Kebutuhan Transfusi Darah Pasca-Splenektomi pada Thalassemia Mayor

dokumen-dokumen yang mirip
Thalassemia merupakan kelompok kelainan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. yang ditandai dengan berkurangnya sintesis rantai. polipeptida globin (α atau β) yang membentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Thalassaemia merupakan penyakit kelainan sel darah merah yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dalam darah individu. Eritrosit

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N

BAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Harapan Pada..., Agita Pramita, F.PSI UI, 2008

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia β adalah kelainan sel eritrosit bawaan akibat berkurang atau

Pemeriksaan Jumlah Trombosit pada Penderita Thalasemia-β Mayor yang telah di Splenektomi Lebih Dari Tiga Bulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasien keganasan berisiko tinggi menderita anemia (Estrin, 1999). Penelitian

BABI PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak ditemukan berbagai penyakit kelainan darah, salah

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dan didapatkan pasca splenektomi karena trauma maupun penyakit hematologis,

BAB I PENDAHULUAN. rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Setiap tahun, berjuta-juta kehidupan manusia di bumi. terselamatkan oleh kegiatan transfusi darah.

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

tahun 2004 diperkirakan jumlah tindakan pembedahan sekitar 234 juta per tahun (Weiser, et al,

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

9. Sonia mahdalena 10. Tri amalia 11. Mitha nur 12. Novita sari 13. Wardah afifah 14. windi yuniati 15. Gina I. 16. Nungki. 8.

BAB I PENDAHULUAN. Mengakhiri abad ke-20 dan mengawali abad ke-21 ini ditandai oleh

ABSTRAK DAMPAK PEMBERIAN TRANSFUSI DARAH DALAM JANGKA PANJANG PADA PENDERITA THALASSEMIA

Gambaran Status Gizi Anak Talasemia β Mayor di RSUP Dr. M. Djamil Padang

Model Prediksi Kebutuhan Darah untuk Penderita Talasemia Mayor

bersalah, dan kematian. Penderitaan bisa berupa kesulitan-kesulitan. Hal yang paling mendasar

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dini pada usia bayi, atau bahkan saat masa neonatus, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2.

Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari Juli 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari

Sejawat Yth. Salam dan sampai jumpa di seminar Panitia

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan

PATHWAY THALASEMIA. Mutasi DNA. Produksi rantai alfa dan beta Hb berkurang. Kelainan pada eritrosit. Pengikatan O 2 berkurang

BAB I PENDAHULUAN. β-thalassemia mayor memiliki prognosis yang buruk. Penderita β-thalassemia. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan antara Tipe Mutasi Gen Globin dan Manifestasi Klinis Penderita Talasemia

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Studi Epidemiologi Deskriptif Talasemia

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

Sensitivitas dan Spesifisitas α-globin Strip Assay dalam Mendeteksi Mutasi Thalassemia-α

HUBUNGAN LAMA SAKIT TERHADAP KUALITAS HIDUP ANAK PENDERITA THALASSEMIA DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker serviks merupakan kanker yang banyak. menyerang perempuan. Saat ini kanker serviks menduduki

BAB I PENDAHULUAN. 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per

KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian. promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1. Diajukan Oleh : RIA RIKI WULANDARI J

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori.

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua

BAB I. berbagai program dan upaya kesehatan (Depkes, 2004). mutu pelayanan dan mutu hasil pemeriksaan di laboratorium.

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

Perjalanan Penyakit Purpura Trombositopenik Imun

IMUNISASI SWIM 2017 FK UII Sabtu, 14 Oktober 2017

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Donasi darah merupakan praktik klinis yang umum. dilakukan. Pada tahun 2012 World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PELATIHAN THALASSEMIA 29 November 2010 s/d 1 Desember 2010

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP )

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik seperti Glomerulonephritis Chronic, Diabetic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO 8-9% wanita di seluruh dunia akan mengalami kanker payudara.

Transkripsi:

Artikel Asli Kebutuhan Transfusi Darah Pasca-Splenektomi pada Thalassemia Mayor Murti Andriastuti, Teny Tjitra Sari, Pustika Amalia Wahidiyat, Siti Ayu Putriasih Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Latar belakang. Transfusi darah merupakan pengobatan satu-satunya bagi pasien thalassemia guna mempertahankan kadar hemoglobin darah. Salah satu cara mengurangi kebutuhan darah adalah dengan melakukan splenektomi. Tujuan. Membandingkan kebutuhan transfusi pra-splenektomi dan pasca-splenektomi. Metode. Studi deskriptif terhadap pasien thalassemia β dan thalassemia-β/hbe yang dilakukan splenektomi di Pusat Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo tahun 2006-2009. Data yang dikumpulkan adalah kadar Hb pra-transfusi, jumlah kebutuhan darah, dan frekuensi transfusi darah dalam rentang setahun sebelum dan setahun setelah splenektomi, serta indikasi splenektomi. Didapat 98 pasien pasca- splenektomi tetapi 3 pasien dikeluarkan karena data tidak lengkap. Hasil. Subjek penelitian 98 pasien pasca- splenektomi terdiri 47 lelaki dan 51 perempuan. Rerata jarak waktu pertama kali transfusi darah sampai dilakukan splenektomi adalah 10 (SB 5,0) tahun, kisaran 8 bulan-23 tahun. Rerata ukuran limpa saat splenektomi adalah Schufner VI, kisaran Schufner II-VIII. Terjadi peningkatan rerata Hb pra-transfusi pra-splenektomi sebesar 6,2 (SB 0,9) g/dl, rentang 4,4-8,6 g/dl, pasca-splenektomi meningkat menjadi 7,9 (SB 0,8) g/dl, kisaran 5,6-10 g/dl. Rerata jumlah kebutuhan transfusi darah pra-splenektomi sebesar 357,2 (SB 101,2) ml/kgbb/tahun, pasca-splenektomi menurun menjadi 131,1 (SB 57,5) ml/kgbb/tahun. Rerata frekuensi transfusi darah pra-splenektomi 15 (SB 3,7) kali per tahun, kisaran 6-24 kali per tahun, pasca-splenektomi menjadi 8 (SB 3) kali per tahun, kisaran 0-14 kali per tahun. Indikasi splenektomi adalah hipersplenisme dini (53 subjek) dan hipersplenisme lanjut (45 subjek). Rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi subjek hipersplenisme dini (8,3 g/dl) lebih tinggi dibandingkan subjek hipersplenisme lanjut (7,6 g/dl) (p=0,000). Terdapat perbedaan bermakna jumlah kebutuhan darah pasca-splenektomi thalassemia-β/hbe (108,6 ml/kgbb/tahun) dan thalassemia-β (144,1 ml/ kgbb/tahun) (p=0,001). Frekuensi transfusi darah thalassemia-β/hbe pasca-splenektomi (7x/tahun) lebih rendah daripada thalassemia-β (9x/tahun) (p=0,011). Tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi antara thalassemia-β dengan thalassemia-β/hbe (p=0,132). Kesimpulan. Terdapat perbedaan kebutuhan transfusi antara pra-splenektomi dan pasca splenektomi berdasarkan jenis hipersplenisme dan genotip pasien. Kebutuhan transfusi pasca splenektomi lebih sedikit apabila splenektomi dianjurkan pada keadaan hipersplenisme dini dan kasus thalassemia β/hbe. Sari Pediatri 2011;13(4):244-9. Kata kunci: thalassemia mayor, transfusi darah, pasca-splenektomi Alamat korespondensi: Dr. Murti Andriastuti, SpA. Divisi Hematologi Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI- RSCM Jl. Salemba no. 6, Jakarta 10430. Telepon: 021-3907744, 31901170 Fax.021-3913982. 244

Thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Thalassemia disebabkan oleh berkurang atau tidak disintesis rantai globin-α atau -β (komponen utama molekul hemoglobin dewasa -α 2 β 2 ) yang diturunkan secara autosomal resesif. Angka pembawa sifat thalassemia-α, thalassemia-β, dan HbE berturut-turut 2,6%-11%, 3-10%, dan 1,5%- 36%. 1,2 Angka kejadian thalassemia terus meningkat setiap tahunnya. Di Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), jumlah pasien baru mencapai 80-100 pasien per tahun. 3 Jumlah pasien terdaftar di Pusat Thalassaemia sampai dengan bulan Juli 2010, 1.544 pasien terdiri atas thalassemia-β 50,4%, thalassemia-β/ HbE 47,1%, thalassemia-α 2%, dan sisanya lainlain. 3 Sampai saat ini thalassemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan yang dilakukan hanya untuk memperpanjang usia harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Biaya pengobatan suportif (transfusi darah dan kelasi besi) untuk seumur hidup sangat besar sekitar Rp 200-300 juta/tahun/pasien. 4 Biaya tersebut di luar biaya jika terjadi komplikasi yang timbul pada akhir dekade pertama atau awal dekade kedua kehidupan. Transfusi darah masih merupakan pengobatan satu-satunya bagi pasien thalassemia guna mempertahan kan kadar hemoglobin darah. Pemberian transfusi darah pada pasien thalassemia sebaiknya tidak hanya berdasarkan keluhan pucat tetapi pada adanya gejala ketidakmampuan tubuh mengompensasi kadar hemoglobin yang rendah. Gejala tersebut antara lain takikardia, lemas, gangguan pertumbuhan atau gejala proses eritropoiesis yang tidak adekuat, seperti perubahan bentuk tulang atau splenomegali masif. 5 Pemberian transfusi darah dilakukan pada kadar Hb pra-transfusi 8 g/dl. 6 Frekuensi transfusi darah umumnya 1x/bulan. Pada pasien dengan hipersplenisme kebutuhan darah meningkat sehingga mereka membutuhkan transfusi darah 2-3x/bulan. Pemberian transfusi darah yang adekuat disertai kelasi besi secara teratur dapat mencapai proses tumbuh kembang yang optimal. Namun di sisi lain, pemberian transfusi darah memiliki risiko antara lain penularan penyakit infeksi (hepatitis B, hepatitis C, HIV) maupun penumpukan besi di seluruh organ tubuh terutama di otot jantung dan hati. 5 Salah satu upaya mengurangi kebutuhan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah dengan splenektomi. Tindakan splenektomi harus dipertimbangkan secara matang karena adanya risiko infeksi pasca tindakan. 6 Diharapkan pascasplenektomi, kebutuhan transfusi darah akan berkurang sehingga dapat mengurangi efek samping akibat transfusi darah. Tujuan penelitian untuk mengetahui per bedaan kebutuhan transfusi sebelum dan setelah splenektomi. Metode Tidak dilakukan studi deskriptif terhadap pasien thalassemia yang telah dilakukan splenektomi di Pusat Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2006-2009. Didapatkan 101 subjek, namun hanya 98 subjek yang mempunyai data lengkap. Data yang dikumpulkan adalah kadar Hb pra-transfusi, jumlah kebutuhan darah, dan frekuensi transfusi darah dihitung selama rentang setahun sebelum dan setahun setelah splenektomi. Data lain yang dikumpulkan adalah indikasi splenektomi, jenis hipersplenisme dan genotip pasien (thalassemia-β mayor dan thalassemia-β/hbe). Indikasi dilakukan splenektomi antara lain kebutuhan transfusi darah yang meningkat, yakni melebihi 250 ml/kgbb/tahun (hipersplenisme dini), adanya pansitopenia pada pemeriksaan darah perifer (hipersplenisme lanjut), atau alasan mekanik karena limpa yang sangat besar, umumnya melebihi ukuran Schufner IV sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan tekanan intra-abdominal yang mengganggu pernapasan dan berisiko mengalami ruptur. 6,7,8 Hasil Subjek penelitian 98 anak, terdiri atas 47 lelaki dan 51 perempuan. Sebanyak 62 (63%) subjek adalah thalassemia-β mayor, sisanya 36 (37%) subjek adalah thalassemia-β/hbe. Rerata usia saat diagnosis 2 (SB 2,7) tahun dengan kisaran 1 bulan-13 tahun. Rerata usia splenektomi 13 (SB 5,1) tahun dengan kisaran 3-27 tahun. Rerata jarak waktu pertama kali transfusi darah sampai dilakukan splenektomi 10 (SB 5,0) tahun dengan kisaran 8 bulan-23 tahun. Sebagian besar 245

pasien (70,4%) mempunyai limpa yang besar dengan terbanyak ukuran limpa saat splenektomi adalah Schufner VI dengan kisaran Schufner II-VIII. Sebagian besar subjek (96,9%) memiliki kadar Hb pra-transfusi pasca-splenektomi lebih tinggi dibandingkan pra-splenektomi. Rerata Hb pratransfusi sebelum splenektomi 6,2 (SB 0,9) g/ dl dengan kisaran antara 4,4-8,6 g/dl, pascasplenektomi meningkat menjadi 7,9 (SB 0,8) g/dl dengan kisaran antara 5,6-10 g/dl. Rerata jumlah kebutuhan darah pra-splenektomi 357,2 (SB 101,2) ml/kgbb/tahun, pasca-splenektomi menurun menjadi 131,1 (SB 57,5) ml/kgbb/tahun. Sama halnya dengan jumlah kebutuhan darah, frekuensi transfusi darah pada semua subjek pasca-splenektomi mengalami penurunan. Rerata frekuensi transfusi darah pra-splenektomi 15 (SB 3,7) kali per tahun dengan kisaran antara 6-24 kali per tahun, pascasplenektomi menurun menjadi 8 (SB 3) kali per tahun dengan kisaran antara 0-14 kali per tahun. Frekuensi transfusi darah pada 5 subjek menjadi jarang (3-4x/ tahun) dari sebelumnya rutin 1x/bulan. Bahkan frekuensi transfusi darah pada 4 subjek menurun drastis dari setiap bulan menjadi setiap 6-12 bulan, ke-4 subjek tersebut didiagnosis sebagai thalassemia-β homozigot. Tabel 1. Profil rerata Hb pra-transfusi, jumlah kebutuhan darah, dan frekuensi transfusi darah pasien splenektomi berdasarkan hipersplenisme dini dan hipersplenisme lanjut Parameter Hb pra-transfusi (g/dl) Hipersplenisme dini (n=53) Hipersplenisme lanjut (n=45) 8,1 (SB 0,7) 6,6 (SB 0,9) 8,3 (SB 0,8) 5,8 (SB 0,7) 7,6 (SB 0,7) Nilai p 0,000* Kebutuhan darah (ml/kgbb/tahun) 333,8 (SB 96,1) 121,8 (SB 60,6) 384,7 (101,2) 142,0 (SB 52,3) 0,084* Frekuensi transfusi darah (kali/tahun) 14,3 (SB 3,7) 7,9 (SB 3,2) 15,8 (SB 3,6) 8,5 (SB 2,7) 0,207** Ket. Membandingkan keadaan pasca splenektomi * Uji-t tidak berpasangan ** Uji Mann-Whitney Tabel 2. Profil rerata Hb pra-transfusi, jumlah kebutuhan darah, dan frekuensi transfusi darah pasien splenektomi berdasarkan thalassemia-β dan thalassemia-β/hbe Parameter Hb pra-transfusi (g/dl) Thalassemia-β (n=62) Thalassemia-β/HbE (n=36) 6,2 (SB 0,9) 7,8 (SB 0,9) 6,3 (SB 1,0) Nilai p 0,132* Kebutuhan darah (ml/kgbb/tahun) 370,9 (SB 103,6) 144,1 (SB 60,8) 333,6 (SB 93,6) 108,6 (SB 43,6) 0,001* Frekuensi transfusi darah (kali/tahun) 15,5 (SB 3,7) 8,6 (SB 3,2) 14,1 (SB 3,6) 7,3 (SB 2,6) 0,011* Ket. Membandingkan keadaan pasca splenektomi * Uji-t tidak berpasangan ** Uji Mann-Whitney 246

Limapuluh tiga dari 98 subjek (54%) dilakukan splenektomi karena meningkatnya kebutuhan transfusi (hipersplenisme dini), sisanya 45 (46%) subjek karena sudah terjadi pansitopenia (hipersplenisme lanjut). Rerata Hb pra-transfusi subjek pasca-splenektomi, baik karena hipersplenisme dini maupun hipersplenisme lanjut, lebih tinggi dibandingkan pra-splenektomi. Demikian halnya dengan rerata jumlah kebutuhan darah dan rerata frekuensi transfusi darah yang menurun pasca-splenektomi dibandingkan prasplenektomi (Tabel 1). Hasil uji-t menunjukkan rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi antara subjek hipersplenisme dini berbeda secara bermakna dengan subjek hipersplenisme lanjut (p=0,000). Rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi subjek hipersplenisme dini (8,3 g/ dl) lebih tinggi dibandingkan subjek hipersplenisme lanjut (7,6 g/dl). Tidak ada perbedaan yang bermakna jumlah kebutuhan darah pasca-splenektomi antara kedua kelompok tersebut, dengan rerata kebutuhan darah pasca-splenektomi subjek hipersplenisme dini (121,8 ml/kgbb/tahun) lebih rendah dibandingkan subjek hipersplenisme lanjut (142 ml/kgbb/tahun) (p=0,084). Untuk analisis statistik frekuensi transfusi darah dilakukan dengan uji Mann-Whitney karena data tidak terdistribusi normal. Hasilnya didapatkan frekuensi transfusi darah pasca-splenektomi antara subjek hipersplenisme dini tidak berbeda secara bermakna dengan subjek hipersplenisme lanjut (p=0,207). Didapatkan 62 subjek (63,3%) adalah thalassemia-β dan sisanya (36,7%) adalah thalassemia-β/hbe. Secara umum subjek thalassemia-β dan thalassemia-β/hbe memperlihatkan adanya peningkatan rerata Hb pratransfusi serta penurunan jumlah kebutuhan darah dan frekuensi transfusi darah pasca-splenektomi (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan hanya jumlah kebutuhan darah dan frekuensi transfusi darah pasca-splenektomi yang berbeda secara bermakna antara subjek thalassemia-β dengan thalassemia-β/hbe. Jumlah kebutuhan darah subjek thalassemia-β/hbe (108,6 ml/kgbb/tahun) lebih rendah dari subjek thalassemia-β (144,1 ml/kgbb/tahun) (p=0,001). Frekuensi transfusi darah subjek thalassemia-β/ HbE (7x/tahun) juga lebih rendah dari subjek thalassemia-β (9x/tahun) (p=0,011). Sementara itu tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi antara subjek thalassemia-β dengan thalassemia-β/ HbE (p=0,132). Pembahasan Prevalensi splenektomi di Pusat Thalassaemia RSCM 13,7%, berbeda jauh dengan penelitian Hawsawi dkk 8 yang mendapatkan prevalensi splenektomi 32%. Indikasi splenektomi lebih banyak (54%) karena kebutuhan transfusi yang meningkat (hipersplenisme dini) dan sisanya (46%) karena sudah terjadi trombositopenia dan atau leukopenia (hipersplenisme lanjut). Menurut kepustakaan, indikasi splenektomi yang lebih sensitif adalah meningkatnya kebutuhan transfusi, 5 Hawsawi dkk (2001) 8 mendapatkan indikasi splenektomi yang terbanyak adalah kebutuhan transfusi yang meningkat (17/18). Perbedaan persentase ini dapat disebabkan sebagian besar subjek menunda atau tertunda karena tempat perawatan pra- dan pasca-operasi yang terbatas sampai akhirnya terjadi hipersplenisme lanjut. Penelitian Wolff dkk 9 menunjukkan splenektomi mampu meningkatkan rerata kadar Hb pra-transfusi. Walau demikian, splenektomi yang dilakukan dengan keadaan sudah hipersplenisme lanjut memberikan luaran lebih buruk. Peningkatan rerata Hb pratransfusi pasca splenektomi pasien hipersplenisme lanjut (7,6 (SB 0,6) g/dl) lebih rendah dibanding hipersplenisme dini (8,3(SB 0,8) g/dl) (p=0,000; IK 95% 0,392-1,010). Sedangkan untuk frekuensi transfusi darah dan jumlah kebutuhan darah tidak ada perbedaan yang bermakna antara keduanya. Rerata usia saat splenektomi 13 tahun dengan usia termuda 3 tahun. Pada pasien yang dilakukan splenektomi usia 3 tahun karena sudah terjadi trombositopenia dan leukopenia. Sampai saat ini subjek masih berobat secara teratur dan tidak pernah mengalami infeksi berat. Thalassemia International Federation menganjurkan usia untuk dilakukan splenektomi di atas 5 tahun. 6 Hal ini disebabkan fungsi organ lain belum sempurna dalam mempertahankan imunitas tubuh. Risiko terjadinya sepsis akan meningkat dua kali lipat jika splenektomi dilakukan pada usia kurang dari 4 tahun. 10 Apabila terpaksa dilakukan sebelum umur 4 tahun dianjurkan untuk dilakukan splenektomi parsial dengan tujuan 247

mengurangi tekanan mekanik akibat limpa yang membesar tetapi fungsi imunitasnya tetap ada. Namun ada 2 masalah pada splenektomi parsial ini, yaitu limpa dapat membesar kembali, besarnya volume limpa yang harus ditinggalkan di dalam rongga abdomen agar masih dapat berfungsi sebagai organ RES (reticulo endotel system). 6,11 Hal lain yang harus diperhatikan adalah memasti kan penghancuran sistem hematopoiesis terutama terjadi di limpa atau di organ RES lainnya seperti hati. Selain itu ada tidaknya limpa tambahan yang sering menyebabkan hasil operasi tidak sesuai dengan harapan. Idealnya untuk memastikan penghancuran sel darah terjadi di limpa atau organ RES lainnya seperti hati, sebelum operasi dilakukan pemeriksaan radiologis menggunakan radioisotop Cromium (Cr 51 ) guna melihat aktifitas organ RES terbesar dalam hal menghancurkan sistem hematopoiesis. 6 Idealnya saat merencanakan tindakan splenektomi diberikan vaksinasi terhadap hepatitis B, pneumokokus, dan H. influenza dalam kurun waktu 2 minggu sebelum atau 2 minggu sesudah tindakan operasi dilakukan. 6 Sayangnya hal ini belum dapat dilakukan karena biaya yang diperlukan cukup besar. Hal ini terlihat dari beberapa kasus asplenik yang reaksinya menjadi sangat berat bila mendapat infeksi, bahkan beberapa di antaranya meninggal dalam waktu singkat. Kemungkinan terjadi infeksi pasca-splenektomi menunjukkan sistem kekebalan limpa tetap utuh meskipun proses hemolitik terjadi terus menerus. 12 Penelitian kami juga memperlihatkan jumlah kebutuhan darah dan frekuensi transfusi darah subjek thalassemia-β/hbe pasca splenektomi lebih rendah dari subjek thalassemia-β. Sedangkan untuk kadar Hb pra-transfusi tidak ada perbedaan yang bermakna antara keduanya. Perbedaan keduanya mungkin disebabkan adanya kelainan genetik sehingga klinisnya juga berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahidiyat PA (2009) yang menyatakan splenektomi dapat dijadikan sebagai salah satu terapi untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah pada kasus thalassemia β/hbe. 13 Splenektomi tetap harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang mengingat risiko infeksi berat yang sering terjadi pasca-splenektomi. Umumnya splenomegali masif yang terjadi akibat transfusi yang tidak adekuat masih reversible. Untuk itu sebelum dilakukan splenektomi sebaiknya pasien diberikan transfusi yang adekuat untuk beberapa bulan dan kemudian dilakukan evaluasi ulang. Dengan demikian diharapkan ukuran limpa dapat mengecil sehingga operasi dapat ditunda. 6 Sebagai kesimpulan, terdapat perbedaan kebutuhan transfusi pasca-splenektomi berdasarkan jenis hipersplenisme dan genotip pasien. Kebutuhan transfusi berupa peningkatan hemoglobin, penurunan kebutuhan transfusi darah dan penurunan frekuensi transfusi darah pasca splenektomi akan lebih baik bila splenektomi dianjurkan pada keadaan hipersplenisme dini dan kasus thalassemia β/hbe. Daftar pustaka 1. Sofro ASM. Molecular pathology of the β-thalassemia in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Health 1995;26:5-8. 2. Lanni F, Gani RA, Widuri, Rochdiyat W, Verawaty B, Sukmawati, dkk. β-thalassemia and hemoglobin-e traits in Yogyakarta population. Dipresentasikan pada 11 th International Conference on Thalassaemia and Haemoglobinophaties & 13 rd International TIF Conference for Thalassaemia patients and parents. Singapore; 8-11 Oktober 2008. 3. Data Pusat Thalassaemia 2010. 4. Wahidiyat I, Wahidiyat PA. Genetic problems at present and their challenges in the future: Thalassemia as a model. Dipresentasikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XIII. Bandung; 4-7 Juli 2005. 5. Diunduh dari http://www.thalassemia.com/thal SOC_guide. pdf. Diakses tanggal 23 Oktober 2009. 6. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the clinical management of thalassemia. Thalassemia International Federation; 2000. 7. Al-Salem AH, Nasserulla Z. Splenectomy for children with thalassemia. Int Surg 2002;87:269-73. 8. Hawsawi ZMA, Hummaida TI, Ismail GA. Splenectomy in thalassemia major: Experience at Madina Maternity and Children s Hospital. Ann Trop Paed 2001;21:155-8. 9. Wolff JA, Sitarz AL, Von Hofe FH. Effect of splenectomy on thalassemia. Pediatrics 1960;26:674-8. 10. Rebulla P, Modell B. Transfusion requirements and effects in patients with thalassemia major. Lancet 1991;337:277-80. 11. Anis N, Subhan A. Splenectomy in thalassemia: A personal experience. J Surg 2006;22:205-7. 248

12. Smith CH, Erlandson ME, Stern G, Schulman I. The role of splenectomy in the management of thalassemia. Blood 1960;15:197-211. 13. Wahidiyat PA. Faktor-faktor pengubah manifestasi klinis thalassemia-β/hbe: Interaksi antara mutasi thalassemia-b, -α, polimorfisme XmnI- G γ, dan SNPs pada klaster gen globin-β [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2009. 249