STIE Putra Perdana Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1

Pengertian Produk Domestik Bruto

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang sektor industri, sektor perhubungan, sektor ekonomi bagi sektor-sektor yang mengelola terintegrasi.

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

PDRB HIJAU KOTA DEPOK 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN. Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA

STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA. M. Zainuri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan. sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan yang

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

BAB 3 METODE PENELITIAN

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

REVITALISASI KEHUTANAN

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

Pendapatan Nasional dan Perhitungannya. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

DAFTAR GAMBAR. Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB Nasional Tahun

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB II KONSEP, DEFINISI DAN METODOLOGI

ANALISIS KONTRIBUSI SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PDRB KOTA MEDAN

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan: Peserta PPG kompeten dalam menganalisis Pendapatan Nasional.

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME BAB IX PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER IX REGIONAL INCOME Struktur Ekonomi. 9.1.

MENENTUKAN BESARNYA NILAI SEWA PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN M. Suparmoko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur

Tantangan dan strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ekonomi K-13 PENDAPATAN NASIONAL K e l a s A. KONSEP PENDAPATAN NASIONAL Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN ROKAN HILIR: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Katalog BPS :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

Pendapatan Regional/ Regional Income

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. menjadi sumber pendapatan bagi beberapa negara di dunia. Pada tahun 2011,

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Dari hasil perhitungan PDRB Kota Bandung selama periode dapat disimpulkan sebagai berikut :

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

8.1. Keuangan Daerah APBD

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

NSDA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Deputi Bappenas Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di:

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Transkripsi:

KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN BLORA PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2002 2004 = Oleh : Dr. M. Suparmoko., M.A. Gathot Widyantara., S.E., M.M. Dosen tetap SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PUTRA PERDANA INDONESIA STIE Abstraction The forestry sector is a sector that contributes greatly to the development of both national and local levels. Forests in addition to produce timber and other byproducts such as resin, rattan, pharmaceuticals, forests also provide environmental services such as hold water, prevent flooding, reduce erosion and sedimentation, a source of biodiversity and forests also absorb carbon, thereby reducing air pollution. Therefore, the forest is very useful to support the life and development of all sectors of the economy such as agriculture, plantation and fisheries, industry, transport sector, the tourism sector, housing sector, and service sectors. The value of the contribution of the forestry sector in the Green GRDP Blora can be determined by subtracting the value of the depreciation of the value of the contribution of the forestry sector to the GRDP Blora conventional. In a row from 2002 to 2004, the value of the contribution of the forest sector in the green Blora GRDP respectively are: (2002: Rp 235.48 billion), (2003: Rp 300.69 billion), and (Year 2004 : USD 288.50 billion). Abstraksi Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan baik nasional maupun daerah. Hutan di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya seperti damar, rotan, bahan obatobatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan sektor-sektor jasa. Nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Blora dapat diketahui dengan mengurangkan nilai depresiasi sektor kehutanan dari nilai kontribusi konvensional pada PDRB Kabupaten Blora. Secara berturut-turut dari tahun 2002 hingga tahun 2004 nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB InoVasi Volume 9: April 2014 Page 322

Blora secara berturut-turut adalah: (Tahun 2002: Rp 235,48 milyar), (Tahun 2003: Rp 300,69 milyar), dan (Tahun 2004: Rp 288,50 milyar). merupakan negara yang memiliki hutan terluas nomor 3 (tiga) di I. Pendahuluan dunia setelah Brazil dan Kongo. Pada tahun 1977 luas tutupan hutan diperkirakan sekitar 100 juta hektar. Perkiraan rendah (modest estimate ) ada sekitar 20 juta orang yang mengandalkan kehidupannya langsung pada hutan. Sektor kehutanan juga merupakan penghasil devisa negara nomor 2 (dua) setelah minyak bumi dan gas alam pada periode tahun 1970-1980an. 1 Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan baik nasional maupun daerah. Hutan di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya seperti damar, rotan, bahan obat- obatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan sektor-sektor jasa. meningkat menjadi 2,1 ha/tahun antara 1997-2001, dan meningkat lagi menjadi 2,8 Namun kondisi hutan saat ini sangat memprihatinkan karena tingkat deforestasi hutan sangat tinggi sekitar 1,6 juta Ha/tahun antara 1985-1997, juta ha/tahun antara 2001-2004. 2 Sebagian besar kawasan hutan yang dinyatakan sebagai hutan lindung dan hutan konservasi justru banyak yang ditebang, sedangkan hutan produksi dan hutan konversi karena sudah menipis cadangan kayunya, justru boleh dikatakan hanya sebagian kecil saja yang diusahakan. Tampaknya juga ada motivasi lain bahwa para pemegang hak UPK yang akan mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan lebih senang memanen kayu hutan daripada memulai usaha perkebunan. Hasil diskusi dalam Rapat Koordinasi 1 Krystof Obidzinki and Christopher Barr, The Effects of Decentralization on Forests and Forest Industires in Berau District, East Kalimantan, CIFOR, Jakarta, 2003, 2 Bahan Pidato Kenegaraan Presiden Sektor Kehutanan (Draft Masukan Pusrentikhut) tak diterbitkan, 2004, hal 3; dan Dedi M. Riyadi, Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup : Antara Krisis dan Peluang, BAPPENAS, 2004, halaman 5. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 323

Departemen Kehutanan di Palangkaraya mencatat bahwa ada sekitar 600 ijin pembukaan hutan yang akan dikonversikan menjadi kebun kelapa sawit. Sementara baru ada sekitar 8 ijin yang merealisasikan pembukaan kebun kelapa sawit tesebut. 3 Disamping itu penebangan liar ( illegal logging) semakin marak pula. Salah satu sebab dari penebangan liar tersebut adalah adanya kelebihan kapasitas industri pengolahan kayu di atas produksi kayu yang legal. Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an industri kayu gergajian, industri kayu lapis dan industri bubur kayu bersama-sama diperkirakan mengkonsumsi 60-80juta m 3 kayu bulat per tahun. Sedangkan berdasarkan pengelolaan hutan berkelanjutan yang dicanangkan Pemerintah produksi kayu hutan hanya sebesar 25 m 3 per tahun. Jadi dengan permintaan akan kayu bulat yang lebih tinggi dibanding penawarannya yang secara legal diijinkan pemerintah, maka mau tidak mau kekurangan pasokan kayu dipenuhi dari penebangan liar. Belum lagi ada sejumlah besar kayu bulat yang diekspor ke Serawak melalui pelabuhan Entikong misalnya yang diperkirakan cukup besar jumlahnya. 4 Seperti telah disinggung bahwa ada motivasi lain bahwa para pemegang hak UPK yang akan mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan lebih senang memanen kayu hutan daripada memulai usaha perkebunan. Disamping itu penebangan liar semakin marak pula. Hingga tahun 2002 laju deforestasi hutan liar. Pembalakan liar disebabkan oleh peningkatan kebutuhan kayu bulat sebagai selama sepuluh tahun terakhir diperkirakan sebesar 1,6 juta ha/tahun (Renstra Dephut 2001-2005). Sebagian besar kerusakan hutan disebabkan oleh pembalakan bahan baku industri pengolahan kayu dan mebel, baik di dalam negeri maupun permintaan dari luar negeri seperti Cina dan India. Selain itu penegakan hukum yang tidak efektif juga menyebabkan pembalakan lilar semakin marak. Sekali lagi ditegaskan bahwa peranan hutan dalam perekonomian sangatlah besar yaitu di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya sebagai produk primer kehutanan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. 3 Rapat Koordinasi Departemen Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Mei InoVasi Volume 9: April 2014 Page 324 2006 4 Tesis Tidak Diterbitkan, kajian Ilmu Lingkungan Universitas, Jakarta, 2003

Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi lainnya mulai dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan bahkan sektor jasa sekalipun. Sektor kehutanan di sini telah mencakup sub-sektor hutan yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya dan sub-sektor industri pengolahan hasil hutan. Sub-sektor hutan yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya merupakan sektor unik dalam dalam perannya bagi pembangunan. Kontribusi sub- sektor hutan tersebut tidak boleh hanya dihitung dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB atau PDRB, karena PDB dan PDRB adalah suatu konsep yang hanya menghitung nilai produksi yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi. Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDB dan PDRB itu sama dengan nilai tambah (value added) dari sektor hutan. Nilai tambah itu merupakan jumlah semua jenis penghasilan (upah, gaji, sewa, bunga, laba) yang diciptakan d alam setiap kegiatan eksploitasi hasil hutan, sedangkan sumberdaya hutannya sendiri (kayu, damar, rotan, madu, dan gaharu, misalnya) yang benar-benar diekstraksi dari hutan tidak muncul dalam bentuk nilai tambah. Karena itu perhitungan kontribusi pada PDB dan PDRB yang diterapkan bagi sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam sebenarnya kurang tepat dan bersifat misleading dalam penghitungan penebangan hutan, pengambilan rotan, damar, madu, hewan liar, bunga-bungaan kontribusinya bagi pembangunan nasional. Nilai tambah sektor kehutanan ( kontribusi pada PDB) terjadi bila terdapat dan pengambilan produk-produk kehutanan lainnya yang selanjutnya diolah oleh sekor industri pengolahan produk primer hutan. Sebenarnya dapat pula nilai tambah sektor kehutanan tercipta jika terjadi reboisasi, penghijauan lahan kritis, dan sebagainya.jadi jika sektor kehutanan ingin meningkatkan kontribusinya kepada PDB, harus ada kegiatan penebangan hutan, ekstraksi sumberdaya hutan lainnya maupun kegiatan reboisasi serta penghijauan lahan kritis, atau peningkatan dalam kegiatan pengolahan hasil hutan di sektor industri. Namun PDB itu tidak akan besar ( kecil) karena nilai tambah yang diciptakan oleh produk sektor kehutanan ( hutan dan indsutri pengolahan hasil hutan) lebih banyak terjadi di luar sektor kehutanan dan dihitung sebagai kontribui sektor-sektor non-kehutanan. Jadi InoVasi Volume 9: April 2014 Page 325

terhadap PDB. nilai tambah tersebut dicatat sebagai kontribusi sektor lain di luar sektor kehutanan Sebagai contoh peghitungan nilai tambah sektor kehutanan saat ini hanya terbatas pada kegiatan di hutan dan pengolahan bahan primer hasil hutan saja. Padahal seperti industri kertas, industri kapal, industri mebel, industri rumah dan bangunan, industri transportasi darat (truk, kereta api, maupun trasnportasi air) banyak menggunakan bahan dari kayu. Industri farmasi dan obat-obatan banyak menggunakan produk hasil hutan seperti daun-daunan, akar-akaran, binatang liar dan sebagainya. Demikian juga industri perdagangan dan perhotelan tidak mungkin tidak menggunakan produk hutan seperti kayu, rotan, bunga-bungaan dan lain sebagimnya. Tetapi semua nilai tambah dari kegiatan yang menggunakan bahan hasil hutan tidak dihitung sebagian atau seluruhnya sebagai kontribusi sektor kehutanan pada PDB dan PDRB, melainkan dihitung sebagai nilai tambah masingmasing sektor yang melakukan kegiatan yang memanfaatkan hasil produksi kehutanan tersebut. Menurut harga berlaku sektor kehutanan ( hutan dan industri pengolah hasil hutan) menciptakan kontribusi dalam arti absolut ( rupiah) yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata setinggi 18,73% per tahun. Laju pertumbuhan setinggi itu terbentuk dari laju pertumbuhan sektor hutan murnisetinggi 13,29% per 1993 sampai dengan 2004, maka dapat diperkirakan sektor kehutanan murni tanpa tahun dan laju pertumbuhan sektor industri pengolah hasil hutansetinggi 28,36% per tahun. Dengan perhitungan laju inflasi rata-rata setinggi 14,23% per tahun antara industri pengolahan hasil hutan mengalami laju pertumbuhan negatif ( -0,94% per tahun) untuk periode waktu yang sama. Sektor industri pengolahan hasil hutan secara riel mengalami pertumbuhan sebesar 14,23% per tahun untuk periode waktu 1993 2004. Dan secara keseluruhan untuk sektor kehutanan ( hutan dan indsutri pengolah hasil hutan) mengalami pertumbuhan riel setinggi 4,5% per tahun antara tahun1993-4004. Peningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada PDB hanya akan terjadi bila nilai tambah sektor kehutanan meningkat lebih cepat daripada peningkatan nilai tambah sektor-sektor lain, karena sektor-sektor lain juga berusaha meningkatkan produksinya. Oleh karena itu kontribusi ( share) dalam arti InoVasi Volume 9: April 2014 Page 326 persentase tidak harus meningkat, karena meningkatnya kontribusi suatu sektor

(dalam %) akan selalu diimbangi oleh menurunnya kontribusi (dalam%) oleh sektorsektor lain. Kontribusi sektor kehutanan di Kabupaten Blora tidak boleh hanya dihitung dari kontribusinya terhadap pembentukan PDRB saja, karena PDRB merupakan suatu konsep yang hanya menghitung nilai produksi yang dihasilkan oleh semua kegiatan dalam suatu perekonomian secara regional. Seperti telah diketahui bersama bahwa kontribusi sektor kehutanan yang mencakup produksi hasil-hasil hutan dan industri pengolahan produk primer kehutanan, relatif kecil dan mulai menurun dari tahun ke tahun sejak 1998. Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di bidang lingkungan hidup yang tertuang dalam PP No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, khususnya dalam kerangka Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, telah diarahkan untuk disusun dan diterapkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau sebagai salah satu instrumen perencanaan. Penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan ( sektor produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta industri pengolahan hasil hutan primer) terhadap PDRB sebelumnya telah diujicobakan di Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB di Kab. pula. Namun bila dinilai dari besarnya kontribusi sektor kehutanan pada Berau menghasilkan angka negatif. Hal ini karena Kabupaten Berau memang masih memiliki hutan alam yang cukup luas dengan tingkat penebangan hutan yang tinggi pembangunan daerah dan pembangunan nasional maka nilai yang dihasilkan positif dan cukup besar yaitu berupa nilai tambah yang diciptakan seperti yang tercantum pada Laporan PDRB yang selanjutnya ditambah dengan nilai deplisi sumberdaya hutan dan nilai degradasi lingkungan yang ditimbulkannya. Perhitungan kontribusi hijau sektor kehutanan yang dilakukan di Kabupaten Berau belum tentu sama dengan kontribusi hijau sektor kehutanan yang terjadi di daerah/kabupaten lain. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kontribusi sektor kehutanan kepada pembangunan daerah pada umumnya, dirasa perlu dilakukan penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB di beberapa daerah/kabupaten lain. Untuk mempermudah para InoVasi Volume 9: April 2014 Page 327 peminat/petugas di daerah untuk menyusun Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan

dalam PDRB atau dalam pembangunan di daerah, maka telah disusun pula sebuah panduan dalam bentuk Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan 5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat regional atau daerah, seperti Propinsi, Kabupaten dan Kota. PDRB yang selama ini dihitung atau disebut sebagai PDRB Konvensional (Coklat) hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi tanpa memasukkan dimensi lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus dikembangkan dengan memasukkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau yang disebut sebagai PDRB Hijau, karena PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau dapat dimanfaatkan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih baik, karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara lebih lengkap. Kesadaran atas perlunya pemahaman tentang PDRB Hijau telah mendorong Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik untuk menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di beberapa kabupaten, sehingga peranan dan kontribusi sektor kehutanan dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen perencanaan pengelolaan dan pada pembangunan daerah dan pembangunan nasional akan tampak lebih realistis. Selanjutnya hasil perkiraan nilai kontribusi hijau yang lebih lengkap itu dapat pengembangan sektor kehutanan dengan lebih baik dan sempurna. Kegiatan studi yang akan dilakukan adalah menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di Kabupaten Blora, dengan harapan agar peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah di Kabupaten tersebut akan tampak lebih realistissehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah yang bersangkutan akan dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan. Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor InoVasi Volume 9: April 2014 Page 328 5 Toni Suhartono, dkk, Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan, Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2005.

kehutanan, tetapi juga bagi para pelaksana pemerintahan maupun anggota DPRD yang bersangkutan. Lokasi sebagai penerapan studi mengenai kontribusi hijau oleh sektor kehutanan pada PDRB telah ditentukan yaitu di Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah. II. Metodologi Secara konvensional PDRB merupakan ukuran keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah apakah itu kabupaten, kota maupun propinsi. Karena PDRB sudah menjadi wacana nasional dan perwilayahan sejak pemerintahan Orde Baru, maka setiap daerah tingkat satu dan tingkat dua pada waktu itu sudah mampu secara rutin menyajikan data atau hasil perhitungan PDRB untuk setiap tahunnya. Budaya demikian berlanjut sampai sekarang baik untuk daerah kabupaten, kota maupun propinsi.apa yang dimaksud dengan PDRB? Pada dasarnya PDRB merupakan seluruh jumlah barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perekonomian atau pembangunan regional ( daerah): kabupaten, kota, maupun propinsi, dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Dalam konsep PDRB yang konvensional tidak diperhitungkan dimensi lingkungan, artinya hilangnya nilai sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan tidak diperhitungkan dalam penghitungan PDRB sebagai bagian dari angka penyusutan konvensional itu kita sebut dengan istilah PDRB Coklat karena dalam modal, maka nilai PDRB yang diperoleh hanya mencerminkan hasil kegiatan ekonomi suatu kabupaten, kota atau propinsi tertentu. Karenanya PDRB yang penghitungannya belum memasukkan penyusutan nilai modal alami yaitu sumberdaya alam dan lingkungan.produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau merupakan pengembangan dari PDRB Coklat. PDRB Coklat sendiri merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) dalam waktu satu tahun. Nilai PDRB suatu daerah sebenarnya adalah nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor usaha di daerah tersebut. Untuk keperluan analisis ekonomi daerah, PDRB dan serta perencanaan pembangunan di pendapatan regional 6 ditampilkan menurut sektor kegiatan InoVasi Volume 9: April 2014 Page 329 6 Yang dimaksud dengan pendapatan regional adalah nilai PDRB setelah dikurangi dengan nilai penyusutan barang modal dan nilai pajak tidak langsung. Adapun yang dimaksud dengan pajak tidak

menilai keberhasilan pembangunan di daerah yang bersangkutan. satu tahun dan dinyatakan dalam nilai rupiah. Nilai yang dihasilkan seolah-olah sesungguhnya tidak demikian karena nilai sumberdaya ekonomi atau lapangan usaha. PDRB banyak digunakan sebagai instrumen untuk Dengan mengetahui kontribusi maupun laju pertumbuhan masing-masing sektor terhadap PDRB, maka hasil-hasil pembangunan per sektor dapat diketahui dengan jelas dan rencana pembangunan daerah karenanya dapat disusun secara lebih akurat. Namun demikian, penghitungan PDRB yang sudah dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa ( final product) yang dihasilkan selama memberikan gambaran tentang struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh suatu daerah, baik secara total maupun secara sektoral, sehingga dianggap mencerminkan kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan. Tetapi alam yang hilang (dieksploitasi) dan kerusakan ( degradasi) lingkungan akibat kegiatan ekploitasi itu sendiri belum diperhitungkan sebagai nilai kehilangan dan kerusakan yang seharusnya dibayar, sehingga nilai-nilai yang tercantum dalam PDRB yang konvensional itu belum menunjukkan nilai kemajuan pembangunan ataukesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. 7 Oleh karena itu, untuk membuat agar nilai-nilai yang ada di dalam PDRB mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil kegiatan GRDP) yang disebut juga sebagai PDRB Hijau yaitu dengan memasukkan ke dalam perekonomian atau pembangunan suatu daerah, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan ( adjusted gross regional domestic bruto / penghitungan PDRB (Coklat) nilai deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan (undesirable outputs). Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan acuan dasar yang lebih komperhensif bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan memperhatikan keberadaan faktor sumberdaya alam dan lingkungan di samping faktor-faktor lainnya. langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeserkan pada pihak lain, seperti PPN, pajak penjualan barang mewah, maupun cukai. 7 PDRB yang sekarang ada disusun secara konvensional dan disebut sebagai PDRB Coklat. Istilah PDRB coklat sebenarnya karena disejajarkan dengan adanya istilah Green GDP dan Brown GDP yang dikeluarkan oleh United Nations Statistical Office (UNSO, System of Integrated Economic and Environmental Account, New York, 1993. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 330

menghitung yaitu: a) dengan menjumlahkan seluruh nilai tambah dari setiap sektor pendekatan nilai tambah atau pendekatan produksi. Untuk setiap sektor kegiatan Nilai produksi Dalam penghitungan nilai PDRB ada (3) tiga pendekatan utama dalam kegiatan ekonomi, b) dengan menjumlahkan semua jenis pendapatan yang diperoleh oleh para pemilik faktor produksi, seperti: tenaga kerja; modal; alat, perlengkapan dan sumberdaya alam; serta keahlian; dan c) dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran setiap kegiatan di masing-masing sektor. Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, maka lebih banyak digunakan ekonomi dihitung kontribusinya terhadap angka PDRB dengan cara seperti pada Gambar 1. Rp Intermediate inputs (bahan-bahan) - (-) Nilai tambah(pdrb) Coklat Rp... Gambar 1 Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB Coklat Yang dimaksud dengan intermediate inputs adalah semua bahan yang tidak memiliki produk yang dapat dijual di pasar seperti sektor pemerintahan dan digunakan dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja.kalau suatu sektor pendidikan, biasanya dipakai pendekatan pendapatan yaitu balas jasa terhadap faktor produksi dalam bentuk upah/gaji, sewa, bunga dan laba. Kalau pendekatan ini yang dipakai, angka atau nilai yang diperoleh bukannya PDRB, tetapi Pendapatan Regional. Untuk sampai pada nilai kontribusi hijau harus ditambahkan penyusutan barang modal buatan manusia, baru kemudian dikurangi dengan nilai deplesi dan nilai degradasi lingkungan. Selanjutnya cara menghitung nilai PDRB semi Hijau. PDRB Semi Hijau adalah hasil pengembangan konsep PDRB Coklat dengan memasukkan dimensi lingkungan (deplesi SDA dan kerusakan lingkungan) ke dalam perhitungan PDRB konvensional. PDRB konvensional ini, yang kita sebut juga dengan PDRB COKLAT InoVasi Volume 9: April 2014 Page 331

sampai pada PDRB Semi Hijau. Perhatikan Gambar 2 di bawah ini. STIE Deplesi SDA Gambar 2. Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi Semi Hijau terhadap PDRB untuk dikembangkan menjadi PDRB Hijau langkah perhitungannya adalah PDRB semi hijau dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan hasil yang didapatkan baru Nilai produksi hutan Rp Intermediate inputs (bahan-bahan) Rp (-) Nilai tambah atau Rp... (PDRB Coklat) PDRB Semi Hijau Rp... Rp Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau, maka selanjutnya nilai-nilai kontribusi pada PDRB Semi Hijau masih harus dikurangkan lagi nilai kerusakan atau degradasi lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh nilai PDRB Hijau yang sebenarnya. Jadi sebagaimana tampak pada Gambar 3 di bawah ini. Rp Degradasi lingkungan Rp (-) PDRB HIJAU Rp (-) Gambar 3.3 Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB Hijau Dalam hal ini sektor yang diamati atau dikaji adalah sektor kehutanan yang berkaitan dengan deplesi dan degradasi sumberdaya hutan di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Secara singkat tahapan studi ini mencakup: InoVasi Volume 9: April 2014 Page 332

1. Mengidentifikasi jenis dan volume sumberdaya hutan yang digunakan dan diambil langsung dari hutan. Untuk ini informasi diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Kantor Badan Statistik Daerah, serta wawancara langsung dengan beberapa perusahaan dan industri yang menggunakan bahan baku dari hutan. 2. Melakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya hutan yang digunakan atau diambil. Valuasi dilakukan dengan pendekatan nilai pasar untuk produkproduk yang memiliki nilai pasar dan dipasarkan, atau menggunakan nilai barang pengganti dan barang pelengkapnya, maupun dengan contingent valuation dengan kesediaan membayar atau kesediaan menerima pembayaranuntuk produk yang tidak memiliki harga pasar atau untuk tidak dipasarkan khususnya untuk menaksir nilai kerusakan lingkungan. Data harga diperoleh baik dari data sekunder ataupun data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan penggunaan sumberdaya hutan. 3. Menghitung volume kerusakan atau pencemaran karena pengambilan sumberdaya hutan dan proses produksi industri pada sektor kehutanan. Untuk ini digunakan beberapa metode pendekatan seperti metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefits transfer. Kemudian valuasi ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti adanya kegiatan industri pengolahan hasil hutan digunakan pendekatan (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang ( forgone income). Untuk menghitung degradasi atau dampak negatif yang ditimbulkan karena penghitungan biaya pengolahan limbah dari industri pengolahan hasil hutan misalnya prevention cost. 4. Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi industri pengolahan hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya nilai-nilai tersebut dikurangkan dengan nilai kontribusi sektor kehutanan, sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. 5. Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan dapat diperoleh dengan cara menambahkan kontribusi sektor kehutanan dengan depresiasi lingkungan dan dikurangi degradasi industri pengolahan hasil hutan. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 333

III. Hasil dan Pembahasan Nilai Kontribusi sektor kehutanan Kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga tahun 2004 tampak terus meningkat dari waktu ke waktu walaupun secara persentase Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora mengalami fluktuasi. Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Blora selain berasal dari nilai tambah karena kegiatan produksi kehutanan juga berasal STIE dari nilai tambah kegiatan industri yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu dan hasil hutan lain, tetapi karena keterbatasan data nilai kontribusi industri gergajian, industri rotan, serta industri lainnya yang menggunakan bahan dasar kayu pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya tidak dapat ditampilkan karena nilai kontribusi sektor industri pengolahan tidak dirinci secara detail. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. yang menyajikan nilai-nilai kontribusi sektor kehutanan dan sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya. Pada kolom terakhir disajikan nilai PDRB absolut Kabupaten Blora sebagai referensi untuk mengetahui berapa sesungguhnya nilai PDRB Kabupaten Blora dalam nilai rupiah. Dari Tabel 1. tampak bahwa kontribusi kayu dan hasil hutan lain pada PDRB Coklat dari tahun 2002 hingga tahun 2004 pada awalnya meningkat dari 15,86% pada tahun 2002 menjadi 16,62% pada tahun 2003. Namun setelah itu menurun menjadi 16,56% pada tahun 2004. Sedangkan untuk kontribusi industri pengolahan kayu dan hasil hutan di Kabupaten Blora tidak ada data. Tabel 1.Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat Kabupaten Blora 2002-2004 Tahun Kayu & Hasil Hutan Lain Rp (milyar) (%) Industri Pengolahan Kayu & Hasil Hutan Lain Rp (milyar) (%) Sektor Kehutanan Rp (milyar) (%) PDRB Coklat Rp (milyar) InoVasi Volume 9: April 2014 Page 334

Sumber : BPS, Kabupaten Blora, 2005 1 2 3 4 5 2 + 4 3 + 5 6 2002 324,73 15,86 - - 324,73 15,86 2.047,13 2003 378,65 16,62 - - 378,65 16,62 2.278,57 2004 426,66 16,56 - - 426,66 16,56 2.576,35 Deplesi kayu hutan adalah hilangnya kayu hutan akibat penebangan yang tercermin dari jumlah kayu yang ditebang di hutan. Tabel 2. menunjukkan luas areal tebangan dan volume kayu yang ditebang di Kabupaten Blora antara tahun 2002 hingga 2004 menurut Kesatuan Pemangkuan Hutan yang masuk dalam wilayah No. administrasi Kabupaten Blora. KPH Tabel 2.Luas Tebangan dan Produksi Kayu Jati di Kabupaten Blora Tahun 2002 2004 2002 2003 2004 Luas Luas Luas Tebangan M 3 Tebangan M 3 Tebangan M 3 1 Blora 114,60 8.593,00 165,50 5.006,00 161,70 5.453,00 2 Randublatung 249,00 57.376,00 303,90 33.466,00 428,70 57.130,00 3 Cepu 1.681,10 20.200,00 1.494,40 26.405,00 2.474,50 41.189,00 4 Mantingan - - - - - - 5 Kebonharjo 209,90 213,00 115,10 601,00 143,50 1.653,00 STIE 6 Ngawi - - - - - - Jumlah 2.254,60 86.382,00 2.078,90 65.478,00 3.208,40 105.425,00 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Jenis kayu di Kabupaten Blora dibedakan menjadi dua yaitu jenis kayu jati dan jenis kayu mahoni. Dari Tabel 2. tampak bahwa antara tahun 2001 hingga 2004 terjadi penurunan volume produksi kayu jati pada tahun 2003 yaitu dari 86.382 m 3 pada tahun 2002 menjadi 65.478 m 3 pada tahun 2003. Pada tahun berikutnya, volume penebangan kayu mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 105.425 m 3 pada tahun 2004. Sedangkan untuk kayu mahoni terjadi penurunan yang cukup drastis kurang lebih 50% dari tahun ke tahun yaitu sebanyak 2.934 m 3 pada tahun 2002 menjadi 1.410,84 m 3 pada tahun 2003 dan selanjutnya menjadi 672,96 m 3. Untuk data luas tabangan kayu Mahoni tidak ada dikarenakan untuk produksi kayu tersebut merupakan hasil ikutan produksi kayu Jati. Tabel 3.Luas Tebangan dan Produksi Kayu Mahoni di Kabupaten Blora Tahun 2002 2004 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 335

2002 2003 2004 Tabel 4. Produksi Kayu Bakar di Kabupaten Blora KPH Luas Luas Luas No. KPH Tebangan M 3 Tebangan M 3 Tebangan M 3 1 Blora - 43,00-5,00-18,00 2 Randublatung - 2.891,00-910,00-648,00 3 Cepu - - - 495,84-6,96 4 Mantingan - - - - - - 5 Kebonharjo - - - - - - 6 Ngawi - - - - - - Jumlah - 2.934,00-1.410,84-672,96 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Catatan : Merupakan Hasil Ikutan Tebangan Kayu Jati Tahun 2002 2004 2002 2003 2004 No. m 3 m 3 m 3 1 Blora 1.911,00 819,00 61,00 2 Randublatung 1.922,00 1.494,00 1.259,00 3 Cepu 793,70 476,50 592,00 4 Mantingan - - - 5 Kebonharjo - - - 6 Ngawi - - - Jumlah 4.626,70 2.789,50 1.912,00 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Setelah volume penebangan kayu dan produksi kayu bakar diketahui, maka dapat dihitung nilai deplesinya. Untuk melakukan penghitungan tersebut diperlukan nilai rente per unit (unit rent atau unit price) untuk menghitung nilai sumberdaya alam yang dideplesi. Data rente per unit untuk kayu di Kabupaten Blora belum ada sehingga perlu dihitung dengan menggunakan pendekatan harga pasar. Selanjutnya setelah didapatkan maka akan diperoleh laba kotor perusahaan diperoleh dengan mengurangkan seluruh biaya produksi dari harga kayu. Laba kotor ini masih dikurangi lagi dengan laba layak ( normal profit) perusahaan yang dalam hal ini dicerminkan sebesar suku bunga bank sebagai alternatif investasi yang dapat dilakukan oleh pemilik modal atau dalam perum perhutani itu sendiri sehingga diperoleh nilai unit rent. Besarnya suku bunga bank dalam studi ini adalah sebesar suku bunga SBI yang ditentukan oleh Bank. Adapun penghitungan unit rent untuk masing-masing komoditi adalah sebagai berikut: InoVasi Volume 9: April 2014 Page 336

Tabel 5.Penghitungan Unit Rent Kayu Jati Kabupaten Blora Tahun 2002-2004 (Rp/m 3 ) Keterangan 2002 2003 2004 Harga Kayu Jati 2.516.000,00 2.668.721,20 2.828.310,73 Biaya Umum 503.952,41 534.542,32 566.507,95 Biaya Pemasaran 70.876,98 75.179,21 79.674,93 Biaya Pembinaan Hutan 539.952,16 572.727,26 606.976,35 Biaya Sarana dan Prasarana 95.007,48 100.774,44 106.800,75 Biaya Eksploitasi Hutan 270.799,09 287.236,60 304.413,35 Biaya Penyusutan 20.377,78 21.614,71 22.907,27 Biaya Lain-lain 3.474,18 3.685,06 3.905,43 Total Biaya 1.500.965,90 1.595.759,60 1.691.186,02 Laba Kotor 1.015.034,10 1.072.961,60 1.137.124,71 Laba Layak 229.347,59 165.799,42 119.566,85 STIE Unit rent 785.686,51 907.162,18 1.017.557,86 10,39% tahun 2002 = 7,07%) Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi.(suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = Tabel 6. Penghitungan Unit Rent Kayu Mahoni Kabupaten Blora Tahun 2002-2004 (Rp/m 3 ) Keterangan 2002 2003 2004 Harga Kayu Mahoni 747.343,75 792.707,52 840.111,43 STIE Biaya Umum 149.692,24 158.778,56 168.273,52 Biaya Pembinaan Hutan 160.385,48 170.120,88 180.294,11 Biaya Sarana dan Prasarana 28.220,69 29.933,68 31.723,72 Biaya Eksploitasi Hutan 80.437,21 85.319,74 90.421,86 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 337

Biaya Pemasaran 21.053,05 22.330,97 23.666,36 Biaya Penyusutan 6.052,94 6.420,36 6.804,29 Biaya Lain-lain 1.031,96 1.094,60 1.160,06 Total Biaya (446.873,57) (473.998,79) (502.343,92) Laba Kotor 300.470,18 318.708,72 337.767,51 Laba Layak 68.282,28 49.248,47 35.515,72 STIE Unit rent 232.187,90 269.460,25 302.251,79 Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi.(suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = 10,39% tahun 2002 = 7,07%) Tabel 7. Penghitungan Unit Rent Kayu Bakar Kabupaten Blora Tahun 2002-2004 (Rp/SM) Keterangan 2002 2003 2004 Harga Kayu Bakar 61.733,30 63.059,59 69.118,75 STIE Biaya Pengangkutan 9.145,67 9.342,16 10.239,81 Biaya Lain-lain 6.859,26 7.006,62 7.679,86 Total Biaya 16.004,93 16.348,78 17.919,68 Laba Kotor 45.728,37 46.710,81 51.199,07 Laba Layak 2.445,55 1.698,64 1.266,92 Unit rent 43.282,82 45.012,17 49.932,15 Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi. (Suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = 10,39% tahun 2002 = 7,07%) Hasil penghitungan unit rent untuk kayu Jati, kayu Mahoni serta kayu bakar dari tahun 2002 hingga tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 8. berikut: Tabel 8. Unit Rent Kayu dan Hasil-hasil hutan lainnya di Kabupaten Blora InoVasi Volume 9: April 2014 Page 338

Tahun 2002 2004 Hasil Hutan Rp/unit 2002 2003 2004 Jati Rp/M 3 785.686,51 907.162,18 1.017.557,86 Mahoni Rp/M 3 232.187,90 269.460,25 302.251,79 Kayu Bakar Rp/SM 43.282,82 45.012,17 49.932,15 Sumber : Tabel 5., Tabel 6., dan Tabel 7. Dengan diketahuinya nilai unit rent dari masing-masing jenis kayu dan kayu bakar, maka dapat dihitung nilai deplesi kayu Jati, kayu Mahoni dan kayu bakar yaitu dengan cara mengalikan antara jumlah produksi dengan nilai unit rent untuk masingmasing komoditi. Penghitungan ini bertujuan untuk menunjukkan nilai kekayaan alam atau aset alam yang hilang akibat penebangan kayu hutan yang tidak diperhitungkan sebagai biaya atau modal alam. Oleh karena itu, nilai atau hasil dari sektor kehutanan belum mencerminkan nilai yang sesungguhnya dari hasil hutan karena modal alam belum diperhitungkan seperti halnya modal kapital dalam sebuah investasi. Adapun hasil penghitungan deplesi tampak seperti dalam Tabel 9. berikut: Tabel 9. Nilai Deplesi dan Hasil-hasil hutan lainnya di Kabupaten Blora Tahun 2002 2004(Rp. Juta) Mahoni 681,24 380,17 203,40 2002 2003 2004 Jati 67.869,17 59.399,17 107.276,04 Kayu Bakar 200,26 125,56 95,47 Jumlah 68.750,67 59.904,89 107.574,91 Sumber : data diolah Salah satu sektor andalan di Kabupaten Blora yang terus mendapat perhatian hingga saat ini adalah sektor pertambangan. Dari tahun 2002 ke tahun 2003 kontribusi sektor mengalami peningkatan dari 15,86 % menjadi 16,56 %. Seperti telah diketahui bahwa kegiatan penebangan hutan selain mengakibatkan berkurangnya cadangan atau stock kayu di hutan, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Hutan memiliki fungsi lingkungan yang sangat beragam, namun hingga kini penghitungan kontribusi InoVasi Volume 9: April 2014 Page 339 sektor kehutanan terhadap perekonomian tidak pernah memasukkan nilai fungsi

lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Oleh karenanya kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian memiliki prosentase yang sangat kecil yaitu rata-rata 16% per tahun khususnya di kabupaten Blora. Untuk menunjukkan nilai yang sesungguhnya dari sumberdaya hutan, maka selain nilai kayu yang dihasilkan juga harus dihitung nilai jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan apabila hutan dipelihara dengan memperhatikan konsep kelestarian atau bahkan dengan kaidah konservasi. Mengingat data yang tersedia tentang macam dan besaran serta dampak degradasi lingkungan masih sangat terbatas, maka pendekatan penghitungan degradasi lingkungan akibat penebangan hutan atau eksploitasi kayu di Kabupaten Blora dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan yang telah dilakukan dalam studi-studi sejenis ( benefit transfer approach). Seperti telah diketahui bahwa hutan memiliki fungsi sebagai pencegah banjir, penyerap karbon ( carbon sink), konservasi air dan tanah, keanekaragaman hayati, transportasi air, pencegah erosi dan sedimentasi. Dengan adanya kegiatan penebangan di hutan, maka dapat dipastikan terjadi degradasi lingkungan yang ditunjukkan dengan hilangnya fungsi hutan seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam studi ini, penghitungan degradasi lingkungan dihitung dengan menggunakan pendekatan hasil studi yang sudah dilakukan oleh peneliti lain untuk mengestimasi Kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga tahun 2004 pada Tabel 11. dan biaya per jenis kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penebangan kayu hutan (indirect used value). Dengan menggunakan data luas hutan yang ditebang di mengalikannya dengan nilai jasa hutan pada Tabel 10. maka akan diperoleh nilai degradasi sektor kehutanan kabupaten Blora. Tabel 10. Persentase dan Nilai Jasa Hutan Jenis Nilai Jasa yang Dihasilkan Nilai (US$/ha/thn) STIE Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati 1.835,83 847,12 133,85 525,92 123,81 210,79 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 340

Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan 195,34 69,28 126,05 Sumber : Suparmoko dan NRM Catatan : Nilai degradasi ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan. Tabel 11. Luas hutan yang ditebang menurut Jenis kayu STIE di Kabupaten Blora Tahun 2002 2004 (ha) 2002 2003 2004 Jati 2.254,60 2.078,90 3.208,40 Mahoni - - - Total Area 2.254,60 2.078,90 3.208,40 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Nilai degradasi yang ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan. Adapun hasil penghitungan nilai degradasi hutan yang telah disesuaikan dengan nilai kurs yang berlaku di Kabupaten Blora dilakukan pada dua skenario dan dapat dilihat pada Tabel 12. dan Tabel 13. Untuk skenario yang pertama diasumsikan bahwa dari luas hutan yang ditebang akan berakibat rusak atau hilangnya fungsi hutan sebesar 100 %, sedangkan skenario yang ke kedua disamusikan dari luas hutan yang ditebang maka fungsi atau jasa hutan akan rusak sebesar 50% hal ini dikarenakan walaupun terjadi penebangan hutan akan tetapi pada areal penebangan tersebut masih tersisa pohonnya. Skenario I Tabel 12. Nilai Degradasi hutan Skenario I di Kabupaten Blora Tahun 2002 2004(Rp juta) InoVasi Volume 9: April 2014 Page 341 Fungsi Lingkungan 2002 2003 2004

37.071,79 32.647,65 55.307,24 I. Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah 17.053,60 15.018,43 25.442,19 Penyerap karbon 2.694,64 2.373,07 4.020,13 Pencegah banjir 10.587,47 9.323,96 15.795,39 Transportasi air 2.492,55 2.195,09 3.718,62 Keanekaragaman hayati 4.243,53 3.737,11 6.330,90 II. Atas dasar bukan penggunaan Sumber : data diolah 3.932,36 3.463,08 5.866,68 Nilai opsi 1.394,72 1.228,28 2.080,78 Nilai keberadaan 2.537,64 2.234,80 3.785,90 Total Degradasi I + II 41.004,15 36.110,73 61.173,91 Skenario II Tabel 13. Nilai Degradasi hutan Skenario IIdi Kabupaten Blora Tahun 2002 2004(Rp juta) Fungsi Lingkungan 2002 2003 2004 I. Nilai penggunaan tak langsung 18.535,89 16.323,83 27.653,62 STIE Konservasi air dan tanah 8.526,80 7.509,22 12.721,10 Transportasi air 1.246,27 1.097,54 1.859,31 Penyerap karbon 1.347,32 1.186,53 2.010,06 Pencegah banjir 5.293,73 4.661,98 7.897,70 Keanekaragaman hayati 2.121,76 1.868,55 3.165,45 II. Atas dasar bukan penggunaan 1.966,18 1.731,54 2.933,34 Nilai opsi 697,36 614,14 1.040,39 Nilai keberadaan 1.268,82 1.117,40 1.892,95 Total Degradasi I + II 20.502,08 18.055,37 30.586,96 Sumber : data diolah Dari Tabel 12. dan Tabel 13. di atas tampak bahwa nilai degradasi terbesar terjadi pada fungsi hutan untuk konservasi air dan tanah, kemudian diikuti dengan fungsi hutan sebagai pencegah banjir, fungsi hutan sebagai tempat berkembangnya InoVasi Volume 9: April 2014 Page 342

keanekaragaman hayati, diikuti dengan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dan fungsi menjaga kelangsungan transportasi air. Sedangkan untuk nilai atas dasar bukan penggunaan terbesar adalah fungsi keberadaan hutan yaitu penilaian masyarakat akan pentingnya hutan, dan nilai opsi yaitu nilai pilihan untuk memanfaatkan hutan di masa mendatang. Dari hasil perhitungan nilai deplisi dan degradasi tampak bahwa nilainya selalu lebih besar dibandingkan dengan jumlah retribusi atau pungutan (PSDH) yang dikenakan untuk setiap m 3 kayu yang besarnya pada tahun 2004 hanya sebesar Rp. 74.500,- per m 3 atau apabila kita bandingkan antara nilai deplisi dan jumlah penerimaan PSDH di kabupaten Blora maka nilainya sangat jauh selisihnya yaitu Rp 107,6 milyar untuk nilai deplisi pada tahun 2004 dan Rp 6,6 milyar untuk penerimaan pembayaran PSDH kabupaten Blora tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pungutan atau retribusi yang dikenakan masih terlalu rendah karena tidak memperhitungkan nilai atau aset alam. Tabel 14. Pembayaran PSDH Di Kabupaten Blora Tahun 2004 (Rp Juta) No. K P H 2004 1 KPH Blora 421,32 4 KPH Mantingan 359,58 Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Blora 2 KPH Randu Blatung 3.337,50 3 KPH Cepu 2.297,34 5 KPH Kebonharjo 155,00 6 KPH Ngawi 43,60 Total 6.614,33 Dengan diperolehnya nilai produksi hutan yang tercermin dalam besarnya kontribusi Coklat sektor kehutanan dalam PDRB, nilai deplesi kayu hutan, dan niai degradasi lingkungan sebagai akibat penebangan kayu hutan, maka dapat dilihat bahwa total nilai deplesi dan degradasi hutan kurang lebih sekitar 30 % dari nilai kontribusi Coklat sektor kehutanan dalam PDRB. Hal ini berarti bahwa nilai atau harga yang selama ini digunakan untuk menilai kayu hutan masih jauh lebih rendah dari nilai InoVasi Volume 9: April 2014 Page 343

sebagai suatu ekosistem diabaikan dan dianggap tidak memiliki nilai. transportasi air, keanekaragaman hayati, serta memiliki nilai lainnya yaitu nilai opsi yang dihitung dengan memasukkan nilai deplesi dan degradasi sumberdaya alam kerusakan fungsi lingkungan sebesar 100% sedangkan untuk skenario yang ke dua Tabel 15. Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB, atau fungsi hutan yang terkandung dalam kayu. Dengan kata lain, fungsi hutan Kegiatan sektor kehutanan di Kabupaten Blora terutama dilakukan dalam bentuk penebangan pohon kayu jati kalaupun ada penebangan kayu rimba jenis kayu lainnya hal itu sifatnya hanya kayu ikutan. Seperti telah dibahas di Bab III bahwa hutan selain menghasilkan kayu juga mempunyai nilai fungsi lingkungan yang lain yaitu fungsi penyerap karbon, pencegah banjir, konservasi air dan tanah, dan nilai keberadaan, dengan melihat hal tersebut maka selanjutnya dilakukan penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. Kontribusi hijau sektor kehutanan adalah besarnya nilai tambah sektor kehutanan dari kegiatan produksi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh karena adanya kegiatan di sektor kehutanan dan kegiatan sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan lain. Adapun besarnya nilai kontribusi hijau maupun kontribusi riil sektor kehutanan tampak seperti pada Tabel 15. dan Tabel 16. Dalam penghitungan nilai kontribusi hijau maupun kontribusi riil sektor kehutanan dilakukan dengan dua skenario yaitu skenario yang pertama diasumsikan bahwa dari luas areal tebangan hutan terjadi diasumsikan bahwa dari luas areal penebangan tersebut fungsi lingkungannya hanya rusak 50% karena dari areal penebangan kayu yang ada tidak ditebang semua kayunya. Skenario I Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada PDRB di Kabupaten Blora(Rp. Milyar) No. URAIAN 2002 2003 2004 1. 2. 3. Kontribusi sub sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi Industri pengolahan kayu dan hasil hutan pada PDRB Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB 324,73 378,65 426,66 - - - 324,73 378,65 426,66 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 344

Nilai Deplisi Sektor 4. 5. 6. 7. kehutanan Kontribusi Semi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Degradasi Sub Sektor Kehutanan Degradasi Industri Pengolahan Kayu 68,75 59,90 107,57 255,98 318,75 319,09 41,00 36,11 61,17 - - - 8. Degradasi 41,00 36,11 61,17 9. Depresiasi 109,75 96,02 168,75 Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi riil sektor kehutanan STIE 10. Sumber : data diolah 11. Skenario II 214,98 282,64 257,91 434,49 474,67 595,41 Tabel 16. Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB, Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada PDRB di Kabupaten Blora(Rp. Milyar) No. URAIAN 2002 2003 2004 1. Kontribusi sub sektor 324,73 378,65 426,66 kehutanan pada PDRB pada PDRB 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kontribusi Industri pengolahan kayu dan hasil hutan pada PDRB Kontribusi sektor kehutanan Nilai Deplisi Sektor kehutanan Kontribusi Semi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Degradasi Sub Sektor Kehutanan Degradasi Industri Pengolahan Kayu - - - 324,73 378,65 426,66 68,75 59,90 107,57 255,98 318,75 319,09 20,50 18,06 30,59 - - - 8. Degradasi 20,50 18,06 30,59 9. Depresiasi 89,25 77,96 138,16 10. Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB 11. Kontribusi riil sektor kehutanan Sumber : data diolah 235,48 300,69 288,50 413,99 456,61 564,82 InoVasi Volume 9: April 2014 Page 345

Seperti kita ketahui bahwa sumberdaya hutan dianggap sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang nilainya dihitung sebagai nilai tambah dalam penghitungan PDB Coklat maupun PDRB Coklat. Besarnya kontribusi Coklat sektor kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS hanya menyajikan nilai produksi dari kayu hutan yang diambil saja. Cara pandang yang selama ini hanya menilai hutan dari sisi ekonomi saja akan membawa pada arah kebijakan yang keliru. Dengan menghitung nilai deplesi atas berkurangnya modal alam akibat adanya penebangan di mana penghitungannya dilakukan dengan mencari nilai unit untuk tahun 2004 (lihat Tabel rent untuk masing-masing jenis kayu, maka pada tahun 2002 diperoleh nilai deplisi sebesar Rp. 68,75 milyar, Rp. 59,90 milyar untuk tahun 2003, dan Rp. 107,57 milyar 15. dan Tabel 16.) yang besarnya sama antara skenario I dan skenario II. Di samping nilai deplisi tersebut juga terdapat nilai degradasi lingkungan yang timbul akibat adanya kegiatan penebangan kayu juga dihitung dan hasilnya dari tahun 2002 hingga 2004 berturut-turut adalah Rp. 41,00 milyar, Rp. 36,11 milyar, Rp. 61,77 milyar untuk skenario I sedangkan skenario II adalah sebesar Rp. 20,50 milyar, Rp. 18,06 milyar, dan Rp. 30,59 milyar. Sedangkan nilai degradasi yang diakibatkan dari kegiatan industri pengolahan kayu dan hail hutan lain belum muncul dikarenakan di Kabupaten Blora kegiatan yang ada nilai deplesi yang diperoleh harus dikurangkan dari nilai tambah sektor kehutanan. adalah industri kayu mebel (funiture) yang kegiataannya relatif belum mencemari lingkungan. Untuk mendapatkan nilai kontribusi semi hijau sektor kehutanan maka Sedangkan untuk memperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan maka nilai kontribusi semi hijau harus dikurangi lagi dengan nilai degradasi lingkungan yang tercipta. Tampak pada Tabel 15. maupun Tabel 16. bahwa hasil penghitungan tersebut menciptakan nilai yang lebih kecil apabila dibandingkan kontribusi coklat sektor kehutanan yang selama ini dihitung dalam PDRB Kabupaten Blora. Apabila nilai deplesi dan degradasi lingkungan dimasukkan dalam penghitungan, maka kontribusi hijau sektor kehutanan dari tahun 2000 hingga 2003 menjadi sebesar berturut-turut sebesar (Rp. 214,98 milyar), (Rp. 282,64 milyar), dan (Rp 257,91 milyar) untuk skenario I dan sebesar (Rp. 235,48 milyar), (Rp. 300,69 milyar), dan (Rp 288,50 milyar) untuk skenario II. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 346

Apabila nilai kontribusi coklat, deplisi dan degradasi (depresiasi) sektor kehutanan digabungkan atau dijumlahkan maka dapat dilihat pada Tabel 15. dan Tabel 16. bahwa sesungguhya kontribusi riil sektor kehutanan dan industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya pada pembangunan kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga 2004 berturut-turut adalah sebesar Rp. 434,49 milyar, 474,67 milyar, dan Rp. 595,41 milyar untuk skenario I dan Rp. 413,99 milyar, Rp. 456,61 milyar, dan Rp. 564,82 milyar untuk skenario II. Oleh karena itu, cara pandang bagi penentu kebijakan harus segera diubah yaitu tidak hanya menilai sumberdaya hutan dari sisi ekonomi saja yang tercermin dari nilai tambah yang tercipta dari kegiatan produksi baik penebangan maupun pengolahan industri berbahan dasar kayu, tetapi kontribusi sektor kehutanan terdiri dari nilai tambah dari kegiatan produksi ditambah Rp. harus menghitung bahwa nilai penyusutan modal alam (deplesi) dan nilai kemampuan hutan mencegah kerusakan lingkungan (degradasi) dikurangi nilai pencemaran yang diakibatkan dari kegiatan industri pengolahan kayu dan hasil hutan. InoVasi Volume 9: April 2014 Page 347