KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1"

Transkripsi

1 KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL KABUPATEN BATANG HARI PROVINSI JAMBI 1 Oleh: Yugi Setyarko *) 1 Disarikan dari hasil penelitian, Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan Kab Batang Hari Provinsi Jambi, Kerjasama antara PUSREN, BAPLAN, Departemen Kehutanan dan LPPEL Wacana Mulia, Telah dipresentasikan di Kantor Bupati Batang Hari, pada tanggal 22 Desember, 2006 *) Staf Peneliti LPPEL Wacana Mulia, Jakarta Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 1

2 ABSTRAK Berkaitan dengan kegiatan pembangunan di daerah, para pengambil keputusan seringkali mengacu pada nilai PDRB yang setiap tahun dihitung oleh BPS sehingga memberikan arah kebijakan yang keliru. Ini disebabkan karena nilai PDRB saat ini hanya menampilkan nilai tambah kegiatan produksi, sedangkan modal alami yang hilang belum masuk dalam perhitungan. Penelitian ini mulai memperhitungkan aspek lingkungan (god made capital) meliputi penghitungan nilai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang merupakan nilai penyusutan sumber daya alam dan lingkungan akibat berbagai kegiatan produksi yang dilakukan untuk peningkatan pembangunan di daerah. Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi di pilih sebagai pilot project penerapan penghitungan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB. Dalam kegiatan ini baru menghitung satu sektor yaitu sektor kehutanan sehingga outputnya disebut sebagai laporan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. Dengan mengetahui nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB, dapat diketahui nilai kontribusi riil atau kontribusi yang sesungguhnya dari keberadaan hutan di suatu daerah. Hal ini penting terutama bagi para pemangku jabatan dan para pengambil keputusan bahkan masyarakat untuk dapat memahaminya sehingga pelaksanaan pembangunan mengarah pada konsep pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan kelestarian hutan. Pendahuluan Hutan merupakan sumber daya alam yang tak ternilai harganya dan dapat diperbarui keberadaannya (renewable). Sumber daya hutan menjadi salah satu modal pembangunan nasional yang memiliki peranan besar bagi kehidupan manusia. Dilihat dari fungsinya, hutan memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages). Dalam hal kaitannya ke depan, hutan menyediakan berbagai jenis bahan baku bagi kebutuhan industri dengan hasil utamanya yaitu kayu dan hasil non kayu lainnya seperti damar, rotan, madu, gondorukem, bahan obat-obatan dan lain sebagainya yang diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk baik itu berupa bahan baku maupun bahan jadi. Sedangkan keterkaitan hutan ke arah belakang berupa kegiatan pemeliharaan dan pengelolaan hutan. Fungsi hutan dalam hal jasa lingkungan antara lain sebagai transportasi air, penahan banjir, kemampuan dalam mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan kemampuannya dalam menyerap/merosot karbon, sebagai tempat wisata, sebagai tempat penelitian, pengembangan pendidikan dan keberadaan hutan sebagai warisan anak cucu kita. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 2

3 Jasa-jasa hutan yang intangible tersebut selama ini terlupakan oleh manusia karena sifatnya yang tidak langsung digunakan dan tidak langsung dirasakan, sehingga manusia akhirnya memberikan nilai ekonomi yang terlalu rendah terhadap sumber daya hutan. Rendahnya nilai sumber daya hutan mengakibatkan eksploitasi besar-besaran dilakukan untuk berbagai pemenuhan kebutuhan manusia tanpa mempertimbangkan hilangnya fungsi hutan secara menyeluruh. Akibatnya kegiatan eksploitasi hutan oleh manusia yang telah terakumulasi sekian tahun lamanya menjadi bumerang bagi kehidupan manusia saat ini. Bencana demi bencana banyak terjadi mulai dari banjir, erosi, sedimentasi, tanah longsor, penurunan produktivitas di sektor pertanian, perikanan dan berbagai sektor lainnya hingga isue pemanasan global yang saat ini sedang santer diperbincangkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sumber daya hutan mampu menjadi sumber penopang bagi kehidupan manusia karena fungsi-fungsi yang dimilikinya sekaligus sebagai sumber pendapatan dan penyedia lapangan pekerjaan, maupun sebagai sumber devisa negara. Kondisi Hutan Indonesia Keberadaan hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Pernyataan ini diperkuat dengan ditetapkannya Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia (Guinnes World Record, 2007). Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara , yakni 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya. Menurut data KLH yang dilansir pada pertengahan tahun 2006, hutan tersisa berdasarkan citra satelit di Jawa tinggal 19 persen, Kalimantan 19 persen, dan Sumatera 25 persen. Ketersediaan hutan primer tersebut berada di bawah angka 30 persen. (luas hutan tersisa di suatu pulau yang diwajibkan oleh Undang-Undang Kehutanan). Sedangkan hutan primer lainnya yang masih berada di atas tingkat tersebut adalah Papua (71 persen), Sulawesi (43 persen), dan Bali (22 persen). Untuk hutan mangrove hingga saat ini hanya tersisa 30 Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 3

4 persen dari seluruh hutan bakau di Indonesia. Saat ini tercatat 43 juta hektar area hutan telah menjadi lahan kritis Berdasarkan data kerusakan hutan (1,8 2,8 juta hektar per tahun) maka dapat diprediksi dalam waktu tahun mendatang hutan Indonesia akan habis 2.. Kerusakan hutan Indonesia sebaliknya telah menyelamatkan hutan Cina sebagai negara tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia. Luas hutan Cina setiap tahun bertambah luas 2,2 persen. Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa volume kayu bulat dari pemanfaatan Hutan Alam Produksi di Indonesia yang diizinkan untuk ditebang dibatasi hanya m 3, sementara itu kebutuhan kayu bulat industri diperkirakan lebih dari 80 juta m 3, termasuk 20 juta m 3, untuk kayu lapis, 4 juta m 3 untuk kayu gergajian dan 15 juta m 3 untuk bubur kertas (pulp) 3. Pengertian PDRB Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan laporan hasil bruto (kotor) seluruh kegiatan produksi di suatu daerah (regional) yang dihitung setiap tahun. PDRB yang selama ini dihitung baru mengukur hasil kegiatan ekonomi saja tanpa memasukkan dimensi lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, pengertian PDRB harus dikembangkan dengan memasukkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang lebih riil atau dikenal dengan sebutan PDRB Hijau. PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi sekaligus nilai deplesi dan degradasi lingkungan (sebagai penyusutan modal alami) sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau dapat digunakan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih baik, karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara lebih riil. 4 2 S.Indro Tjahyono, Direktur SKEPHI (Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia), PRESS RELEASE Refleksi Akhir Tahun 2007 : Perusakan Hutan Gagal Dicegah dan Dikurangi, Jakarta, 28 Desember KNLH, Status Lingkungan Hidup Indonesia Maria Ratnaningsih dkk, PDRB Hijau, BPFE, Yogya, 2007 Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 4

5 Perlu dipahami bahwa untuk sampai pada angka PDRB Hijau memerlukan waktu, tenaga serta biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu konsep penghitungan PDRB Hijau dimulai per sektor. Dalam tulisan ini penghitungan PDRB Hijau hanya diterapkan pada sektor kehutanan, sehingga hasil perhitungannya baru disebut sebagai Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan terhadap PDRB. Peranan hutan dalam perekonomian sangatlah besar, namun demikian bila kita melihat pada laporan PDRB di berbagai daerah tampak bahwa peran atau kontribusi sektor kehutanan masih sangat kecil. Sebagai gambaran secara agregat kita dapat melihat kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDB Indonesia tahun 2006 dimana kontribusinya hanya sekitar 1,3%. Perlu dijelaskan disini bahwa sektor kehutanan yang dimaksud mencakup sub-sektor hutan yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya dan sub-sektor industri pengolahan hasil hutan. Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS sama dengan nilai tambah (value added) dari sektor hutan. Nilai tambah merupakan jumlah semua jenis penghasilan (upah, gaji, sewa, bunga, laba) yang diciptakan dalam setiap kegiatan eksploitasi hasil hutan, sedangkan sumberdaya hutan itu sendiri (kayu, damar, rotan, madu, dan gaharu, misalnya) yang benar-benar diekstraksi dari hutan tidak muncul sebagai nilai tambah maupun sebagai penyusutan. Tujuan Penelitian Kegiatan studi yang dilakukan adalah menghitung kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di Kabupaten Batang Hari, dengan harapan agar peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah di Kabupaten tersebut akan tampak lebih realistis sehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah yang bersangkutan akan dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 5

6 Manfaat Penelitian Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor kehutanan, tetapi juga bagi para pelaksana pemerintahan, anggota DPRD yang bersangkutan maupun masyarakat. Sektor Kehutanan Kabupaten Batang Hari Kawasan hutan di Kabupaten Batang Hari tahun 2005 menurut fungsinya sebagai hutan lindung seluas ,94 Ha sedangkan sebagai hutan konversi seluas Ha. Masalah penebangan liar, kebakaran hutan, dan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan masalah pengelolaan hutan yang paling dominan di wilayah Kabupaten Batang Hari saat ini. Pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2005 memperlihatkan pertumbuhan hampir di semua sub sektor kecuali sub sektor kehutanan yang mengalami penurunan yaitu sebesar 8,57% pada tahun 2004 dan 2,35 persen pada tahun Tabel pertumbuhan sektor pertanian di Kab. Batang Hari tahun tampak pada Tabel 1 di berikut: Tabel 1 Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Batang Hari Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun (%) Lapangan Usaha Pertanian 3,83% 4,91% a. Tanaman Pangan 3,04% 4,95% b. Perkebunan 6,67% 5,97% c. Peternakan 6,26% 5,96% d. Kehutanan -8,57% -2,35% e. Perikanan 8,90% 9,05% Sumber: BPS, Kabupaten Batang Hari Tahun 2005 Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 6

7 Bila dilihat dari nilai kontribusi sub-sektor kehutanan pada PDRB (Tabel 2) maka tampak dari tahun 2004 sampai tahun 2005 terdapat peningkatan Rp 0,63 M yaitu sebesar 54,57 milyar rupiah pada tahun 2004 menjadi 55,20 milyar rupiah pada tahun Lapangan Usaha Tabel 2 Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDRB atas dasar Haga Berlaku Kabupaten Batang Hari Tahun (Rp Milyar) 2005 (Rp Milyar) 2004 (%) 2005 (%) Pertanian 461,04 497,19 33,07 30,76 a. Tanaman Pangan 101,77 108,93 7,30 6,74 b. Perkebunan 229,85 247,20 16,48 15,29 c. Peternakan 37,57 41,24 2,69 2,55 d. Kehutanan 54,57 55,20 3,91 3,41 e. Perikanan 37,29 44,63 2,67 2,76 Sumber: BPS, Kabupaten Batang Hari Tahun 2005 Namun apabila dilihat dari persentase per tahun kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Batang Hari tampak mengalami penurunan dari 3,91 persen pada tahun 2004 menjadi 3,41 persen pada tahun 2005 atau turun sebesar 0,5 persen. Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat Nilai Kontribusi sektor kehutanan Kabupaten Batang Hari dari tahun 2003 hingga tahun 2005 tampak terus meningkat walaupun secara persentase kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten batang Hari menurun. Perlu diketahui bahwa dalam penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Batang Hari selain dihitung dari sub sektor kehutanan juga dihitung dari sub sektor industri pengolahan yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu gergajian, moulding dan industri rotan serta industri lainnya yang menggunakan bahan dasar kayu dan hasil hutan lain. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 7

8 Dari kedua sub-sektor tersebut tampak bahwa kontribusi sub-sektor kehutanan yang berasal dari kegiatan produksi kayu jauh lebih kecil dibandingkan kontribusi sub-sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan (Tabel 3). Pada kolom terakhir disajikan nilai PDRB Kabupaten Batang Hari sebagai referensi. Dari Tabel 3 tersebut dapat dikatakan bahwa sesungguhnya nilai tambah sektor kehutanan dari kegiatan industri pengolahan kayu memberikan pengaruh yang signifikan karena kontribusinya yang relatif besar terhadap PDRB Kabupaten Batang Hari. Tahun Tabel 3 Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat Kabupaten Batang Hari Kayu & Hasil Hutan Lain Rp (milyar) (%) Industri Pengolahan Kayu & Hasil Hutan Lain Rp (%) (milyar) Sektor Kehutanan Rp (milyar) (%) PDRB Coklat Rp (milyar) ,61 4,28 142,62 11,81 194,23 16, , ,57 3,91 143,64 10,30 198,21 14, , ,20 3,41 181,38 11,22 236,58 14, ,54 Sumber : BPS, Kabupaten Batang Hari, 2005 Deplesi Sumberdaya Hutan Dalam penghitungan deplesi sumber daya hutan ini hanya dilakukan untuk kegiatan ekstraksi kayu karena untuk hasil hutan non kayu belum tersedia datanya. Deplesi kayu hutan adalah hilangnya kayu hutan akibat penebangan yang tercermin dari volume kayu yang ditebang. Tabel 4 menunjukkan jenis dan volume kayu yang ditebang di Kabupaten Batang Hari antara tahun 2003 hingga Tampak bahwa antara tahun 2003 hingga 2005 volume penebangan kayu tertinggi terjadi pada tahun Secara total dari tahun volume penebangan kayu terus meningkat hingga mencapai ,31 m 3 pada tahun Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 8

9 No. Jenis Tabel 4 Produksi Kayu di Kabupaten Batang Hari Tahun Produksi (m 3 ) Kayu Bulat , , ,77 2 Kayu Bulat Kecil , , ,77 3 Kayu Akasia , , ,33 4 Kayu Sengon 2.261, ,36 576,35 5 BBS (Bahan Baku Serpih) , , ,09 T o t a l , , ,31 Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari Setelah volume penebangan kayu diketahui, selanjutnya mencari nilai unit rent untuk masing-masing jenis kayu. Nilai unit rent kayu per tahun di Kab. Batang Hari diperoleh berdasarkan pendekatan harga pasar (market price) yang diturunkan hingga tercapai nilai per unit kayu (unit rent). Hasil penghitungan unit rent masing-masing jenis kayu ditampilkan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Unit Rent Kayu di Kabupaten Batang Hari Tahun No. Jenis Unit Rent (Rp/M3) Kayu Bulat , , ,34 2 Kayu Bulat Kecil , , ,48 3 Kayu Akasia , , ,40 4 Kayu Sengon , , ,93 5 BBS (Bahan Baku Serpih) , , ,24 Sumber : Data diolah Selanjutnya nilai deplesi kayu dihitung dengan mengalikan volume kayu tebangan dengan nilai unit rent masing-masing jenis kayu. Hasil perhitungan nilai deplesi kayu hutan di Kab. Batang Hari tampak seperti pada Tabel 6. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 9

10 Tabel 6 Nilai Deplesi Kayu di Kabupaten Batang Hari Tahun (Rp Juta) No. Jenis Deplesi (Rp) Kayu Bulat , , ,92 2 Kayu Bulat Kecil 4.972, , ,34 3 Kayu Akasia , , ,24 4 Kayu Sengon 150,24 577,89 40,65 5 BBS (Bahan Baku Serpih) 3.144, , ,65 Total Deplesi , , ,80 Sumber : data diolah Sebagai perbandingan, pada Tabel 7 ditampilkan pula pembayaran DR dan PSDH yang diterapkan oleh Dinas Kehutanan Kab Batang Hari pada tahun Tabel 7 Pembayaran Retribusi, PSDH dan DR Di Kabupaten Batang Hari Tahun Penerimaan PSDH , , ,40 DR Rp Rp US$ ,42 Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari Dengan membandingkan antara nilai deplesi dengan besarnya pungutan DR dan PSDH tampak bahwa nilai deplesi lebih besar dibandingkan nilai DR dan PSDH. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pungutan atau retribusi yang dikenakan per m 3 kayu tebangan masih terlalu rendah karena tidak memperhitungkan nilai atau aset alam. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

11 Degradasi Lingkungan Seperti telah diketahui bahwa kegiatan penebangan hutan selain mengakibatkan berkurangnya cadangan atau stock kayu di hutan, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Mengingat ketersediaan data tentang macam serta dampak degradasi lingkungan masih sangat terbatas maka pendekatan penghitungan degradasi lingkungan akibat penebangan hutan di Kabupaten Batang Hari dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan studistudi sejenis sebelumnya (benefit transfer approach). Untuk menghitung degradasi akibat penebangan kayu hutan perlu diketahui data luasan tebangan. Tabel 8 berikut menampilkan luasan tebangan kayu hutan di Kab. Batang Hari tahun Tabel 8 Luas Tebangan Kayu di Kabupaten Batang Hari Tahun (Ha) Tahun Luas tebangan , , ,75 Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari, 2005 Setelah luas tebangan diperoleh selanjutnya dengan menggunakan hasil perhitungan dari studi lain sejenis yang telah disesuaikan (lihat Tabel 9), dapat dihitung nilai degradasi untuk masing-masing jenis fungsi lingkungan hutan yang hilang dengan mengalikan luas tebangan dengan nilai jasa lingkungan yang hilang akibat adanya kegiatan penebangan hutan. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

12 Tabel 9 Persentase dan Nilai Jasa Hutan Jenis Nilai Jasa yang Dihasilkan Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati Nilai (US$/ha/thn) 1.835,83 847,12 133,85 525,92 123,81 210,79 Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan 195,34 69,28 126,05 Sumber : Suparmoko dan NRM, 2005 Catatan : Nilai degradasi ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan. Penghitungan nilai degradasi lingkungan masih dihitung dalam US dollar, selanjutnya nilai yang diperoleh disesuaikan dengan nilai kurs pada masing-masing tahun yang bersangkutan sehingga didapatkan nilai degradasi dalam rupiah seperti tampak pada Tabel 10 berikut. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

13 Tabel 10 Nilai Degradasi hutan di Kabupaten Batang Hari Tahun (Rp Milyar) Fungsi Lingkungan I. Nilai penggunaan tak langsung 46,06 89,66 124,32 Konservasi air dan tanah 21,25 41,37 57,36 Penyerap karbon 3,36 6,54 9,06 Pencegah banjir 13,20 25,69 35,61 Transportasi air 3,11 6,05 8,38 Keanekaragaman hayati 5,29 10,30 14,27 II. Atas dasar bukan penggunaan 4,90 9,54 13,23 Nilai opsi 1,74 3,38 4,69 Nilai keberadaan 3,16 6,16 8,54 Total Degradasi I + II 50,96 99,20 137,54 Sumber : data diolah Catatan : Kurs 1 US $ = Rp tahun 2003; 1 US $ = Rp tahun 2004; 1 US $ = Rp tahun 2005 Kebakaran Hutan Kebakaran hutan di Indonesia hampir terjadi setiap tahun, begitu pula di Provinsi Jambi khususnya di Kabupaten Batang Hari. Berdasarkan keterangan yang diperoleh diketahui telah terjadi kebakaran hutan di Kabupeten Batang hari pada tahun seperti ditampilkan pada Tabel 11. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

14 Tabel 11 Luas Kebakaran Hutan di Kabupaten Bantang Hari Menurut Bulan Tahun Bulan Hot Hot Spot Ha Spot Ha Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang hari, 2005 Catatan : 1 titik hot spot = 3 ha Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh David Glover and Timothy Jessup, dapat diketahui nilai kerugian ekonomi tiap Ha hutan akibat kebakaran hutan yang dihitung seperti pada Tabel 12 berikut: Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

15 Tabel 12 Nilai Dampak Kerugian Akibat Kebakaran Hutan No Dampak Kerugian Ekonomi (US $/Ha/tahun) I Dampak total Asap 3.833,03 Dampak Kesehatan 3.500,11 - Biaya medis 1.116,32 - Produktivitas 633,73 - Dampak Tidak Langsung 1.750,05 Dampak Pariwisata 266,49 Dampak Penerbangan 28,56 Dampak Penutupan bandara 37,88 II Dampak Kebakaran ,13 - Kerugian Kayu 1.870,02 - Kerugian pertanian atau perkebunan 1.781,83 - Kerugian produksi langsung ekosistem hutan 2.670,42 - Kerugian produksi tidak langsung ekosistem hutan 4.080,01 - Kerugian Keanekaragaman Hayati 113,64 - Biaya pemadaman kebakaran 44,21 T o t a l ,16 Sumber : David Glover and Timothy Jessup, Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, Penerbit ITB, Bandung, Selanjutnya berdasarkan Tabel 12, dengan mengalikan luasan kebakaran hutan dengan nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran maka diperoleh nilai degradasi akibat kebakaran hutan yang selanjutnya disesuaikan dengan nilai kurs rupiah sesuai pada tahun yang bersangkutan (Tabel 13). Tampak bahwa kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di Kab Batang Hari Provinsi Jambi pada tahun 2004 mencapai Rp 80,03 milyar sedangkan pada tahun 2005 luasan kebakaran hutan menurun sehingga kerugian akibat kebakaran hutan berkurang menjadi Rp 30,62 milyar. Nilai ekonomi akibat kebakaran hutan tersebut yang selanjutnya merupakan nilai degradasi kebakaran hutan. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

16 Tabel 13 Nilai Degradasi Akibat Kebakaran Hutan di Kabupaten Bantang Hari Tahun (Rp milyar) No Dampak I Dampak total Asap 21,31 8,16 Dampak Kesehatan 19,46 7,45 - Biaya medis 6,21 2,38 - Produktivitas 3,52 1,35 - Dampak Tidak Langsung 9,73 3,72 Dampak Pariwisata 1,48 0,57 Dampak Penerbangan 0,16 0,06 Dampak Penutupan bandara 0,21 0,08 II Dampak Kebakaran 58,72 22,47 - Kerugian Kayu 10,40 3,98 - Kerugian pertanian atau perkebunan 9,91 3,79 - Kerugian produksi langsung ekosistem hutan 14,85 5,68 - Kerugian produksi tidak langsung ekosistem hutan 22,69 8,68 - Kerugian Keanekaragaman Hayati 0,63 0,24 - Biaya pemadaman kebakaran 0,25 0,09 T o t a l 80,03 30,62 Sumber : Data diolah Catatan : 1 US $ = Rp untuk tahun 2004; dan 1 US $ = Rp untuk tahun 2005 Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Batang Hari Kontribusi hijau sektor kehutanan adalah besarnya nilai tambah sektor kehutanan dari berbagai kegiatan produksi yang dihitung dengan memasukkan nilai deplesi dan nilai degradasi sumberdaya hutan yang ditimbulkan akibat kegiatan di sektor kehutanan dan kebakaran hutan. Cara pandang yang selama ini hanya menilai hutan dari sisi nilai tambah produksi saja akan membawa pada arah kebijakan yang keliru. Besarnya kontribusi sektor kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS hanya menyajikan nilai produksi dari kayu hutan yang diekstrak saja. Secara keseluruhan untuk sampai pada nilai kontribusi hijau dan kontribusi riil *) sektor kehutanan, pada Tabel 14 berikut ditampilkan uraian mulai dari kontribusi sektor kehutanan pada PDRB coklat hingga kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan. *) Kontribusi riil: nilai tambah yang diciptakan + nilai penyusutan + nilai degradasi hutan Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

17 Tabel 14 Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB, Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil SektorKehutanan pada PDRB di Kabupaten Batang Hari, Tahun (Rp Milyar) No. URAIAN Kontribusi sub sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi sub sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan pada PDRB 54,57 55,20 143,64 181,38 3. Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB 198,21 236,58 4. Nilai Deplesi Sektor kehutanan 108,24 141,06 5. Kontribusi Semi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB 89,97 95,53 6. Degradasi sub sektor Kehutanan 99,20 137,54 7. Degradasi sub sektor Industri Pengolahan kayu dan hasil hutan Degradasi akibat kebakaran hutan 80,03 30,62 9. Degradasi Sektor Kehutanan 179,24 168, Depresiasi Sektor Kehutanan 287,48 309, Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB -89,27-72, Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada Pembangunan *) 325,62 484,56 Sumber : data diolah Catatan : *) Kontribusi riil sektor kehutanan merupakan kontribusi yang sebenarnya dari sektor kehutanan terhadap pembangunan nasional Indonesia; yaitu terdiri dari kontribusinya kepada PDRB Konvensional ditambah dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan dikurangi degradasi akibat kebakaran hutan. Baris 3 = = = = = Tampak pada Tabel 14 bahwa hasil penghitungan nilai kontribusi hijau negatif untuk tahun 2004 dan 2005 yang berarti bahwa kontribusi coklat sektor kehutanan PDRB Kabupaten Batang Hari lebih kecil bila dibandingkan dengan modal pada sumberdaya alam dan lingkungan yang digunakan, yaitu masing-masing untuk tahun 2004 dan 2005 berturutturut sebesar (-Rp 89,27 milyar), dan (-Rp 72,64 milyar). Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

18 Apabila nilai kontribusi, deplesi dan degradasi (depresiasi) sektor kehutanan digabungkan, tetapi dikurangi degradasi akibat kebakaran hutan maka dapat dilihat pada Tabel 14 bahwa sesungguhya kontribusi sektor kehutanan dan industri pengolahan berbasis kayu dan hasil hutan pada pembangunan daerah kabupaten Batang Hari tahun 2004 sebesar Rp 325,62 milyar dan tahun 2005 sebesar Rp 484,56 milyar. Oleh karena itu, cara pandang bagi penentu kebijakan harus segera diubah yaitu tidak hanya menilai sumberdaya hutan dari produksi kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi harus memasukkan kontribusi sektor kehutanan yang sebenarnya yaitu terdiri dari nilai tambah pada kegiatan produksi ditambah nilai penyusutan modal alam (deplesi) dan nilai degradasi. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

19 KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan (hasil hutan dan industri pengolahan hasil hutan) pada pembangunan baru dinilai sebagai penyedia bahan baku industri saja sedangkan dalam penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) fungsi jasa lingkungan hutan belum dinilai sama sekali. Penelitian ini mencoba memasukkan dimensi lingkungan yang terdiri dari nilai deplesi sumberdaya alam dan nilai degradasi lingkungan sebagai pos penyusutan (depresiasi) sumberdaya alam ke dalam penghitungan PDRB sehingga menghasilkan nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. Perhitungan Nilai Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB lebih akurat dalam mengukur kondisi perekonomian khususnya di sektor kehutanan, karena sudah diperhitungkannya aspek lingkungan. Dari berbagai penemuan di atas dapat dinyatakan manfaat dari penyusunan PDRB Hijau pada umumnya dan kontribusi hijau sektor kehutanan pada khususnya terhadap PDRB yaitu : a) Menghindari bias perhitungan kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah. b) Rencana dan kebijakan pembangunan kehutanan daerah dapat disusun berdasarkan kondisi faktual yang ada, lebih sempurna dan terarah. c) Mengetahui besarnya nilai deplesi dan kerusakan lingkungan hutan sebagai dasar untuk mengontrol kerusakan sumberdaya hutan. d) Memberikan penilaian wajar pada keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. e) Sebagai masukan dalam penentuan besar kecilnya pungutan atau ganti rugi kerusakan lingkungan. f) Sebagai masukan dalam rangka menghitung kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan suatu daerah. g) Untuk memahami struktur perekonomian yang lebih realistis. h) Mengetahui sumbangan sektoral yang faktual terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. i) Akan menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola sumberdaya hutan yang ada. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

20 DAFTAR PUSTAKA Atkinson, Giles, Richard Dubourg, Kirk Hamilton, Mohan Monasinghe, David Pearce, and Carlos Young, Measuring Sustainable Development: Macroeconomics and the Environmet, Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham,UK, Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Batang Hari, , BPS Kabupaten Batang Hari, Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Batang Hari Dalam Angka 2005, Muara Bullian, Batang Hari, Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2004, Jakarta, David Glover and Timothy Jessup, Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, Penerbit ITB, Bandung, M. Suparmoko, Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkunggan, BPFE, UNEP, 2005 Sustainable Use of Natural Resources in the Context of Trade Liberalization and Export Growth in Indonesia, First Edition, Geneva, Switzerland Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1 VALUASI EKONOMI Dalam menentukan kontribusi suatu sektor kegiatan ekonomi terhadap pembangunan nasional pada umumnya dinyatakan dalam nilai uang yang kemudian dikonversi dalam nilai persentase. Setiap

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari tegakan pohon dan faktor-faktor abiotis seperti, air, udara, tanah,

Lebih terperinci

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN Emi Roslinda Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Email : eroslinda71@gmail.com ABSTRAK Secara konvensional

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah kesatuan ekosistem sumber daya alam hayati beserta lingkungannya yang tidak terpisahkan. Hutan merupakan

Lebih terperinci

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) Oleh: M. Suparmoko Materi disampaikan pada Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan Berbasis Penataan Ruang pada tanggal 4-10 Juni 2006 1 Hutan Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

Pengertian Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 Dodik Ridho Nurrochmat 2 Pengertian Produk Domestik Bruto Neraca pendapatan nasional (national income accounting) merupakan salah satu inovasi penting

Lebih terperinci

STIE Putra Perdana Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. Indonesia

STIE Putra Perdana Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. STIE Putra Perdana. Indonesia. Indonesia KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN BLORA PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2002 2004 = Oleh : Dr. M. Suparmoko., M.A. Gathot Widyantara., S.E., M.M. Dosen tetap SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PUTRA PERDANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan dan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan, berkelanjutan dan bertahap menuju tingkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan yang bersih adalah dambaan setiap insan. Namun kenyataannya, manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai macam kegiatan yang

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan yang luas, yaitu sekitar 127 juta ha. Pulau Kalimantan dan Sumatera menempati urutan kedua dan ketiga wilayah hutan

Lebih terperinci

GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN. Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA

GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN. Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA GAMBARAN SINGKAT TENTANG KETERKAITAN EKONOMI MAKRO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI TIGA PROVINSI KALIMANTAN Oleh: Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA September 2011 1. Pendahuluan Pulau Kalimantan terkenal

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN Disajikan Dalam Rapat Rekonsialiasi Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017 Dr. Ir. Suhaeri Pusat Data dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang sektor industri, sektor perhubungan, sektor ekonomi bagi sektor-sektor yang mengelola terintegrasi.

perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang sektor industri, sektor perhubungan, sektor ekonomi bagi sektor-sektor yang mengelola terintegrasi. INTEGRASI ANTARA ASPEK LINGKUNGAN DAN EKONOMI DALAM PENGHITUNGAN PDRB HIJAU PADA SEKTOR KEHUTANAN DI KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI Made Suyana Utama Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Abstract In

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu global yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim yang salah satu penyebabnya oleh deforestasi dan degradasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 52/ V / 15 Nopember 2002 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA INDONESIA TRIWULAN III TAHUN 2002 TUMBUH 2,39 PERSEN Indonesia pada triwulan III tahun 2002 meningkat sebesar 2,39 persen terhadap triwulan II

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas mencapai 153.564 km 2 (Badan Pusat Statistik, 2014) merupakan provinsi ketiga terbesar di Indonesia setelah Provinsi Papua dan Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi dunia, harga pangan dan energi meningkat, sehingga negara-negara

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi tidak akan pernah ada tanpa sumberdaya alam dan lingkungan karena setiap aktivitas ekonomi pastilah bersentuhan dengan salah satu atau bahkan keduanya sekaligus.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermakana. Peranansektor ini dalam menyerap tenaga kerja tetap menjadi yang

BAB I PENDAHULUAN. bermakana. Peranansektor ini dalam menyerap tenaga kerja tetap menjadi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang menjadikan sektor pertanian sebagai basis perekonomiannya. Walaupun sumbangan sektor pertanian dalam sektor perekonomian diukur

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 OUTLINE I. PENDAHULUAN II. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN: anggaran atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional, hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN TRIWULANAN 2014 PEDOMAN PENCACAHAN BADAN PUSAT STATISTIK ii KATA PENGANTAR Kegiatan pengumpulan Data Kehutanan Triwulanan (DKT) dilakukan untuk menyediakan data kehutanan per

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN 7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan Peran strategis suatu sektor tidak hanya dilihat dari kontribusi terhadap pertumbuhan output, peningkatan

Lebih terperinci

Pembangunan Kehutanan

Pembangunan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan Kehutanan Sokoguru Pembangunan Nasional Berkelanjutan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA (Sekretaris Jenderal) Disampaikan dalam Seminar

Lebih terperinci

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85 D a f t a r I s i Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel DAFTAR ISI Daftar Tabel Pokok Produk Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Tahun 2009-2011 BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Umum 1 1.2. Konsep

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sasaran pembangunan nasional diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor pertanian memiliki

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mencakup segala pengusahaan yang di dapat dari alam dan merupakan barang biologis atau hidup, dimana hasilnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan KODEFIKASI RPI 25 Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan Lembar Pengesahan Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 851 852 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/02/18/Th.XIV, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,97 PERSEN SELAMA TAHUN 2013 Sebagai dasar perencanaan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menghambat pembangunan ekonomi atau memiskinkan masyarakat (Rufendi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menghambat pembangunan ekonomi atau memiskinkan masyarakat (Rufendi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi sering dipertentangkan dengan konservasi sumber daya alam. Bahkan ada yang mengatakan konservasi sumber daya alam dapat menghambat pembangunan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas wilayah 750 juta hektar (ha) dengan luas daratan sekitar 187.91 juta ha. Sebesar 70 persen dari daratan tersebut merupakan kawasan hutan. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PE DAHULUA. Infrastructure. 1 Sub Index lainnya adalah T&T Regulatory Framework dan T&T Business Environtment and

BAB 1 PE DAHULUA. Infrastructure. 1 Sub Index lainnya adalah T&T Regulatory Framework dan T&T Business Environtment and BAB 1 PE DAHULUA 1.1 Latar Belakang Indonesia terdiri dari berbagai macam kebudayaan dan karakteristik yang memiliki potensi terhadap pengembangan pariwisata. Kekuatan sektor periwisata Indonesia terletak

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kajian Penelitian Peranan Ekonomi Kehutanan Peranan ekonomi kehutanan antara lain dapat ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan alam dalam peningkatan devisa,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 tentang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) merupakan sebuah langkah besar permerintah dalam mencapai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

3.5.4 Analisis Skala Optimal Prosedur Analisis

3.5.4 Analisis Skala Optimal Prosedur Analisis DAFTAR ISI COVER HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv ABSTRACT... xvii INTISARI......

Lebih terperinci

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN Ministry of Forestry 2008 KATA PENGANTAR Penyusunan Buku Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2008 ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan data

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA OLEH MUHAMMAD MARDIANTO 07114042 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Wilayah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Wilayah Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Wilayah Indonesia memiliki tanah yang subur

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci