Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tabel 2 Ketimpangangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah masih belum terselesaikan

TUJUAN 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan

C. ANALISIS CAPAIAN KINERJA

DISPARITAS KEMISKINAN MASIH TINGGI - SEPTEMBER 2012

DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. bagian utama untuk suatu Negara yang ingin maju dan ingin menguasai

ANALISIS ANAK TIDAK SEKOLAH USIA 7-18 TAHUN

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan merupakan rangkaian kegiatan dari programprogram

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Grafik 3.2 Angka Transisi (Angka Melanjutkan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ringkasan Eksekutif

B. PRIORITAS URUSAN WAJIB YANG DILAKSANAKAN

TAMAN KANAK-KANAK Tabel 5 : Jumlah TK, siswa, lulusan, Kelas (rombongan belajar),ruang kelas, Guru dan Fasilitas 6

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan Siswa Madrasah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor utama bagi pengembangan. sumber daya manusia. Karena pendidikan diyakini mampu meningkatkan

Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur an(tpq) Tahun Pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan secara formal dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis.

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor penyebab..., Rika Aristi Cynthia, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang

Perbaikan Kualitas Belanja Bidang Pendidikan Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas SDM

C UN MURNI Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI MADIUN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

KAJIAN ANGGARAN PENDIDIKAN. Oleh: KANTOR STAF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dapat dikatakan sebagai sebuah kebutuhan bagi setiap orang,

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Kata Pengantar

BAB II KONDISI UMUM PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Bab 6 INDIKATOR KINERJA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR. A. Tujuan dan Sasaran Strategis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sensitif menghadapi era globalisasi. Oleh karena itu, pendidikan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

RINGKASAN EKSEKUTIF LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 66/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2010

KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 7 Oktober 2015

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

BAB I PENDAHULUAN. negara. Bangsa yang terdidik dan sehat akan menjadi pekerja yang lebih produktif

PENETAPAN KINERJA BUPATI TEMANGGUNG TAHUN ANGGARAN 2014 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET (Usia 0-6 Tahun)

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan yang harus dihadapi. Melalui pendidikanlah seseorang dapat memperoleh

Analisis Deskriptif Pendidikan RA dan Madrasah Tahun Pelajaran

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

HASIL PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA AKREDITASI SEKOLAH/MADRASAH PROVINSI PAPUA BARAT TAHUN 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

PENGARUS UTAMAAN GENDER DAN PROGRAM DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR TAHUN 2012 BATAM, 29 NOVEMBER 2012

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR

BAB I PENDAHULUAN. berketrampilan serta berdaya saing yang dibutuhkan dalam menghadapi

ISU-ISU STRATEGIS. 3.1 Analisis Situasi Strategis

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

DATA MENCERDASKAN BANGSA

INFOGRAFI PENDIDIKAN Tahun 2011/2012 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN TAHUN 2013

Pendidikan merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan

Hasil Ujian Nasional 2016 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan

Antar Kerja Antar Lokal (AKAL)

Pada akhir 2027 (Otonomi Khusus), Aceh akan menerima lebih dari Rp 650 T

Risalah Kebijakan (POLICY BRIEF)

2017, No Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017 (Lembaran Negara Republik Indon

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

KATA PENGANTAR DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara.

PELAKSANAAN BLOCK GRANT DI KEMENDIKBUD DAN DANA ALOKASI KHUSUS PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. negara karena dari sanalah kecerdasan dan kemampuan bahkan watak bangsa di masa

TAHUN 2016 HASIL PENGOLAHAN DAN ANALISISDATA AKREDITASI SEKOLAH/MADRASAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

TREND DAN ESTIMASI ANGGARAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA BIDANG PENDIDIKAN DI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

Transkripsi:

Cluster 1 Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Oleh: Jumono, Abdul Waidil Disampaikan pada kegiatan Simposium Pendidikan 23 Febuari 2015 Ki Hadjar Dewantara: Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya. [Pusara, Januari 1940] Pendidikan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 Pasal 31 (1) dan (2) menyatakan bahwa warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karena itu, pendidikan harus bisa diakses dan dijangkau oleh semua warga negara, melampaui berbagai kendala seperti fisik, mental, jenis kelamin, ekonomi, geografis, dan sosial. Negara memiliki mandat untuk memastikan bahwa semua hambatan tersebut bisa dikikis sehingga pendidikan bisa diakses dan dijangkau semua warga negara. Selama Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, akses pendidikan telah dibuka sampai 9 tahun melalui program Wajib Belajar. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menginisiasi program wajib belajar 12 tahun melalui program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Meskipun belum sepenuhnya terlaksana, wajib belajar 12 tahun merupakan sebuah kemendesakan agar kualitas pendidikan kita menjadi semakin baik dan pendidikan menjadi pintu bagi pemberdayaan dan pemberi harapan baru bagi anak-anak Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu cara agar peserta didik semakin berdaya dan memiliki harapan baru di masa depan. Pendidikan dipandang sebagai investasi strategis sekaligus kunci untuk meraih perubahan, termasuk perubahan tingkat kesejahteraan ekonomi dan meningkatkan derajat sosial bagi keluarga kurang mampu. Pendidikan memang bukan segala-galanya. Namun, pendidikan memiliki dampak jangka panjang karena menjadi awal sebuah akses ke berbagai sektor kehidupan yang lain. Pendidikan memungkinkan seseorang memperoleh pekerjaan, mengembangkan dan mengekspresikan diri, dan menjalin komunikasi sosial yang lebih luas. Melalui pendidikan, area hidup akan menjadi lebih lebar dan memberi kesempatan lebih banyak bagi kehidupan berikutnya. Tiadanya akses pendidikan menyebabkan lingkungan kehidupan menjadi terasa lebih sempit. Tanpa pendidikan, ada banyak keputusan hidup yang demikian penting bisa salah diambil, seperti pernikahan di usia dini. Penyebab utama pernikahan dini 1 adalah pendidikan yang rendah. Pernikahan yang dilangsungkan dalam usia sangat muda menjadi salah satu mata rantai bagi kemiskinan berkelanjutan, rendahnya harapan masa depan pasangan pernikahan, sekaligus rendahnya kualitas generasi masa depan buah pernikahan tersebut. Akses pendidikan yang terus menerus dan semakin tinggi kualitasnya menjadi demikian penting karena memberi harapan dan pilihan hidup yang lebih leluasa. Menyediakan akses 1 Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2012) menunjukkan bahwa sebanyak 1,4 juta (12,8%) dari 10,7 juta remaja perempuan Indonesia (usia 15-19 tahun) telah menikah. Dari jumlah tersebut, sekitar 642 ribu (0,6% dari jumlah remaja perempuan) sudah bercerai.

pendidikan setinggi-tingginya dan seluas-luasnya bagi warga negara harus menjadi salah satu prioritas pelayanan negara. 1.1. Kondisi Akses Pendidikan 12 Tahun Saat Ini Pasal 6 (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberi batasan pendidikan dasar sekaligus sebagai wajib belajar berada dalam rentang usia 7-15 tahun (wajib belajar 9 tahun tingkat SD sampai SMP). Kebijakan tersebut melanjutkan upaya yang telah dilakukan oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1994 yang menekankan Wajib Belajar 9 Tahun. Tantangan persaingan global membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni dan mampu bersaing. Kualitas SDM yang berdaya saing tentu saja tidak mungkin didapatkan dari lulusan setingkat SMP. Oleh karena itu, akses pendidikan harus ditingkatkan, minimal 12 tahun wajib belajar atau setingkat lulusan SMA. Lulus SMA, tentu saja bukanlah jaminan keberhasilan dalam persaingan, melainkan menjadi tahap awal pencapaian derajat pendidikan yang lebih tinggi. Kenaikan level tersebut dipandang sangat penting. Akses pendidikan yang kita butuhkan adalah sampai 12 tahun atau minimal rentang usia 7-18 tahun (saat usia anak-anak selesai). Situasi akses pendidikan 12 tahun pada saat ini bisa dilihat dari kenyataan-kenyataan berikut ini. Pertama, tingkat akses pendidikan untuk level SMA (usia 16-18 tahun) masih dinilai kurang bagus, karena di bawah standar minimal. Pemerintah harus serius melakukan intervensi untuk mendorong anak usia SMA/MA agar bisa sekolah. Alat ukur pemerataan dan akses pendidikan adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) yang menunjukkan berapa jumlah semua yang sudah memperoleh pendidikan dibandingkan dengan jumlah penduduk di suatu daerah. Persentase 85 persen adalah nilai minimal untuk menunjukkan tingkat akses pendidikan yang baik. Pada Tahun Ajaran 2012/2013, APK tingkat SD/MI adalah sebesar 115,88 persen, SMP/MTs sebesar 100,16 persen, sedangkan SMA/MA adalah sebesar 78,19 persen. Usia Jumlah Penduduk Jumlah Siswa APK Penduduk Bersekolah Tidak Sesuai Usia Sekolah/ Belum Sekolah Jumlah Siswa Menurut Usia APM 7 12 26.040.407 30.175.181 115,88% 4.134.774 24.922.926 95,71% 13 15 12.775.079 12.796.074 100,16% 20.995 10.019.344 78,43% 16 18 12.569.500 9.828.067 78,19% 2.741.433 7.321.529 58,25% Total 51.384.986 52.799.322 102,75% 6.897.202 42.263.799 82,25% Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, APM-APK 2012/2013, 2013, diolah Selain APK masih rendah, data dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) secara nasional juga menunjukkan rendahnya APS terutama di level usia 16-18 tahun. APS menunjukkan cakupan pelayanan pendidikan setiap kelompok usia sekolah dan menggambarkan jumlah anak kelompok usia tertentu yang sedang sekolah tanpa membedakan jenjang sekolah yang ditempuh.

Data berikut menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi sekolah penduduk pada usia 7-18 tahun pada Tahun Ajaran 2010/2011 sampai 2012/2013. 2011 2012 2013 7-12 13-15 16-18 7-12 13-15 16-18 7-12 13-15 16-18 97,62 87,99 57,95 98,02 89,76 61,49 98,42 90,81 63,84 Kedua, jumlah anak putus sekolah dan lulusan tidak melanjutkan masih sangat besar. Pada Tahun Ajaran 2012/2013, tidak termasuk yang sekolah agama, sebanyak 352.673 siswa SD (1,28%), 134.824 siswa SMP (1,44%), dan 167.262 siswa SMA/SMK (2,13%) mengalami putus sekolah. Demikian pula siswa yang tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sebanyak 1.070.259 lulusan SD tidak melanjutkan ke SMP (24,68%), sebanyak 40.000 siswa lulusan SMP tidak melanjutkan ke SMA/SMK, dan sebanyak 1.303.768 lulusan SMA/SMK tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. No. Keterangan Jenjang Pendidikan 1 Putus Sekolah SD SMP SMA/SMK Jumlah 352.673 siswa 134.824 siswa 167.262 Persentase 1,28% 1,44% 2,13% 2 Lulusan Tidak Melajutkan SMP SMA/SMK PT Jumlah 1.070.259 40.000 1.303.768 Persentase 24,68% 1,38% 53,23% Sumber: Kemendikbud, 2013, diolah Ketiga, kita masih memiliki angka buta huruf yang sangat besar, terutama pada usia di atas 15 tahun, di dalamnya adalah termasuk angkatan kerja produktif. Dalam kurun 3 tahun (2011-2013), anak-anak rentang usia sebelum 15 tahun memiliki angka buta huruf berkisar antara 5,46-7,56%. Sedangkan usia di atas 45 tahun memiliki angka buta huruf yang sangat besar dari 18,15% tahun 2011 menjadi 15,15% pada tahun 2013. Di atas usia 45 tahun tentu di dalamnya adalah angkatan kerja produktif.

Persentase IKATAN MAHASISWA PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH INDONESIA 60 Angka Buta Huruf 50 40 30 20 10 0 Angka Buta Huruf10 th + 5,46 6,08 6,28 7,03 6,8 7,56 Angka Buta Huruf15 th + 2,31 2,03 1,61 Angka Buta Huruf15-44 th 15,15 17,17 18,15 Angka Buta Huruf45 th + 2013 2012 2011 Keempat, secara umum jumlah murid laki-laki dan perempuan menunjukkan keseimbangan jender, kecuali tingkat SMK. Jumlah siswa di SD, SMP dan SMA, ketiganya menunjukkan rentang persentase siswa laki-laki seimbang antara 49-51,5% dan rentang siswi perempuan antara 48,5-51%. Posisi yang masih tampak timpang adalah di SLB dan SMK. Di kedua sekolah tersebut, jumlah lakilaki tampak mencolok atau dominan dibanding jumlah siswi perempuan. Di SLB, sebanyak 58,47% adalah siswa laki-laki dan 41,53% siswi perempuan. Sedangkan di SMK, sebesar 62,47% adalah siswa laki-laki dan sisanya (37,53%) adalah siswi perempuan. Keseimbangan Siswa 2012/2013 Laki-laki Perempuan 48,5 49,28 51 37,53 51,5 50,72 49 62,47 SD SMP SMA SMK Sumber: Kemendikbud, 2013, diolah Kelima, setidaknya 3 provinsi berada di bawah garis rata-rata APK dan APM Nasional di level SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Dari 34 provinsi, capaian APK dan APM dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA menunjukkan beberapa provinsi yang tetap dalam posisi di bawah rata-rata nasional. Ada

yang berada di bawah rata-rata nasional pada tingkat pendidikan SD/MI saja, SMP/MTs, SMA/MA saja, dan ada yang dua di antaranya berada di bawah rata-rata nasional. Daerah yang berada di bawah rata-rata nasional di tingkat SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua dan Papua Barat. Ketiga daerah tersebut berada di bawah rata-rata nasional dan posisi disparitasnya demikian besar dibanding dengan daerah yang lain. Yang agak mengagetkan adalah Jawa Barat. APK dan APM tingkat SMP/MTs dan SMA/MA berada di bawah rata-rata nasional. Di NTT, ada 3 daerah yang masuk dalam kategori sangat rendah APK dan APM-nya, yaitu Kabupaten Belu, TTS, dan Sikka. APK ketiganya berkisar 71 persen. Di Papua, ada setidaknya ada 7 kabupaten dengan APK berkisar antara 72-73 persen. Dan yang paling rendah adalah Kabupaten Nduga yang memiliki APK SMP/MTs hanya di angka 58 persen. Sedangka di Papua Barat, Kabupaten Sorong, Teluk Bintuni, dan Kaimana merupakan 3 daerah yang paling disorot karena memiliki APK berkisar antara 57-64 persen. Untuk tingkat SMP/MTs dan SMA/MA ada banyak daerah yang perlu diwaspadai karena tingkat APK/APM-nya yang sangat rendah, termasuk di daerah padat penduduk seperti Jawa Barat. Rupanya daerah Jawa seperti Jawa Barat yang berpenduduk paling banyak di antara provinsi se- Indonesia, sekitar 46 juta (19% dari jumlah penduduk Indonesia), APK SMP/MTs di angka 95,25% (di bawah rata-rata nasional 100,16% dan APM sebesar 74,82% di bawah rata-rata nasional 78,43%. Demikian pula di level SMA/MA, angkanya jauh di bawah rata-rata nasional dan sekaligus jauh di bawah standar minimal APK 85%, APK-nya hanya 70,54% dan APM 53,28%. Dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat, yang tampak APK/APM-nya paling rendah adalah di Kabupaten Sukabumi, Indramayu, dan Bogor. Padahal ketiganya adalah daerah padat penduduk di Jawa Barat. Selain Jawa Barat, beberapa provinsi lain, seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Banten juga menunjukkan APK-APM di tingkat SMP/MTs dan SMA/MA yang berada di bawah rata-rata nasional. Data Provinsi dengan APK/APM berada di bawah rata-rata nasional, 2012/2013 di jenjang SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. No. Provinsi SD/MI SMP/MTs SMA/MA APK=115,88 APM=95,71 APK=100,16 APM=78,43 APK=78,19 APM=58,25 01 Aceh 107,16 89,69 02 Maluku 109,92 92,05 03 NTB 110,68 92,56 04 NTT 117,99 93,63 83,30 66,98 66,69 49,96 05 Gorontalo 114,29 93,83 91,93 70,61 06 Papua 114,24 91,18 82,07 62,91 66,68 46,37 07 Papua Barat 111,39 89,69 81,23 63,31 56,49 43,93

08 Sulawesi Barat 110,12 90,89 95,27 73,61 09 Jawa Barat 95,25 74,82 70,54 53,28 10 Sumatera Selatan 94,39 74,36 11 Kalimantan Barat 88,05 68,83 61,91 46,02 12 Kalimantan Tengah 88,56 68,03 13 Kalimantan Selatan 90,88 69,44 68,59 48,51 14 Sulawesi Tengah 91,62 71,77 70,16 52,31 15 Banten 96,08 74,46 16 Jawa Tengah 73,05 53,25 17 Lampung 64,35 48,64 Keenam, masih sedikit jumlah sekolah inklusif, yang memasukkan penyandang disabilitas sebagai siswa yang sepadan dengan non penyandang disabilitas. Menurut perhitungan WHO, 10 persen penduduk adalah penyandang disabilitas. Dengan demikian, penyandang disabilitas di Indonesia adalah sekitar 24 juta orang (10 persen dari total jumlah penduduk Indonesia). Menurut data PUSATIN dari Kementerian Sosial (2010), jumlah penyandang disabilitas Indonesia adalah 11,5 juta orang, sebanyak 3,4 juta adalah penyandang disabilitas penglihatan, 3 juta penyandang disabilitas fisik, 2,5 juta penyandang disabilitas pendengaran, 1,4 juta penyandang disabilitas mental, dan 1,15 juta adalah penyandang disabilitas kronis. Dari jumlah penduduk, sekitar 1,94% (sekitar 4,5 juta) penduduk antara 0-14 tahun adalah penyandang disabilitas. Sementara ini, para penyandang disabilitas bersekolah pada lembaga-lembaga Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berjumlah 2.456 buah (2012/2013) dengan jumlah siswa sebanyak 89.223 siswa. Sementara lembaga pendidikan pada umumnya tidak menerima para penyandang disabilitas sebagai siswanya. Data tersebut menunjukkan demikian besar penyandang disabilitas tidak bisa mengikuti pendidikan formal. Ketujuh, sekolah swasta merupakan penyelenggara pendidikan formal dengan jumlah yang sangat mencolok dibanding lembaga pendidikan negeri sebagai pendukung akses pendidikan 12 tahun. Dari 2.456 buah SLB, 1.787 buah (72,8%) di antaranya adalah milik swasta. Di level SD, sebagian besar sekolah adalah milik negara. Di tingkat SMP, jumlah antara swasta dan negeri hampir berimbang. Sementara di tingkat SMA apalagi SMK, terbesar penyelenggara pendidikan adalah swasta. Lembaga pendidikan swasta tersebar kepemilikannya di antara organisasi-organisasi kemasyarakatan berbasis agama sampai kepemilikan oleh perusahaan. No. Jenjang Pendidikan Sekolah/ Lembaga Siswa Baru Siswa/ Mahasiswa

1 SLB 2,456 19,762 89,223 Negeri 669 5,043 27,220 Swasta 1,787 14,719 62,003 2 SD 148,272 3,874,695 26,769,680 Negeri 133,874 3,463,351 24,217,828 Swasta 14,398 411,344 2,551,852 3 SMP 35,527 3,266,002 9,653,093 Negeri 22,325 2,464,609 7,312,390 Swasta 13,202 801,393 2,340,703 4 SMA 12,107 1,399,050 4,272,860 Negeri 5,978 958,903 2,869,468 Swasta 6,129 440,147 1,403,392 5 SMK 10,673 1,464,371 4,189,519 Negeri 2,841 543,676 1,570,226 Swasta 7,832 920,695 2,619,293 Kedelapan, pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menampung banyak sekali santri yang tidak terdaftar dalam lembaga pendidikan formal, karenanya tidak mendapat tunjangan pembiayaan pendidikan dari negara. Mereka berada dalam rentang usia 7-18 tahun, tetapi mereka tidak mendapatkan tunjangan dari negara disebabkan tidak termasuk dalam daftar sekolah formal SD-SMA atau MI-MA. Padahal mereka juga bersekolah karena mengaji setiap hari. 1.2. Faktor Faktor Akses Pendidikan Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap akses pendidikan penduduk. Pertama, dari segi ekonomi, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pendidikan, menyebabkan orang kesulitan terlibat dalam proses pendidikan, terutama bagi keluarga miskin dan hampir miskin. Kesulitan ekonomi bukan hanya terkait dengan biaya bersekolah, melainkan juga biaya personal siswa seperti kebutuhan transportasi, seragam, sepatu dan alat tulis. Hampir semua daerah yang mengalami kondisi APK-APM kecil merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Kedua, dari segi geografis, Indonesia memiliki 17 ribu pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan sebagian berada di daerah terpencil, pedalaman, hutan, dan gunung. Kondisi ini menjadi salah satu kendala bagi siswa untuk mengakses pendidikan. Keadaan geografis demikian juga menyebabkan ada banyak sekolah di kota dan sedikit sekolah yang ada di desa. Mengakses sekolah menjadi demikian sulit bagi daerah tertentu. Target jarak sekolah formal berkisar maksimal antara 3-6 kilometer dari kediaman, sesuai dengan SPM pendidikan, tidak tercapai. Berbagai kabupaten di Papua, Papua Barat, dan NTT adalah daerah dengan tingkat geografis yang tidak mudah dijangkau dengan ketersediaan lembaga sekolah jauh melebihi 6 kilometer. Ketiga, aspek sosial budaya terkait dengan cara pandang terhadap pentingnya pendidikan bagi kehidupan masyarakat. Masih banyak masyarakat yang memandang pendidikan tidak penting. Ini disebabkan kebiasaan dan tradisi yang seperti tidak terkait langsung dengan pendidikan. Terlebih ketika output pendidikan tidak bermutu dan tidak memberi dampak langsung bagi perbaikan

nasib. Beberapa suku di Jawa dan Luar Jawa masih ada yang memandang sekolah tidak perlu bagi anak-anaknya. Keempat, ada banyak anggota masyarakat yang tidak bisa mengakses pendanaan pendidikan disebabkan oleh masalah administrasi, seperti kartu keluarga atau akte kelahiran. Mereka tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi pendanaan dari pemerintah. Kelima, ketersediaan lembaga sekolah secara berjenjang yang tidak bisa menampung jumlah kebutuhan siswa bersekolah. Sebagai contoh, lulusan SD tahun 2012/2013 ada sebanyak 4.336.261 tetapi daya tampung SMP hanya sebesar 3.266.002. Artinya, jika mengandaikan kelanjutan sekolah ada parallel sekolah umum ke sekolah umum, maka sudah pasti ada lebih dari 1 juta siswa lulusan SD tidak bisa melanjutkan SMP. Juga seperti lulusan SMP sebanyak 2.903.421 siswa tetapi daya tampung SMA dan SMK hanya sebesar 2.863.421. Itu berarti ada lebih dari 30 ribu lulusan SMP tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. No. Jenjang Pendidikan Sekolah/ Lembaga Siswa Baru Siswa Lulusan 1 SD 148,272 3,874,695 26,769,680 4,336,261 2 SMP 35,527 3,266,002 9,653,093 2,903,421 3 SMA 12,107 1,399,050 4,272,860 1,280,186 4 SMK 10,673 1,464,371 4,189,519 1,169,218 1.3. Tanggapan Pemerintah UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimaksudkan sebagai upaya untuk menjawab salah satu masalah bernegara, yakni pendidikan. UUD 1945 Pasal 31 memberi mandat kepada negara agar membiayai pendidikan dasar. UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 6 (1) memberi kekhususan mandat UUD 1945 tersebut, pembiayaan yang bersifat wajib melalui wajib belajar 9 tahun usia 7-15 tahun. Oleh karena itu, sebagian besar biaya untuk fungsi pendidikan adalah di bagian wajib belajar 9 tahun. Pembiayaan pendidikan dapat dibagi ke dalam 3 hal: 1) biaya investasi; 2) biaya operasional (personalia dan non personalia); dan 3) biaya personal peserta didik. Ketiga kebutuhan pembiayaan tersebut telah dijawab pemerintah dengan skema sebagai berikut. Pertama, pemerintah telah mengalokasi dana melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk menanggung biaya investasi. Melalui DAK, maka berbagai belanja sarana dan prasarana pendidikan diwujudkan. Tetapi, dana tersebut hanya dilakukan ke dalam sekolah-sekolah negeri dan tidak memberi fasilitas pendanaan investasi untuk sekolah swasta. Kedua, biaya operasional untuk personalia sudah ditanggung pemerintah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan tambahan pendapatan melalui sertifikasi. Biaya personalia DAU hanya diperuntukkan bagi para pendidik yang sudah menjadi PNS dengan biaya yang besar dan terus mengalami kenaikan. Sedangkan serifikasi memberi tambahan pendapatan untuk pendidik negeri

dan swasta. Yang tidak mudah adalah pendidik swasta yang tidak mendapatkan sertifikasi, karena akan mendapatkan besaran alokasi yang sangat kecil, terutama pendidik di sekolah swasta yang berbasis komunitas. Untuk biaya non personalia, pemerintah telah mengalokasi dana melalui skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana tersebut diperuntukkan untuk kebutuhan non personalia yang dibutuhkan sekolah. Dana ini diperuntukkan sekolah negeri dan swasta dengan mendasarkan kepada jumlah siswa. Hanya saja, ada banyak penelitian yang menyebutkan adanya banyak penyalahgunaan dana BOS. Ketiga, dana personal pendidikan coba dijawab pemerintah dengan skema Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang nanti akan menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan beberapa model beasiswa yang lain kepada siswa berprestasi. Diharapkan skema pendanaan ini akan mengurangi hambatan akses pendidikan siswa yang disebabkan oleh biaya personal, seperti transportasi, buku, sepatu, dan lainlain. Namun demikian, data dari evaluasi TNP2K tahun 2012 menyebutkan bahwa besaran dana BSM hanya mencakup 30 persen kebutuhan personal pendidikan. Sesuai amanat UUD 1945, pemerintah harus mengalokasikan dana minimal 20 persen dari total anggaran negara. Pasal 31 (4) dan UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 (1) menyatakan bahwa pemerintah harus mengalokasikan minimal 20% dari total belanja nasional dan belanja daerah untuk belanja pendidikan. Alokasi dana tersebut dijabarkan sebagai berikut dalam APBN 15. APBN 2015 memiliki anggaran belanja sebesar 2.039 triliun rupiah (USD 167,45 billion). Alokasi belanja tersebut dibagi untuk belanja pemerintah pusat sebesar 1.392,417 triliun rupiah (68,27%) dan ditransfer ke 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi sebesar 647,123 triliun rupiah (31,73%). Dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk pendidikan adalah sebesar 407,9 triliun rupiah (USD 33,49 billion). Besaran dana tersebut terbagi untuk fungsi pendidikan sebesar 146,4 triliun dan sebanyak 261,5 triliun dalam fungsi administrative dan gaji.