina, vulva, umbilikus, dan kantong hernia inguinal. Sedangkan lokasi yang jarang didapatkan endometriosis adalah lokasi ekstrapelvis, yaitu: a) pleura, b) paru, c) payudara, d) extremitas, e) parut abdominal, dan e) daerah perianal (Oepomo, 2012). Etiopatogenesis dari endometriosis sendiri belum diketahui secara pasti. Beberapa teori mengenai mekanisme endometriosis dikemukakan, tetapi tidak satupun dari mekanisme tersebut dapat menjelaskan secara terpadu dan menyeluruh dari kasus-kasus endometriosis (Oepomo, 2012). Dewasa ini terdapat beberapa teori mekanisme dari terbentuknya endometriosis. Teori pertama
6 diungkapkan oleh Sampson, yaitu regurgitasi dan implantasi menstruasi. Menurut Sampson, endometriosis terjadi karena darah menstruasi mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba fallopii ke kavum peritonii. Dalam darah menstruasi ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup, sel ini kemudian mengadakan implantasi di permukaan organ pelvis (Prabowo, 2007). Teori kedua diungkapkan oleh Robert Meyer, yaitu metaplasia. Menurut Robert Meyer, endometriosis terjadi karena rangsangan sel-sel epitel yang berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasia dari sel-sel epitel sehingga terbentuk jaringan endometrium (Prabowo, 2007). Teori ketiga mengenai kemungkinan pengaruh induksi, di mana darah menstruasi memicu sel-sel peritoneum sehingga terjadi perubahan selsel asal yang tidak berdiferensiasi dan mempunyai kemampuan untuk berimplantasi (Baziad, 2003). Teori keempat diungkapkan oleh Dmowski mengenai kemungkinan pengaruh faktor imunologik, yaitu ditemukannya penurunan imunitas seluler pada jaringan endometrium wanita yang menderita endometriosis. Pada jaringan peritoneum, ditemukan aktivitas makrofag yang meningkat, penurunan aktivitas natural killer cells dan penurunan aktivitas sel-sel limfosit. Makrofag akan mengaktifkan jaringan-jaringan endometriosis dan penurunan sistem imunologik tubuh akan menyebabkan endometriosis tumbuh tanpa hambatan. Makin banyak regurgitasi darah menstruasi, makin
7 banyak pula sistem pertahanan tubuh yang terpakai (Baziad, 2003). Teori kelima mengenai kemungkinan pengaruh faktor genetik, di mana wanita dengan riwayat keluarga menderita endometriosis lebih mungkin terkena penyakit ini yang mempunyai risiko 7 kali lipat pada penderita endometriosis. Ketika diturunkan, maka penyakit ini cenderung menjadi lebih buruk pada generasi berikutnya. Teori keenam mengenai kemungkinan pengaruh lingkungan kavum douglasi, yaitu terjadinya terjadi perubahan seluler maupun humoral di kavum douglasi. Nyeri menstruasi yang muncul akibat endometriosis disebabkan oleh prostaglandin. Cairan peritoneum juga mengandung sitokin dan IL serta TNF- α (Wood, 2008). Teori ketujuh diungkapkan oleh Halban mengenai kemungkinan penyebaran jaringan endometrium secara limfogen. Jaringan endometrium tersebut menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis di mana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan endometrium ditemukan dalam limfatik pada pelvis sampai 20% pada penderita endometriosis (Moore, 2001). 2. Dismenore Dismenore didefinisikan sebagai sensasi nyeri yang hebat di perut bagian bawah dan disertai gejala biologis lain seperti berkeringat, frekuensi nadi tinggi, sakit kepala, mual, muntah, diare,
8 dan merinding, yang terjadi sebelum atau selama siklus menstruasi (Katz et al., 2007). Secara garis besar, dismenore dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, dismenore tanpa kelainan ginekologi pada alat-alat genital atau yang disebut sebagai dismenore primer. Dismenore primer terjadi beberapa waktu setelah menarche biasanya setelah 12 bulan atau lebih. Oleh karena siklus-siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah menarche umumnya berjenis anvulator yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan menstruasi dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus dapat berlangsung beberapa hari. Sifat rasa nyeri adalah kejang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha. Bersamaan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya (Simanjuntak, 2007). Nyeri tersebut timbul sebagai akibat dari pelepasan prostaglandin ketika terjadi peluruhan sel-sel endometrium. Pelepasan prostaglandin tersebut menyebabkan uterus mengalami iskemik melalui kontraksi miometrium dan vasokontriksi (Holder et al., 2011). Kedua, dismenore dengan kelainan ginekologi pada alat-alat genital atau yang disebut sebagai dismenore sekunder. Menurut Simanjuntak dalam Prawirohardjo (2007), dismenore sekunder pada mulanya sering dikira dismenore primer apabila tidak diperiksa lebih lanjut.
9 Hal ini karena munculnya gejala akibat kelainan ginekologinya tidak menentu kapan terjadi. Penyebab dismenore sekunder antara lain: a) endometriosis, b) adenomiosis uteri, c) salpingitis, d) stenosis serviks uteri, dan e) lain-lain (Simanjuntak, 2007). Oleh karena itu, nyeri yang timbul akan semakin hebat dan tidak menentu dikarenakan pelepasan prostaglandin menjadi tidak terkontrol sebagai efek inflamasi dari kelainan ginekologi yang diderita. Penyebab tersering dismenore sekunder adalah endometriosis, leiomioma, adenomiosis, PID, dan IUD (Holder et al., 2011). Derajat nyeri yang dialami wanita saat menstruasi berbeda-beda satu sama lain. Terdapat wanita dengan nyeri ringan tanpa gejala sistemik, jarang membutuhkan pengobatan, dan jarang mengganggu pekerjaan saat menstruasi. Wanita tersebut tergolong masuk kategori dismenore derajat ringan. Kemudian, terdapat wanita dengan nyeri sedang diikuti beberapa gejala sistemik, membutuhkan pengobatan, dan mengganggu pekerjaan saat menstruasi. Wanita tersebut tergolong masuk kategori dismenore derajat sedang. Terakhir, terdapat wanita dengan nyeri hebat diikuti banyak gejala sistemik, respon buruk terhadap pengobatan, dan sangat menghalangi pekerjaan saat menstruasi. Wanita tersebut tergolong masuk kategori dismenore derajat berat (Katz et al., 2007). Dismenore yang dialami wanita saat menstruai sering kali mengganggu bahkan sangat menghalangi aktivitasnya. Beberapa cara
10 dilakukan untuk mengurangi dan atau menghilangkan kondisi dismenore tersebut. Penanganan dismenore sendiri harus tepat berdasarkan jenis dan derajatnya. Adapun penanganan dismenore primer hanya ditujukan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan prostaglandin, sedangkan penanganan dismenore sekunder selain ditujukan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan prostaglandin juga lebih didasarkan pada penyakit penyebabnya itu sendiri. Sering kali dipilih penanganan hingga tahap pembedahan, baik konservatif atau radikal (Chudnoff, 2005). Beberapa bentuk penanganan yang dapat diterapkan pada pasien dismenore, khususnya sekunder antara lain: a) edukasi, b) pemberian analgesik, c) terapi hormonal, d) terapi obat nonsteroid anti prostaglandin, e) dilatasi canalis servicalis, f) pemberian kontrasepsi kombinasi, g) pemberian guaifenesin, h) akupuntur, dan i) pembedahan konservatif atau radikal (Chudnoff, 2005; Iorno et al., 2008; Marsden et al., 2004; Simanjuntak, 2007). 3. Hubungan Endometriosis dengan Dismenore Endometriosis menimbulkan gangguan fungsi biologis yang cukup serius dan berpusat pada organ reproduksi dan daerah pelvis (Utari, 2010). Meskipun keluhan pada penderita bervariasi dari tanpa gejala hingga adanya benjolan pada pelvis, sebagian besar
11 mengeluhkan gejala terutama nyeri atau dismenore (Widiantara, 2011). Nyeri adalah gejala yang sering dihubungkan dengan endometriosis. Mekanisme keluhan nyeri sulit ditentukan. Lingkungan hormon mempengaruhi persepsi nyeri. Nyeri pelvis kronik ada kecenderungan meliputi sistem organ. Persepsi dan toleransi nyeri berbeda pada setiap orang (Oepomo, 2012). Selama menstruasi, sejumlah darah menstruasi ada yang berbalik masuk melalui tuba fallopii atau saluran telur mengalir ke dalam rongga panggul dan selaput rongga perut (peritoneum). Di dalam darah menstruasi tersebut terbawa serta debris dan sel endometrium yang masuk ke dalam rongga perut (Utari, 2010). Akibat dari keadaan tersebut terjadi peningkatan enzim aromatase dan cyclooxygenase (COX) (Giudice et al., 2004). Peningkatan COX secara drastis akan mengkatalisis produksi prostaglandin H 2 (PGH 2 ) pada miometrium, endometrium, dan jaringan endometriotik. COX sendiri mempunyai dua isoform, yaitu COX-1 yang mengerakkan sintesa basal prostaglandin dan COX-2 yang berperan pada inflamasi. PGH 2 yang tebentuk akan dimetabolisme menjadi PGF 2 α dan PGE 2. PGF 2 α akan memicu vasokontriksi dan kontraksi miometrium sehingga menghasilkan nyeri. Sedangkan PGE 2 akan meningkatkan produksi sitokin, metalloprotein, dan chemokin. Peningkatan sitokin, seperti: a) Interleukin-1β (IL-1β), b) Interleukin-6 (IL-6), dan c)
12 Tumor Necrosis Factors-α (TNF-α) akan memicu adhesi jaringan endometrium pada permukaan peritoneum. Membran proteolitik metalloprotein akan menyebabkan implantasi. Kenaikan kadar chemokin (Monocyte chemoattractant protein 1, Interleukin-8, dan Regulated on Activation Normal T-cell Expressed and Secreted) menarik granulosit, natural killer cells, dan makrofag (Bedaiwy et al., 2002; Oepomo, 2002; Rizk, 2003; Weiser et al., 2002; Speroff, 2011). Pertumbuhan lesi endometriosis ini dapat menekan inervasi saraf di sekitar lesi (Berkley, 2005) dan meningkatkan produksi enzim aromatase serta COX berkali-kali lipat (Oepomo, 2012). Berdasarkan uraian di atas, nyeri yang berhubungan dengan endometriosis terdiri dari tiga faktor penyebab utama, yaitu: a) efek langsung dan tidak langsung dari perdarahan lokal implantasi endometriotik, b) peran sitokin inflamasi dalam zalir peritoneum, dan c) iritasi atau infiltrasi langsung saraf pada dasar pelvis (Oepomo, 2012).
13 B. Kerangka Pemikiran Menstruasi Darah menstruasi berbalik Darah menstruasi keluar Sel endometrium berada di kavum peritonii COX PGH 2 PGE 2 Inflamasi PGF 2 α Vasokontriksi dan kontraksi miometrium IL-1β IL-6 TNF-α Metalloprotein Chemokin : 1. Monocyte chemoattractant protein 1 2. IL-8 3. RANTES Adhesi Implantasi Granulosit Sel NK Makrofag Keterangan Endometriosis Iritasi atau infiltrasi langsung saraf dasar pelvis Nyeri atau dismenore : Meningkat : Tidak diteliti : Diteliti Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Hubungan Endometriosis dengan Dismenore. Dikutip dari Oepomo TD, 2012.
14 C. Kerangka Konsep Menstruasi Darah menstruasi berbalik Darah menstruasi keluar Sel endometrium berada di kavum peritonii Metabolisme Prostaglandin Endoperksidase Inflamasi dan defek imunologis Pertumbuhan dan perkembangan endometriosis Menekan inervasi dasar pelvis Vasokontriksi dan kontraksi miometrium Menekan inervasi dasr pelvis Nyeri atau dismenore Keterangan : Meningkat : Tidak diteliti : Diteliti Gambar 2.2 Kerangka Konsep Hubungan Endometriosis dengan Dismenore. D. Hipotesis Terdapat hubungan antara endometriosis dengan dismenore pada Pasien Poliklinik Obstetri dan Ginekologi di RSUD Dr. Moewardi.