HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji. Breed (jumlah sel somatis/ml) No Kuartir IPB-1

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengkaji hubungan higiene dan sanitasi berbagai lingkungan peternakan dan

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkandangan merupakan segala aspek fisik yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang diperoleh dari hasil seleksi

BAB I PENDAHULUAN. baik sekali untuk diminum. Hasil olahan susu bisa juga berbentuk mentega, keju,

BAB I PENDAHULUAN. Ambing merupakan alat penghasil susu pada sapi yang dilengkapi suatu

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. terletak di propinsi Jawa Barat. Batas wilayah kelurahan Cipageran yaitu :

HASIL DAN PEMBAHASAN. (1) Sebelah Utara: Kabupaten Purwakarta dan Subang. (2) Sebelah Timur: Kabupaten Sumedang dan Garut

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Yani dan Purwanto (2006) dan Atabany et al. (2008), sapi Fries Holland

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DIDUGA AKIBAT INFEKSI DI DESA GONDOSULI KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNG

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Pengetahuan Peternak. Pengetahuan merupakan keseluruhan gagasan, ide, konsep, pemahaman dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Malabar, Gunung Papandayan, dan Gunung Tilu, dengan ketinggian antara 1000-

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU GIZI

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. rumah responden beralaskan tanah. Hasil wawancara awal, 364

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Desa Sukajaya merupakan salah satu desa sentra produksi susu di Kecamatan

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Wilayah Kerja KSU Tandangsari. Tanjungsari No. 50, Desa Jatisari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo. Terdiri dari 18 Kecamatan, 191 Desa, dan 14 Kelurahan. Letak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. yang tergabung pada TPK Cibodas yang berada di Desa Cibodas, Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

disusun oleh: Willyan Djaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Keadaan umum daerah penelitian meliputi, keadaan administratif daerah,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

Lampiran 1 Kuesioner Tatalaksana Kesehatan Peternakan Sapi Perah Rakyat di KTTSP Baru Sireum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA POUCOWPANTS TEMAN SETIA PENELITI ILMU NUTRISI DALAM PENGUMPULAN FESES BIDANG KEGIATAN : PKM-KARSA CIPTA

BAB I PENDAHULUAN. bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

1) Pencarian dan sewa lahan yang digunakan untuk tempat penggemukan sapi. BAB V RENCANA AKSI. 5.1 Kegiatan

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Studi Sanitasi Dan Pemeriksaan Angka Kuman Pada Usapan Peralatan Makan Di Rumah Makan Kompleks Pasar Sentral Kota Gorontalo Tahun 2012

BAB II KAJIAN PUSTAKA...

BAB XII PEMERAHAN TERNAK RIMINANSIA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dimulai dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, Milking

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang tinggi seperti protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin lainnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. oleh makhluk lain misalnya hewan dan tumbuhan. Bagi manusia, air diperlukan untuk

HIGIENE DAN SANITASI SARANA PP - IRT

PENDAHULUAN. Latar Belakang. bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Peningkatan kebutuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organisation) pada tahun 2014,

Sanitasi Penyedia Makanan

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Administratif Daerah

LEMBAR KUESIONER UNTUK PENJAMAH MAKANAN LAPAS KELAS IIA BINJAI. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan

Transkripsi:

24 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Karakteristik peternak pemasok susu segar industri keju yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi pendidikan, lama beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan yang pernah didapatkan (Tabel 2). Tabel 2 Karakteristik peternak di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju Variabel Jumlah (%) Pendidikan terakhir SD 4 40 SMP 3 30 SMA 0 0 PT 3 30 Lama beternak 1-5 tahun 4 40 5-10 tahun 2 20 >10 tahun 4 40 Mendapatkan pelatihan Ya 5 50 Tidak 5 50 Umur <30 tahun 1 10 30-50 tahun 8 80 >50 tahun 1 10 Selama pengambilan kuesioner terdapat 10 peternak sebagai responden. Hampir sebagian responden (40%) berpendidikan sekolah dasar (SD). Para peternak yang memiliki tingkat pendidikan rendah kemungkinan besar usaha peternakan yang dimiliki bersifat turun temurun, dan peternakan sapi perah merupakan usaha utama yang dimiliki. Pendidikan merupakan hal yang penting dalam pengelolaan peternakan, karena berperan dalam pola berpikir, kemampuan belajar, dan taraf intelektual (Juliani 2011). Peternak yang memiliki tingkatan ilmu lebih tinggi dapat mengajarkan dan memberikan contoh kepada peternak yang memiliki latar pendidikan yang lebih rendah. Pada umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka proporsi tindakan baik dari responden akan semakin tinggi, namun pendidikan bukan menjadi faktor utama dalam

25 meningkatkan produktivitas sapi perah, karena peternak yang berpendidikan tinggi belum tentu menggunakan ilmunya dalam hal pemeliharaan ternak. Pengalaman beternak merupakan lamanya waktu peternak melakukan usaha peternakan. Hanya sekitar 20% responden beternak selama 5-10 tahun. Peternak baru (1-5 tahun) merupakan peternak yang melanjutkan usaha peternakan keluarga. Pengalaman beternak merupakan hal yang sangat penting, karena salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan usaha sapi perah adalah pengalaman beternak. Pengalaman beternak dapat mempengaruhi kemampuan kerja seorang peternak. Peternak yang sudah berpengalaman dapat mengatasi dengan baik masalah-masalah dalam peternakan (Juliani 2011). Pelatihan dan penyuluhan dalam peningkatan produktivitas sapi perah sangat bermanfaat. Sebagian besar (50%) peternak tidak pernah mendapatkan penyuluhan atau pelatihan mengenai manajemen peternakan yang baik dan benar. Penyuluhan dan pelatihan sangat berpengaruh terhadap kemajuan usaha peternakan. Peternak yang tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang memadai dalam memahami permasalahan, memikirkan pemecahannya, atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka, dapat teratasi dengan mengikuti penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan yang didapatkan oleh peternak diharapkan dapat menambah ilmu mengenai tata laksana pemeliharaan yang baik dan benar, dan peran pemerintah sangat diperlukan dalam hal ini. Menurut Achjadi (1985) kegiatan penyuluhan melalui tatap muka langsung dengan peternak di lapangan diharapkan dapat mengurangi kesenjangan komunikasi yang timbul sehubungan dengan pemeliharaan ternak, kasus penyakit ternak, sistem informasi dan lain sebagainya. Rentang umur responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu <30 tahun, 30-50 tahun, dan >50 tahun. Dari hasil pengamatan dapat dinyatakan bahwa umumnya peternak sapi perah yang diamati memiliki usia produktif (90%) berada pada usia di bawah 50 tahun. Havighurst (1974) yang diacu dalam Nurliana (1999) menyatakan bahwa terdapat periode sensitif dari umur seseorang untuk belajar pada umur tertentu. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara umur seseorang dengan kemampuan intelektualnya karena umur seseorang berkaitan erat dengan wawasan yang dimiliki.

26 Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Keberhasilan usaha peternakan sapi perah sangat bergantung dari keterpaduan langkah terutama di bidang pembibitan (breeding), pakan (feeding), dan tata laksana (management). Manajemen peternakan sapi perah terdiri dari manajemen pemeliharaan, manajemen kandang, manajemen kesehatan, manajemen pemerahan pasca panen, manajemen reproduksi, dan manajemen pemasaran (Nurdin 2011). Dalam penelitian ini hanya dibahas mengenai praktik manajemen pemeliharaan yang terdiri atas sanitasi kandang dan lingkungan, sanitasi air dan peralatan pemerahan, tata laksana pemerahan, serta manajemen kesehatan ternak. Sanitasi Kandang dan Lingkungan Aspek sanitasi kandang dan lingkungan yang diamati meliputi frekuensi pembersihan alas kandang, frekuensi pembersihan halaman sekitar kandang, jarak pembuangan limbah dari kandang, dan penanganan kotoran ternak (Tabel 3). Tabel 3 Kondisi sanitasi kandang dan lingkungan di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju Variabel Jumlah (%) Frekuensi pembersihan alas kandang dua kali per hari 10 100 Frekuensi pembersihan halaman sekitar kandang Setiap hari 1 10 Dua hari sekali 4 40 Satu minggu sekali 1 10 Satu bulan sekali 4 40 Jarak pembuangan limbah dari kandang (<15 meter) 10 100 Penanganan kotoran ternak (open dumping) 10 100 Kondisi sanitasi peternakan dapat mencerminkan manajemen pemeliharaan dan cara peternak menjaga kebersihan kandang. Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa seluruh responden (100%) membersihkan alas kandang dua kali sehari. Mayoritas (40%) peternak membersihkan halaman kandang tiap dua hari sekali dan satu bulan sekali. Dibanding dengan ternak yang lain, sapi perah memerlukan tingkat kebersihan dan sanitasi yang lebih tinggi, karena susu mudah sekali

27 menyerap bau. Disamping itu, kandang yang kotor juga merupakan sarana yang sangat baik untuk perkembangan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit, mikroorganisme dari kandang yang kotor dapat mengontaminasi susu melalui udara, dan feses. Alasan tersebut yang mendasari bahwa kandang dan lingkungan sekitarnya harus selalu bersih agar susu yang diproduksi mempunyai kualitas yang baik pula (Sunarko et al. 2009). Kandang yang bersih membuat sapi nyaman, dan peternak betah bekerja di kandang (Budi et al. 2006). Tempat pembuangan limbah juga berperan terhadap timbulnya penyakit pada sapi perah, misalnya mastitis. Seluruh responden (100%) membuang limbah tidak jauh dari kandang peternakannya (<15 meter). Limbah peternakan berupa kotoran ternak langsung disalurkan ke ladang yang digunakan sebagai pupuk kandang untuk budidaya rumput gajah, dan terletak tidak jauh dari kandang. Jarak yang terlalu dekat antara tempat pembuangan limbah dengan kandang akan menyebabkan lingkungan kandang menjadi kotor, dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini akan menyebabkan bakteri tumbuh subur dan bermigrasi ke kandang sehingga setiap saat dapat menimbulkan kejadian mastitis subklinis. Tumpukan limbah peternakan akibat kondisi saluran pembuangan yang tidak baik atau tidak lancar akan menyebabkan gangguan terhadap lingkungan antara lain berupa bau busuk dan berkembangnya serangga (Sudarwanto 1999 diacu dalam Winata 2011). Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa seluruh peternak (100%) membuang kotoran ternak dengan menimbunnya di atas permukaan tanah atau open dumping. Penanganan kotoran yang buruk dapat meningkatkan terjadinya mastitis (radang ambing), hal ini disebabkan oleh lingkungan sekitar kandang menjadi kotor sehingga mikroorganisme-mikroorganisme patogen tumbuh subur dan dapat bermigrasi ke kandang dan menginfeksi sapi perah. Menurut Sutarti et al. (2003) dengan tempat pembuangan limbah yang baik, maka sapi yang terkena mastitis 0.52 kali lebih kecil dibandingkan yang kotor. Tata Laksana Pemerahan Tata laksana pemerahan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan variasi produksi susu. Tata laksana pemerahan yang baik dapat meningkatkan

28 produksi susu yang dihasilkan. Tata laksana pemerahan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju tersaji dalam Tabel 4. Tabel 4 Manajemen pemerahan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju Variabel Jumlah (%) Periode pemandian sapi sebelum diperah (dua kali sehari) 10 100 Membersihkan ambing sebelum diperah 10 100 Cara membersihkan ambing Tidak dilap 5 50 Kadang-kadang 5 50 Melakukan Teat dipping setelah pemerahan 1 10 Teknik pemerahan Strip hand 3 30 Whole hand 2 20 Kombinasi 5 50 Menggunakan pelicin saat pemerahan 9 90 Urutan pemerahan Acak 8 80 Sehat ke sakit 2 20 Seluruh responden (100%) memandikan sapinya dua kali sehari sebelum diperah. Kebiasaan memandikan sapi dua kali sehari akan merangsang produksi susu. Sapi yang dimandikan dua kali sehari akan menghasilkan susu lebih banyak dari yang dimandikan satu kali atau yang tidak dimandikan sama sekali (Sudarwanto 1999 diacu dalam Winata 2011). Kotoran-kotoran yang berasal dari alas kandang, tanah, feses, epitel yang telah gugur, dan kotoran-kotoran lainnya biasa melekat pada tubuh sapi. Selama proses pemerahan kotoran-kotoran tersebut dapat jatuh dari perut, ekor, lipat paha, dan ambing sapi ke dalam ember susu. Kotoran-kotoran semacam ini biasanya mengandung banyak bakteri dan tentu saja akan mengotori sekaligus mencemari susu. Menurut Hunderson (1971) yang diacu dalam Hartono (1992) sebaiknya sapi dimandikan sekurang-kurangnya sekali dalam sehari.

29 Sebanyak 100% peternak membersihkan ambing sebelum diperah, namun sebagian responden (50%) membersihkan ambing tanpa dilap. Puting sapi yang dibersihkan sebelum dan setelah diperah akan mencegah kejadian mastitis subklinis dibandingkan dengan yang tidak dibersihkan. Menurut Hunderson (1971) yang diacu dalam Hartono (1992) susu yang dihasilkan dari ambing yang bersih dan puting yang dicuci dengan antiseptik serta dikeringkan akan menghasilkan mikroorganisme sebesar 2 154 cfu/ml, tetapi bila ambing tidak dicuci akan ada mikroorganisme sebesar 17 027 cfu/ml. Ambing dapat dibersihkan menggunakan larutan NaClO dengan konsentrasi 1.5-2 ppm dan pada konsentrasi ini susu tidak terkontaminsasi bau dari larutan. Umumnya (90%) peternak tidak melakukan teat dipping setelah pemerahan. Membersihkan ambing sebelum pemerahan, pemeriksaan pancaran sekresi pertama, membersihkan puting sebelum pemerahan dan melakukan terapi kering kandang merupakan usaha dalam mengendalikan mastitis subklinis selain dengan melakukan teat dipping (Sudarwanto 1999 diacu dalam Winata 2011). Seluruh responden (100%) memerah dengan tangan, sebanyak 20% peternak menggunakan metode whole hand, 30% peternak menggunakan metode strip hand, dan 50% peternak menggunakan metode kombinasi antara strip hand dan whole hand. Teknik pemerahan whole hand dapat menghasilkan susu lebih banyak, mengurangi pencemaran mikroorganisme, dan mengurangi perlukaan puting. Perlukaan puting merupakan predisposisi terjadinya mastitis (Sudarwanto 1998). Menurut Sunarko et al. (2009) ada dua cara pemerahan menggunakan tangan yang biasa digunakan, tergantung ukuran pada kondisi puting besar atau puting kecil dan pendek. 1. Pemerahan dengan seluruh jari tangan (whole hand) Biasanya dilakukan pada ambing yang mempunyai bentuk puting panjang dan besar. Pemerahan dilakukan dengan cara puting dipegang antara ibu jari dengan jari telunjuk pada pangkal puting menekan dan meremas pada bagian atas, sedangkan ketiga jari yang lain meremas bagian tubuh puting secara berurutan, hingga susu memancar keluar dan dilakukan sampai susu dalam ambing habis.

30 2. Pemerahan dengan dua jari sambil menarik puting (strip methode) Cara ini sering dilakukan pada sapi-sapi yang mempunyai bentuk puting kecil yaitu dilakukan dengan memijat puting oleh ibu jari dan jari telunjuk pada pangkal puting dan diurutkan ke arah ujung puting sampai susu memancar keluar. Berdasarkan kedua metode tersebut, maka pemerahan dengan seluruh jari tangan adalah yang terbaik. Pemerahan dengan cara ini mudah untuk dilakukan dan tidak merusak bentuk puting, tidak perlu menggunakan minyak untuk memperlicin pemerahan. Kebanyakan peternak lebih menyukai teknik strip methode dengan alasan lebih nyaman dan mudah dalam pengerjaannya, namun cara ini lebih sering menimbulkan perlukaan ambing yang dapat berdampak terjadinya mastitis. Sebanyak 90% responden menggunakan bahan pelicin pada saat memerah, dan 10% responden tidak menggunakan bahan pelicin pada saat memerah. Hampir seluruh peternak menggunakan vaselin atau mentega dengan alasan untuk mempermudah pemerahan. Penggunaan vaselin sebagai alat pelicin dan digunakan secara bersama-sama untuk semua sapi pada peternakan merupakan faktor predisposisi munculnya mastitis subklinis, selain itu vaselin atau pelicin merupakan sumber kontaminasi khususnya cendawan. Hidayat et al. (2002), yang diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama pemerahan jangan menggunakan vaselin karena vaselin akan menutupi permukaan puting, bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), penularan penyakit sulit dihindari. Delapan puluh persen (80%) responden melakukan pemerahan susu secara acak, sedangkan 20% responden memerah susu dari sapi sehat ke sapi yang sakit. Pemerahan yang baik adalah memerah sapi dari yang sehat ke sakit, agar tidak terjadi infeksi silang dari sapi sakit ke sehat yang menyebabkan sapi sehat menjadi sakit. Sebelum pemerahan perlu melakukan pembersihkan kandang, memandikan sapi, membersihkan ambing dan penyediaan sarana pemerahan. Setelah kegiatan tersebut dilakukan pemerahan awal yaitu dengan mengeluarkan 1-2 pancaran susu untuk mengetahui adanya perubahan pada susu dan merangsang pengeluaran susu. Pemerahan harus dilaksanakan dua kali sehari untuk mencegah mastitis, setelah selesai memerah puting pada ternak harus langsung disucihamakan dengan

31 menggunakan larutan disinfektan. Kemudian susu disaring dari ember pemerahan ke milkcan untuk membersihkan susu dari bulu atau kotoran yang masuk kedalam susu (DITJENNAK 2012). Manajemen Kesehatan Manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi perah. Manajemen kesehatan sapi perah di peternakan pemasok susu segar industri keju tersaji dalam Tabel 5. Tabel 5 Manajemen kesehatan dan pemeliharaan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju Variabel Jumlah (%) Memisahkan sapi yang sedang sakit 2 20 Memisahkan sapi yang sedang bunting 1 10 Memisahkan sapi yang baru datang 1 10 Kepadatan ternak (Baik) 10 100 Manajemen kesehatan sapi perah termasuk faktor yang sangat berkaitan dengan kejadian penyakit pada peternakan sapi perah. Mayoritas (80%) responden tidak melakukan pemisahan sapi yang sedang sakit. Sapi yang sedang sakit biasanya akan diobati oleh paramedis atau dokter hewan, namun kebanyakan peternak mengobati sendiri dengan ilmu yang telah didapat secara turun-temurun. Menurut Tim Penyuluh (2000) menyatakan bahwa pengendalian penyakit perlu dilakukan dengan vaksinasi secarta berkala, pemisahan dan pengobatan bagi sapi yang sakit, agar sapi yang sehat tidak tertulari mikroorganisme dari sapi yang sakit. Sembilan puluh persen (90%) responden tidak memisahkan sapi yang sedang bunting dengan sapi tidak bunting. Pemisahan sapi yang sedang bunting dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keguguran. Menurut Gunawan et al. (2011) tindakan pencegahan terhadap keguguran antara lain: 1. Pengelolaan sapi dengan pemisahan kandang per individu. 2. Hindari lantai kandang yang licin.

32 3. Hindari sapi bunting makan pakan beracun atau pakan berkadar estrogen tinggi. 4. Dilakukan vaksinasi terutama pada sapi berumur 4-6 bulan. Sapi yang baru datang hendaknya dikarantina pada suatu kandang terpisah, dengan tujuan untuk memonitor adanya gejala penyakit tertentu yang tidak diketahui pada saat proses pembelian. Hampir semua (90%) responden tidak melakukan pemisahan sapi yang baru datang. Hal ini memungkinkan terjadinya perpindahan penyakit dari sapi baru ke sapi lama atau sebaliknya. Seluruh responden (100%) kepadatan ternaknya baik. Populasi sapi dalam satu kandang yang terlalu padat (overcrowding) meningkatkan tingkat kontaminasi dan mempengaruhi tingkat kebersihan kandang secara umum. Bakteri koliform sebagai salah satu dari penyebab diare yang paling umum membutuhkan feses untuk memperpanjang siklus perkembangbiakannya. Kepadatan populasi sapi dalam satu kandang yang tinggi mempermudah proses infeksi oleh bakteri koliform (Wibowo 1992). Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air Air memegang peranan penting dalam mewujudkan sanitasi peternakan yaitu untuk minum, mandi, dan mencuci, maka diperlukan air bersih dan sehat dalam jumlah cukup. Air yang digunakan untuk mencuci peralatan, minum dan mandi sapi berasal dari sumur bor dan disalurkan melalui pipa paralon ke kandang. Di kandang, air ditampung pada bak penampung yang terbuat dari plastik. Gambaran sanitasi peralatan pemerahan dan air tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Sanitasi peralatan dan air di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju Variabel Jumlah (%) Sumber Air (Sumur) 10 100 Kecukupan air Tersedia terus menerus 6 60 Kurang 4 40 Frekuensi pembersihan tempat pakan dan minum Setiap hari 2 20 Dua hari sekali 5 50 Dua kali per hari 3 30 Membersihkan peralatan tanpa sabun 7 70 Membersihkan peralatan tanpa disinfektan 9 90

33 Seratus persen (100%) responden menyatakan bahwa air yang digunakan untuk pemeliharaan sapi perah berasal dari sumur. Sebanyak 60% responden memiliki kecukupan air terus menerus, dan 40% responden kecukupan airnya kurang. Sapi perah yang sedang laktasi memerlukan tingkat kebersihan yang lebih baik agar susu yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik pula. Terutama pada waktu akan mengadakan pemerahan, kandang dan peralatan harus dibersihkan terlebih dahulu sebab susu mudah sekali menyerap bau-bauan dan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Alasan ini yang menyebabkan diperlukan air yang cukup banyak untuk penyediaan air minum, memandikan sapi, membersihkan kandang dan peralatan pemerahan (Sunarko et al. 2009). Sebagian (50%) responden membersihkan tempat pakan dan tempat minum setiap dua hari sekali. Kebersihan tempat pakan dan minum juga dapat mempengaruhi tingkat pencemaran mikroorganisme penyebab penyakit pada sapi perah, hal ini disebabkan oleh mikroorganisme dapat tumbuh subur pada daerah yang tidak bersih, dan menyebar sangat cepat. Sebaiknya pembersihan tempat pakan dan minum dilakukan dua kali sehari, untuk mencegah berkembangnya mikroorganisme patogen. Seluruh responden (100%) membersihkan peralatan perah setiap hari. Mayoritas (70%) responden tidak menggunakan sabun dalam membersihkan peralatan perah. Kebersihan peralatan yang dipakai khususnya ember penampung hasil perahan sangat mempengaruhi kebersihan dan kesehatan susu. Peralatan yang kotor akan mencemari susu sehingga mempercepat proses pembusukan, dan susu menjadi asam atau rusak. Dengan demikian ember untuk menampung susu harus benar-benar bersih dan higienis (Handayani & Purwanti 2010). Sebanyak 90% responden tidak menggunakan disinfektan dalam membersihkan peralatan perah. Peternak di lapangan kebanyakan tidak pernah menggunakan disinfektan, hal ini disebabkan pemikiran peternak tentang residu yang dihasilkannya atau bau disinfektan yang akan mencemari susu. Disinfektan dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati.

34 Tingkat Pengetahuan Responden Pengetahuan mengenai mastitis subklinis dapat digunakan untuk mengetahui manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan peralatan, sanitasi kandang, kesehatan dan pemeliharaan hewan, serta pemerahan susu) yang dilakukan oleh peternak, hal ini disebabkan oleh mastitis subklinis biasanya sangat dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa responden yang memiliki indeks pengetahuan mastitis subklinis tergolong baik (skor 79-100%), yakni 40%. Sedangkan responden yang memiliki indeks pengetahuan cukup (skor 56-78%), dan kurang (skor <56%) masing-masing sebesar 20%, dan 40% (Tabel 7). Tabel 7 Pengetahuan responden terhadap mastitis Indeks pengetahuan Jarak skor Jumlah (%) Baik 79-100% 4 40 Cukup 56-78% 2 20 Kurang <56% 4 40 Pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan sapi perah merupakan bagian yang penting untuk menghasilkan produksi susu yang tinggi. Peternak rakyat umumnya memelihara sapi perah berdasarkan pengetahuan dari orang tuanya, penyuluhan dari dinas terkait dan informasi dari koperasi atau dengan cara memperhatikan pemeliharaan yang dilakukan oleh sesama peternak. Pengetahuan, sikap dan praktik seharusnya berjalan sinergis karena terbentuknya perilaku baru akan dimulai dari pengetahuan yang selanjutnya akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap dan akan dibuktikan dengan adanya tindakan atau praktik agar hasil dan tujuan menjadi optimal sesuai yang diharapkan. Akan tetapi, pengetahuan dan sikap tidak selalu akan diikuti oleh adanya tindakan atau praktik (Notoatmodjo 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh responden mengetahui tentang mastitis, namun tidak semua responden mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan mastitis. Oleh karena itu sangat diperlukan penyuluhan disertai peragaan tentang faktor-faktor yang menyebabkan mastitis, misalnya cara

35 membersihkan peralatan pemerahan, penanganan susu setelah diperah, dan pengetahuan mengenai kesehatan masyarakat veteriner. Praktik Manajemen Pemeliharaan Praktik manajemen pemeliharaan yang diamati dalam penelitian kali ini adalah sanitasi kandang dan lingkungan, sanitasi air dan peralatan pemerahan, tatalaksana pemerahan, serta manajemen kesehatan. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa responden yang memiliki praktik manajemen pemeliharaan tergolong baik (skor >49), yakni 10%. Sedangkan responden yang memiliki praktik manajemen pemeliharaan cukup (skor 42-48), dan kurang (skor <41) masing-masing sebesar 30%, dan 60% (Tabel 8). Tabel 8 Praktik manajemen pemeliharaan Tingkat praktik Skor Jumlah (%) Baik >49 1 10 Cukup 42-48 3 30 Kurang <41 6 60 Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwa mayoritas praktik manajemen pemeliharaan responden tergolong kurang. Hal ini dapat disebabkan oleh peternak kurang memperhatikan mengenai manajemen pemeliharaan yang baik dan benar, meliputi sanitasi kandang dan lingkungan, sanitasi air dan peralatan pemerahan, tata laksana pemerahan, serta manajemen kesehatan. Hasil Uji Mastitis Subklinis dengan Metode Tidak Langsung IPB-1 Mastitis Salah satu ancaman penyakit yang menghambat populasi dan produktivitas ternak sapi di Indonesia adalah mastitis. Mastitis adalah peradangan jaringan interna ambing atau mamae, mastitis dibagi menjadi subklinis dan klinis, mastitis subklinis ditandai dengan kenaikan jumlah sel somatis (>400 000/ml) (Lukman et al. 2009). Kondisi tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi peternak yang berupa penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, kematian sapi, adanya residu antibiotik pada susu, dan meningkatnya biaya pengobatan dan tenaga kerja.

36 Berdasarkan uji mastitis subklinis yang dilakukan seluruh responden (100%) ternaknya positif terkena mastitis subklinis. Hal ini dapat diakibatkan karena mayoritas responden praktik manajemen pemeliharaan (sanitasi kandang dan lingkungan, sanitasi air dan peralatan pemerahan, manajemen kesehatan, serta manajemen pemerahan) yang dimiliki tergolong buruk. Menurut Winarso (2008) ada tiga faktor utama penyebab terjadinya mastitis yang dikenal sebagai tiga biosistem yaitu ternak sapi (bangsa sapi, sifat herediter, kepekaan individu ternak), lingkungan (pengelolaan oleh manusia, pakan, dan iklim), dan agen penyebab (misalnya bakteri), serta pemerahan yang tidak tuntas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh peternak melakukan pembuangan kotoran open dumping, pembuangan limbah yang dilakukan secara open dumping berisiko menimbulkan mastitis subklinis, karena lingkungan kandang menjadi kotor sehingga mikroorganisme akan menjadi tumbuh subur dan dapat bermigrasi ke kandang. Hal tersebut juga memungkinkan terjadinya kontaminasi pada air yang digunakan untuk membersihkan ambing, sehingga mikroorganisme penyebab mastitis dapat menyebar ke semua populasi sapi yang ada di kandang. Menurut Sutarti et al. (2003) sumber air berasosiasi positif terhadap kejadian mastitis subklinis, artinya semakin baik kualitas air yang digunakan maka risiko terkena mastitis subklinis akan semakin kecil. Sumber air yang digunakan oleh peternak (100%) berasal dari sumur, kandungan mikroorganisme air sumur lebih sedikit daripada air sungai karena telah melewati proses peresapan oleh tanah yang dapat mengurangi kontaminasi mikroorganisme. Kejadian mastitis subklinis yang tinggi kemungkinan disebabkan akibat ketersediaan air yang kurang, sehingga kebutuhan air untuk memandikan sapi, mencuci ambing, dan mencuci peralatan pemerahan sangat terbatas. Kualitas susu yang dihasilkan dipengaruhi oleh kesehatan ternak. Sapi perah yang menderita penyakit menular dapat memindahkan penyakitnya ke manusia melalui susu. Oleh karena itu, tata laksana yang baik sangat diperlukan untuk mencegah hal tersebut. Kasus mastitis subklinis dapat dicegah dengan melakukan terapi kering kandang, namun dari hasil observasi diperoleh informasi tidak semua sapi dilakukan terapi kering kandang. Hal ini berarti pada kebuntingan tujuh bulan

37 ke atas sapi tidak diberikan antibiotik atau pengobatan pada masa kering kandang, dan hal ini sangat berisiko menimbulkan mastitis subklinis. Manajemen pemerahan yang dilakukan secara tidak benar akan mengakibatkan jumlah susu yang keluar berkurang, dan bila pemerahan dilakukan tidak sampai habis akan berakibat ambing mudah mengalami peradangan (mastitis). Hasil observasi yang dilakukan di lapangan memperlihatkan mayoritas peternak tidak membersihkan wadah penampung susu dengan disinfektan dan peralatan susu hanya dibersihkan dengan air. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kejadian mastitis karena mikroorganisme patogen dapat tumbuh subur. Penggunaan pelicin juga merupakan predisposisi terjadinya mastitis. Hidayat et al. (2002), yang diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama pemerahan tidak diperbolehkan menggunakan vaselin karena vaselin akan menutupi permukaan puting, bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), penularan penyakit sulit dihindari. Responden dalam penelitian ini merupakan peternak pemasok susu segar industri keju, sehingga apabila sapi terkena mastitis subklinis akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas susu. Hal ini berdampak terhadap produksi keju yang dihasilkan. Rendahnya kualitas susu pada umumnya disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri terutama bakteri patogen. Jumlah bakteri yang meningkat dapat disebabkan oleh faktor sanitasi lingkungan yang buruk, peralatan yang kurang bersih, kandang yang kotor, dan higiene pemerahan yang buruk. Susu yang berasal dari sapi mastitis subklinis akan mengalami perubahan fisik. Perubahan yang terjadi pada susunan susu tersebut dapat menyebabkan pecahnya susu saat dipanaskan atau rasa susu menyingkir (tidak normal) (Lukman et al. 2009). Banyak penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui dampak mastitis subklinis terhadap kualitas susu dan produk olahannya seperti keju. Menurut Klei et al. (1998) diacu dalam Mazal et al. (2007) hasil keju yang diperoleh dengan susu positif mastitis subklinis menjadi berkurang kualitasnya. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian yang dapat menentukan secara tepat berapa jumlah sel somatis yang dapat menyebabkan perubahan pada keju. Jumlah sel somatis yang tinggi menyebabkan penurunan jumlah kasein yang

38 merupakan bahan utama keju. Jumlah sel somatis yang tinggi juga dapat menyebabkan penurunan usia susu dan peningkatan kelembaban keju. Setiap kenaikan 100 000 jumlah sel somatis/ml akan memiliki dampak negatif pada keju (NMC 1991). Menurut Barbano et al. (1991) peningkatan jumlah sel somatis dapat menyebabkan peningkatan waktu koagulasi keju dan penurunan tingkat kekerasan keju. Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa mastitis subklinis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatis dapat menyebabkan penurunan kualitas keju. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Manajemen Pemeliharaan Pada bagian ini akan dibahas kekuatan hubungan atau korelasi antara karakteristik responden (umur, pendidikan, lama beternak, pengalaman mendapatkan penyuluhan atau pelatihan) dan pengetahuan mengenai mastitis subklinis terhadap praktik manajemen pemeliharaan. Tabel 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik manajemen pemeliharaan dari peternak Peubah Karakteristik peternak Umur Pendidikan Lama beternak Pengalaman mendapatkan penyuluhan atau pelatihan Pengetahuan Keterangan: * )nyata pada taraf (α<0.05) Koefisien korelasi 0.891 0.199 0.731 * 0.884 * 0.252 Para peternak umumnya kurang memiliki bekal mengenai praktik manajemen pemeliharaan yang baik dan benar sehingga berpengaruh buruk terhadap usaha pengembangan ternak. Peternak harus dapat menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik, besarnya peternakan, sapi-sapi yang berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk hijauan dan pemasaran yang baik untuk meningkatkan usaha peternakan yang dimiliki.

39 Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa umur tidak berhubungan dengan praktik manajemen pemeliharaan. Hasil ini bertentangan dengan pendapat Havighurst (1974) yang diacu dalam Nurliana (1999) menyatakan bahwa terdapat periode sensitif dari umur seseorang untuk belajar pada umur tertentu. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara umur seseorang dengan kemampuan intelektualnya karena umur seseorang berkaitan erat dengan wawasan yang dimiliki. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara umur dengan praktik manajemen pemeliharaan, hal ini disebabkan peternak dengan usia muda yang seharusnya lebih dapat menerima informasi lebih banyak, namun peternak tidak pernah mendapatkan penyuluhan dan pelatihan sehingga informasi tidak didapatkan, dan lebih berpedoman terhadap pengetahuan yang diberikan secara turun-temurun. Hal ini menyebabkan kemampuan praktik manajemen pemeliharaan yang dimiliki masih kurang. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan dengan praktik manajemen pemeliharaan. Dengan kata lain, pendidikan yang dimiliki oleh peternak sebagai responden bukan merupakan variabel diskriminatif yang dapat menunjukkan perbedaan praktik manajemen pemeliharaan antara individu. Menurut Lionberger (1960) diacu dalam Nurliana (1999) hubungan antara jumlah tahun sekolah dan adopsi praktik peternakan ada secara tidak langsung, kecuali pada kasus dimana seseorang mempelajari khusus tentang praktik baru tersebut di sekolah. Pendidikan responden tidak berhubungan nyata dengan praktik manajemen pemeliharaan karena pendidikan yang dimiliki tidak berkaitan dengan manajemen pemeliharaan, atau para peternak yang berpendidikan rendah lebih banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai praktik manajemen pemeliharaan yang baik dan benar atau sebaliknya. Lama beternak responden dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu rendah (1-5 tahun), sedang (5-10 tahun), dan tinggi (>10 tahun). Hasil penelitian memperlihatkan terdapat korelasi positif yang signifikan antara lama beternak responden dengan praktik manajemen pemeliharaan. Dengan demikian, terdapat kecenderungan bahwa semakin lama responden beternak, maka praktik manajemen pemeliharaan yang dimiliki oleh peternak akan semakin tinggi pula. Hal ini seperti yang dikemukakan Mosher (1981) diacu dalam Nurlina dan Alim

40 (2009) bahwa manusia dapat belajar dari pengalamannya, demikian pula peternak dapat belajar dari pengalaman beternak pada masa yang lalu. Dalam konteks penelitian ini, pengalaman dapat menjadi media proses pembelajaran yang efektif dalam menumbuhkan praktik manajemen pemeliharaan. Penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan non formal yang ditunjukkan dengan cara-cara mencapai sesuatu dengan memuaskan. Terdapat korelasi signifikan antara pengalaman mendapatkan penyuluhan dan pelatihan dengan praktik manajemen pemeliharaan sapi perah dalam penelitian ini. Dengan kata lain, semakin banyak penyuluhan yang pernah diikuti responden semakin baik praktik manajemen pemeliharaan sapi perah. Penyuluhan dapat merubah perilaku (pengetahuan, sikap, dan praktik) seseorang untuk menghadapi permasalahan yang ada, sehingga dengan adanya penyuluhan dan pelatihan diharapkan dapat menambah pengetahuan peternak mengenai manajemen peternakan yang baik dan benar dan menerapkannya dalam kehidupan nyata untuk meningkatkan produktivitas ternak (Sembada 2012). Penelitian ini memperoleh data bahwa pengetahuan dan praktik manajemen pemeliharaan tidak berhubungan nyata. Peternak umumnya memiliki pengetahuan yang cukup memadai mengenai syarat-syarat pemerahan yang baik, meliputi pemeriksaan terhadap penyakit, kesehatan ternak, kebersihan sapi yang akan diperah, namun dalam sehari-hari kebanyakan kegiatan pemerahan tidak sesuai dengan faktanya. Peternak mengetahui tentang mastitis subklinis dan cara pengendaliannya, namun dalam kehidupan nyata faktor-faktor yang dapat menyebabkan mastitis subklinis tidak dihindari sehingga kasus mastitis subklinis tetap tinggi.