PENGARUH METODE PEMBAGIAN VISUAL DENGAN DAN TANPA COATING TERHADAP KESERAGAMAN BOBOT PUYER ISONIAZID DOSIS BESAR UNTUK TERAPI ANAK DENGAN HIV/AIDS-TB

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI KESERAGAMAN BOBOT SEDIAAN PULVERES YANG DIBUAT APOTEK DI KOTA JAMBI ABSTRAK

J. Ind. Soc. Integ. Chem., 2013, Volume 5, Nomor 2 UJI KESERAGAMAN VOLUME SUSPENSI AMOKSISILIN YANG DIREKONSTITUSI APOTEK DI KOTA JAMBI.

INTISARI EVALUASI KESERAGAMAN BOBOT SEDIAAN PULVERES DI PUSKESMAS KELAYAN TIMUR BANJARMASIN. Gusti Ayna Yulisa¹, Yugo Susanto2, Rony 3

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SKRIPSI Z003 PENGARUH METODE PEMBAGIAN VISUAL TERHADAP KESERAGAMAN ROBOT PUYER. FAKULTASFARMASI AIRLANGGA RAGlAN FARMAS.

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SERBUK F A R M A S E T I K D A S A R

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 )

JURNAL PRAKTIKUM ILMU RESEP II

ANGKA KEJADIAN DIARE PADA ANAK DENGAN HIV/AIDS DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB IV METODE PENELITIAN. Dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2015 di klinik VCT RSUP Dr.

Laporan Praktik Ilmu Resep Kelas XII

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

kurang dari 135 mg. Juga tidak boleh ada satu tablet pun yang bobotnya lebih dari180 mg dan kurang dari 120 mg.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I PENDAHULUAN. juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya. penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

INTISARI. Kata Kunci : Antibiotik, ISPA, Anak. Muchson, dkk., Dosen Prodi DIII Farmasi STIKES Muhammadiyah Klaten 42

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) dapat diartikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

PENGARUH PENGGUNAAN AMILUM JAGUNG PREGELATINASI SEBAGAI BAHAN PENGIKAT TERHADAP SIFAT FISIK TABLET VITAMIN E

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

AKSEPTABILITAS PELAYANAN RESIDENSIAL KEFARMASIAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II TANPA KOMPLIKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

Pembelajaran E-learning

Pembelajaran E-learning

Pembelajaran E-learning

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

PENGARUH KONSELING OBAT DALAM HOME CARE TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

ABSTRAK. Adherence Scale (MMAS).

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER GANJIL 2017/2018 PELAKSANA PRODI FARMASI UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang,

Penyakit Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit. infeksi yang memberikan dampak morbiditas dan mortalitas

STUDI SISTEM PELAYANAN PENGOBATAN PT. ASKES (PERSERO) CABANG DENPASAR BERDASARKAN ATURAN PERUNDANGAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

BAGAN PENILAIAN DAN TATALAKSANA AWAL HIV

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. Hasil penelitian pola peracikan resep khusus pediatri, struktur pelayanan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. akibat insufisiensi fungsi insulin (WHO, 1999). Berdasarkan data dari WHO

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI

Identifikasi Faktor Resiko 1

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LOMBA KOMPETENSI SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN INFORMASI DAN KISI-KISI

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia),

BAB III METODE PENELITIAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Jenis kelamin pasien TB-MDR pada penelitian ini lebih banyak

EVALUASI PENGGUNAAN DEKSAMETASON PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

TINJAUAN ASPEK FARMASETIK PADA RESEP RACIKAN DI TIGA APOTEK KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

Purnamaningrat, A.A.I.D. 1, Antari, N.P.U. 1, Larasanty, L.P.F. 1. Universitas Udayana

DETERMINAN LOSS TO FOLLOW UP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7)

No. Dokumen : C. KEBIJAKAN Puskesmas Gedongan mengatur tata cara melakukan konsultasi gizi kepada pasien

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

EVALUASI POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RS SLAMET RIYADI SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

Berobat adalah aktivitas yang pernah dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier,

BAB III METODE PERCOBAAN

PROGRAM KERJA PENERAPAN STRATEGI DOTS

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FORMULASI TABLET PARASETAMOL KEMPA LANGSUNG MENGGUNAKAN EKSIPIEN CO-PROCESSING DARI AMILUM SINGKONG PARTIALLY PREGELATINIZED DAN GOM AKASIA ABSTRAK

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non analitik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

Pengaruh Mutu Pelayanan Terhadap Tingkat Kepuasan Konsumen Apotek Non Praktek Dokter di Kuta Utara

SILABUS MATA KULIAH. Revisi : 1 Tanggal Berlaku :

Pemeriksaan Mutu Jamu Obat Mencret yang Beredar di Apotik Kota Padang

PHARMACY, Vol 05 No 01 April 2007

BAB 4 METODE PENELITIAN. Semarang, dimulai pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014.

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

Transkripsi:

PENGARUH METODE PEMBAGIAN VISUAL DENGAN DAN TANPA COATING TERHADAP KESERAGAMAN BOBOT PUYER ISONIAZID DOSIS BESAR UNTUK TERAPI ANAK DENGAN HIV/AIDS-TB Maharani, A.A.S.N. 1, Pratama, K.M. 1, Niruri, R. 1, Dewantara, I G.N.A. 1, Wati, K. D.K. 2, Wiradotama, I G.B.G. 3. 1 Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univesitas Udayana 2 Bagian / SMF IKA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah 3 Klinik VCT Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Korespondensi : Anak Agung Sagung Narithi Maharani Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana Jalan Kampus Unud-Jimbaran, Jimbaran-Bali, Indonesia 80364 Telp/Fax: 0361-703837 Email : naritimaharani@yahoo.com ABSTRAK Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik yang paling sering menjadi ko-infeksi HIV. Rekomendasi pengobatan TB pada anak yang terinfeksi HIV pada saat ini sama dengan pengobatan untuk anak tanpa infeksi HIV yaitu minimal selama 6 bulan, salah satu obat yang digunakan yaitu Isoniazid. Pemberian obat pada pasien anak masih banyak diresepkan oleh dokter dalam bentuk sediaan puyer. Cara pembagian puyer yang paling banyak dilakukan adalah secara visual, dikarenakan lebih cepat dan praktis. Namun, pembagian secara visual memungkinkan terjadinya variasi dalam bobot dan kandungan puyer terkait keterbatasan dalam kemampuan pengamatan secara visual, ketelitian, ketrampilan, serta waktu dalam menyiapkan sediaan puyer. Metode : Dilakukan pembagian serbuk menggunakan metode pembagian secara visual dengan atau tanpa coating untuk mendapatkan puyer Isoniazid dosis besar (250 mg) sebanyak 60 bungkus dengan menggunakan metode 6-6, 10-10, 15-15, 20-20, dan 30-30. Selanjutnya dilakukan penentuan keseragaman bobot puyer yang mengacu pada persyaratan Farmakope. Hasil : Dengan adanya metode coating diketahui menyebabkan persentase bobot kehilangan yang lebih kecil dibandingkan tanpa coating (Tabel B.1), sedangkan berdasarkan hasil pengujian keseragaman bobot untuk puyer Isoniazid dosis besar (250 mg), belum diperoleh hasil yang memenuhi persyaratan Farmakope edisi III, namun dengan semakin sedikit pembagian visual dalam sekali mata pandang menunjukan hasil pengujian keseragaman bobot yang lebih baik. Hal ini dilihat dari semakin sedikitnya serbuk yang penyimpangan > ±15%, semakin sedikit yang berada pada rentang ±10-15%, dan semakin banyak jumlah serbuk yang berada pada rentang <±10% (Tabel B.2). Kesimpulan : Pada penelitian ini berdasarkan hasil penentuan keseragaman bobot puyer menurut Farmakope Indonesia edisi III untuk puyer Isoniazid dosis besar (250 mg), diperoleh hasil yaitu dengan adanya coating dan semakin sedikit pembagian visual dalam sekali mata pandang menunjukan hasil pengujian keseragaman bobot yang lebih baik. Kata kunci: HIV, TB, Isoniazid, Metode Pembagian Visual 1. PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik yang paling sering menjadi koinfeksi HIV. Hal ini berkaitan dengan keadaan imunokompromais pada infeksi HIV sebagai salah satu faktor resiko penyakit TB. Infeksi 93 oportunistik yang belum dapat diatasi diketahui merupakan salah satu faktor kegagalan terapi HIV (Nasrorudin, 2007, Widyaningsih, Retno, dkk, 2011).

Menurut penelitian Widyaningsih dkk (2011) di RSAB Harapan Bunda pada tahun 2002-2010 dari 50 anak terinfeksi HIV, 27 orang anak (54%) menderita penyakit TB, dengan kelompok umur terbanyak pada anak berusia < 5 tahun yaitu sebanyak 22 orang (81,4%) (Widyaningsih, Retno, dkk, 2011). Rekomendasi pengobatan TB pada anak yang terinfeksi HIV pada saat ini sama dengan pengobatan untuk anak tanpa infeksi HIV yaitu minimal selama 6 bulan. Obat yang digunakan adalah rifampicin, ethambutol, isoniazid, pyrazinamide dan streptomycin (Setiawan, Made, 2009) Pemberian obat pada anak sering mengalami kendala dalam hal dosis dan cara pemberian terkait dengan jumlah dosis yang lebih kecil dibandingkan dengan pasien dewasa. Pemberian obat pada pasien anak masih banyak diresepkan oleh dokter dalam bentuk sediaan puyer, dikarenakan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bentuk sediaan jadi buatan pabrik, yaitu mudah untuk mengatur dosis dan kombinasi obatnya sesuai dengan kebutuhan pasien. Namun, bentuk sediaan puyer memungkinkan terjadinya variasi dalam bobot dan kandungan puyer terkait keterbatasan dalam kemampuan pengamatan secara visual, ketelitian, ketrampilan, serta waktu dalam menyiapkan suatu sediaan puyer. Ketidaktepatan dosis pada sediaan puyer dapat terjadi ketika proses pembuatannya yang dapat menyebabkan sebagian obat tertinggal pada wadah yang digunakan untuk menggerus, juga pada pembungkus yang digunakan (Soepardi, Soedibyo, dkk 2009). Menurut Depkes RI, 2008, ketidaktepatan dosis, terkait dengan dosis pemberian, cara penyiapan dan penyimpan dapat menjadi salah satu penyebab dari kegagalan terapi (Depkes RI, 2008). Dengan adanya variasi dalam bobot dan kandungan dapat mempengaruhi efektivitas obat yang diberikan pada pasien (Ansel, 1989; Anief, 1988). Isoniazid dapat diberikan dalam dosis kecil dan dosis besar. Pengobatan TB pada anak ditentukan berdasarkan berat badan pasien. Pada penelitian ini dosis Isoniazid yang digunakan yaitu dosis besar (250 mg), hal ini disesuaikan dengan dosis rekomendasi 94 Isoniazid pada terapi TB pada anak yaitu sebanyak 5 mg/kg berat badan (dengan rentang 4-6 mg/kg berat badan) dengan dosis maksimum 300 mg (Depkes RI, 2008; Setiawan, Made, 2009). Untuk memastikan bahwa obat dalam sediaan puyer yang diterima mempunyai keseragaman bobot dan kandungan untuk tiap bungkusnya terkait kemungkinkan terjadinya variasi dalam bobot dan kandungan sediaan sediaan puyer, maka dilakukanlah penelitian mengenai pengaruh metode pembagian visual dengan atau tanpa coating terhadap keseragaman bobot puyer Isoniazid dosis besar (250 mg) dengan metode pembagian visual 6-6, 10-10, 15-15, 20-20, dan 30-30..Sediaan puyer yang bermutu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: serbuknya homogen, kering, mempunyai derajat kehalusan tertentu serta memiliki keseragaman bobot dan kandungan. Persyaratan keseragaman bobot puyer berdasarkan Farmakope Indonesia edisi III tahun 1979, yaitu dari 20 puyer yang ditetapkan keseragaman bobotnya, 18 bungkus tidak boleh menyimpang dari ±10%, 2 bungkus lainnya boleh menyimpang asalkan tidak lebih dari ±15% dan dan tidak ada yang boleh menyimpang lebih dari ±15% (Depkes RI, 1979). 2. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Tablet Isoniazid 300 mg 2.2 Alat Penelitian Mortir Porselen, Stemper, Neraca Analitik (AND), Kertas Pembungkus, Sendok Tanduk, Sudip, Spatula Logam. 2.3 Metode Penelitian 2.3.1 Metode Pembagian Visual a. Metode Pembagian Visual dengan Coating...Mortir yang akan digunakan untuk menggerus terlebih dahulu di coating dengan menggunakan bahan yang yang bersifat netral atau indiferen. Kemudian tablet Isoniazid digerus satu-persatu, penggerusan dilakukan kearah dalam, digerus hingga halus dengan menggunakan bantuan mortir dan stemper

untuk mendapatkan puyer Isoniazid dosis besar (250 mg) sebanyak masing-masing 60 bungkus, kemudian dilakukan pembagian serbuk secara visual dengan menggunakan metode 6-6, 10-10, 15-15, 20-20, dan 30-30. b. Metode Pembagian Visual tanpa Coating Tablet Isoniazid digerus satu-persatu, di dalam mortir tanpa coating dengan bahan yang bersifat netral atau indiferen. Penggerusan dilakukan kearah dalam, digerus hingga halus untuk mendapatkan puyer Isoniazid dosis besar (250 mg) sebanyak masing-masing 60 bungkus, kemudian dilakukan pembagian serbuk secara visual dengan menggunakan metode 6-6, 10-10, 15-15, 20-20, dan 30-30. 2.3.2 Uji Keseragaman bobot...timbang isi dari 20 bungkus satu persatu. Campur isi ke-20 bungkus, dan timbang sekaligus. Hitung rata-ratanya. Selanjutnya penentuan keseragaman bobot puyer dilakukan dengan mengacu pada persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III tahun 1979, yaitu dari 20 puyer yang ditetapkan keseragaman bobotnya, 18 bungkus tidak boleh menyimpang ±10%, 2 bungkus lainnya boleh menyimpang asalkan tidak lebih dari ±15%, dan tidak ada yang boleh menyimpang lebih dari ±15%. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan puyer sebanyak 60 bungkus sehingga dilakukan modifikasi persyaratan untuk 60 bungkus puyer menjadi : 54 bungkus tidak boleh menyimpang dari ±10%, 6 bungkus lainnya boleh menyimpang asalkan tidak lebih dari ±15%, dan tidak ada yang boleh menyimpang lebih dari ±15% (Depkes RI, 1979). 3. HASIL Pada hasil pengujian persentase bobot yang hilang, diperoleh hasil yaitu persentase bobot kehilangan yang lebih kecil pada dinding mortir yang terlebih dahulu di coating dibandingkan tanpa coating. (Tabel B.1), sedangkan berdasarkan hasil pengujian keseragaman bobot menurut Farmakope Indonesia edisi III untuk puyer Isoniazid dosis besar (250 mg), belum diperoleh hasil yang memenuhi persyaratan Farmakope, namun 95 dengan semakin sedikit pembagian visual dalam sekali mata pandang menunjukan hasil pengujian keseragaman bobot yang lebih baik. Hal ini dilihat dari semakin sedikitnya serbuk yang penyimpangan > ±15%, semakin sedikit yang berada pada rentang ±10-15%, dan semakin banyak jumlah serbuk yang berada pada rentang < ±10% (Tabel B.2). 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan pembagian serbuk menggunakan metode pembagian secara visual dengan atau tanpa coating pada dinding mortir untuk mendapatkan puyer Isoniazid dosis besar (250 mg) sebanyak 60 bungkus dengan menggunakan metode pembagian visual 6-6, 10-10, 15-15, 20-20, dan 30-30. Bahan yang digunakan untuk coating (pelapisan) pada mortir merupakan bahan yang bersifat netral atau indiferen yaitu Saccharum Lactis yang lazim digunakan untuk pemakaian oral, coating berfungsi melapisi dinding mortir sehingga mencegah sebagian obat tertinggal dalam pori-pori dinding mortir (Anief, 1988). Setelah dilakukan coating pada dinding mortir tablet Isoniazid digerus satu persatu, hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa tablet tergerus homogen. Diusahakan tidak menggerus tablet dalam jumlah banyak sekaligus. Penggerusan dilakukan kearah dalam untuk memusatkan energi kedalam, sehingga lebih efisen dalam waktu, dan serbuk yang didapatkan lebih halus dan homogen (Ansel, 1989). Dari hasil penelitian ini belum diperoleh hasil sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia edisi III, tetapi dapat diketahui bahwa pada pembagian serbuk secara konvensial tanpa menggunakan alat bantu untuk menjamin keseragaman bobot dan meminimalkan bobot yang hilang maka sebaiknya dilakukan metode coating dan pembagian serbuk dalam jumlah yang makin sedikit dalam sekali mata pandang (Tabel B.1 dan B.2). Disarankan pembagian serbuk dilakukan menggunakan alat bantu seperti misalnya sendok, sehingga diharapkan dapat

membantu memperoleh sebuk dengan bobot yang seragam. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Pada penelitian ini berdasarkan hasil penentuan keseragaman bobot puyer menurut Farmakope Indonesia edisi III untuk puyer Isoniazid dosis besar (250 mg), belum diperoleh hasil sesuai dengan Farmakope, namun dengan adanya coating dan semakin sedikit pembagian visual dalam sekali mata pandang menunjukan hasil pengujian keseragaman bobot yang lebih baik. Untuk memperoleh keseragaman bobot yang lebih baik kemungkinan diperlukan penggunaan alat bantu dalam pembagian serbuk. Sosial. Surabaya : Airlangga University Press, Halaman 254. Setiawan, I Made. (2009). Tatalaksana Infeksi HIV/AIDS pada Bayi dan Anak. Majalah Kedokteran Indonesia. 59 (12), halaman 607-620. Soedibyo, Soepardi dan E. Koesnandar. (2009). Pengetahuan Orangtua Mengenai Obat Puyer di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Sari Pediatri, 10 (6), halaman 402. Widyaningsih, Retno, A. Widhiani, dan E. Citraresmi. (2011). Ko-Infeksi Tuberkulosis dan HIV pada Anak. Sari Pediatri, 13 (1). Halaman 55.... UCAPAN TERIMAKASIH...Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh staff Laboratorium Farmasetika Dasar Jurusan Farmasi Fak. MIPA Univ. Udayana, Poli Anak RSUP Sanglah, bagian/smf IKA FK Unud/RSUP Sanglah, Klinik VCT RSUP Sanglah, keluarga serta teman-teman atas dukungan serta bantuan selama penelitian ini berlangsung. DAFTAR PUSTAKA Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisis Keempat. Jakarta: Penerbit UI Press. Halaman : 202-209. Anief, M. (1988). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press. Halaman 34-37. Depkes. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 24. Depkes RI, (2008). Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak di Indonesia. Jakarta : Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Halaman : 24. Himawati E. R., N. Roosita, dan T. Purwanti. (2003). Pengaruh Metode Pembagian Visual Terhadap Keseragaman Bobot Puyer dan Kapsul Dosis Kecil dan Besar dengan Jumlah Pembagian yang Berbeda.http://www.infolitbang.ristek.go.id/in dex.php?l=id&go=d&i=702 Nasronudin. (2006). HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan 96

Puyer Isoniazid Dosis Besar untuk Terapi Anak dengan HIV/AIDS-TB (Maharani, A.A.S.N., Pratama, K.M., Niruri, R., Dewantara, I G.N.A.,Wati, K.D., Wiradotama, I G.B.G.) APENDIK B. Tabel B.1 Perbandingan Persentase Bobot Kehilangan Dengan Atau Tanpa Coating 1 Deskripsi Persentase Kehilangan (%) I II III Metode 6-6 1,4 1,3 1,2 dengan coating 0,5 0,6 0,3 Metode 10-10 1,5 1,3 1,4 0,8 1,0 0,6 Metode 15-15 1,6 1,4 1,1 1,0 0,7 0,5 Metode 20-20 1,3 1,4 1,2 0,3 0,4 0,4 Metode 30-30 1,5 1,4 1,7 dengan coating 0,5 0,7 0,5 Ket : 1 Persentase bobot yang hilang dihitung berdasarkan perbedaan bobot tablet sebelum dan sesudah di gerus. 97

Puyer Isoniazid Dosis Besar untuk Terapi Anak dengan HIV/AIDS-TB (Maharani, A.A.S.N., Pratama, K.M., Niruri, R., Dewantara, I G.N.A.,Wati, K.D., Wiradotama, I G.B.G.) Tabel B.2 Perbandingan Keseragaman Bobot Puyer Dosis Besar (250 mg) Deskripsi Jumlah (N=60 bungkus) I II III Metode 6-6 > ±15% 8 9 8 ±10-15 % 14 15 10 < ±10% 38 36 42 > ±15% 8 7 6 ± 10-15 % 6 3 2 < ±10% 46 50 52 Metode 10-10 > ± 15% 20 18 17 ± 10-15 % 12 20 18 < ±10% 28 22 25 > ±15% 20 17 16 ± 10-15 % 6 3 4 < ±10% 34 40 40 Metode 15-15 > ±15% 24 22 22 ±10-15 % 14 11 12 < ±10% 22 27 26 > ± 15% 21 19 18 ±10-15 % 9 7 7 < ±10% 30 34 35 Metode 20-20 > ±15% 26 27 28 ± 10-15 % 17 8 9 < ±10% 17 25 23 > ±15% 21 20 20 ±10-15 % 10 7 10 < ±10% 29 33 30 Metode 30-30 > ±15% 29 28 22 ±10-15 % 13 11 10 < ±10% 18 21 28 > ±15% 28 25 20 ±10-15 % 10 9 10 < ±10% 22 26 30 98

Puyer Isoniazid Dosis Besar untuk Terapi Anak dengan HIV/AIDS-TB (Maharani, A.A.S.N., Pratama, K.M., Niruri, R., Dewantara, I G.N.A.,Wati, K.D., Wiradotama, I G.B.G.) 99