Bab II Teori Dasar 2.1 Representasi Citra

dokumen-dokumen yang mirip
Bab III Perangkat Pengujian

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM

BAB II SISTEM PENENTU AXIS Z ZERO SETTER

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

Pertemuan 2 Representasi Citra

SAMPLING DAN KUANTISASI

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN ROBOT OKTAPOD DENGAN DUA DERAJAT KEBEBASAN ASIMETRI

BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. robotika. Salah satu alasannya adalah arah putaran motor DC, baik searah jarum jam

BAB 2 LANDASAN TEORI

PENGENDALIAN SUDUT PADA PERGERAKAN TELESKOP REFRAKTOR MENGGUNAKAN PERSONAL COMPUTER

BAB III PERANCANGAN SISTEM. Pada dewasa sekarang ini sangat banyak terdapat sistem dimana sistem tersebut

COMPUTER VISION UNTUK PENGHITUNGAN JARAK OBYEK TERHADAP KAMERA

BAB II LANDASAN TEORI

SISTEM PENJEJAK POSISI OBYEK BERBASIS UMPAN BALIK CITRA

BAB II TEORI PENUNJANG

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Gambar 1.6. Diagram Blok Sistem Pengaturan Digital

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN SISTEM PENGENALAN DAN PENYORTIRAN KARTU POS BERDASARKAN KODE POS DENGAN MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB IV PENGUJIAN SISTEM. pada PC yang dihubungkan dengan access point Robotino. Hal tersebut untuk

(Dimasyqi Zulkha, Ir. Ya umar MT., Ir Purwadi Agus Darwito, MSC)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Fotogrametri dapat didefisinikan sebagai ilmu untuk memperoleh

Tugas Sarjana. Abstrak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

Muhammad Zidny Naf an, M.Kom. Gasal 2015/2016

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab IV Kalibrasi dan Pengujian

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

BAB III PERANCANGAN DAN REALISASI PERANGKAT KERAS

KAMERA PENDETEKSI GERAK MENGGUNAKAN MATLAB 7.1. Nugroho hary Mindiar,

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

TKC306 - Robotika. Eko Didik Widianto. Sistem Komputer - Universitas Diponegoro

IMPLEMENTASI METODE SPEED UP FEATURES DALAM MENDETEKSI WAJAH

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness

BAB III PERANCANGAN ALAT

BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA

Pemodelan Sistem Kontrol Motor DC dengan Temperatur Udara sebagai Pemicu

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

BAB III PERANCANGAN DAN PEMBUATAN ALAT

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II CITRA DIGITAL

PENGENALAN ROBOTIKA. Keuntungan robot ini adalah pengontrolan posisi yang mudah dan mempunyai struktur yang lebih kokoh.

JOBSHEET 5. Motor Servo dan Mikrokontroller

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI PENGENALAN DAUN UBI JALAR UNTUK JENIS UBI JALAR UNGU, MERAH, PUTIH DAN KUNING MENGGUNAKAN METODE PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. Atmel (

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. MOTO DAN PERSEMBAHAN... v. DAFTAR ISI...

BAB III PROSEDUR DAN METODOLOGI

BAB 2 LANDASAN TEORI

RANCANG BANGUN SISTEM AUTOTRACKING UNTUK ANTENA UNIDIRECTIONAL FREKUENSI 2.4GHZ DENGAN MENGGUNAKAN MIKROKONTOLER ARDUINO

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI Kajian Pustaka a. Algoritma Pengambilan Keputusan Pada Kiper Robot Sepak Bola [1]

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Citra Digital

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA RANGKAIAN

BAB III PERANCANGAN Sistem Kontrol Robot. Gambar 3.1. Blok Diagram Sistem

UJI COBA THRESHOLDING PADA CHANNEL RGB UNTUK BINARISASI CITRA PUPIL ABSTRAK

BAB III PERANCANGAN DAN PEMBUATAN ALAT

Intensitas cahaya ditangkap oleh diagram iris dan diteruskan ke bagian retina mata.

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM. Computer. Parallel Port ICSP. Microcontroller. Motor Driver Encoder. DC Motor. Gambar 3.1: Blok Diagram Perangkat Keras

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA

BAB III METODE PENELITIAN. pada blok diagram tersebut antara lain adalah webcam, PC, microcontroller dan. Gambar 3.1 Blok Diagram

Rancang Bangun Sistem Pengukuran Posisi Target dengan Kamera Stereo untuk Pengarah Senjata Otomatis

BAB III METODE PENELITIAN. tracking obyek. Pada penelitian tugas akhir ini, terdapat obyek berupa bola. Gambar 3.1. Blok Diagram Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai analisis pola interferensi pada interferometer Michelson

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. a. Spesifikasi komputer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

PENENTUAN KUALITAS DAUN TEMBAKAU DENGAN PERANGKAT MOBILE BERDASARKAN EKSTRASI FITUR RATA-RATA RGB MENGGUNAKAN ALGORITMA K-NEAREST NEIGHBOR

Teknik Sistem Komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN

BAB III PERANCANGAN ALAT

TRACKING OBJECT MENGGUNAKAN METODE TEMPLATE MATCHING BERBASIS STEREO VISION

BAB III PERANCANGAN ALAT

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan September 2011 s/d bulan Februari

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PENGUJIAN SISTEM DAN ANALISA

BAB V PEMBAHASAN UMUM

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III PERANCANGAN. Gambar 3.1. Sistem instruksi dan kontrol robot.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

Bab II Teori Dasar 2.1 Representasi Citra Citra dapat direpresentasikan sebagai kumpulan picture element (pixel) pada sebuah fungsi analog dua dimensi f(x,y) yang menyatakan intensitas cahaya yang terpantul pada setiap koordinat posisi (x,y). Gambar 2.1 Representasi citra Gambar 2.1 merupakan contoh representasi citra. Pada contoh ini koordinat citra dimulai dari kiri atas, dan berakhir di kanan bawah. Citra yang direpresentasikan pada gambar 2.1 mempunyai ukuran MxN. Ukuran citra tersebut akan mempengaruhi kapasitas memori yang dibutuhkan dan kecepatan pengolahan citra oleh komputer. Semakin kecil ukuran citra maka kapasitas memori yang dibutuhkan akan semakin sedikit dan kecepatan pengolahan citra akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin besar ukuran citra maka akan semakin besar kapasitas memori yang dibutuhkan dan akan semakin rendah pula kecepatan pengolahan citra. Setiap pixel pada citra mempunyai suatu nilai tertentu yang menyatakan intensitas warna dari pixel bersangkutan. Berdasarkan informasi intensitas warna 4

tersebut, terdapat tiga jenis citra digital, yaitu citra digital biner, citra digital grayscale, dan citra digital berwarna. Untuk citra digital biner, nilai pada setiap pixel berharga 0 atau 1. Gambar 2.2 merupakan contoh representasi citra digital biner. Komponen warna yang ada adalah putih dan hitam. Warna hitam direpresentasikan dengan nilai 0, sedangkan warna putih direpresentasikan dengan nilai 1. Gambar 2.2 Representasi sebuah citra digital biner beserta nilai pixelnya Untuk citra digital grayscale, nilai pada setiap pixel menyatakan tingkat keabu-abuan. Gambar 2.3 merupakan contoh representasi citra digital grascale. Komponen warna yang ada adalah hitam, abu-abu, dan putih. Warna hitam direpresentasikan dengan nilai 0 sedangkan warna putih direpresentasikan dengan nilai 255. Nilai diantaranya merupakan intensitas keabu-abuan pixel yang bersangkutan. 5

Gambar 2.3 Representasi sebuah citra digital grayscale beserta nilai pixelnya Berbeda dengan citra digital biner dan grayscale, citra digital berwarna memiliki informasi warna yang terdiri dari lebih dari satu kanal. Kanal yang dimaksud umumnya berjumlah tiga buah kanal warna. Pada Gambar 2.4 dapat dilihat representasi sebuah citra digital berwarna beserta nilai pixelnya. Citra pada gambar tersebut mempunyai tiga buah kanal warna, yaitu R (red), G (green), dan B (blue). Dengan demikian citra tersebut disebut memiliki model warna RGB. Pada citra digital berwarna sebenarnya terdapat model warna yang lain seperti HSV, HSL, ataupun CMYK. Namun pada tugas akhir ini analisis yang dilakukan hanya terbatas melalui model warna RGB saja. Hal ini ditujukan demi penyederhanaan masalah dalam pemrograman. Selain itu, format citra yang diolah sejatinya memang dalam format RGB, sehingga dibutuhkan suatu algoritma awal tambahan bila ingin mengkonversi model warna yang digunakan menjadi model warna selain RGB. 6

Gambar 2.4 Representasi sebuah citra digital berwarna beserta nilai pixelnya 2.2 Akuisisi Citra Akuisisi citra adalah proses untuk menangkap citra dengan kamera kemudian mengubah citra tersebut menjadi citra digital yang akan diproses oleh komputer. Untuk mengakusisi citra diperlukan kamera dan digitizer. Kamera berfungsi untuk menangkap citra dari obyek sedangkan digitizer berfungsi untuk mengubah citra tersebut menjadi citra digital. Gambar 2.5 Proses akuisisi citra 2.3 Pengolahan Citra Setelah mendapatkan citra digital yang diinginkan, pengolahan citra dilakukan untuk menghasilkan keputusan tertentu terhadap citra tersebut. Di sini manipulasi dilakukan pada citra dengan tujuan untuk memperoleh citra yang lebih 7

baik dan memperoleh suatu data atau informasi dari citra. Dalam bidang ilmu computer vision terdapat banyak sekali teknik pengolahan citra. Namun pada bagian ini hanya akan dibahas teknik-teknik yang digunakan dalam tugas akhir ini. 2.3.1 Thresholding Thresholding diperlukan untuk memisahkan obyek utama dari obyek lain atau lingkungan pada suatu citra. Dengan thresholding diharapkan citra hanya mempunyai dua kondisi intensitas nilai pixel, yaitu intensitas high yang menandakan obyek utama dan intensitas low untuk menandakan lingkungan. Proses thresholding pada umumnya dilakukan dengan pemberian suatu nilai ambang intensitas. Jika nilai intensitas suatu pixel berada di atas nilai ambang tersebut maka intensitas pixel yang bersangkutan pada citra hasil thresholding akan diubah menjadi high. Sebaliknya jika nilai intensitas suatu pixel berada di bawah nilai ambang tersebut maka intensitas pixel yang bersangkutan pada citra hasil thresholding akan diubah menjadi low. Pemberian nilai ambang harus dilakukan secara hati-hati karena pemberian nilai ambang yang salah akan mengakibatkan kesalahan dalam pemisahan obyek utama dan lingkungan. Dalam persamaan matematis, operasi thresholding dapat dinyatakan sebagai berikut : Go, f ( x, y) T g( x, y)... (2.1) Gb, f ( x, y) T dimana: f(x,y) : nilai greylevel citra sebenarnya g(x,y) : nilai greylevel citra hasil operasi threshold G o : nilai greylevel obyek citra setelah operasi threshold G b T : nilai greylevel latar belakang citra setelah operasi threshold : nilai ambang 8

Gambar 2.6 menunjukkan contoh operasi thresholding. Citra di sebelah kiri adalah suatu citra grayscale. Sedangkan citra di sebelah kanan adalah citra hasil operasi thresholding. Gambar 2.6 Contoh operasi thresholding pada citra 2.4.2 Feature Detection Feature detection adalah suatu metode yang bertujuan untuk menghitung abstraksi-abstraksi yang berasal dari informasi citra dan membuat keputusankeputusan lokal pada setiap titik pada citra mengenai keberadaan suatu fitur pada titik tersebut. Fitur yang dimaksud bisa berupa garis, titik, ataupun area. Jika pada suatu citra terdapat lebih dari satu fitur, maka diperlukan proses penandaaan (labelling) untuk memilah-milah diantara fitur-fitur yang terdeteksi. Pada tugas akhir kali ini fitur yang ingin dideteksi adalah berupa sebuah titik laser. Sedangkan data yang ingin diperoleh adalah posisi ketinggian titik laser tersebut. Oleh karena itu, feature detection yang digunakan dalam tugas akhir ini disederhanakan dengan tidak menggunakan labelling. Pada citra titik laser akan menjadi suatu area yang titik beratnya dalam sumbu vertikal (y) dapat dihitung menggunakan persamaan: _ y yda (2.2) A Gambar 2.7 menunjukkan contoh citra yang sudah diolah terlebih dahulu sehingga yang terlihat hanya sebuah fitur berupa area putih. Dengan menggunakan feature detection, dapat dihitung titik berat area putih tersebut 9

sehingga dapat ditemukan bahwa posisi area tersebut pada sumbu vertikal berada pada 60 pixel dari ujung bawah citra. Gambar 2.7 Contoh citra dengan sebuah fitur berupa area putih 2.4 Pengolahan Citra Untuk Mendapatkan Jarak Teori tentang pengolahan citra tunggal berbantuan laser pointer untuk mendapatkan jarak dapat diturunkan dari teori pada metode yang paling umum digunakan, yaitu metode pengolahan citra stereo untuk mendapatkan jarak. 2.4.1 Pengolahan Citra Stereo[1] Sistem penglihatan stereo menggunakan prinsip kesebangunan segitiga untuk dapat menentukan jarak obyek terhadap kamera. Pada Gambar 2.8 dapat dilihat prinsip dari penglihatan stereo, dimana titik yang sama pada obyek (scene point) akan dipetakan menjadi titik yang berbeda pada citra kiri dan citra kanan yaitu A dan A. Gambar 2.8 Prinsip penglihatan stereo [2] 10

Cara penghitungan jarak adalah dengan menggunakan data disparity. Disparity, d, didefinisikan sebagai pergeseran yang terjadi pada titik-titik yang bersesuaian. Dapat dimisalkan jarak antara titik A pada citra kiri dan titik pusat kamera kiri adalah u, sedangkan jarak antara titik A pada citra kanan dan titik pusat kamera kanan adalah u. Sehingga disparity dapat dirumuskan sebagai berikut : d u u'...(2.3) Untuk lebih jelasnya, prinsip penghitungan jarak menggunakan data disparity ini dapat dilihat pada gambar 2.9. Gambar 2.9 Prinsip penghitungan jarak menggunakan data disparity Pada gambar di atas, f adalah panjang fokus lensa kamera, T adalah jarak antara dua titik pusat (sumbu optik) dua kamera, dan Z adalah jarak yang dicari. Dengan memakai hubungan kesebangunan segitiga, didapatkan hubungan sebagai berikut: Z f...(2.4) T d 11

Sehingga Z dapat dihitung dengan persamaan: ft Z (2.5) d Persamaan 2.5 di atas menunjukkan bahwa dengan panjang fokus lensa yang konstan dan jarak antar kamera yang konstan maka jarak akan berbanding terbalik dengan disparity. Sehingga semakin besar disparity maka semakin dekat titik yang diamati terhadap kamera. Adapun asumsi yang dipakai pada penurunan persamaan di atas yaitu: 1. Kedua kamera mempunyai panjang fokus yang sama. 2. Kedua kamera sejajar sumbu optiknya. Untuk dapat memperoleh nilai jarak dari suatu titik, maka titik yang bersangkutan harus ditemukan pada citra sebelah kiri maupun citra sebelah kanan. Permasalahan terbesar dalam sistem penglihatan stereo adalah pencocokan obyek atau titik pada satu citra dan menemukan pasangannya, yaitu proyeksi titik atau obyek yang sama pada citra yang lain. Contoh cara pencocokan titik dapat dilihat pada gambar di bawah ini yang didapat dari tugas akhir yang dibuat oleh rekan Tutut Prasetyo[3]. Gambar 2.10 Contoh metode pencocokan titik pada sistem penglihatan stereo. Untuk mendapatkan dua titik yang bersesuaian, pertama-tama sistem harus mampu mendefinisikan yang mana yang merupakan obyek, dan mana yang merupakan latar. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan thresholding yang 12

sedemikian rupa sehingga citra berwarna yang ada di atas diubah bentuknya menjadi citra hitam putih yang ada di bawahnya. Kemudian sistem harus dapat menentukan yang mana benda pertama, yang mana benda kedua, dan seterusnya dengan menggunakan proses labelling. Setelah itu sistem melakukan penghitungan titik berat tiap-tiap benda sehingga didapatkan titik-titik merah yang terlihat pada gambar. Titik merah ini kemudian dicocokkan antara titik merah benda pertama di kiri dengan di kanan, titik merah benda kedua di kiri dan di kanan, dan seterusnya sehingga didapat nilai disparity untuk tiap-tiap obyek. Metode yang sedemikian panjang ini pada prakteknya masih sulit untuk diterapkan untuk penangkapan citra secara live video (bukan dengan analisa gambar hasil pemotretan). 2.4.2 Pengolahan Citra Tunggal Berbantuan Laser Pointer Gambar 2.11 Prinsip penghitungan jarak pada citra tunggal berbantuan laser pointer Prinsip penghitungan jarak pada citra tunggal berbantuan laser pointer serupa dengan prinsip penghitungan jarak citra stereo. Hanya saja dalam metode 13

ini kamera di sebelah kiri digantikan oleh laser pointer, sehingga hanya dibutuhkan satu buah kamera. Garis SC pada gambar adalah lintasan tembakan sinar laser, sedangkan u dalam hal ini berada pada suatu bidang imajiner yang menggantikan bidang citra. Dari persamaan 2.3 dan 2.4, diketahui bahwa untuk mencari Z menggunakan u dan u dapat digunakan persamaan: Z f...(2.6) T u u' Pada metode penghitungan jarak menggunakan citra tunggal berbantuan laser pointer, u tidak bisa didapatkan dari citra. Yang bisa kita dapatkan adalah sudut kemiringan arah tembakan laser terhadap sumbu optik imajiner yang sejajar dengan sumbu optik kamera. Sudut kemiringan ini pada gambar dilambangkan dengan. Dengan demikian persamaan tadi dapat diubah menjadi: Z f...(2.7) T u ftan Sehingga Z dapat dihitung melalui persamaan: T Z...(2.8) u Tan f Persamaan 2.8 menunjukkan bahwa kita dapat menghitung jarak apabila kita mendapatkan data u dari citra, dan data dari suatu alat pengukur sudut. Namun demikian, persamaan ini tidak dapat diterapkan secara langsung untuk mengolah citra digital. Hal ini disebabkan pada persamaan tersebut satuan u haruslah sama dengan satuan f, yaitu dalam satuan panjang seperti meter atau milimeter. Sedangkan data yang bisa diperoleh dari suatu citra digital adalah panjang dalam satuan pixel. Namun demikian kita tahu bahwa: Dimana u p... (2.7) p adalah panjang dalam satuan pixel. Sehingga: u f p C... (2.8) Dengan demikian persamaan 2.6 dapat diubah bentuknya menjadi: T Z p C Tan... (2.9) 14

Persamaan 2.9 inilah yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam pengukuran jarak yang dilakukan pada tugas akhir ini. Dengan mengggunakan metode pengolahan citra tunggal berbantuan laser pointer, masalah pencocokan titik pada metode pengolahan citra stereo akan disederhanakan menjadi masalah pencarian titik laser pada citra. 2.5 Laser Distance Sensor / Optical Distance Sensor Laser distance sensor pada tugas akhir ini akan digunakan sebagai alat ukur pembanding yang hasil pembacaannya dianggap benar. Titik laser yang akan ditangkap pada citra adalah titik laser yang berasal dari alat ukur ini. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa sistem visual dan laser distance sensor mengukur jarak terhadap suatu titik yang sama. Laser distance sensor yang digunakan pada tugas akhir ini yaitu seri O1D100 buatan IFM mengukur jarak berdasarkan prinsip time of flight. Cara kerja prinsip ini adalah bahwa setiap photon yang ditransmisikan membutuhkan waktu yang tertentu untuk terbang ke arah target dan kembali ke sensor. Periode waktu ini besarnya berbanding lurus dengan jarak. Besarnya periode waktu ini dapat diukur oleh perangkat elektronik yang ada pada sensor dan dikonversikan besarannya menjadi jarak untuk ditampilkan kepada pengguna. Gambar 2.12 menggambarkan cara kerja laser distance sensor O1D100 buatan IFM yang menggunakan prinsip time of flight. Gambar 2.12 Cara kerja laser distance sensor O1D100 buatan IFM 15

2.6 Motor Servo DC Sebuah motor servo DC terdiri dari motor DC kecil, gearset, sebuah feedback potentiometer (variable resistor), dan beberapa perangkat elektronik lain sebagai sistem kontrol. Motor berputar pada kecepatan yang berubah-ubah dan dikopel pada sebuah gearset reduksi. Gearset ini mereduksi kecepatan motor yang tinggi untuk mendapatkan torsi yang lebih baik. Gambar 2.13 Komponen-komponen motor servo DC Servo merupakan contoh klasik dari sebuah sistem closed loop feedback. Potensiometer dikopel pada gear output sehingga tahanannya akan proporsional terhadap posisi output servo. Sinyal dari tahanan ini akan diambil oleh sirkuit kontrol untuk menghasilkan sinyal error ketika posisi yang diinginkan tidak sesuai dengan posisi saat ini. Misalkan servo diperintahkan berputar ke posisi 90 dan hasil sebenarnya 80, maka sinyal error akan menyebabkan motor akan memutar porosnya kembali sehingga sinyal error-nya menjadi nol, yaitu pada saat posisi poros mencapai 90. Proses tersebut akan terjadi berulang-ulang dan menjadi sebuah closed loop feedback yang akan mempertahankan sinyal error agar besarnya selalu nol. Servo dikendalikan dengan pengiriman sinyal berupa pulsa. Pulsa tersebut memiliki tiga parameter yaitu lebar pulsa minimum, lebar pulsa maksimum dan periode pengulangan. Pulsa yang diberikan akan menentukan seberapa jauh poros berputar. Sebagai contoh, pada motor servo jenis HS322-HD buatan Hitec, lebar 16

pulsa maksimum sebesar 1,5 milisekon akan menyebabkan poros berputar ke posisi 90 (posisi netral). Periode pengulangan pada motor servo ini sudah tertentu yaitu sebesar 20 milisekon, atau dengan kata lain frekuensinya sebesar 50 Hz. Jika lebar pulsa maksimum yang diberikan kurang dari 1,5 milisekon, maka poros akan menuju ke posisi kurang dari 90. Sebaliknya bila pulsa maksimum yang diberikan lebarnya lebih dari 1,5 milisekon, maka poros akan berputar menuju ke posisi yang lebih dari 90. Teknik pemberian sinyal untuk menentukan posisi ini disebut Pulse Width Modulation (PWM). Gambar 2.14 PWM pada motor servo Gambar 2.15 Contoh perintah PWM dan outputnya pada motor servo 2.7 Rotary Encoder Rotary encoder atau shaft encoder adalah suatu perangkat elektromekanik yang digunakan untuk mengkonversi perpindahan angular dari suatu poros menjadi kode-kode analog ataupun digital. Terdapat dua jenis utama dari rotary encoder, yaitu tipe absolut dan tipe incremental. Absolute rotary encoder menghasilkan kode yang unik untuk tiap-tiap posisi sudut poros tertentu, 17

sedangkan incremental rotary encoder menghasilkan kode-kode yang bisa diterjemahkan sebagai jarak perpindahan sudut relatif terhadap posisi awal. Dalam tugas akhir ini yang digunakan dalah rotary encoder tipe incremental karena pertimbangan biaya yang murah untuk kecermatan pembacaan yang cukup baik. Incremental encoder bekerja dengan cara menerjemahkan putaran poros encoder tersebut menjadi sinar cahaya terputus-putus yang selanjutnya diolah menjadi bentuk pulsa-pulsa listrik. Sinar cahaya terputus-putus tersebut dihasilkan dari konstuksi gabungan sumber cahaya, glass disk, dan photosensor seperti pada gambar 2.15. Gambar 2.16 Contoh skema konstruksi bagian dalam incremental rotary encoder Kosntruksi berpasangan seperti gambar di atas akan menghasilkan dua buah sinyal sinusoidal seperti pada gambar 2.16. Perbedaan fasa sebesar 90 derajat diperoleh dengan cara mengatur posisi relatif dantara kedua photosensor yang ada. Gambar 2.17 Output sinusoidal dari dua buah photosensor 18

Sinyal tersebut kemudian diubah oleh suatu rangkaian Schmitt Trigger menjadi bentuk pulsa. Gabungan kedua pulsa, yang disebut pulsa A dan B ini kemudian digolongkan ke dalam empat kondisi seperti pada gambar 2.16, sehingga disebut quadrature outputs. Tabel kondisi dapat dilihat pada tabel 2.1. Gambar 2.18 Quadrature outputs Tabel 2.1 Pengkodean kondisi quadrature outputs Tabel di atas dapat digunakan untuk menghitung suatu hitungan untuk mengetahui posisi angular relatif. Misalkan kita menggunakan konvensi arah putaran clockwise dan output berubah dari kondisi 00 ke 01, maka diketahui bahwa hitungan bertambah satu. Hal ini berarti encoder telah berputar sejauh 1 per pulsa incremental rotary encoder dalam satu putaran dikalikan dengan 360 derajat. Bila jumlah pulsa incremental rotary encoder berjumlah 1000, berarti poros telah berputar sejauh 0,36 derajat searah jarum jam. Sebaliknya, jika output berubah dari kondisi 00 ke 10, berarti poros telah berputar 0,36 derajat berlawanan arah jarum jam. 19