Bab 5 KINERJA SEKTOR PERIKANAN

dokumen-dokumen yang mirip
rovinsi alam ngka 2011

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Dr. Ir. Sri Yanti JS. MPM

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/KEPMEN-KP/2013 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

Kebijakan Perikanan Budidaya. Riza Rahman Hakim, S.Pi

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

I PENDAHULUAN. terhadap PDB Indonesia membuat sektor perikanan dijadikan penggerak utama (prime mover)

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

I. PENDAHULUAN. pembangunan di Indonesia yakni sektor pertanian. Sektor pertanian. merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia karena

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

Tabel. Potensi Areal Budidaya Laut Untuk Komoditas Kerang Mutiara & Abalone, Kerang Darah dan Tiram Serta Teripang Per Kab/kota Se- NTB

BAB 1 PENDAHULUAN. global saat ini. Sektor ini bahkan berpeluang mengurangi dampak krisis karena masih

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

I. PENDAHULUAN. 1 dan Bisnis disektro Kelautan [10 Februari 2009].

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional karena. pembangunan ekonomi diharapkan dapat menjadi motor penggerak

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

Oleh : Dr. Ir. Made L Nurdjana Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAHAN BAKU: URAT NADI INDUSTRI PENGOLAHAN PERIKANAN MIKRO KECIL DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

KAWASAN LUMBUNG IKAN NASIONAL MALUKU AKAN DI KEMBANGAKAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/KEPMEN-KP/2015 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2

C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI TERPADU PERIKANAN BUDIDAYA 2017 Banten, 7-10 Mei 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR 30/PER-DJPB/2018

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Budidaya ikan sistem karamba jaring apung di Waduk Kedungombo Kabupaten Boyolali. Sutini NIM K UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

Transkripsi:

Bab 5 KINERJA SEKTOR PERIKANAN 5.1 Kinerja Sektor Perikanan Nasional dalam Penerapan Perikanan Berkelanjutan 5.1.1 Perikanan Tangkap Kegiatan perikanan tangkap masih memegang peranan yang sangat strategis dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi produksi perikanan tangkap yang mencapai angka 5,71 juta ton atau sekitar 37,60 persen dari total produksi perikanan secara nasional yang mencapai angka 15,51 juta ton pada tahun 2012. Produksi perikanan tangkap tersebut berasal dari kegiatan penangkapan di laut sebesar 5,44 juta ton (93,25%) dan kegiatan penangkapan di perairan umum sebesar 0,39 juta ton (6,75%). Secara keseluruhan, nilai produksi perikanan tangkap tersebut mencapai angka Rp 79,4 trilyun pada tahun 2012. Disadari juga walaupun terjadi peningkatan produksi hasil tangkapan, namun pembangunan perikanan tangkap tetap masih banyak menghadapi kendala. Kendala yang dimaksud, diantaranya adalah kondisi ketersediaan sumberdaya ikan yang semakin terbatas, bahkan di beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Kemudian, masih maraknya kegiatan pencurian ikan oleh kapal perikanan asing dan bentuk pelanggaran lain yang tergolong pada IUU-fishing. Sementara, upaya melakukan usaha penangkapan ikan di laut bebas (high sea), masih sangat terbatas sebagai akibat terbatasnya kemampuan armada perikanan yang dimiliki oleh nelayan Indonesia. Secara umum perkembangan kondisi perikanan tangkap nasional dapat digambarkan dari status perkembangan nelayannya, armada penangkapan ikannya, dan alat tangkapnya. Informasi mengenai kecenderungan jumlah nelayan dalam dekade terakhir (periode tahun 2003-2012) dapat dilihat pada Tabel 5.1. Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat kecenderungan menurunnya jumlah nelayan perikanan tangkap di laut. Sementara, jumlah nelayan tangkap di perairan umum relatif cenderung agak berfluktuasi. Namun, secara Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-1

keseluruhan jumlah nelayan perikanan cenderung menurun dalam dekade terakhir tersebut, dengan laju rata-rata sekitar - 3,21 %. Tabel 5.1 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap, 2003-2012 (orang) Tahun Perikanan Laut Perikanan Perairan Umum Total 2003 3 311 821 545 775 3 857 596 2004 3 443 680 546 740 3 990 420 2005 2.057.986 532.378 2.590.364 2006 2.203.412 496.762 2.700.174 2007 2.231.967 523.827 2.755.794 2008 2.240.067 496.499 2.736.566 2009 2.169.279 472.688 2.641.967 2010 2.162.442 457.835 2.620.277 2011 2.265.213 489.965 2.755.178 2012 2.271.423 470.520 2.741.943 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap, KKP (2014) Kembali kepada fakta kecenderungan penurunan jumlah nelayan perikanan tangkap di laut tersebut. Pertanyaan yang relevan adalah apakah jumlah nelayan yang bekerja di perairan laut saat ini sudah terlalu banyak?. Fenomena ini, tentu memiliki banyak makna, dapat menguntungkan atau juga merugikan bagi Pemerintah Indonesia. Untuk memahami jawaban atas pertanyaan krusial ini, perlu mencermati data mengenai kecenderungan armada kapal ikan di perairan laut pada periode yang sama. Data perkembangan armada kapal ikan nasional dalam dekade terakhir (periode tahun 2003-2012) disajikan pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 Perkembangan Jumlah Kapal Ikan Nasional Periode Tahun 2003-2012 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-2

Grafik pada Gambar 5.1 tersebut menunjukkan bahwa dalam periode 2003-2012 secara keseluruhan populasi armada kapal ikan cenderung meningkat, dengan laju rata-rata sebesar 1,69%. Dari ketiga jenis armada, populasi armada kapal motor dan motor tempel secara konsisten meningkat dari waktu ke waktu, sedangkan populasi armada perahu tanpa motor menunjukkan kecenderungan penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa armada kapal motor dan motor tempel yang menggunakan tenaga kerja relatif kurang intensif bila dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja di armada perahu tanpa motor. Hal ini berati telah mulai terjadi modernisasi dalam usaha perikanan tangkap dan cenderung menggunakan alat-alat bantu untuk mengoperasikannya, sehingga kebutuhan penggunaan tenaga kerja semakin berkurang. Karena, memang sesungguhnya karakteristik usaha perikanan tangkap yang efisien dan menguntungkan adalah yang bersifat padat modal. Namun demikian, bila modernisasi armada perikanan tangkap tidak dilakukan dan dikendalikan dengan baik, tentu juga akan membawa dampak negatif, mengingat sebagian wilayah perairan laut nasional sudah ada yang mengalami fenomena overfishing. Tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan yang intensif atau melalui pengembangan modernisasi armada kapal ikan tanpa kontrol tentu akan makin memperburuk masalah overfishing di perairan-perairan laut yang telah mengalami degradasi stok ikan. Selanjutnya, hal ini akan menimbulkan dampak semakin memburuknya usaha perikanan tangkap nasional, yang pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan pada masyarakat perikanan Indonesia. Produksi perikanan tangkap berasal dari penangkapan di laut dan penangkapan di perairan umum. Selama dekade terakhir (periode tahun 2003-2012), volume produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata sebesar 3,35 % per tahun, yaitu dari 4.478.365 ton pada tahun 2003 menjadi 5.829.194 ton pada tahun 2012 (Gambar 5.2). Volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode tersebut meningkat rata-rata sebesar 2,67% per tahun, yaitu dari 4.383.103 ton pada tahun 2003 menjadi 5.435.633 ton pada tahun 2012. Sementara volume produksi perikanan tangkap di perairan umum mengalami peningkatan rata-rata sebesar 34,79% per tahun yaitu pada tahun 2003 sebanyak 95.262 ton menjadi 393.561 ton pada tahun 2012 (Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2012, 2014). Kemudian, walaupun dalam kurun waktu tersebut, tingkat produksi perikanan laut tangkap cenderung naik dari tahun ke tahun, namun, perlu juga diperhatikan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia cenedrung tidak menyebar Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-3

merata atau berimbang. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada umumnya penangkapan ikan nasional terkonsentrasi di wilayah perairan pantai, utamanya pantai di daerah-daerah yang padat penduduk, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Dari generasi ke generasi, sebagian besar nelayan-nelayan yang ada di negeri ini menangkap ikan di kedua daerah pantai ini tanpa terkontrol. Sebagai akibatnya, di kedua perairan tersebut kini sedang mengalami fenomena overfishing. Gambar 5.2 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap Nasional Periode Tahun 2003-2012 Terjadinya fenomena overfishing tidak hanya mengancam kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga menggrogoti kemampuan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Sehingga, fenomena overfishing selalu diikuti dengan terjadinya fenomena pemiskinan pada masyarakat yang mengantungkan kehidupannya pada sumberdaya ikan. Berbagai studi telah melaporkan bahwa terjadinya fenomena pemiskinan pada komunitas-komunitas nelayan di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Oleh karena itu, suatu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah mengendalikan masalah overfishing di berbagai perairan pantai di Indonesia, utamanya Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Selanjutnya, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap (perikanan laut dan perikanan perairan umum) dalam periode 2003-2012 dapat dlihat pada Gambar 5.3. Berdasarkan gambar tersebut, nilai produksi perikanan tangkap Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-4

secara nasional menunjukkan adanya peningkatan nilai produksi perikanan tangkap selama periode yang sama, dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 19,4%. Gambar 5.3 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Nasional Periode Tahun 2003-2012 Tampaknya, fenomena kecenderungan nilai produksi tersebut di atas berkorelasi secara positif dengan fenomena total produksi perikanan tangkap pada periode yang sama, seperti ditunjukkan oleh data pada Gambar 5.2. Namun, laju peningkatan nilai produksi lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya, yang berarti harga komoditas ikan di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal ini mungkin disebabkan adanya laju inflasi atau/dan juga kemungkinan karena adanya perbaikan penanganan kualitas atau mutu ikan yang dapat meningkatkan nilai jualnya. Bila melihat laju rataan inflasi periode 2003 2012, yakni sebesar 7,06% (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 16,05%, maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Indonesia, bukan karena faktor inflasi semata, tetapi juga karena telah terjadi perbaikan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan yang menghasilkan nilai tambah produk perikanan tangkap. Fakta kondisi eksisting perikanan tangkap seperti tersebut diatas tentunya mengindikasikan apakah kinerja perikanan tangkap Indonesia sudah berkelanjutan. Penilaian kinerja perikanan tangkap berkelanjutan umumnya dapat dilihat dari 3 (tiga) Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-5

aspek utamanya, yaitu: aspek ekonomi, aspek ekologi/lingkungan, dan aspek sosial. Penjabaran penilaian kinerja perikanan tangkap nasional dari setiap aspek utama tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut: 1) Aspek Ekonomi Kegiatan perikanan tangkap masih memegang peranan yang sangat strategis dan dominan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi produksi perikanan tangkap yang mencapai angka 5,71 juta ton atau sekitar 37,60% dari total produksi perikanan secara nasional yang mencapai angka 15,51 juta ton pada tahun 2012. Produksi perikanan tangkap tersebut berasal dari kegiatan penangkapan di laut sebesar 5,44 juta ton (93,25%) dan kegiatan penangkapan di perairan umum sebesar 0,39 juta ton (6,75%). Secara keseluruhan, nilai produksi perikanan tangkap tersebut mencapai angka Rp 79,4 triliun pada tahun 2012. Disadari juga walaupun terjadi peningkatan produksi hasil tangkapan, namun pembangunan perikanan tangkap tetap masih banyak menghadapi permasalahan terkait dengan keberlanjutan, diantaranya adalah kondisi sumber daya ikan yang semakin menurun yang ditunjukkan dengan nilai produktivitas yang mulai cenderung menurun dalam dua tahun terakhir, yakni dari 9,19 ton/tahun/kapal pada tahun 2011 menjadi 8,81 ton/tahun/kapal pada tahun 2012, dan bahkan di beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing) yang ditandai dengan semakin kecilnya ukuran ikan yang dominan tertangkap. Selain itu, kegiatan pencurian ikan oleh kapal ikan asing dan bentuk pelanggaran lain yang tergolong pada IUU-fishing juga masih marak. Kemudian, walaupun jumlah nelayan dalam dekade terakhir (periode tahun 2003-2012) secara umum cenderung menurun dengan laju rata-rata sekitar - 3,21%, namun, pendapatan nelayan rata-rata secara nasional juga belum mencerminkan pendapatan yang layak. Pada tahun 2012, dengan asumsi 60% nilai produksi yang dihasilkan adalah untuk biaya produksi dan 40% merupakan pendapatan nelayan, maka rata-rata nilai pendapatan nelayan adalah sebesar Rp 12.679.276 per nelayan per tahun atau Rp 1.056.606 per nelayan per tahun. Bila pendapatan rataan nelayan tersebut dibandingkanrataan upah minimum regional (UMR) nasional tahun 2012, yakni sebesar Rp 1.370.376, maka jelas pendapatan rataan nelayan Indonesia masih berada dibawah UMR. Berdasarkan hal ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan perikanan nasional ditinjau dari aspek ekonomi belum berkelanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-6

2) Aspek Ekologi Komisi nasional pengkajian stok ikan telah menetapkan bahwa secara nasional potensi penangkapan ikan laut yang lestari (maximum sustainable yield, MSY) di perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.45/MEN/2012 tentang Estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaanperikanan negara republik indonesia). Kemudian, dengan pendekatan ke hati-hatian, ditetapkan pula jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan per tahun yang melebihi angka JTB, apalagi MSY, tentu akan mengancam kelestarian sumber daya ikan yang ada. Oleh karena itu, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang melebihi angka 5,12 juta ton per tahun merupakan indikasi bahwa pengelolaan perikanan menuju ketidak-berlanjutan. Sebab, tindakan seperti itu justru akan menghancurkan potensi sumber daya ikan laut itu sendiri di masa depan, sehingga generasi mendatang tidak dapat memanfaatkannya untuk mendukung kehidupan mereka. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap, ditunjukkan bahwa pada tahun 2011 total produksi perikanan tangkap di perairan laut nasional sebesar 5,34 juta ton, sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat produksi tersebut sudah sekitar 0,23 juta ton diatas nilai JTB. Demikian pula, pada tahun 2012 juga sudah melebihi nilai JTB sebesar 0,32 juta ton. Hal ini tentu sudah menjadi warning bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mengelola perikanan tangkap nasionalnya, karena sudah melewati nilai batas JTB yang merupakan nilai pendekatan ke hati-hatian dalam pengelolaan sumberdaya ikan nasional. Berdasarkan fakta ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan perikanan nasional ditinjau dari aspek ekologi juga belum berkelanjutan. Beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Selain itu dari para pelaku usaha diketahui bahwa ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Hal ini menjadi indikasi bahwa kegiatan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia belum berkelanjutan sehingga membutuhkan strategi dan kebijakan yang lebih baik untuk mengatasinya. 3) Aspek Sosial Telah diketahui bahwa pada umumnya penangkapan ikan nasional terkonsentrasi di perairan pantai, utamanya pantai di daerah-daerah yang padat penduduk, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Fenomena ini dapat ditunjukkan secara Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-7

kasar dengan struktur kapal penangkap ikan nasional didominasi oleh ukuran kapal 5 GT kebawah (89% pada tahun 2012). Dari generasi ke generasi, sebagian besar nelayan-nelayan yang ada di negeri ini menangkap ikan terkonsentrasi hanya di wilayah perairan pantai tanpa terkendali dengan baik. Sebagai akibatnya, di beberapa perairan laut tersebut, utamanya yang pesisirnya padat penduduknya, kini sedang mengalami fenomena overfishing. Terjadinya fenomena overfishing tidak hanya mengancam kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga menimbulkan konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Timbulnya konflik sosial tersebut, kini cenderung semakin nyata dan terbuka. Hal ini terjadi karena adanya persaingan yang semakin ketat dengan sifat pemanfaatan sumberdaya ikan di laut yang masih common property dan cenderung belum ada pembatasan penangkapan (open access), serta implementasi era otonomi daerah yang salah tafsir. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan secara umum bahwa pembangunan perikanan tangkap nasional ditinjau dari aspek sosial juga belum menunjukkan keberlanjutan yang signifikan. Konflik sosial antar nelayan juga terjadi akibat aspek kewilayahan/daerah maupun aspek sarana usaha (ukuran kapal dan alat tangkap). Hal ini dapat terjadi akibat kesenjangan antar nelayan. Sehingga perlu adanya regulasi pemerintah yang baik untuk menyelesaikan konflik terutama yang berhubungan dengan kewilayahan. 5.1.2 Perikanan Budidaya Produksi perikanan budidaya berasal dari usaha budidaya laut, budidaya tambak, budidaya kolam, budidaya keramba, budidaya jaring apung, budidaya sawah dan budidaya laut. Luas lahan perikanan budidaya menurut jenis budidaya dari tahun 2008 sampai dengan 2012 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 5.2 Luas lahan perikanan budidaya menurut jenis budidaya, 2008-2012 (Ha) Jenis Budidaya Budidaya Laut 32 761 43 804 117 650 169 292 178 435 Budidaya Tambak 618 251 669 738 674 942 652 475 657 346 Budidaya Kolam 101 813 153 316 148 278 126 382 131 776 Budidaya Keramba 213 300 637 561 476 Budidaya Jaring Apung 666 1 386 744 1 294 1 371 Budidaya Sawah 142 621 127 679 138 715 151 630 156 193 Jumlah Total 896 325 996.223 1.080.966 1.101.634 1.125.597 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-8

Perikanan budidaya merupakan sektor yang pertumbuhannya masih dapat terus dipacu, mengingat pemanfaatan potensi yang ada masih rendah dibanding luas lahan yang tersedia. Potensi lahan budidaya di Indonesia diperkirakan mencapai 17.744.303 Ha (Pusdatin KKP, 2011) sedangkan total pemakaian baru mencapai 1.125.597 Ha (Statistik Perikanan Budidaya, 2012). Kondisi eksisting pemanfaatan potensi kolam tercatat sebesar 22,6%, sawah 7,5% sedangkan pemanfaatan perairan umum untuk keramba maupun KJA baru 1,1%. Tingkat pemanfaatan lahan untuk budidaya perairan payau mencapai 36%, sedangkan budidaya laut baru mencapai tingkat pemanfaatan 1,1%. Penyediaan lahan untuk areal budidaya dapat dilakukan melalui pencetakan lahan baru atau dengan memanfaatkan lahan budidaya yang iddle. Pembuatan wadah budidaya baru atau pemanfaatan lahan iddle untuk kegiatan budidaya harus dirancang berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui studi kelayakan. Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2012sebesar 9,45 juta ton, atau 61,92% dari produksi perikanan nasional yang diprediksi sebesar 15,26 Juta ton. Komposisi produksi perikanan budidaya menurut jenis usaha adalah budidaya air tawar: 2,07 juta ton, budidaya air payau: 1,79 juta ton, dan budidaya laut (termasuk rumput laut) sebesar 5,59 juta ton. Tabel 5.3 Produksi ikan berdasarkan komoditas di Indonesia tahun 2009-2012 No. KOMODITAS Produksi (Ton) TAHUN 2009 2010 2011 2012 TOTAL 4 708 565 6 277 923 7 928 962 9 451 700 1 Udang 338 060 380 972 400 385 478 036 Windu 124 561 125 519 126 157 149 959 Vanamei 170 969 206 578 246 420 295 054 Lainnya 42 530 48 875 27 808 33 023 2 Kerapu 8 791 10 398 10 580 12 618 3 Kakap 6 400 5 738 5 236 6 217 4 Bandeng 328 288 421 757 467 449 567 763 5 Patin 109 685 147 888 229 267 276 347 6 Nila 323 389 464 191 567 078 759 719 7 Ikan Mas 249 279 282 695 332 206 394 497 8 Lele 144 755 242 811 337 577 412 760 9 Gurame 46 254 56 889 64 252 80 775 10 Rumput L. 2 963 556 3 915 017 5 170 201 6 153 197 11 Kekerangan 15 857 58 079 48 449 57 534 12 Kepiting 7 516 9 557 8 153 9 682 13 Lainnya 166 734 281 932 288 129 242 555 Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013) Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-9

Selama periode 2008 sampai dengan 2012 jumlah pembudidaya secara total mengalami kenaikan sebesar 38%. Persentase kenaikan terbesar jumlah pembudidaya adalah sebesar 150% di jenis usaha budidaya laut. Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya tahun 2008-2012 selengkapnya disajikan pada Tabel berikut. Tabel 5.4 Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya (Satuan: Orang) Jenis % Jumlah Total 2.759.471 2.493.193 3.162.247 3.343.934 3 814 781 38 Laut 282.607 278.613 498.001 517.340 527 033 86 Tambak 642.210 470.828 553.325 586.495 674 555 5 Kolam 1.362.649 1.332.782 1.536.082 1.623.700 1 865 662 37 Keramba 79.325 87.766 104.917 119.719 198 470 150 KJA 43.204 39.958 62.692 79.310 81 836 89 Sawah 349.476 283.246 407.230 417.370 467 225 34 Sumber: Diolah dari Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, 2013 Besarnya skala usaha perikanan budidaya dapat dibagi menjadi kategori besarnya usaha dan kategori penerapan teknologi yang digunakan. Kategori besarnya usaha berhubungan dengan luas areal yang dipergunakan sedangkan kategori penerapan teknologi didasarkan pada siatem teknologi intensif, semi intensif serta teknologi sederhana (tradisional). Pembudidaya ikan di Indonesia didominasi oleh pembudidaya skala kecil. Usaha budidaya ikan skala kecil untuk usaha budidaya ikan laut adalah luas lahan <50 m2, budidaya tambak <1 Ha, kolam <0,1 Ha, budidaya keramba dan KJA<50 m2 serta usaha Mina Padi sebesar 0,5 Ha per RTP Budidaya dengan penerapan teknologi sederhana. Tabel berikut ini menyajikan skala usaha perikanan budidaya berdasarkan kategori besarnya usaha. Tabel 5.5 Skala usaha perikanan budidaya berdasarkan kategori besarnya usaha Jenis Budidaya Budidaya Laut < 50 m2 50-100 m2 Kategori Besarnya Usaha 100-300 m2 300-500 m2 >500 m2 Budidaya Tambak < 1 Ha 1-2 Ha 2-5 Ha 5-10 Ha > 10 Ha Budidaya Kolam < 0,1 Ha.0,1-0,3 0,5-1 0,3-0,5 Ha Ha Ha >1 Ha Budiaya Keramba < 50 m2 50-100 100-300 m2 m2 300-500 m2 >500 m2 Budidaya Jaring Apung < 50 m2 50-100 100-300 m2 m2 300-500 m2 >500 m2 Budidaya Mina Padi < 0,5 0,5-1 Ha Ha 1-2 Ha 2-3 Ha > 3 Ha Sumber: Diolah dari Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, 2013 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-10

Keragaan input perikanan budidaya antara lain meliputi keragaan lokasi budidaya, fasilitas produksi, induk, benih, pakan, pupuk, obat-obatan, pestisida, peralatan akuakultur, tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan teknologi perikanan budidaya dapat dibagi menjadi teknologi budidaya intensif, semi intensif serta teknologi sederhana (tradisional). Perbedaan sistem teknologi tersebut terutama pada jumlah padat penebaran benih, jumlah pakan buatan serta sistem manajemen air dan wadah budidaya. Tabel 5.6 Kebutuhan Pakan Menurut Komoditas Utama (ton) No Rincian 2012 2013 2014 % 1. Udang 57.915 71.100 84.600 9,42 600.450 675.000 766.500 17,93 2. Nila 1.020.000 1.326.000 1.491.480 27,09 3. Patin 781.200 1.328.400 2.259.600 70 4. Lele 544.500 737.000 990.000 35,1 5. Mas 420.000 455.000 490.000 6,6 6. Gurame 62.160 65.240 68.460 4,9 7 Kakap 13.000 15.000 17.000 13,12 8. Kerapu 22.000 30.000 40.000 30,51 9.. Bandeng 120.816 144.960 168.000 19,18 10. Lainnya 925.400 1.032.700 1.038.700 13,72 JUMLAH 4.567.441 5.880.400 7.414.340 26,63 Sumber: Direktorat Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya, 2015 Penyebaran BBI di Indonesia saat ini masih tidak merata dan terpusat di Jawa, sedangkan potensi perikanan budidaya berada di luar Jawa. Untuk saluran irigasi, hanya 160.000 ha (26%) dari tambak eksisting yang telah ditata saluran irigasinya, selebihnya kondisinya masih memprihatinkan. Pengembangan infrastruktur pendukung perikanan lainnya seperti pembangunan jalan produksi, saluran air, dan jalan penghubung antara kawasan produksi dengan kawasan pengolahan-pemasaran memerlukan penataan ulang, terutama terkait dengan rencana peningkatan produksi perikanan budidaya yang cukup tinggi. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-11

Tabel 5.7 Data umum Laboratrium lingkup UPT, Ditjen Perikanan Budidaya NO LABORATORIUM TERAKREDITASI NO DALAM PROSES TERAKREDITASI 1 BBPBAT - SUKABUMI 1 BPBAP UJUNG BATTEE - ACEH 2 BBPBAP - JEPARA 2 BPBAT TATELU - SULUT 3 BBPBL - LAMPUNG 3 BPBAL LOMBOK - NTB 4 BPBAP - SITUBONDO 4 BPBAL AMBON 5 BBAT - MANDIANGIN 5 BLUPPB KARAWANG 6 BPBAL - BATAM 6 BROODSTOCK CENTRE KARANGASEM 7 BPBAP - TAKALAR 7 LPPIL SERANG 8 BPBAT - JAMBI Sumber: Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya, 2013 Komoditas utama perikanan budidaya terdiri dari udang, ikan kerapu, rumput laut, ikan nila, ikan mas, ikan bandeng, ikan kakap, ikan patin, ikan lele, serta ikan gurame. Sebanyak 7 komoditi mdngalami kenaikan nilai produksi dari tahun 2007-2012, sedangkan komoditi lainnya mengalami penurunan nilai produksi. Nilai produksi total ikan berdasarkan komoditi budidaya tahun disajikan pada Gambar berikut. Gambar 5.4 Nilai produksi perikanan budidaya berdasarkan komoditi (x Rp.1000,-) Kenaikan nilai produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya berturutturut adalah budidaya kolam sebesar 303%, KJA (288%), keramba (237%), budidaya laut (189%), mina padi (91%) serta budidaya tambak (65%). Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-12

Berdasarkan fakta kondisi eksisting perikanan budidaya seperti tersebut dapat disarikan penilaian keberlanjutan dari kinerja perikanan budidaya nasional dilihat dari aspek ekonomi, aspek ekologi/lingkungan, dan aspek sosial, yakni sebagai berikut: 1) Aspek Ekonomi Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2012 sebesar 9,45 juta ton, atau 61,92% dari produksi perikanan nasional sebesar 15,26 juta ton. Komposisi produksi perikanan budidaya menurut jenis usaha adalah budidaya air tawar: 2,07 juta ton, budidaya air payau: 1,79 juta ton, dan budidaya laut (termasuk rumput laut) sebesar 5,59 juta ton. Produksi perikanan budidaya tertinggi pada tahun 2012 diraih oleh Provinsi Sulawesi Selatan kemudian berturut-turut diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Sulawesi Tengah. Provinsi Papua, Provinsi Bangka Belitung serta DKI Jakarta merupakan Provinsi dengan jumlah produksi perikanan budidaya paling sedikit. Kenaikan nilai total produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya dari tahun 2007 sampai dengan 2011 sebesar 138%. Kenaikan nilai produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya yang terbesar dari tahun 2007 sampai dengan 2011 berturut-turut adalah budidaya kolam sebesar 303%, KJA (288%), keramba (237%), budidaya laut (189%), mina padi (91%) serta budidaya tambak (65%). Secara keseluruhan, nilai produksi perikanan budidaya pada tahun 2007 sebesar Rp.27.928.287.250.000,- tahun 2008 Rp.37.842.768.269.000,- tahun 2009 sebesar Rp.40.671.351.316.000,- tahun 2010 sebesar Rp.63.417.542.124.000,- serta tahun 2011 sebesar Rp.66.549.923.290.000,- Jumlah RTP Pembudidaya selama kurun waktu 2007-2011 mengalami kenaikan sebesar 18% atau rata-rata per tahun naik 4,4%. Jumlah RTP Pembudidaya pada tahun 2007 sebesar 1.338.758 RTP dan pada tahun 2011 jumlahnya mencapai 1.575.787 RTP. Satu-satunya RTP Pembudidaya yang mengalami penurunan adalah RTP Pembudidaya Sawah yaitu sebesar -6% selama kurun waktu 2007 sampai dengan 2011. Jumlah RTP pembudidaya tahun 2012 berdasarkan sebaran pulau didominasi oleh Pulau Jawa sebesar 52%, diikuti berturut-turut oleh Sumatera (21%), Sulawesi (13%), Kalimantan (7%), Bali-Nusa Tenggara (5%) serta Maluku-Papua sebesar 2%. Sebaran jumlah RTP pembudidaya ikan berdasarkan pulau memperlihatkan bahwa RTP pembudidaya ikan terbanyak adalah RTP Budidaya Kolam di Pulau Jawa, sedangkan RTP Mina Padi di Maluku-Papua merupakan jumlah RTP terkecil. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-13

Meskipun pada umumnya budidaya ikan hanya sebagai mata pencaharian sampingan, namun berdasarkan hasil penelitian pendapatan dari usaha budidaya ikan masih merupakan penyumbang terbesar bagi pendapatan keluarga pembudidaya ikan. Menurut KKP dan BPS (2011) usaha budidaya ikan memberikan kontribusi sebesar 64% sampai dengan 89% terhadap pendapatan keluarga. Keluarga pembudidaya ikan akan memperoleh pendapatan dari usaha budidaya pada saat panen. Masa panen tersebut bergantung kepada jenis ikan yang dibudidayakan serta pola tanam yang diaplikasikan. Pada tahun 2012, dengan asumsi nilai produksi yang dihasilkan oleh pembudidaya ikan skala kecil sebagian besar adalah untuk biaya produksi, maka ratarata nilai pendapatan adalah sekitar Rp 14.500.000 per pembudidaya skala kecil per tahun atau sekitar Rp 1.200.000 per pembudidaya skala kecil per tahun. Bila pendapatan rataan pembudidaya skala kecil tersebut dibandingkan rataan upah minimum regional (UMR) nasional tahun 2012, yakni sebesar Rp 1.370.376, maka pendapatan rataan pembudidaya skala kecil Indonesia masih berada dibawah UMR. Berdasarkan hal ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan perikanan budidaya skala kecil secara nasional ditinjau dari aspek ekonomi belum berkelanjutan. 2) Aspek Ekologi Peningkatan produksi budidaya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi media (air), kualitas benih dan kualitas pakan. Pakan merupakan faktor produksi yang menjadi komponen biaya terbesar dalam suatu usaha budidaya ikan. Budidaya perairan memperkaya lingkungan dengan buangan pakan termetabolisir dan yang tidak termakan. Sampai batas tertentu buangan pakan termetabolit tersebut bermanfaat karena meningkatkan produksi ikan, apabila melebihi jumlah tersebut, zat tersebut pada akhirnya menjadi pencemar. Bahan-bahan yang memperkaya atau mencemari akibat budidaya terutama fosfor dan nitrogen yang dikandung pakan. Jumlah fosfor dan nitrogen dalam pakan tergantung kualitas pakan, biasanya masing-masing sebesar 12 dan 55 kg/ton pakan. Ikan akan mengasimilasi sebagian zat hara tersebut (masing-masing sekitar 5 kg dan 14 kg, pada konversi pakan 2) dan sisanya masuk ke lingkungan sebagai buangan metabolit dan pakan yang tidak dimakan. Zat hara utama yang memperkaya atau mencemari lingkungan air tawar adalah fosfor, sedangkan untuk air laut adalah N. Jumlah produksi yang dapat ditolerir oleh lingkungan tertentu dapat ditentukan berdasarkan jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan ikan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-14

Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam aspek lingkungan budidaya adalah keberadaan Invasive Aquatic Species (IAS). IAS merupakan spesies yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari luar habitat alaminya. IAS mampu hidup dan bereproduksi pada habitat barunya dan kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas, ekosistem, perikanan, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan manusia pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik. IAS bisa mengancam ekosistem karena bersifat kompetitor, predator, patogen dan parasit. Selain itu, IAS mampu merambah semua bagian ekosistem alami atau asli dan menyebabkan punahnya spesies-spesies asli. 3) Aspek Sosial Pembudidaya ikan di Indonesia masih didominasi oleh pembudidaya skala kecil. Usaha budidaya ikan skala kecil untuk usaha budidaya ikan laut adalah luas lahan <50 m2, budidaya tambak <1 Ha, kolam <0,1 Ha, budidaya keramba dan KJA<50 m2 serta usaha Mina Padi sebesar 0,5 Ha per RTP Budidaya dengan penerapan teknologi sederhana. Peningkatan produktivitas budidaya melalui perbaikan teknologi dan perubahan sistem budidaya dari sistem tradisional atau semi intensive membutuhkan perubahan perilaku pembudidaya dan perubahan penguasaan teknologi budidaya. Kebanyakan pembudidaya ikan skala kecil tidak mudah untuk menerima perubahan tersebut sehingga kalau perubahan tersebut tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Teknologi yang digunakan oleh sebagian besar pembudidaya ikan terutama skala kecil masih sederhana. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan, modal, dan akses terhadap teknologi. Kondisi ini menyebabkan usaha budidaya yang dilakukan kurang optimal atau memiliki produktivitas yang rendah. Hal yang lebih krusial pada perubahan sistem budidaya usaha budidaya ikan, dimana komponen benih, pakan dan obat-obatan merupakan komponen yang cukup besar proporsinya pada biaya keseluruhan dan mempunyai laju peningkatan indeks harga yang terbesar dari komponen lainnya maka pada saat sistem budidaya berubah menjadi sistem intensive, dapat menimbulkan pengaruh berganda (double impact) pada kebutuhan biaya produksi. Apabila tidak dipersiapkan dengan baik, perubahan tersebut bisa menimbulkan masalah sosial pada pembudidaya ikan skala kecil. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-15

Kondisi Sektor Perikanan Tangkap di Lokasi Survei 5.2.1 Sumatera Barat Produksi perikanan tangkap di Sumatera Barat berasal dari penangkapan di laut dan penangkapan di perairan umum. Selama lima terakhir (periode tahun 2008-2012), volume produksi perikanan tangkap secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 1,57% per tahun, yaitu dari 195.585 ton pada tahun 2008 menjadi 207.866 ton pada tahun 2012 (Tabel 5.8). Untuk, volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 1,37% per tahun, yaitu dari 187.043 ton pada tahun 2008 menjadi 197.460 ton pada tahun 2012. Sementara, volume produksi perikanan tangkap di perairan umum malah mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi perikanan lautnya, yakni rata-rata sebesar 5,67% per tahun dari 8.542 ton pada tahun 2003 menjadi 10.406 ton pada tahun 2012. Tabel 5.8 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) Produksi Ikan Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan 187.043 191.345 192.658 196.511 197.460 1,37 0,48 laut Perairan 8.542 8.550 9.941 8.945 10.406 5,67 16,33 Umum Total 195.585 199.895 202.599 205.456 207.866 1,57 1,17 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Kemudian, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap dalam periode 2008-2012 dapat dlihat pada Tabel 5.9. Berdasarkan tabel tersebut, nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Barat menunjukkan adanya peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 7,51%. Fenomena kecenderungan nilai produksi ini berkorelasi secara positif dengan fenomena kecenderungan total produksinya pada periode yang sama. Namun, laju peningkatan nilai produksi lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya, yang berarti harga komoditas ikan di Sumatera Barat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 kemungkinan, yakni kemungkinan pertama adanya laju inflasi atau kemungkinan kedua adanya peningkatan nilai tambah hasil tangkapan akibat adanya perbaikan penanganan atau pengolahannya. Namun, bila melihat laju rataan inflasi nasional periode 2008-2012, yakni sebesar 5,78% Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-16

Nilai Produksi Ikan (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 6,94%, maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi Sumatera Barat, hampir seluruhnya (97%) disebabkan oleh faktor inflasi. Dengan demikian, belum ada perbaikan yang signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya. Tabel 5.9 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan laut 6.846.731.169 6.574.789.624 5.716.546.890 8.635.725.220 8.869.801.889 9,19 2,71 Perairan 156.951.624 120.510.473 166.661.796 187.931.950 238.943.490 13,75 27,14 Umum Total 7.003.682.793 6.695.300.097 5.883.208.686 8.823.657.170 9.108.745.379 7,51 3,23 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Selanjutnya, status perkembangan nelayan, armada penangkapan ikan, dan alat tangkapnya di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir (2008-2012) dapat dilihat pada Tabel 5.10 sampai 5.12. Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 5 tahun terakhir terdapat kecenderungan jumlah nelayan yang meningkat, rata-rata sebesar 4,49% per tahun. Kemudian, secara keseluruhan jumlah kapal penangkap ikan juga menunjukkan kecenderungan meningkat dalam periode 2008 2012 walaupun dengan laju yang relatif kecil, yakni laju rata-rata sebesar 1,34% per tahun. Sementara itu, perkembangan jumlah alat penangkapan ikan justru menunjukkan kecenderungan penurunan, yakni dengan laju rata-rata sebesar -7,80% per tahun. Penyumbang kontribusi penurunan adalah pada perkembangan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan pada perairan umum. Tabel 5.10 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Barat periode tahun 2008-2012 (unit: orang) Nelayan Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan laut 33.022 36.453 31.236 32.132 38.387 4,60 19,47 Perairan 11.701 10.287 12.636 11.015 14.374 7,10 30,49 Umum Total 44.723 46.740 43.872 43.147 52.761 4,49 22,28 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-17

Tabel 5.11 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Sumatera Barat periode tahun 2008-2012 (unit: kapal) Kapal Ikan Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan 9.099 10.113 8.729 8.698 9.878 2,67 13,57 laut Perairan 2.551 2.617 3.522 2.685 2.395 0,65-10,80 Umum Total 11.650 12.730 12.251 11.383 12.273 1,34 7,82 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Tabel 5.12 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Sumatera Barat periode tahun 2008-2012 (unit: alat) Alat Tahun Perkembangan Penangkap Ikan 08-12 11-12 Perairan 9.277 10.462 15.854 13.083 13.436 12,38 2,70 laut Perairan 29.125 27.109 21.777 11.700 12.989-15,46 11,02 Umum Total 38.402 37.571 37.631 24.783 26.425-7,80 6,63 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Berdasarkan perkembangan data aktivitas perikanan tangkap data diatas, maka dapat menilai secara kasar kondisi keberlanjutannya di Provinsi Sumatera Barat dilihat dari aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, dan aspek sosial. Untuk aspek ekonomi, dapat diindikasikan dengan perkembangan produktivitas nelayannya. Perkembangan nelayan di provinsi ini secara umum dalam 5 tahun terakhir (periode tahun 2008-2012) cenderung meningkat (4,49% per tahun), namun, lajunya lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksi perikanan tangkap (1,57% per tahun), sehingga produktivitas nelayan Sumatera Barat secara rata-rata dapat dinyatakan menurun sebesar -2,48% per tahun (Gambar 5.5). Jadi, dengan asumsi harga ikan yang tidak berubah secara signifikan, maka secara kasar dapat dinyatakan bahwa aktivitas perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Barat ditinjau dari aspek ekonomi belum berkelanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-18

Gambar 5.5 Perkembangan Produktivitas Nelayan Sumatera Barat Periode 2008-2012 Kemudian, Gambar 5.6 memperlihatkan kecenderungan secara umum tentang produktivitas kapal yang sedikit meningkat, dengan laju rata-rata sebesar 0,22% per tahun. Walaupun demikian, kecenderungan peningkatan produktivitas kapal secara keseluruhan tersebut tidak terjadi pada produktivitas kapal ikan yang beroperasi di perairan laut. Produktivitas kapal ikan di perairan laut justru menunjukkan penurunan dengan laju rata-rata sebesar -0,69% per tahun, bahkan di dua tahun terakhir (2011 ke 2012), penurunannya agak tajam, yakni sebesar -11,2%. Berdasarkan fakta ini, secara kasar perairan laut Sumatera Barat mulai mengindikasikan terjadinya gejala overfishing, sehingga pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Barat ditinjau dari aspek ekologi juga belum dapat dinyatakan berkelanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-19

Gambar 5.6 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Sumaetra Barat Periode 2008-2012 Selanjutnya, berdasar Gambar 5.5 dan Gambar 5.6, utamanya untuk perairan laut Sumatera Barat, secara kasar mulai berpotensi cukup tinggi untuk timbulnya konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena semakin tingginya persaingan usaha penangkapan ikan di perairan laut Sumatera Barat yang diindikasikan dengan menurunnya nilai produktivitas nelayan dan produktivitas kapal ikannya, terlebih lagi ditambah dengan sifat pemanfaatan sumber daya ikan di provinsi ini yang masih bersifat common property dengan belum ada pembatasan penangkapan yang tegas (open access). Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan secara kasar bahwa pembangunan perikanan tangkap di Sumatera Barat ditinjau dari aspek sosial juga belum menunjukkan keberlanjutan yang signifikan. 5.1.3 Kalimantan Barat Produksi perikanan tangkap di Kalimantan Barat selama lima terakhir (periode tahun 2008-2012), secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 8,70% per tahun, yaitu dari 83.653 ton pada tahun 2008 menjadi 112.752 ton pada tahun 2012 (Tabel 5.13). Untuk, volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 7,69% per tahun, yaitu dari 75.998 ton pada tahun 2008 menjadi 101.991 ton pada tahun 2012. Demikian juga dengan volume produksi perikanan tangkap di perairan umum malah mengalami peningkatan yang lebih tinggi Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-20

dibandingkan dengan produksi perikanan lautnya, yakni rata-rata sebesar 9,04% per tahun dari 7.655 ton pada tahun 2003 menjadi 10.761 ton pada tahun 2012. Tabel 5.13 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) Produksi Ikan Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan 75.998 77.442 86.255 94.063 101.991 7,69 8,43 laut Perairan 7.655 9.035 9.666 9.840 10.761 9,04 9,36 Umum Total 83.653 86.477 95.921 95.047 112.752 8,70 8,52 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Kemudian, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap dalam periode 2008-2012 dapat dlihat pada Tabel 5.14. Berdasarkan tabel tersebut, nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 8,92%. Fenomena kecenderungan nilai produksi ini berkorelasi secara positif dengan fenomena kecenderungan total produksinya pada periode yang sama, dengan laju peningkatan nilai produksi sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya. Dengan demikian, harga komoditas ikan di Kalimantan Barat dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Namun, bila melihat laju rataan inflasi nasional periode 2008-2012, yakni sebesar 5,78% (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 0,22%, maka dapat dinyatakan secara umum bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi Kalimantan Barat, karena faktor inflasi. Dengan demikian, belum ada perbaikan yang signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-21

Tabel 5.14 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) Nilai Tahun Perkembangan Produksi Ikan 08-12 11-12 Perairan laut 903.951.016 801.529.874 1.021.552.856 989.277.002 1.159.467.996 7,54 17,20 Perairan 114.167.220 162.443.610 172.582.431 221.810.590 18,38 28,52 Umum 130.866.425 Total 1.018.118.236 932.396.299 1.183.996.466 1.161.859.433 1.381.278.586 8,92 18,89 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Selanjutnya, status perkembangan nelayan, armada penangkapan ikan, dan alat tangkapnya di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir (2008-2012) dapat dilihat pada Tabel 5.15 sampai 5.17. Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 5 tahun terakhir terdapat kecenderungan jumlah nelayan yang menurun secara keseluruhan, dengan rataan sebesar -0,04% per tahun. Kemudian, secara keseluruhan jumlah kapal penangkap ikan juga menunjukkan kecenderungan penurunan dalam periode 2008 2012 dengan laju rata-rata sebesar -0,90% per tahun. Demikian pula dengan perkembangan jumlah alat penangkapan ikan, yang menunjukkan kecenderungan penurunan, yakni dengan laju rata-rata sebesar -4,71% per tahun. Tabel 5.15 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimantan Barat periode tahun 2008-2012 (unit: orang) Nelayan Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan 57.585 48.367 55.170 61.613 57.721 0,06-6,32 laut Perairan 12.199 13.616 11.512 1.318 11.946-0,52-9,36 Umum Total 69.784 61.983 66.682 62.931 69.667-0,04 10,85 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Tabel 5.16 Kapal Ikan Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Kalimantan Barat periode tahun 2008-2012 (unit: kapal) Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan 13.091 10.067 13.134 15.307 13.781 3,49-9,97 laut Perairan 6.624 7.090 6.162 6.515 5.223-5,04-19,83 Umum Total 19.715 17.157 19.296 21.822 19.004-0,90-12,91 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-22

Tabel 5.17 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Kalimantan Barat periode tahun 2008-2012 (unit: alat) Alat Tahun Perkembangan Penangkap Ikan 08-12 11-12 Perairan 30.225 21.494 23.248 23.293 24.862-3,45 6,74 laut Perairan 1.935 1.322 1.400 1.425 1.237-9,30-13,19 Umum Total 32.160 22.816 24.648 24.718 26.099-4,71 5,59 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Berdasarkan perkembangan data aktivitas perikanan tangkap data diatas, maka dapat menilai secara kasar kondisi keberlanjutannya di Provinsi Kalimantan Barat dilihat dari aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, dan aspek sosial. Untuk aspek ekonomi, dapat diindikasikan dengan perkembangan produktivitas nelayannya. Perkembangan nelayan di provinsi ini yang secara umum dalam 5 tahun terakhir (periode tahun 2008-2012) cenderung agak menurun (-0,04% per tahun), sementara laju rataan produksi perikanan tangkapnya mengalami peningkatan yang cukup besar, yakni 8,70% per tahun, sehingga produktivitas nelayan Kalimantan Barat secara ratarata dapat dinyatakan meningkat sebesar 8,75% per tahun (Gambar 5.7). Dengan melihat laju inflasi nasional sebesar 5,78% per tahun selama periode 2008-2012, maka dapat dinyatakan bahwa laju peningkatan harga ikan lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan inflasi, sehingga diperkirakan pendapatan nelayan Kalimantan Barat meningkat selama periode. Oleh karena itu, secara kasar dapat dinyatakan bahwa aktivitas perikanan tangkap di Provinsi Kalimantan Barat ditinjau dari aspek ekonomi menunjukkan keberlanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-23

Gambar 5.7 Perkembangan Produktivitas Nelayan Kalimantan Barat Periode 2008-2012 Kemudian, Gambar 5.8 memperlihatkan kecenderungan secara umum tentang produktivitas kapal yang juga meningkat, dengan laju rata-rata sebesar 9,96% per tahun. Dengan demikian, berdasarkan data tersebut, secara kasar perairan laut Kalimantan Barat tidak mengindikasikan terjadinya gejala overfishing, sehingga pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Kalimantan Barat ditinjau dari aspek ekologi juga dapat dinyatakan tidak mengganggu kelestarian atau menunjukkan keberlanjutan. Gambar 5.8 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Kalimantan Barat Periode 2008-2012 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-24

Selanjutnya, berdasar Gambar 5.7 dan Gambar 5.8, perairan Kalimantan Barat, secara kasar menunjukkan masih menguntungkan dan produktif, sehingga tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Namun bila hal ini tidak ditata dengan baik dan tegas, utamanya dalam hal pembatasan penangkapan yang sesuai daya dukung, maka peluang terjadinya konflik juga masih mungkin terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut, dalam periode 2008-2012 dapat dinyatakan secara kasar bahwa pembangunan perikanan tangkap di Kalimantan Barat ditinjau dari aspek sosial juga sudah menunjukkan keberlanjutan. 5.1.4 Jawa Tengah Kontribusi produksi perikanan tangkap di Jawa Tengah, sebagian besar atau lebih dari 90% berasal dari produksi hasil penangkapan di laut. Selama lima terakhir (periode tahun 2008-2012), volume produksi perikanan tangkap secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 10,85% per tahun, yaitu dari 192.172 ton pada tahun 2008 menjadi 275.559 ton pada tahun 2012 (Tabel 5.18). Untuk, volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 10,17% per tahun, yaitu dari 174.341 ton pada tahun 2008 menjadi 256.093 ton pada tahun 2012. Sementara, volume produksi perikanan tangkap di perairan umum juga mengalami peningkatan, walaupun jauh dibawah laju peningkatan produksi perikanan lautnya, yakni rata-rata sebesar 2,94% per tahun dari 17.341 ton pada tahun 2003 menjadi 19.466 ton pada tahun 2012. Tabel 5.18 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Jawa Tengah Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) Produksi Ikan Tahun Perkembangan 08-12 11-12 Perairan 174.831 195.636 212.635 251.536 256.093 10,17 1,81 laut Perairan 17.341 17.661 18.484 19.083 19.466 2,94 2,01 Umum Total 192.172 213.297 231.119 270.619 275.559 10,85 1,83 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Kemudian, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap dalam periode 2008-2012 dapat dlihat pada Tabel 5.19. Berdasarkan tabel tersebut, nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan adanya peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 20,44%. Fenomena Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-25

kecenderungan nilai produksi ini berkorelasi secara positif dengan fenomena kecenderungan total produksinya pada periode yang sama. Namun, laju peningkatan nilai produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya, yang berarti harga komoditas ikan di Jawa Tengah dari tahun ke tahun cenderung meningkat secara signifikan. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh 2 sebab, yakni kemungkinan pertama akibat adanya laju inflasi atau kemungkinan kedua akibat adanya peningkatan nilai tambah hasil tangkapan akibat adanya perbaikan penanganan atau pengolahannya. Namun, bila melihat laju rataan inflasi nasional periode 2008-2012, yakni sebesar 5,78% (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 9,59%, maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi Jawa Tengah, tidak semata karena faktor inflasi, tetapi juga karena adanya peningkatan nilai tambah produk. Dengan demikian, telah ada upaya perbaikan yang signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya. Tabel 5.19 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Jawa Tengah Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) Nilai Tahun Perkembangan Produksi Ikan 08-12 11-12 Perairan 911.327.900 1.105.069.335 1.204.141.385 1.486.980.716 1.679.674.512 16,67 12,96 laut Perairan 128.475.008 160.720.657 174.221.923 187.229.089 210.167.363 13,30 12,25 Umum Total 1.039.802.908 1.265.789.992 1.378.363.308 1.674.209.805 1.889.841.875 20,44 12,88 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Selanjutnya, status perkembangan nelayan, armada penangkapan ikan, dan alat tangkapnya di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir (2008-2012) dapat dilihat pada Tabel 5.20 sampai 5.22. Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 5 tahun terakhir terdapat kecenderungan jumlah nelayan yang meningkat, rata-rata sebesar 16,60% per tahun. Kemudian, secara keseluruhan jumlah kapal penangkap ikan juga menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam periode 2008 2012 dengan laju rata-rata sebesar -5,26% per tahun. Namun, tidak demikian dengan perkembangan jumlah jumlah alat penangkapan ikan, dalam periode yang sama justru menunjukkan kecenderungan penurunan, yakni dengan laju rata-rata sebesar -13,45% per tahun, Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-26