PEMANFAATAN MONOLAURIN UNTUK MENINGKATKAN KEKEBALAN TUBUH KAMBING (Utilization of Monolaurin for Response Immunity in Goats) SIMON ELIESER 1, MERUWALD DOLOKSARIBU 1, FERA MAHMILIA 1, ANDI TARIGAN 1, ENDANG ROMJALI 1, R.M. ABDUL ADJID 2 dan TONY SUEBU 3 1 Lolit Kambing Potong, PO Box 1, Galang 2585, Medan 2 Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 3 Pengusaha ABSTRACT A Study of utilization of monolaurin for response immunity in goats was conducted at Lolit Kambing Potong Sei Putih. Sixteen of goats were used and grouped by growing weight in four groups. Each group was randomly assigned to one of the following treatments: 1) R-no monolaurin, 2) R1 monolaurin.25 g/head/dos, 3) R2-.5 g/head/dos and 4) R4-.75 g/head/dos. Data were collected every 2 weeks and analyzed through analysis of feces and blood using Completely Randomized Design or Duncan t multiple range test. Data analysis indicated that the utilization of monolaurin was significantly able to reduce the growing of worm larva (P<.5) compared to control (R). Dosage of monolaurin seemed to have no effects on hemoglobin content in the goat bloods. More monolaurin was given the content of eosinofil, neutrofil and lymposit were increasing in the blood and significantly different (P<.1) for all treatments compared to control. It was concluded that utilization of monolaurin in goats was able to increase blood leukosit content and reduced the number of warm larvae. The best result gained by utilizing.5 g/head/day. Key words: Goats, monolaurin, blood, immunity ABSTRAK Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan monolaurin dalam meningkatkan kekebalan tubuh kambing telah dilakukan di Stasiun Percobaan Lolit Kambing Potong Sei Putih. Penelitian menggunakan 16 ekor kambing dara dibagi menjadi 4 kelompok perlakukan. Masing-masing kelompok perlakuan diberikan monolaurin pada konsentrat dengan dosis: Ransum kontrol (R) tanpa monolaurin, R1 monolaurin =,25 g/ekor/hari, R2 =,5 g/ekor/hari, dan R3 =,75 g/ekor/hari. Pengambilan data melalui feses dan darah dari Vena jugularis dilakukan setiap 2 minggu sekali. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan model Rancangan Acak lengkap jika berbeda nyata diuji lanjut dengan Duncan s Multiple Range Test. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian monolaurin dapat menekan perkembangan larva cacing (P,5) dibanding dengan kontrol (R). Dosis pemberian monolaurine tidak menunjukkan perbedaan kandungan hemoglobin dalam darah antar kelompok perlakukan. Semakin tinggi dosis pemberian Monolaurine, jumlah sel darah putih (eosinofil, neutrofil dan lymposit) dalam darah. semakin meningkat dan menunjukkan perbedaan nyata pada (P,1) dibanding dengan perlakuan kontrol. Dari parameter-parameter data yang dianalisis dapat disimpulkan sementara bahwa pemberian monolaurin meningkatkan jumlah sel darah putih dan menekan perkembangan larva cacing dengan dosis pemberian yang paling baik adalah,5 g/ekor/hari. Kata kunci: Monolaurin, kambing, ketahanan tubuh, darah PENDAHULUAN Pada umumnya kambing di Indonesia dipeliharan petani ternak secara tradisional dengan skala kepemilikan yang relatif kecil. Populasi kambing di Indonesia masih lebih tinggi jika dibandingkan populasi domba yaitu sekitar 14 juta ekor (ANONIMOUS, 1995). Penurunan produksi ternak kambing yang diakibatkan oleh serangan beberapa penyakit terlihat sangat signifikan. Gangguan penyakit yang diakibatkan oleh parasit internal maupun 79
eksternal cukup dominan pada ternak kambing. Parasit internal yang sering menyerang kambing dan domba adalah nematode sedangkan parasit eksternal terutama Sarcoptes scabiei (tungau kudis). Berdasarkan hasil penelitian, serangan beberapa penyakit tersebut telah mengakibatkan pertumbuhan kambing dan domba di pedesaan terhambat sampai 38% (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1985; BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986) dengan mortalitas meningkat sampai 28% (HANDAYANI dan GATENBY, 1988). Usaha pengobatan terhadap penyakit tersebut biasanya dilakukan dengan memberikan obat-obatan anti parasiter. Namun, penggunaan obat-obatan tersebut di samping memiliki harga yang cukup mahal juga sulit mendapatkannya. Selain itu pemberian obat-obatan yang tidak terkontrol dapat menimbulkan terjadinya resistensi terhadap parasit tersebut. Apabila terjadi resistensi parasit yang tahan terhadap antelmintik akan membawa gen resisten (WALLER, 1993). Kejadian resistensi antelmintik sudah banyak dilaporkan (WALLER et al., 1996), di Malaysia (DORNY et al., 1993; RIDWAN et al., 2). Salah satu alternatif untuk meningkatkan daya tahan tubuh kambing terhadap serangan penyakit tersebut adalah dengan pemberian monolaurin. Monolaurin adalah monoglyserine yang didapatkan dari buah kelapa, yang berfungsi sebagai nutrien suplemen yang berfungsi untuk meningkatkan receptor tubuh dalam mendeteksi benda-benda (zat-zat) asing yang masuk ke dalam tubuh. Berdasarkan beberapa hasil penelitian monolaurin dapat meningkatkan aktivitas sistem kekebalan tubuh terhadap serangan beberapa jenis penyakit. Monolaurin dapat diproduksi dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan obat-obat kimia yang tersedia. Diharapkan dengan pemberian monolaurin dapat menurunkan penggunaan obat-obatan dan sekaligus dapat menekan kerugian akibat serangan penyakit pada ternak kambing. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Stasiun percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih menggunakan 16 ekor kambing dara yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakukan dengan 4 ekor ulangan. Monolaurin (bentuk tepung) dicampur dengan pakan konsentrat diberikan setiap hari kepada kambing yang telah ditempatkan dalam kandang individual. Dosis pemberian monolaurin setiap kelompok sebagai berikut: Kelompok R hanya diberikan pakan konsentrat tanpa monolaurin, Kelompok R1 diberikan monolaurin dengan dosis,25 g/ekor/hari, Kelompok R2 diberikan monolaurin dengan dosisi,5 g/ekor/hari, Kelompok R3 diberikan monolaurin dengan dosis,75 g/ekor/hari. Agar monolaurin yang diberikan habis dikonsumsi ternak setiap harinya, pemberian konsentrat ± 15 g yang telah dicampur monolaurin diberikan terlebih dahulu, setelah habis baru ditambahkan konsentrat kekurangannya yang tanpa monolaurin. Sebelum pemberian monolaurin setiap ekor kambing diperiksa larva cacing dalam tubuhnya melalui feses. Pengambilan data dilakukan setiap 2 minggu sekali melalui feses untuk mengetahui perkembangan larva cacing dan pengambilan darah melalui vena jugularis untuk mengetahui perkembangan sel darah putih. Sampel yang diambil kemudian dianalisis di Laboratorium. Data yang diambil dalam percobaan adalah: jumlah larva cacing, jumlah haemoglobin sel darah merah dan jumlah sel darah putih (eosinofil, neutrofil dan lymposit) Analisis statistik Data yang dikumpulkan dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan s Multiple Range Test (STELL dan TORRIE, 1986) HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah telur cacing Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ternak-ternak yang diberikan monolaurin perkembangan populasi telur cacing sangat 791
berfluktuasi. Pada awal penelitian, pada dosis pemberian monolaurine yang relatip rendah (perlakuan R1 dan R2) belum berpengaruh terhadap penurunan jumlah telur cacing, bahkan masih tampak adanya peningkatan jumlah telur cacing. Pada dosis pemberian monolaurin,75 g/hari/ekor (perlakuan R3), sudah menunjukkan adanya pengaruh monolaurine terhadap penurunan populasi telur cacing pada fesesnya. Hal ini erat kaitannya dengan kecepatan receptor sel darah putih khususnya eosinofil mengidentifikasi bendabenda asing yang masuk ke dalam tubuh kambing. Sesuai dengan yang diterangkan oleh BAGGISH (1996) bahwa eosinofil termasuk sel darah putih fagosit yang berfungsi membunuh sejumlah parasit yang bisa menginfeksi tubuh. Sebelum melakukan serangan sel darah putih harus mengenali benda-benda asing yang masuk ke tubuh terlebih dahulu melalui reseptor yang ada pada permukaannya. Monolaurin di sini berperanan dalam mengefektifkan kerja reseptor dalam mendeteksi benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh kambing. Semakin tinggi dosis pemberian monolaurin semakin cepat eosinofil mengidentifikasi benda-benda asing yang masuk dan semakin cepat membelah diri untuk melakukan serangan terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Sedang pada ternak yang tidak diberi monolaurin populasi cacing secara perlahan-lahan mengalami peningkatan. Tabel 1 dan Gambar 1 menyajikan laju penurunan jumlah telur cacing pada masing-masing kelompok perlakuan selama 22 minggu pengamatan. Tabel 1. Pengaruh pemberian monolaurine terhadap perkembangan jumlah telur cacing pada kambing selama 22 minggu pemberian monolaurin (butir/hari) Ulangan (n) R R1 R2 R3 Rataan 6,1 a -12,8 bc -2,1 c -7,6 b Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada P<,5 Dari data pada Tabel 1, tampak bahwa kambing yang tidak diberi monolaurine (perlakuan R = Kontrol) selama pengamatan 22 minggu mengalami peningkatan jumlah telur cacing sebesar 6,1 butir/ekor/hari, sedangkan kambing yang diberi monolaurine mengalami penurunan jumlah telur cacing masing-masing yang tertinggi pada perlakuan R2 sebesar 2,1 butir/ekor/hari diikuti oleh perlakuan R1 sebanyak 12,8 butir/ekor/hari dan penurunan jumlah telur cacing terendah terdapat pada perlakuan R3 sebesar 7,6 butir/ekor/hari. Secara statistik pemberian monolaurine berpengaruh nyata (P>,5) terhadap penurunan jumlah telur cacing pada kambing dibanding dengan yang tidak diberi. Secara angka tampak bahwa penurunan jumlah telur cacing pada perlakuan yang diberikan momaurin,5 g/ekor/hari (R2) lebih besar dan lebih stabil dibanding pada perlakuan R1 dan R3 (Gambar 1.) Hemoglobin sel darah merah Darah terdiri atas beberapa komponen yaitu, sel darah merah yang berfungsi mengantarkan oksigen ke seluruh tubuh bekerjasama dengan hemoglobin, serum yang yang menyebabkan sel-sel darah mengapung ketika darah mengalir melalui tubuh dan sel darah putih tertahan pada satu lapisan tipis berada diantara serum dan sel darah merah disebut buffy coat (BAGGISH, 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada pengaruh pemberian monolaurine terhadap kandungan hemoglobin dalam darah antar kelompok perlakuan. Namun secara angka tampak bahwa terjadi peningkatan kandungan hemoglobin dalam darah seiring dengan meningkatnya dosis pemberian monolaurin. Hal ini menunjukkan semakin baiknya distribusi oksigen keseluruh tubuh. Tabel 2 menyajikan kandungan haemoglobin darah merah pada masing-masing kelompok perlakuan selama 22 minggu pengamatan. Tabel 2. Rata-rata kandungan hemoglobin sel darah merah pada kambing selama 22 minggu pemberian monolaurine (g/dl/ekor ternak) Ulangan (n) R R1 R2 R3 Total Rataan 8,21 a 8,32 a 8,55 a 8,41 a 33,48 a Ns*) tidak berbeda nyata 792
Jumlah telur cacing (butir/ekor kambing) 4 35 3 25 2 15 1 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 Waktu pengamatan (per 2 minggu) Ro R1 R2 R3 Gambar 1. Pengaruh pemberian monolaurine terhadap perkembangan telur cacing pada kambing kacang Jumlah sel darah putih Sel darah putih merupakan tulang punggung sistem kekebalan tubuh, muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran dan memiliki banyak fungsi yang berbeda. Semua sel darah putih datang dari induk yang sama disebut sel stem yang ada di dalam sumsum tulang. Sel darah putih yang dihasilkan sel stem pada umumnya belum matang, yang kemudian berkembang hingga mencapai kedewasaan di berbagai bagian tubuh tergantung pada tipe sel darah puith yang ingin dihasilkan (BAGGISH, 1996). Sebelum melakukan serangan sel darah putih harus mengenali benda-benda asing yang masuk ke tubuh terlebih dahulu melalui reseptor yang ada pada permukaannya. Setelah benda asing terdeteksi, kemudian sel darah putih membelah diri menjadi banyak dan menghasilkan antibodi yang sama. Selanjutnya sel darah putih melabeli dengan antibodi benda asing yang masuk untuk menembus dinding sel benda asing tersebut dan menarik sel darah putih pemangsa. Dari hasil penelitian tampak bahwa semakin tinggi dosis pemberian monolaurine, menunjukkan pengaruh peningkatan jumlah kandungan sel darah putih pada darah kambing (P>,5) dibandingkan dengan kontrol. Kandungan sel darah putih untuk perlakuan R1 meningkat sebesar 3% (287,5 µl), perlakuan R2 mengalami peningkatan sebesar 17,79% (1647,92 µl) dan perlakuan R3 kandungan sel darah putihnya meningkat sebesar 19,15% (1774,6 µl) dibandingkan dengan perlakuan R (kontrol). Data kandungan sel darah putih dan perkembangannya pada masing-masing kelompok perlakukan ternak kambing selama 22 minggu pengamatan disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 2. Secara visual juga tampak bahwa semakin tinggi dosis pemberian monolaurin ternak kambingnya semakin sehat, terlihat dari warna bulu yang lebih mengkilat dan halus, sorot mata lebih jernih dibandingkan dengan kambing yang tidak diberi monolaurine. Hal ini diduga akibat meningkatnya aktivitas sel darah putih dalam memberantas bibit penyakit baik ecto maupun endoparasit (nematode) yang masuk kedalam tubuh kambing. Selanjutnya untuk mengetahui keadaan kandungan sel darah putih yang berkaitan dengan peningkatan kekebalan tubuh kambing, maka dalam penelitian ini diamati tiga parameter utama sebagai penunjang data penelitian yaitu Eosinofil, Neutrofil dan Monosit. BAGGISH (1996) menerangkan bahwa eosinofil termasuk sel darah putih fagosit yang berfungsi membantu tingkat keparahan reaksi alergi dan membunuh sejumlah parasit yang bisa menginfeksi tubuh. Netrofil juga termasuk sel darah putih yang bersifat fagosit dan biasanya 793
Tabel 3. Rataan jumlah sel darah putih pada kambing selama 22 minggu pemberian monolaurine (µl/ekor) Ulangan (n) R R1 R2 R3 Total Rataan 9262,5 a 955, a 191,42 b 1137,5 b 119,1 Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada P<,1 Jumlah sel darah putih (sel/ekor kambing) 18 16 14 12 1 8 6 4 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 Waktu pengamatan (per 2 minggu) Ro R1 R2 R3 Gambar 2. Pengaruh pemberian monolaurine terhadap kandungan sel darah putih pada kambing kacang sebelum masuk ke dalam darah mengalami proses pematangan dalam sumsum tulang. Infeksi bacterial umumnya ditanggulangi oleh produksi neutrofil dalam jumlah belimpah oleh sumsum tulang. Pada infeksi yang cukup parah produksi neutrofil belum cukup dan neutrofil yang belum matang meluap ke dalam aliran darah. Monosit merupakan sel darah putih yang berkembang dalam sumsum tulang sangat cepat dan akan merubah bentuk menjadi makrofak. Makrofak adalah sel darah putih berukuran jumbo yang berfungsi membunuh dan memakan bakteri atau sel-sel tua yang telah ditandai. Eosinofil Pemberian monolaurin berkorelasi positif dengan kandungan eosinofil pada butir darah putih. Semakin tinggi dosis pemberian monolaurin semakin tinggi kandungan eosinofil pada butir darah putih. Rataan kandungan eosinofil sel darah putih pada masing-masing kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata kandungan eosinofil pada sel darah putih kambing selama 22 minggu pemberian monolaurine.(µl/ekor) Ulangan (n) R R1 R2 R3 Total Rataan 177,8 217,61 333,62 381,86 277,54 Huruf yang bebrbeda menunjukkan perbedaan pada P<,1 Dari data pada Tabel 4 tampak bahwa kandungan eosinofil dalam darah putih yang paling rendah pada perlakuan kambing yang tidak diberi monolaurine (perlakuan R = kontrol = 177,8 µl/ekor) dan yang paling tinggi pada perlakuan R3 = 381,86 µl/ekor. Peningkatan kandungan eosinofil ternak perlakuan dibanding dengan kontrol masingmasing yaitu untuk R1 meningkat sebesar 22,88% (4,53 µl/ekor ), R2 meningkat sebesar 88,4% (156,54 µl/ekor) dan R3 meningkat sebesar 115,64% (24,78 µl/ekor). Secara statistik pemberian monolaurine berpengaruh sangat nyata (P>,1) terhadap peningkatan jumlah eosinofil dalam sel darah putih. Gambar 4 menampilkan perkembangan 794
kandungan eosinofil dalam darah putih ternak selama 22 minggu pengamatan. Netrofil Rata-rata kandungan neutrofil dalam sel darah putih, juga mengalami peningkatan sesuai dengan dosis pemberian monolaurine pada ternak perlakuan (Tabel 5). Peningkatan ini secara statistik berpengaruh sangat nyata (P<,1) dibanding yang tidak diberi monolaurine (perlakuan R = kontrol). Tabel 5. Rata-rata kandungan neutrofil dalam sel darah putih pada kambing selama 22 minggu pemberian monolaurine (%/ekor) Ulangan (n) A B C D Total Rataan 19,5 a 37,33 b 37,79 b 44,83 b 34,75 Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan pada P<,1 Kandungan eosinofil (sel/ekor kambing) 1.2 1.8.6.4.2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 Waktu pengamatan (per 2 minggu) Gambar 3. Pengaruh pemberian monolaurine terhadap kandungan eosinofil pada kambing Kacang 6 Kandungan neutrofil darah 5 4 3 2 1 Ro R1 R2 R3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 Waktu pengamatan (Per 2 minggu) Gambar 4. Pengaruh pemberian monolaurine terhadap kandungan neutrofil pada kambing Kacang 795
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan neutrofil dalam sel darah putih paling tinggi pada perlakuan R3 = 44,83% kemudian diikuti perlakuan R2 = 37,79%, perlakuan R1 = 37,33% dan yang paling rendah kandungan neutrofil dalam darah putih adalah perlakuan kontrol (R) = 19,5%. Bila dihitung peningkatan kandungan neutrofil dalam darah putih pada masing-masing perlakuan yaitu; untuk R1 meningkat sebesar 18,28 µl (95%), R2 menigkat sebesar 18,71 µl (98%) dan R3 meningkat sebesar 25,78 µl (135%). Sedangkan perlakuan kontrol (R) mengalami penurunan kandungan neutrofil dalam sel darah putih sebesar 15,7 butir (45%). Untuk lebih jelasnya Gambar 4 menampilkan perkembangan kandungan neutrofil dalam sel darah putih selama 22 minggu pengamatan. Limfosit Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian monolaurine berpengaruh sangat nyata (P<,1) terhadap peningkatan kandungan lymposit dalam sel darah putih kambing. Peningkatannya sesuai atau berkorelasi positif dengan peningkatan dosis pemberian monolaurine. Kandungan limfosit dalam sel darah putih kambing, masing-masing kelompok perlakuan mulai dari yang terendah adalah sebagai berikut: perlakuan R = 19,5%; R1 = 49,29%; R2 = 56,75% dan yang paling tinggi perlakuan R3 = 66,63%. Jika dibanding dengan perlakuan kontrol pemberian monolaurin meningkatkan kandungan lymposit dalam darah putih untuk perlakuan R1 meningkat sebesar 158,46%, R2 meningkat sebesar 197,58% dan R3 meningkat sebesar 249,39%. Tabel 6 dan Gambar 5 menampilkan rataan dan perkembangan kandungan lymposit dalam darah putih masing-masing kelompok perlakuan selama 22 minggu pengamatan. Tabel 6. Rata-rata kandungan lymposit dalam sel darah putih pada kambing selama 22 minggu pemberian monolaurine (%) Ulangan (n) A B C D Total Rataan 19,5 a 49,29 b 56,75 b 66,63 b 47,93 Huruf yang bebrbeda menunjukkan perbedaan pada P<,1 Kandungan lymposit (sel /ekor kambing) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 Waktu pengamatan (Per 2 minggu) Ro R1 R2 R3 796
KESIMPULAN DAN SARAN Pemberian monolaurine dapat meningkatkan daya tahan tubuh kambing terhadap serangan penyakit melalui peningkatan aktifitas sel darah putih, dibanding dengan kontrol. Secara tidak langsung pemberian monolaurine dapat menekan perkembangan cacing (parasit usus) dalam tubuh ternak kambing. Dosis monolaurine sebesar,5 g/hari/ekor memberikan pengaruh lebih tinggi dibanding dosis,25 g/hari/ekor dan tidak berbeda nyata dengan dosis,75 g/hari/ekor. Penggunaan monolaurine dengan dosis,5 g/hari/ekor dapat\direkomendasikan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ternak kambing dan mencegah parasit cacing. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih mendalam penggunaan monolaurin kaitannya dengan sekresi zat kekebalan tubuh pada kambing dan efektivitasnya dalam memberantas parasit lainnya seperti penyakit skabies yang sering menyerang kambing. DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS. 1995. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. BAGGISH, J.M.D. 1996. Bagaimana Sistem Kekebalan Tubuh Anda Bekerja. PT Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia Jakarta. BERIAJAYA and P. STEVENSON. 1985. The effect of anthelmintic treatment on the weght gain of village sheeps. Proc. 3 rd AAAP Animal Science Congress. 1: 519 521. BERIAJAYA and P. STEVENSON. 1986. Reduced productivity in small ruminant in Indonesia as a result of gastrointestinal nematode infections. In: Livesstock Production and Deseases in the Tropics. M.R. JAINUDEEN, M. MAHYUDDIN and J.E. HUHN (EDS.). Proceedings of 5 th Conference Institute Tropical Veterinery Medicine, Kuala Lumpur, Malaysia. DORNY, P., E. CLAREBOUT, J. VERCRUYSSE, A. JALILA and R. SANI. 1993. Benzimidazole resistance of Haemonchus contortus in goats in Malaysia. Vet. Rec. 133: 423 424. HANDAYANI, S.W and R.M. GATENBY. 1988. Effects of Management system, legume feeding and anthelmintic treatment on the performance of lambs in North Sumatra. Trop. Anim. Hlth and Prod. 2: 122 128. RIDWAN, Y., F. SATRIJA., E.B. RETNANI and R. TIURIA. 2. Haemonchus contortus resistant to albendazole on sheep farm in Bogor. Abstract in International Conference on Soil Transmitted Helminth Control and Workshop on Indonesian Association of Parasitic Disease Control. Bali, February 21 24, 2. WALLER, P.J. 1993. Control strategies to prevent resistance. Vet. Parasitol. 46: 133 142. WALLER, P.J, F. ECHEVARRIA, C EDDI, S. MACIEL, A. NARI and J.W. HANSEN. 1996. The prevalence of anthelmintic resistance in nematode parasite of sheep in Southern Latin America: General Overview. Vet. Parasitol. 62: 181 187. 797