BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan prevalensi penyakit kronik degeneratif yang. berhubungan dengan usia merupakan outcome utama akibat

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. Saya dr. Rita Sibarani, saat ini sedang menjalani pendidikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fungsi Kognitif merupakan aktifitas mental secara sadar seperti

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan angka kejadian penyakit kronik degeneratif yang. berhubungan dengan usia terjadi akibat pertambahan usia yang progresif

FUNGSI LUHUR. Mata Kuliah: ANATOMI OTAK; Pertemuan ke 9&10; Jurusan PLB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang dirasakan di daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kognitif adalah suatu proses pengolahan masukan sensoris (taktil, visual,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jiwa. Berdasarkan statistik, jumlah penduduk Indonesia di tahun 2020 akan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Peningkatan atau penurunan kemampuan pemecahan masalah dan kreativitas

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, penduduk dunia diperkirakan berjumlah sekitar 7 milyar,

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan aset bangsa. Dari data terbaru yang dikeluarkan United. negara (1). Menurut UNESCO pada tahun 2012, dari 120 negara yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke, yang juga dikenal dengan istilah cerebrovascular

BAB I PENDAHULUAN. makin meningkat. Peningkatan jumlah lansia yang meningkat ini akan

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Corwin (2009) menyatakan dalam Buku Saku

Darulkutni Nasution Department of Neurology

BAB I PENDAHULUAN. pecahnya atau tersumbatnya pembuluh darah otak oleh gumpalan darah. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertambahan jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia semakin

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n

BAB I PENDAHULUAN. Penuaan secara kognitif ditujukan kepada lanjut usia yang diikuti dengan

tahun 2005 adalah orang, diprediksi pada tahun 2020 menjadi orang dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. Saya dr. Inta Lismayani, saat ini sedang menjalani pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. global. Prevalensi FA meningkat seiring dengan pertumbuhan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker. Terhitung 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 2010, dengan masalah kesehatan). Menurut Sumiati Ahmad Mohammad, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dari 72 tahun di tahun 2000 (Papalia et al., 2005). Menurut data Biro Pusat Statistik

I. PENDAHULUAN. sesuai kemampuannya (Darmajo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fungsi kognitif merupakan aktifitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa.

Mampu mengenal dan mengetahui tanda, gejala dan pemeriksaan status mental yang menunjang dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan mental organik

BAB I PENDAHULUAN. Sekitar 10% orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun dan 50% pada

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)

BAB I PENDAHULUAN. darah diatas normal yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 1 Hipertensi

ANATOMI OTAK. BIOPSIKOLOGI Unita Werdi Rahajeng, M.Psi

Formatio Reticularis & Sistem Limbik. Oleh Prof dr Ahmad Effendi AAI dr Sufitni M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. usia lanjut di Indonesia diperkirakan antara tahun sebesar 414 %

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK. Mohamad Sugiarmin

TUGAS PENGAYAAN KEPANITRAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM NEUROLOGI AMNESIA PASCA TRAUMA

Gangguan Mental Organik (GMO) Oleh : Syamsir Bs, Psikiater Departemen Psikiatri FK-USU

ANATOMI GANGLIA BASALIS

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan. kesehatan manusia, salah satu diantanranya stroke.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dengan hiperglikemia kronis akibat gangguan metabolisme karbohidrat, lemak

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma yang bercirikan defisit neurologis onset akut yang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk Indonesia. The United Nation telah memprediksikan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FUNGSI KORTIKAL LUHUR

BAB I PENDAHULUAN. Memori merupakan salah satu fungsi kognitif yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sietem persepsi, perilaku dan daya

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

FUNGSI KOGNITIF PASIEN STROKE ISKEMIK DENGAN MENGGUNAKAN MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) DI POLI SARAF RSUD DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MOJOKERTO

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB 7 PENURUNAN DAYA INGAT

Anesty Claresta

TUGAS MAKALAH KELOMPOK LOBUS TEMPORAL

II. TINJAUAN PUSTAKA

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Trauma kepala atau cedera kepala merupakan kasus. yang sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang sifatnya primer ataupun yang merupakan metastasis dari tumor pada organ

LAMPIRAN. : dr.saulina Dumaria Simanjuntak. 1. Penyediaan obat-obatan : Rp Akomodasi dan transportasi : Rp

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. Tenaga kesehatan di rumah sakit sangat bervariasi baik dari segi jenis

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi kognitif merupakan hasil interaksi dengan lingkungan yang

Sistem Saraf Otonom dan Fungsi Luhur

ABSTRAK. iv Universitas Kristen Maranatha

TESIS OLEH RITA MAGDA HELENA SIBARANI NIM

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN DIMENSIA. OLEH: Ns. SATRIA GOBEL, M.Kep, Sp. Kom

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Sistem Saraf. Dr. Hernadi Hermanus

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan pengeluaran cairan lebih besar daripada pemasukan. (Almatsier, 2009). Dehidrasi dapat terjadi tanpa disadari di saat

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. suram, pesimistis, ragu-ragu, gangguan memori, dan konsentrasi buruk. 1

PENGKAJIAN LANSIA 2 : PSIKOGERONTIK. Chairul Huda Al Husna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memori kerja dikonsepkan sebagai sistem memori. aktif yang bertanggung jawab untuk menjaga dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di seluruh negara-negara industri stroke merupakan. problem kesehatan besar. Penyakit ini masih merupakan

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini diperoleh 70 subyek penelitian yang dirawat di bangsal

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. darah menuju otak, baik total maupun parsial (sebagian) (Čengić et al., 2011).

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan

BAB II. Struktur dan Fungsi Syaraf

Patofisiologi penurunan kesadaran: Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkat hingga dua kali lipat pada tahun 2025 (Depkes, 2013). Hal ini

PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Sugihartono, M.Pd dan Tim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk. 2000). II.1.2. Domain Fungsi Kognitif Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehavior PERDOSSI, 2008) a. Atensi Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. b. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu : 1. Kelancaran Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan. 2. Pemahaman Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut. 3. Pengulangan Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

4. Penamaan Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya. Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. c. Memori Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu : 1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention) 2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun. 3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seusia hidup.

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia retrograd merujuk pada amnesia pada yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory. d. Visuospasial Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal. e. Fungsi eksekutif Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah /

persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan / mencari jalan keluar suatu persoalan. II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini (Waxman, 2007). Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik 1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar. 2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.

3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial. 4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan kognitif yaitu atensi. 5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal nuclei. Adapun forniks berperan dalam memori dan pembelajaran. 6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido dan siklus tidur / bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang. 7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak / sebagai stasiun relay ke korteks serebri. 8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran. 9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru. 10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi (Markam, 2003, Devinsky dkk. 2004).

Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain : 1. Lobus frontalis Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan. 2. Lobus parietalis Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual, auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang. 3. Lobus temporalis Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik dan visual.

4. Lobus oksipitalis Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori dan bahasa (Markam, 2003). II.2. TES UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF II.2.1. Cognitive Performance Scale (CPS) Pemeriksaan Cognitive Performace Scale ini pertama sekali diperkenalkan oleh Morris pada tahun 1994, dengan 5 bentuk pengukuran. Dimana bentuk bentuk pengukuran tersebut meliputi status koma (comatose status), kemampuan dalam membuat keputusan (decision making), kemampuan memori (short term memory), tingkat pengertian (making self understood) dan makan (eating). Tiap kategori dibagi dalam 7 grup, dimana pada skala nol (0) dinyatakan intact sampai skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif yang sangat berat (very severe impairment). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa CPS memberikan penilaian fungsi kognitif yang akurat dan penuh arti pada populasi dalam suatu institusi (Hartmaier dkk. 1995 ). Skor CPS didasarkan pada : (a) Apakah seseorang itu koma (b) Kemampuannya dalam membuat keputusan (c) Kemampuannya untuk membuat dirinya sendiri mengerti (d) Apakah terdapat gangguan pada short-term memory atau delayed recall

(e) Apakah terdapat ketergantungan dalam self performance dalam hal makan (eating) Skor CPS : (a) Nol : jika tidak terdapat gangguan dalam kemampuan membuat keputusan, membuat dirinya sendiri mengerti dan recent memory. (b) Satu : jika terdapat satu dari kriteria di bawah ini (i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified independence atau moderately impared (ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, biasanya, kadang kadang, jarang/tidak pernah mengerti atau (iii) Terdapat gangguan recent memory (c) Dua : jika terdapat dua dari kriteria di bawah ini (i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified independence atau moderately impared (ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, biasanya, kadang kadang, jarang/tidak pernah mengerti atau (iii) Terdapat gangguan short-term memory atau delayed recall

(d) Tiga : jika terdapat paling tidak dua dari kriteria (b) dan satu dari kriteria di bawah ini (i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately impaired atau (ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, kadang kadang atau jarang/tidak pernah mengerti (e) Empat : jika kedua kriteria berikut terpenuhi (i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately impaired dan (ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, kadang kadang atau jarang/tidak pernah mengerti (f) (g) Lima : jika kemampuan membuat keputusan severely impaired Enam : jika satu dari kriteria berikut terpenuhi (i) Kemampuan dalam membuat keputusan severely impaired dan terdapat ketergantungan penuh dalam hal makan atau (ii) Keadaan koma Kemampuan dalam membuat keputusan maksudnya adalah kemampuan membuat keputusan setiap hari tentang tugas atau aktivitas hidup seharihari, dibagi atas 4 yaitu : a. Independent : keputusan tentang rutinitas sehari-hari konsisten dan terorganisir.

b. Modified independence : aktivitas sehari-hari terorganisir, mampu membuat keputusan dalam situasi yang sudah biasa namun terdapat kesulitan dalam membuat keputusan apabila dihadapkan dengan tugas atau situasi yang baru. c. Moderately impaired : dibutuhkan peringatan, isyarat dan pengawasan dalam merencanakan dan memperbaiki rutinas sehari-hari. d. Severely impaired : pengambilan keputusan sangat terganggu, tidak pernah/sangat jarang membuat keputusan. Kemampuan membuat dirinya sendiri mengerti dibagi atas 4, yaitu : a. Mengerti : dapat menyatakan ide secara jelas. b. Biasanya mengerti : terdapat kesulitan dalam menemukan kata yang tepat dalam berkomunikasi sehingga responnya terlambat. c. Kadang kadang mengerti : terdapat kemampuan yang terbatas tetapi dapat menyatakan permintaan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar (seperti makanan, minuman, tidur, toilet). d. Jarang/tidak pernah mengerti: terdapat bunyi atau bahasa tubuh yang spesifik yang dimengerti secara terbatas oleh orang yang merawat (contoh menunjukkan adanya nyeri atau butuh ke toilet).

II.2.2. Mini Mental State Examination ( MMSE) Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum. Pemeriksaan MMSE kini adalah instrumen skrining yang paling luas digunakan untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk. 2009, Burns dkk. 2002). Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor MMSE normal 24 30. Bila skor kurang dari 24 mengindikasikan gangguan fungsi kognitif (Folstein dkk. 1975, Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003). Pada penelitian MMSE di Medan, yang dilakukan pada 473 orang sehat dengan rentang usia 16 75 tahun dan dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan didapatkan nilai yang berbeda untuk masing masing usia dan pendidikan yang berbeda (Sjahrir dkk. 2001).

Tabel 1. Nilai MMSE berdasarkan usia Dikutip dari : Sjahrir H.,Ritarwan K.,Tarigan S.,Rambe AS., Lubis ID., Bhakti I. The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level. Neurol J Southeast Asia.2001;6:19-22. Tabel 2. Nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan Dikutip dari : Sjahrir H.,Ritarwan K.,Tarigan S.,Rambe AS., Lubis ID., Bhakti I. The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level. Neurol J Southeast Asia.2001;6:19-22.

Pada penelitian Sjahrir, 2001, tabel 1 menunjukkan median, kuartil atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai usia dan pada tabel 2 menunjukkan median, kuartil atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai dengan tingkta pendidikan. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara usia dan skor MMSE namun terdapat hubungan antara skor MMSE dengan tingkat pendidikan, dimana skor yang semakin tinggi ditemukan pada subjek dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga, dengan nilai korelasi +0.36, p < 0,05. Namun pada penelitian ini ditemukan perbedaan yang tidak signifikan antara skor MMSE dengan jenis kelamin. Skor MMSE rata-rata untuk pria 27,0 dan wanita 26,8 (Sjahrir dkk. 2001). Instrumen ini disebut mini karena hanya fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State Examination (MMSE) menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working and immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah, pemahaman dan pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan praksis. Instrumen ini direkomendasikan sebagai screening untuk penilaian kognitif global oleh American Academy of Neurology (AAN) (Kochhann dkk. 2010). Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) dijadikan metode skrining untuk memantau perkembangan demensia. Secara

umum MMSE berkorelasi baik dengan berbagai pemeriksaan fungsi kognitif lainnya. Nilai cut-off yang bervariasi menyokong nilai sensitifitas dan spesifisitas yang maksimal pada populasi yang berbeda. Skor nya dapat mengalami bias oleh karena dasar tingkat pendidikan, bahasa dan kultur, yang mana pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat diklasifikasikan sebagai demensia dan pasien lainnya dengan tingkat pendidikan yang tinggi dapat terlupakan. Skor 23 dengan tingkat pendidikan sampai high school, dan skor ke 25 dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sering kali digunakan sebagai indikasi terdapat gangguan fungsi kognitif secara signifikan. Nilai MMSE secara umum menurun seiring dengan pertambahan usia. Meskipun skor rata rata yang rendah pada orang usia lanjut dapat mengakibatkan prevalensi demensia yang semakin meningkat pada kelompok usia lanjut. Skor 30 tidak selalu berarti fungsi kognitifnya normal dan skor 0 tidak berarti secara mutlak bahwa fungsi kognitifnya tidak ada (Woodford dkk. 2007). II.2.3. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) Pemeriksaan General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) merupakan salah satu bentuk dari Cambridge Cognitive (CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG merupakan bagian tersendiri untuk pemeriksaan fungsi kognitif dari Cambridge Examination for Mental Disoreders of the Elderly (CAMDEX). Cambridge Cognitive (CAMCOG) merupakan instrumen yang terstandarisasi yang digunakan untuk menilai

tingkat demensia dan untuk menilai tingkat gangguan kognitif. Pengukuran ini menilai orientasi, bahasa, memori, atensi, kemampuan berpikir abstrak, persepsi dan kalkulasi. Akibat adanya berbagai bentuk CAMCOG untuk menilai fungsi kognitif dalam berbagai tingkat kesulitan maka salah satu kelebihannya adalah kemampuannya untuk mendeteksi gangguan kognitif yang ringan (Burns dkk. 2002, Huppert dkk. 1995). Pemeriksaan GPCOG ini dipublikasi tahun 2002, yang terdiri 9 item cognitive dan 6 item informasi, yang diperoleh dari Cambridge Cognitive Examination, Psychogeriatric Assesssment Scale. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) memerlukan waktu 4 5 menit dalam melakukan penilaian dan memiliki akurasi diagnostik yang sama dengan MMSE dalam mendeteksi demensia (Brodaty dkk. 2002). Bentuk CAMCOG lainnya yaitu Revised CAMCOG (CAMCOG-R) dan Rotterdam CAMCOG (R-CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG-R dipublikasi pada tahun 1999 oleh Roth, Huppert, Mountjoy dan Tym. Revised CAMCOG (CAMCOG-R) meningkatkan kemampuan menilai dalam menentukan berbagai bentuk demensia dan untuk membuat diagnosa klinis yang berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV. Sedangkan R- CAMCOG dipublikasikan tahun 2000, R-CAMCOG merupakan versi yang lebih singkat dari CAMCOG yang terdiri dari 25 item. Diperlukan 10 25 menit dalam melakukan penilaian ini dan sama akuratnya dengan CAMCOG pada demensia pasca stroke (Inge de Koning dkk. 2000).

II.4. KERANGKA TEORI Usia lanjut Paquay dkk (2007) Skala CPS dihubungkan erat dengan skor MMSE,meskipun tidak ada studi tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan. Bula CJ. dkk (2009) Pasien dengan CPS abnormal memiliki resiko kematian yang semakin tinggi hanya apabila disertai dengan nilai MMSE yang abnormal juga. Wellens dkk (2012) Skor MMSE<24 memiliki nilai akurasi CPS yang moderate dengan sensitivitas yang rendah dan spesifitas yang memuaskan, namun skor MMSE<18 memiliki skor CPS dengan sensitivitas yang tinggi dan spesifitas yang rendah. Jones K.dkk (2010) Skor CPS yang semakin tinggi berhubungan dengan gangguan fungsional dan demensia yang semakin besar dibandingkan dengan skor CPS yang lebih rendah. MMSE Brodaty dkk. tahun 2002 didapatkan bahwa GPCOG reliable dan superior terhadap MMSE dengan sensitifitas 0,85 dan spesifitas 0,86. Thomas dkk. tahun 2006 didapatkan bahwa GPCOG dalam mendiagnosa demensia memiliki sensitifitas 96%, spesifitas 62%, positive predictive value 83% dan negative predictive value 90%. Pemeriksaan GPCOG akurat dan merupakan instrumen yang mudah diterima dalam melakukan skrining demensia. CPS GPCOG FUNGSI KOGNITIF

II.5. KERANGKA KONSEP Usia lanjut MMSE CPS GPCOG