LAPORAN PERKEMBANGAN KEMAJUAN PROGRAM KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

I.1. Perkembangan Sektor Industri dan Perannya terhadap Perekonomian Nasional sampai dengan tahun 2004

PROGRAM PENGEMBANGAN INDUSTRI MAKANAN, HASIL LAUT DAN PERIKANAN

BAB I PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN II (SEMESTER I) TAHUN 2014

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA

RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH TAH

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA HILIRISASI INDUSTRI PERTANIAN

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

BAHAN KULIAH DAN TUGAS

KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL TAHUN Disampaikan pada acara: Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Di Hotel Bidakara

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Analisis Perkembangan Industri

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA RAPAT KERJA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DENGAN DINAS PERINDUSTRIAN KABUPATEN/KOTA KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN

FOKUS PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN BERBASIS TEKNOLOGI TINGGI TAHUN 2014

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Menteri Perindustrian Republik Indonesia. Menghidupkan Kembali Sektor Industri Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional

RENCANA STRATEGIS TAHUN DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

FORMULIR 1 RENCANA KERJA KEMENTERIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2013

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

ANALISIS PERKEMBANGAN INDUSTRI MIKRO DAN KECIL DI INDONESIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2010 Pusat Data dan Informasi

DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI KIMIA, TEKSTIL, DAN ANEKA

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2011

BAB 18 DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

SAMBUTAN Pada Acara FORUM EKONOMI JAWA BARAT. Bandung, 8 Juni 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. dikaitkan dengan proses industrialisasi. Industrialisasi di era globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

LAPORAN PERKEMBANGAN KOMODITI INDUSTRI TERPILIH

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013

Energy Conservation in the Industry by Utilizing Renewable Energy or Energy Efficiency and Technology Development. Jakarta, 19 Agustus 2015

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2012

Statistik KATA PENGANTAR

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERINDUSTRIAN

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERINDUSTRIAN

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI NOMOR: 151 /M-IND/PER/12/2010 TENTANG:

Indonesia Investment Coordinating Board KATA PENGANTAR

BAB 18 DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

RENCANA KINERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2012

LAPORAN PERKEMBANGAN KOMODITI INDUSTRI TERPILIH

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

PERAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DALAM MENDORONG INOVASI PRODUK DI INDUSTRI PULP DAN KERTAS

Menteri Perindustrian Republik Indonesia SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA KUNJUNGAN DI UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG, 14 APRIL 2016

Written by Danang Prihastomo Thursday, 05 February :00 - Last Updated Monday, 09 February :13

PERKUATAN STRUKTUR INDUSTRI NASIONAL UNTUK PENINGKATAN SINERGI DAN DAYA SAING

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

Analisis Perkembangan Industri

PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI NASIONAL DAN PROGRAM MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI)

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016

DISAMPAIKAN PADA RAPAT KOORDINASI DAN SINKRONISASI PENYUSUNAN PROGRAM KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO TAHUN 2013 Oleh : SEKRETARIS DIREKTORAT

RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN TAHUN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

REINDUSTRIALISASI DALAM RANGKA MENDUKUNG TRANSFORMASI EKONOMI

Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

RENCANA KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN ANGGARAN 2015 JAKARTA, APRIL 2014

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Assalamu'alaikum Wr.Wb. Yth. Para Peserta Seminar serta Saudarasaudara

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN II TAHUN 2013


IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini pasti akan melakukan interaksi dengan negaranegara

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

Kata Pengantar KATA PENGANTAR

Tema Pembangunan 2007

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PENGARAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA FORUM DIALOG DENGAN PIMPINAN REDAKSI JAKARTA, 30 JUNI 2015

LAPORAN PERKEMBANGAN KOMODITI INDUSTRI TERPILIH

Statistik KATA PENGANTAR

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional.

Disampaikan oleh: Kepala Bappeda provinsi Jambi. Jambi, 31 Mei 2016

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang

KATA PENGANTAR. Ir. M. Tassim Billah, M.Sc.

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Transkripsi:

LAPORAN PERKEMBANGAN KEMAJUAN PROGRAM KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2004-2012 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 2013

DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN... 1 II.KEBIJAKAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR TAHUN 2005-2014... 5 A. ARAH KEBIJAKAN INDUSTRI PADA RPJPN 2005-2025... 5 B. ARAH KEBIJAKAN INDUSTRI PADA RPJMN 2005-2009... 6 C. KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL (KIN)... 9 D. ARAH KEBIJAKAN INDUSTRI PADA RPJMN 2010-2014... 10 E. AKSELERASI INDUSTRIALISASI 2012-2014... 12 III. KINERJA PENGEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR TAHUN 2004-2012... 13 A. KINERJA MAKRO INDUSTRI TAHUN 2004-2012... 13 B. KINERJA PENGEMBANGAN INDUSTRI PRIORITAS TAHUN 2004-2012... 20 1. Program Revitalisasi dan Pengembangan Basis Industri Manufaktur... 20 2. Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Agro... 35 3. Program Penumbuhan Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi... 44 4. Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah... 53 C. KINERJA PROGRAM PENDUKUNG PELAKSANAAN PROGRAM PRIORITAS TAHUN 2004-2012... 59 1. Program Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri... 59 2. Program Pengembangan Perwilayahan Industri... 68 3. Program Kerjasama Industri Internasional... 72 4. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya... 78 5. Peningkatan akuntabilitas Keuangan dan Reformasi Birokrasi... 88

I. PENDAHULUAN Secara umum perkembangan ekonomi Indonesia periode 1999-2005 atau pasca krisis ekonomi Asia telah mulai membaik karena adanya pengaruh positif dari berbagai faktor, antara lain: perkembangan ekonomi dunia yang cukup baik, perkembangan sosial politik dalam negeri yang kondusif serta situasi moneter yang stabil. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang diterapkan Pemerintah pada saat itu, seperti kebijakan moneter yang ketat yang ditujukan untuk menyerap likuiditas agar tidak menahan tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah, penyelesaian masalah perburuhan, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari kebijakan makro ekonomi Pemerintah baik dari sudut kebijakan fiskal maupun moneter, dapat terlihat bahwa sektor industri memegang peranan strategis dalam upaya mencapai sasaran pembangunan ekonomi. Pembangunan sektor industri menjadi sangat penting karena kontribusinya terhadap pembentukan PDB sangat besar. Pada tahun 2004-2012, industri pengolahan (migas dan non-migas) memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDB, dimana pada tahun 2004 mencapai 28,07% dan pada tahun 2012 sebesar 23,98%. Meskipun mengalami penurunan, peranan sektor industri pengolahan terhadap PDB tetap yang paling besar, diikuti sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 14,44%, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13,90%, pertambangan dan penggalian sebesar 11,78%, sektor jasa-jasa sebesar 10,78%, serta sektor konstruksi/bangunan sebesar 10,45%. Sektor industri mampu berperan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi (prime mover) karena kemampuannya dalam peningkatan nilai tambah yang tinggi. Industri juga dapat membuka peluang untuk menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan, yang berarti meningkatkan kesejahteraan serta mengurangi kemiskinan. Dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 2012 sekitar 14 juta orang (termasuk industri mikro, kecil dan menengah), tenaga kerja sektor industri turut memberikan kontribusi sebesar 12-13% terhadap total tenaga kerja nasional. Peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional juga tercermin dari dampak kegiatan ekonomi sektor riil bidang industri dalam komponen konsumsi maupun investasi. Pada tahun 2012, nilai investasi PMDN dan PMA di sektor industri masing-masing memberikan kontribusi sebesar 54,12% terhadap total investasi PMDN dan 47,91% terhadap total investasi PMA di Indonesia. Investasi di sektor industri tersebut akan berperan sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor jasa keteknikan, penyediaan bahan baku, transportasi, distribusi atau perdagangan, pariwisata dan sebagainya. Mengingat peran sektor industri yang sangat besar terhadap perekonomian nasional, maka pembangunan sektor industri, khususnya industri pengolahan non-migas menjadi agenda yang penting. Kebijakan pembangunan industri nasional sejak tahun 1967 hingga saat ini telah mengalami berbagai perkembangan khususnya dalam menghadapi tantangan perekonomian nasional maupun internasional yang menyertainya. Pada periode rehabilitasi dan stabilitasi (tahun 1967 1972), serta periode terjadinya booming minyak (tahun 1973 1981), kebijakan yang diterapkan adalah mendorong tumbuhnya industri substitusi impor, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), kertas, semen, makanan dan minuman. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 1

Dengan membaiknya harga minyak (oil boom), Pemerintah melakukan investasi pada berbagai BUMN dan mengupayakan agar industri mampu mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Hal itu tentunya dengan harapan selain dapat menghasilkan produk-produk konsumsi untuk mensubstitusi barang impor, juga dapat menimbulkan dampak pembangunan kepada kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya yang terkait (trickle-down effect). Peran Pemerintah yang tinggi tidak terlepas masih terbatasnya kemampuan swasta nasional. Dengan melemahnya harga minyak pada era tahun 1982 1996, kebijakan dari tujuan yang semula hanya untuk pengembangan industri substitusi impor, dikembangkan dengan menambah misi baru dari Pemerintah, yakni pengembangan industri berorientasi ekspor yang harus didukung oleh usaha pendalaman dan pemantapan struktur industri. Kebijakan ini mulai diterapkan pada industri kimia, logam, kendaraan bermotor, industri mesin listrik/peralatan listrik dan industri alat/mesin pertanian. Adapun langkah-langkah kebijakan yang diterapkan sejak tahun 1997 sampai tahun 2004 adalah melaksanakan program Revitalisasi, Konsolidasi dan Restrukturisasi industri. Kebijakan ini ditempuh dengan tujuan untuk mengembalikan kinerja industri yang terpuruk akibat goncangan krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis multidimensi. Industri-industri yang direvitalisasi adalah industri yang mempekerjakan banyak tenaga kerja serta yang memiliki kemampuan ekspor. Setelah itu, kebijakan pembangunan industri tidak lepas dari desain besar pembangunan ekonomi nasional jangka panjang dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Lima tahun pertama periode ini merupakan periode pemulihan dan pembangunan kembali sektor industri nasional untuk mencapai visi pembangunan industri nasional jangka panjang. Visi Pembangunan Industri Indonesia pada tahun 2025 sebagaimana tercantum di dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perindustrian 2010-2014 adalah menjadikan Indonesia sebagai Negara Industri Tangguh di dunia. Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan visi antara untuk tahun 2020 yaitu Indonesia menjadi negara industri maju baru, dan visi tahun 2014 yaitu memantapkan daya saing bagi industri manufaktur yang berkelanjutan (sustainable) serta terbangunnya pilar industri andalan masa depan. Sesuai dengan Visi tahun 2014 di atas, maka misi lima tahun sampai dengan 2014 adalah sebagai berikut: (1) Mendorong peningkatan nilai tambah industri, (2) Mendorong peningkatan perluasan pasar domestik dan internasional, (3) Mendorong peningkatan industri jasa pendukung, (4) Memfasilitasi penguasaan teknologi industri, (5) Memfasilitasi penguatan struktur industri, (6) Mendorong penyebaran pembangunan industri ke luar pulau Jawa, dan (7) Mendorong peningkatan peran IKM terhadap PDB. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, Pemerintah telah menyusun serangkaian kebijakan dan strategi pembangunan industri melalui Perpres Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN). Dalam rangka pembangunan industri nasional tersebut, strategi yang dilakukan adalah melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan Top-Down melalui pengembangan 35 klaster industri prioritas, serta pendekatan Bottom-Up melalui penetapan Industri Unggulan Provinsi (IUP) dan Kompetensi Inti Industri Daerah (KIID). Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 2

Implementasi kebijakan pembangunan industri nasional tersebut mesti dilaksanakan dalam kerangka besar pembangunan nasional, sebagaimana dituangkan dalam RPJMN 2010-2014, dimana pembangunan industri diarahkan untuk mencapai: 1. Pertumbuhan Industri, melalui pengembangan dan penguatan 35 klaster industri prioritas (pro growth); 2. Pemerataan Industri, melalui pengembangan dan penguatan industri kecil dan menengah (pro growth dan pro job); 3. Persebaran Industri, melalui pengembangan industri unggulan di 33 provinsi dan Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota (pro job dan pro poor); serta 4. Menjaga Keseimbangan Lingkungan, melalui pengembangan industri hijau (pro environment). Sejak periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I tahun 2004 hingga saat ini, Pemerintah telah menjalankan RPJMN tahun 2005-2009 dan sedang menjalankan RPJMN 2010-2014. Pada kurun waktu tersebut, pembangunan di sektor industri telah dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian melalui berbagai program dan kegiatan, baik program pengembangan industri prioritas maupun program pendukung pelaksanaan program prioritas, dengan hasil-hasil utama yang dicapai pada tahun 2004-2012 antara lain sebagai berikut. Program Revitalisasi dan Penumbuhan Basis Industri Manufaktur menghasilkan: (1) Revitalisasi Industri Pupuk melalui penyediaan suplai gas sebagai bahan baku industri pupuk dan pembangunan pabrik pupuk baru; (2) Peningkatan investasi dan pembangunan pabrik petrokimia butadiena, kosmetika, acrylic acid, asam nitrat, super absorbent polyer, dan pembangunan Center of Excellence Industri Petrokimia di Cilegon, Banten; (3) Terdapat investasi baru industri baja nasional, antara lain di Batu Licin, Cilegon, dan Kulonprogo; serta (4) Restrukturisasi Industri TPT dan Alas Kaki sejak tahun 2007-2012 dengan total nilai bantuan sebesar Rp 976 milyar dan menghasilkan investasi sebesar Rp 9,96 triliun. Pada Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Agro, hasil-hasil utamanya antara lain: (1) Revitalisasi Industri Gula yang menghasilkan peningkatan jumlah pabrik gula dan jumlah produksi gula kristal rafinasi (GKR) dari 722 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 2,74 ton pada tahun 2012; (2) Meningkatnya utilisasi Industri Minyak Goreng/Refinery dalam negeri, pada tahun 2010 hanya sekitar 45% meningkat menjadi 70% pada awal tahun 2012 dan Investasi di bidang industri hilir kelapa sawit dengan total komitmen investasi hingga tahun 2014 mencapai Rp. 20 Triliun; (3) Meningkatnya jumlah industri pengolahan kakao menjadi 16 perusahan di tahun 2012 dengan kapasitas produksi mencapai 660.000 ton/tahun, utilisasi mencapai 60,6% dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 4.300 tenaga kerja; (4) Investasi industri karet berupa pembangunan pabrik ban Hankook kapasitas 5,3 juta ban KBM roda 4 per tahun dan 840 ribu ban truk/radial pertahun dengan nilai investasi USD 1,1 miliar di Jawa Barat; serta (5) Meningkatnya ekspor produk furniture rotan pada tahun 2012 mencapai USD 151 juta dibandingkan tahun 2011 yang mencapai USD 128 juta. Sementara itu, Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi menghasilkan: (1) Peningkatan investasi dan produksi kendaraan otomotif, menghasilkan peningkatan jumlah penjualan KBM R-2 dari 5,1 juta unit di tahun 2005 menjadi 7,1 juta unit di tahun 2012 dan KBM R-4 dari 533 ribu unit di tahun 2005 menjadi Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 3

1,1 juta unit di tahun 2012; dan (2) Peningkatan kemampuan produksi galangan kapal baru sampai 50 ribu DWT dengan kapasitas produksi 900 ribu DWT pertahun, serta kemampuan perbaikan/reparasi sampai 150 ribu DWT dengan kapasitas reparasi 12 juta DWT pertahun. Khusus mengenai Penumbuhan dan Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM), telah dilakukan pembinaan klaster industri di 63 lokasi, pembinaan OVOP pada 127 sentra di 114 lokasi, pelatihan wirausaha baru kepada 5.300 orang dan 18 kelompok usaha, serta bantuan permesinan IKM kepada 222 IKM dengan nilai bantuan Rp 30,61 milyar. Selain itu, hasil-hasil utama untuk program pendukung pelaksanaan program prioritas tahun 2004-2012 antara lain: (1) Telah disusun 645 RSNI dimana 540 di antaranya ditetapkan sebagai SNI dan 210 di antaranya telah menjadi SNI Wajib, serta terfasilitasinya 20 judul litbang untuk mendapatkan HKI (paten); (2) Telah direalisasikannya fasilitas insentif bagi industri berupa tax holiday bagi 2 perusahaan, tax allowance bagi 83 perusahaan, dan BMDTP bagi 273 perusahaan. Dalam rangka kerjasama industri internasional, telah difasilitasi bantuan teknik dan bantuan proyek luar negeri sebanyak 21 proyek dari 10 negara, serta fasilitasi perundingan bilateral, regional dan multilateral termasuk pengambilalihan PT Inalum. Selain itu, untuk pengembangan SDM industri dan aparatur, telah dilatih dan diluluskannya 6.975 SDM industri, 21.101 lulusan pendidikan industri, 1.238 TPL industri, 236 guru dan dosen, serta 6.055 SDM Aparatur Kementerian Perindustrian. Kementerian Perindustrian juga telah membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejak tahun 2011. Dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan, Kementrian Perindustrian telah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan oleh BPK sejak tahun 2009 hingga 2012, serta telah melaksanakan Reformasi Birokrasi sejak tahun 2005 hingga mendapatkan tunjangan kinerja (remunerasi) mulai tahun 2012. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 4

II. KEBIJAKAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR TAHUN 2005-2014 A. ARAH KEBIJAKAN INDUSTRI PADA RPJPN 2005-2025 Arah kebijakan industri tahun 2005-2025 berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 adalah sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif, yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. 2. Efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah sektor primer terutama sektor pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan ditingkatkan agar mampu bersaing di pasar lokal dan internasional serta untuk memperkuat basis produksi secara nasional. 3. Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing, baik di pasar lokal maupun internasional, dan terkait dengan pengembangan industri kecil dan menengah, dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan serta mendorong perkembangan ekonomi di luar Pulau Jawa. 4. Struktur industri dalam hal penguasaan usaha akan disehatkan dengan meniadakan praktik-praktik monopoli dan berbagai distorsi pasar melalui penegakan persaingan usaha yang sehat dan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar. 5. Struktur industri dalam hal skala usaha akan diperkuat dengan menjadikan industri kecil dan menengah sebagai basis industri nasional yang sehat, sehingga mampu tumbuh dan terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri hilir dan industri berskala besar. 6. Dalam rangka memperkuat daya saing perekonomian secara global, sektor industri perlu dibangun guna menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri yang sehat dan kuat melalui: a. pengembangan rantai pertambahan nilai melalui diversifikasi produk (pengembangan ke hilir), pendalaman struktur ke hulunya, atau pengembangan secara menyeluruh (hulu-hilir); b. penguatan hubungan antarindustri yang terkait secara horizontal termasuk industri pendukung dan industri komplemen, termasuk dengan jaringan perusahaan multinasional terkait, serta penguatan hubungan dengan kegiatan sektor primer dan jasa yang mendukungnya; dan c. penyediaan berbagai infrastruktur bagi peningkatan kapasitas kolektif yang, antara lain, meliputi sarana dan prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana dan prasarana teknologi; prasarana pengukuran, standardisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas; serta sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri). Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 5

B. ARAH KEBIJAKAN INDUSTRI PADA RPJMN 2005-2009 Sasaran dan Kebijakan Pembangunan Industri pada RPJMN 2005-2009 sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2005-2009 Bab 18 Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur adalah sebagai berikut. 1. Sasaran Pembangunan Industri 2005-2009 a. Sektor industri manufaktur (non-migas) ditargetkan tumbuh rata-rata 8,56% per tahun, dengan tingkat utilisasi meningkat dari 60% pada tahun 2003, menjadi 80% dalam dua sampai tiga tahun pertama, terutama untuk industri yang dinilai memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. b. Target penyerapan tenaga kerja dalam 5 tahun adalah sekitar 500 ribu orang per tahun (termasuk industri pengolahan migas), dengan perkiraan kebutuhan investasi mencapai 40-50 triliun rupiah per tahun. c. Terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif baik bagi industri yang sudah ada maupun investasi baru dalam bentuk tersedianya layanan umum yang baik dan bersih dari KKN, sumber-sumber pendanaan yang terjangkau, dan kebijakan fiskal yang menunjang. d. Meningkatnya pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik, baik untuk bahan baku maupun produk akhir. e. Meningkatnya volume ekspor produk manufaktur dalam total ekspor nasional. f. Meningkatnya proses alih teknologi dari Foreign Direct Investment (FDI) yang dicerminkan dari meningkatnya pemasokan bahan antara dari produk lokal. g. Meningkatnya penerapan standardisasi produk industri manufaktur sebagai faktor penguat daya saing produk nasional. h. Meningkatnya penyebaran sektor industri manufaktur ke luar Pulau Jawa, terutama industri pengolahan hasil sumber daya alam. 2. Kebijakan Pembangunan Industri 2005-2009 a. Pada tingkat makro, menjaga stabilitas ekonomi makro, mewujudkan iklim usaha dan investasi yang sehat dan berdaya saing serta pengelolaan persaingan usaha secara sehat. Koordinasi dengan instansi-instansi terkait dan kemitraan dengan swasta perlu terus ditingkatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukan. b. Untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan, yaitu 8,56% per tahun, maka dalam 5 tahun mendatang pengembangan sektor industri manufaktur difokuskan pada pengembangan sejumlah sub-sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pengembangan sektor industri manufaktur diarahkan lebih banyak pada upaya untuk memperkuat struktur industri, meningkatkan dan memperluas pemanfaatan teknologi, serta meningkatkan nilai pengganda (multiplier) di masing-masing sub-sektor yang telah ditetapkan. c. Kriteria sub-sektor industri manufaktur yang akan diprioritaskan adalah sebagai berikut: (i) menyerap banyak tenaga kerja; (ii) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan); (iii) mengolah hasil pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain dalam Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 6

negeri; dan (iv) memiliki potensi pengembangan ekspor. Atas dasar kriteria tersebut di atas, maka industri manufaktur yang diprioritaskan adalah: (1) industri makanan dan minuman; (2) industri pengolah hasil laut; (3) industri tekstil dan produk tekstil; (4) industri alas kaki; (5) industri kelapa sawit; (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu); (7) industri karet dan barang karet; (8) industri pulp dan kertas; (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan (10) industri petrokimia. 3. Program Pembangunan Industri 2005-2009 Dalam upaya mencapai pertumbuhan sektor industri manufaktur yang ditargetkan RPJMN 2005 2009, pengembangan sektor industri manufaktur difokuskan pada Perkuatan Struktur dan Daya Saing. Adapun program pokok pengembangan industri manufaktur dan program penunjang adalah sebagai berikut: a. Program Pokok Pengembangan Industri Manufaktur 1) Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) Agar dapat menjadi basis industri nasional, program Pengembangan IKM antara lain: a) Pengembangan sentra-sentra potensial dengan fokus pada 10 sub-sektor yang diprioritaskan. b) Pengembangan industri terkait dan industri penunjang IKM. c) Perkuatan alih teknologi proses, produk, dan desain bagi IKM dengan fokus kepada 10 sub-sektor prioritas. d) Pengembangan dan penerapan layanan informasi yang mencakup peluang usaha, kebutuhan bahan baku, akses permodalan, iklim usaha, dan akses peningkatan kualitas SDM. 2) Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri Dalam rangka peningkatan kemampuan teknologi industri, pemerintah akan melaksanakan beberapa fasilitasi dan dukungan program antara lain: a) Meningkatkan dukungan kegiatan penemuan dan pengembangan teknologi di industri baik dalam bentuk insentif pajak, asuransi teknologi terutama untuk usaha kecil, menengah, dan koperasi. b) Mendorong pengembangan dan pemanfaatan manajemen produksi yang memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan hidup, serta teknik produksi yang ramah lingkungan (clean production). c) Perluasan penerapan standar produk industri manufaktur yang sesuai (compliance) dengan standar internasional. d) Perkuatan kapasitas kelembagaan jaringan pengukuran, standardisasi, pengujian, dan kualitas (MSTQ/measurement, standardization, testing, and quality). e) Pengembangan klaster industri berbasis teknologi. f) Revitalisasi kebijakan dan kelembagaan Litbang di sektor produksi agar mampu mempercepat efektivitas kemitraan antara litbang industri dan Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 7

lembaga litbang pemerintah dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya teknologi nasional yang tersebar di berbagai litbang pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga swasta, dan tenaga ahli perorangan. 3) Program Penataan Struktur Industri Untuk memperkuat struktur industri terutama di dalam memfasilitasi terjalinnya jaringan pemasok industri hilir, pemerintah melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok yang antara lain mencakup: a) Pengembangan sistem informasi potensi produksi dari industri penunjang dan industri terkait. b) Mendorong terjalinnya kemitraan industri penunjang dan industri terkait. c) Pengembangan industri penunjang dan industri terkait terutama pada 10 sub-sektor prioritas. d) Perkuatan kapasitas kelembagaan penyedia tenaga kerja industrial yang terampil terutama sesuai kebutuhan 10 sub-sektor industri prioritas. e) Memfasilitasi pengembangan prasarana klaster industri, terutama prasarana teknologinya. dan f) Memfasilitasi dan mengkoordinasikan pengembangan pada pusat-pusat pertumbuhan klaster industri di luar Pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia. b. Program Penunjang 1) Program Pembentukan Hukum Program tersebut dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang kondusif di bidang industri melalui penyusunan ketentuan teknis hukum dan berbagai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi dalam rangka mengatur perilaku individu dan lembaga serta penyelesaian sengketa yang terjadi untuk menjamin kepastian berusaha di sektor industri. 2) Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur Program ini dimaksudkan untuk membina dan meningkatkan kemampuan aparatur industri, Sumber Daya manusia yang berkompetensi dan mewujudkan aparatur negara yang profesional dan berkualitas dalam melaksanakan pemerintahan umum dan pembangunan. 3) Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara Program ini dimaksudkan untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan dengan meningkatkan dan memperluas sarana dan prasarana kerja guna meningkatkan keamanan, kenyamanan, ketertiban dan kelancaran kerja serta pelayanan umum yang baik. 4) Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Program ini dimaksudkan untuk menunjang program pembangunan nasional yang tertuang dalam program pengawasan aparatur negara guna meningkatkan sistem pengawasan aparatur pemerintah, peningkatan Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 8

profesionalisme aparatur, terwujudnya sistem pengawasan dan audit yang akuntabel. 5) Peningkatan Kapasitas Infrastruktur dan Fasilitas Sektor Industri Program ini dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam pemberian fasilitas dalam bentuk insentif fiskal dan non fiskal. C. KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL (KIN) Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN) menetapkan strategi pembangunan industri melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu top down melalui penetapan 35 klaster industri prioritas serta bottom-up melalui penetapan Industri Unggulan Provinsi (IUP) dan Kompetensi Inti Industri Daerah (KIID). 1. Pengembangan Klaster Industri Prioritas Dalam jangka panjang pembangunan industri diarahkan pada penguatan, pendalaman dan penumbuhan klaster kelompok industri prioritas sebagai berikut: a. Basis Industri Manufaktur yang terdiri atas kelompok-kelompok industri: 1) Industri Material Dasar; yang terdiri dari: (a) Industri Besi dan Baja, (b) Industri Semen, (c) Industri Petrokimia, (d) Industri Keramik; 2) Industri Permesinan; yang meliputi: (a) Industri Peralatan Listrik dan Mesin Listrik, (b) Industri Mesin dan Peralatan Umum; 3) Industri Manufaktur Padat Tenaga Kerja; merupakan penghasil produk sandang, pangan, bahan bangunan, kesehatan dan obat, dan sebagainya, yang meliputi antara lain: (a) Industri Tekstil dan Produk Tekstil (b) Industri Alas Kaki (c) Industri Farmasi dengan Bahan Baku dalam Negeri. b. Kelompok Industri Agro yang meliputi cabang-cabang industri pengolahan: (1) Industri Kelapa Sawit; (2) Industri Karet dan Barang Karet; (3) Industri Kakao dan Coklat; (4) Industri Kelapa; (5) Industri Kopi; (6) Industri Gula; (7) Industri Tembakau; (8) Industri Buah-buahan; (9) Industri Kayu dan Barang Kayu; (10) Industri Hasil Perikanan dan Laut; (11) Industri Pulp dan Kertas; (12) Industri Pengolahan Susu; c. Kelompok Industri Alat Angkut; yang meliputi industri-industri: (1) Industri Kendaraan Bermotor, (2) Industri Perkapalan, (3) Industri Kedirgantaraan, (4) Industri Perkereta-apian; d. Kelompok Industri Elektronika dan Telematika; meliputi Industri Elektronika, Industri Perangkat Keras Telekomunikasi dan Pendukungnya, Industri Perangkat Penyiaran dan Pendukungnya, Industri Komputer dan Peralatannya, Industri Perangkat Lunak dan Konten Multimedia, Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK); Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 9

e. Kelompok Industri Penunjang Industri Kreatif dan Industri Kreatif Tertentu; yang meliputi industri perangkat lunak dan konten multimedia, fashion, dan kerajinan dan barang seni. f. Industri Kecil dan Menengah Tertentu; yang meliputi industri-industri pengolahan: Industri Batu Mulia dan Perhiasan, Industri Garam Rakyat, Industri Gerabah dan Keramik Hias, Industri Minyak Atsiri dan Industri Makanan Ringan. 2. Pengembangan Industri Unggulan Provinsi dan Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota Pendekatan pengembangan industri di tingkat kabupaten/kota dilakukan melalui pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah (KIID), dan pengembangan industri di tingkat provinsi dilakukan melalui pengembangan Industri Unggulan Provinsi (IUP), yang masing-masing ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perindustrian. D. ARAH KEBIJAKAN INDUSTRI PADA RPJMN 2010-2014 1. Arah Pembangunan RPJMN 2010-2014 di Sektor Ekonomi Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Daya saing perekonomian meningkat melalui penguatan industri manufaktur sejalan dengan penguatan pembangunan pertanian dan peningkatan pembangunan kelautan dan sumber daya alam lainnya sesuai dengan potensi daerah secara terpadu serta meningkatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan dunia usaha; peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; serta penataan kelembagaan ekonomi yang mendorong prakarsa masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Dalam kerangka pencapaian pembangunan yang berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya proses rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang disertai dengan menguatnya partisipasi aktif masyarakat. 2. Sasaran Pembangunan Dalam RPJMN Tahun 2010-2014 di Bidang Ekonomi Sasaran pembangunan RPJMN tahun 2010-2014 dalam Bidang Ekonomi adalah: pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,3-6,8%, tersedianya kesempatan kerja sebanyak 9,6 juta-10,7 juta orang, serta pertumbuhan industri pengolahan non-migas rata-rata sebesar 6,1-6,7%. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 10

3. Program Prioritas Dalam RPJMN Tahun 2010-2014 Sesuai Visi dan Misi pemerintah 2010-2014, program pengembangan industri pengolahan non-migas yang masuk dalam 11 program prioritas nasional meliputi: a. Prioritas Nasional 5 : Ketahanan Pangan 1) Revitalisasi Industri Pupuk 2) Revitalisasi Industri Gula b. Prioritas Nasional 7 : Iklim Investasi dan Iklim Usaha Fasilitasi Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) c. Prioritas Nasional 8 : Energi 1) Penumbuhan dan pengembangan Klaster industri berbasis migas 2) Fasilitasi Penggunaan Gas Sebagai Bahan Bakar Angkutan Umum untuk diversifikasi BBM ke BBG melalui penyediaan konverter kit. d. Prioritas Nasional 9 : Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup melalui penyediaan fasilitas/infrastruktur pengembangan industri hijau dan peningkatan konservasi dan diversifikasi energi sektor industri. e. Prioritas Nasional 10 : Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-konflik 1) Fasilitasi pengembangan industri di daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik. 2) Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Provinsi Papua dan Papua Barat. 3) Fasilitasi pengembangan kawasan industri di Provinsi Papua dan Papua Barat. f. Program Prioritas Kementerian Perindustrian 1) Program Revitalisasi dan Penumbuhan Basis Industri Manufaktur 2) Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Agro 3) Program Penumbuhan Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi 4) Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Kecil Menengah 5) Program Pengembangan Perwilayahan Industri 6) Program Kerjasama Industri Internasional 7) Program Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri 8) Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Perindustrian 9) Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Perindustrian 10) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Kementerian Perindustrian Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 11

E. AKSELERASI INDUSTRIALISASI 2012-2014 Dalam rangka mencapai visi pembangunan industri tahun 2025, Pemerintah merasa perlu untuk mendorong pertumbuhan industri yang lebih tinggi pada jangka menengah (2012-2014), sebagai basis bagi pencapaian pertumbuhan yang tinggi pada jangka panjang. Upaya percepatan ini dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai potensi kekuatan dan hambatan, menentukan strategi pokok akselerasi industri, menetapkan fokus akselerasi industri pada kelompok industri prioritas tertentu, membuat rencana aksi (action plan) inisiatif stratejik sesuai fokus akselerasi dimaksud, serta menentukan kebijakan afirmatif untuk mendukung pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM). Akselerasi Industrialisasi dilaksanakan melalui 5 (lima) strategi utama, yaitu: 1. Mendorong Partisipasi Dunia Usaha Dalam Pembangunan Infrastruktur; 2. Percepatan Proses Penyelesaian Hambatan Birokrasi (Debottlenecking); 3. Reorientasi Kebijakan Ekspor Bahan Mentah dan Sumber Energi; 4. Mendorong Peningkatan Produktivitas & Daya Saing; 5. Meningkatkan Integrasi Pasar Domestik. Pada tahap pelaksanaannya, kelima strategi utama di atas dijalankan melalui penerapan pada 6 (enam) area kebijakan, yaitu: 1. Kebijakan Pengamanan Industri Dalam Negeri, 2. Pembangunan Infrastruktur, 3. Peningkatan Kualitas Pelayanan Birokrasi, 4. Penyempurnaan Dan Harmonisasi Regulasi, 5. Kebijakan Fiskal, 6. Pembangunan SDM Industri. Untuk lebih mengoptimalkan potensi sektor industri nasional, akselerasi industrialisasi akan difokuskan pada 15 subsektor industri, yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok industri prioritas, yaitu: 1. Industri Berbasis Hasil Tambang: a. Industri Konversi Batubara; b. Industri Pemurnian dan Pengilangan Minyak Bumi; c. Industri Kimia Dasar (termasuk petrokimia); d. Industri Logam Dasar. 2. Industri Berbasis Hasil Pertanian: a. Industri Minyak dan Lemak Nabati; b. Industri Gula Berbasis Tebu; c. Industri Pengolahan Kakao dan Pembuatan Coklat; d. Industri Bubur Kayu (pulp) dan Kertas; e. Industri Barang Dari Karet. 3. Industri Berbasis Sumber Daya Manusia dan Pasar Domestik: a. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi dan Alas Kaki; b. Industri Mesin dan Peralatan; Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 12

c. Industri Komponen Elektronika dan Telematika; d. Industri Komponen dan Aksesoris Kendaraan dan Komponen Mesin Kendaraan Bermotor; e. Industri Galangan Kapal; f. Industri Furniture. 4. Industri Kecil dan Menengah. III. KINERJA PENGEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR TAHUN 2004-2012 A. KINERJA MAKRO INDUSTRI TAHUN 2004-2012 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Non-Migas Pada tahun 2004, industri pengolahan non-migas tumbuh sebesar 7,51%, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB yang sebesar 5,03%. Sementara itu, pada periode 2005-2009, industri non-migas mengalami perlambatan pertumbuhan dan mencapai perlambatan pertumbuhan terendah pada tahun 2009 yaitu sebesar 2,56%, jauh di bawah pertumbuhan PDB yang mencapai 4,63%. Mulai tahun 2010, industri pengolahan non-migas kembali tumbuh tinggi dan pada tahun 2011, untuk pertama kali sejak 5 (lima) tahun terakhir tumbuh sebesar 6,74%, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB yang sebesar 6,49%. Pada tahun 2012, pertumbuhan industri pengolahan non-migas sedikit melambat menjadi 6,40%, namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan PDB yang sebesar 6,23%. Tabel 3.1 Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi (tahun dasar 2000, persen) LAPANGAN USAHA 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN 2,82 2,72 3,36 3,47 4,83 3,96 3,01 3,37 3,97 2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN -4,48 3,20 1,70 1,93 0,71 4,47 3,86 1,39 1,49 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 6,38 4,60 4,59 4,67 3,66 2,21 4,74 6,14 5,73 a. Industri Migas -1,95-5,67-1,66-0,06-0,34-1,53 0,56-0,94-2,71 b. Industri Non Migas 7,51 5,86 5,27 5,15 4,05 2,56 5,12 6,74 6,40 4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 5,30 6,30 5,76 10,33 10,93 14,29 5,33 4,82 6,40 5. K O N S T R U K S I 7,49 7,54 8,34 8,53 7,55 7,07 6,95 6,65 7,50 6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 5,70 8,30 6,42 8,93 6,87 1,28 8,69 9,17 8,11 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 13,38 12,76 14,23 14,04 16,57 15,85 13,41 10,70 9,98 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 7,66 6,70 5,47 7,99 8,24 5,21 5,67 6,84 7,15 9. JASA - JASA 5,38 5,16 6,16 6,44 6,24 6,42 6,04 6,75 5,24 PRODUK DOMESTIK BRUTO 5,03 5,69 5,50 6,35 6,01 4,63 6,22 6,49 6,23 PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS 5,97 6,57 6,11 6,95 6,47 5,00 6,60 6,98 6,81 Sumber : BPS diolah Kemenperin Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 13

2. Pertumbuhan Cabang-Cabang Industri Pengolahan Non-Migas Pada tahun 2004-2012, cabang-cabang industri yang secara umum mengalami tren pertumbuhan positif antara lain: (1) Industri Makanan, Minuman dan Tembakau; (2) Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki; (3) Industri Pupuk, Kimia & Barang dari karet; (4) Industri Semen & Barang Galian Bukan logam; (5) Industri Logam Dasar Besi & Baja; serta (6) Industri Alat Angkut, Mesin dan Peralatannya. Keenam industri tersebut memberikan kontribusi bagi PDB industri pengolahan non-migas sebesar 90,45%. Sedangkan cabang-cabang industri yang mengalami tren pertumbuhan negatif pada tahun 2004-2012 antara lain: (1) Industri Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya; (2) Industri Kertas dan Barang Cetakan; serta (3) Industri Barang Lainnya. Ketiga cabang industri ini memberikan kontribusi terhadap PDB industri pengolahan nonmigas sebesar 9,55%. No 1 2 3 4 5 6 7 8 Tabel 3.2 Pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas Cabang Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Brg. kulit & Alas kaki Brg. kayu & Hasil hutan lainnya. Kertas dan Barang cetakan Pupuk, Kimia & Barang dari karet Semen & Brg. Galian bukan logam Logam Dasar Besi & Baja Alat Angk., Mesin & Peralatannya Pertumbuhan (%) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1,39 2,75 7,21 5,05 2,34 11,22 2,78 9,14 7,74 4,06 1,31 1,23-3,68-3,64 0,60 1,77 7,52 4,19-2,07-0,92-0,66-1,74 3,45-1,38-3,47 0,35-2,78 7,61 2,39 2,09 5,79-1,48 6,34 1,67 1,40-5,26 9,01 8,77 4,48 5,69 4,46 1,64 4,70 3,95 10,25 9,53 3,81 0,53 3,40-1,49-0,51 2,18 7,19 7,85-2,61-3,70 4,73 1,69-2,05-4,26 2,38 13,06 6,45 17,67 12,38 7,55 9,73 9,79-2,87 10,38 6,81 6,94 9 Barang lainnya 12,77 2,61 3,62-2,82-0,96 3,19 3,00 1,82-1,00 Total Industri Pengolahan Non Migas Sumber : BPS diolah Kemenperin 7,51 5,86 5,27 5,15 4,05 2,56 5,12 6,74 6,40 Tabel 3.3 Peran Tiap Cabang Industri Terhadap PDB Industri Non-Migas (dalam %) Cabang Industri 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1). Makanan, Minuman dan Tembakau 29,80 30,40 33,16 33,60 35,20 36,33 2). Tekstil, Brg. kulit & Alas kaki 10,56 9,21 9,19 8,97 9,23 9,11 3). Brg. kayu & Hasil hutan lainnya. 6,19 6,43 6,33 5,82 5,44 4,99 4). Kertas dan Barang cetakan 5,12 4,56 4,82 4,75 4,47 3,89 5). Pupuk, Kimia & Barang dari karet 12,50 13,53 12,85 12,73 12,21 12,59 Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 14

Cabang Industri 2007 2008 2009 2010 2011 2012 6). Semen & Brg. Galian bukan logam 3,70 3,53 3,43 3,29 3,27 3,38 7). Logam Dasar Besi & Baja 2,58 2,57 2,11 1,94 2,00 1,95 8). Alat Angk., Mesin & Peralatannya 28,69 28,97 27,33 28,14 27,47 27,09 9). Barang Lainnya 0,85 0,80 0,77 0,76 0,73 0,67 3. Perkembangan Realisasi Investasi Investasi PMDN di sektor industri pengolahan non-migas mengalami peningkatan, dari Rp 10,52 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 49,89 triliun pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 374,24% pada periode tersebut. Sektor industri yang nilai investasi PMDN besar antara lain: Industri Makanan, Industri Tekstil, Industri Kertas & Percetakan, Industri Kimia dan Farmasi, Industri Karet dan Plastik, Industri Mineral Non Logam, serta Industri Logam, Mesin & Elektronik. Tabel 3.4 Perkembangan Realisasi Investasi (PMDN) Industri (Rp Miliar) NO. SEKTOR 2004 2005 2006 2007 2008 P I P I P I P I P I 1 Industri Makanan 28 3.507,9 35 4.490,8 19 3.175,3 27 5.371,7 49 8.192,9 2 Industri Tekstil 7 70,0 22 1.640,7 7 81,7 8 228,2 20 719,6 3 Ind. Barang Dari Kulit & Alas Kaki 2 24,5 1 14,6 1 4,0 2 58,5 2 10,1 4 Industri Kayu 4 888,9 9 198,8 9 709,0 3 38,8 4 306,6 5 Ind. Kertas dan Percetakan 4 205,7 13 9.732,6 9 1.871,2 8 14.548,2 14 1.797,7 6 Ind. Kimia dan Farmasi 10 4.284,8 17 1.945,2 10 3.248,9 14 1.168,2 23 503,7 7 Ind. Karet dan Plastik 11 445,4 18 678,4 11 253,6 10 564,5 27 797,8 8 Ind. Mineral Non Logam 10 524,5 4 774,6 4 218,2 2 124,2 7 845,3 9 Ind. Logam, Mesin & Elektronik 19 546,6 16 1.151,5 22 3.334,2 17 3.541,6 31 2.381,1 10 11 Ind. Instru. Kedokteran, Presisi & Optik dan Jam Ind. Kendaraan Bermotor & Alat Transportasi Lain 0 0,0 0 0,0 0 0,0 - - 2 7,0 1 19,6 6 284,6 4 116,6 8 609,4 6 314,7 12 Industri Lainnya 0 0,0 8 79,4 0 0,0 2 36,5 4 38,4 Jumlah 96 10.517,9 149,0 20.991,2 96 13,012.7 101 26.289,8 189 15.914,8 NO. SEKTOR 2009 2010 2011 2012 P I P I P I P I 1 Industri Makanan 34 5.768,5 166 16.405,4 280 8.366,7 222 11.166,7 2 Industri Tekstil 23 2.645,7 26 431,7 60 999,1 51 4.450,9 3 Ind. Barang Dari Kulit & Alas Kaki 1 4,0 4 12,5 3 13,5 9 76,7 4 Industri Kayu 2 33,5 6 451,3 15 580,3 15 57,0 5 Ind. Kertas dan Percetakan 8 1.000,8 25 1.102,8 59 9.384,8 64 7.561,0 6 Ind. Kimia dan Farmasi 15 5.850,1 64 3.266,0 115 2.646,5 94 5.069,5 7 Ind. Karet dan Plastik 31 1.532,8 48 522,8 90 2.295,8 110 2.855,0 8 Ind. Mineral Non Logam 4 786,1 13 2.264,6 47 7.440,5 37 10.730,7 9 Ind. Logam, Mesin & Elektronik 31 1.466,8 50 789,6 90 6.804,7 81 7.225,7 Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 15

NO. 10 11 SEKTOR Ind. Instru. Kedokteran, Presisi & Optik dan Jam Ind. Kendaraan Bermotor & Alat Transportasi Lain 2009 2010 2011 2012 P I P I P I P I - - - - 1 0,0 - - 3 66,5 15 362,2 17 511,3 21 664,4 12 Industri Lainnya 6 279,5 2 3,7 7 4,8 10 31,5 Jumlah 158 19.434,4 419 25.612 784 39.048,0 714 49.888,9 Sumber : BKPM (2013) CATATAN : P : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan I : Nilai Realisasi Investasi dalam Rp. Milyar Investasi PMA di sektor industri pengolahan non-migas juga mengalami pertumbuhan pada tahun 2004-2012. Nilai investasi PMA pada tahun 2004 sebesar US$ 2,80 milyar menjadi US$ 11,77 milyar pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 320,36%. Sektor industri yang nilai investasi PMA besar antara lain: Industri Makanan, Industri Tekstil, Industri Kertas & Percetakan, Industri Kimia dan Farmasi, Industri Karet dan Plastik, Industri Logam, Mesin & Elektronik, serta Industri Kendaraan Bermotor & Alat Transportasi Lain. NO. Tabel 3.5 Perkembangan Realisasi Investasi (PMA) Sektor Industri (US$ Juta) SEKTOR 2004 2005 2006 2007 2008 P I P I P I P I P I 1 Industri Makanan 29 574,3 46 603.2 45 354.4 53 704.1 42 491.4 2 Industri Tekstil 24 165,5 31 71.1 61 424.0 63 131.7 67 210.2 3 Ind. Barang Dari Kulit & Alas Kaki 6 13,2 6 47.8 11 51.8 10 95.9 20 145.8 4 Industri Kayu 6 4,1 18 75.5 18 58.9 17 127.9 19 119.5 5 Ind. Kertas dan Percetakan 16 414,5 6 9.9 16 747.0 11 672.5 15 294.7 6 Ind. Kimia dan Farmasi 39 614,1 41 1,152.9 32 264.6 32 1,611.7 42 627.8 7 Ind. Karet dan Plastik 16 81,0 27 392.6 33 112.7 36 157.9 50 271.6 8 Ind. Mineral Non Logam 10 108,1 11 66.2 7 94.8 6 27.8 11 266.4 9 10 11 Ind. Logam, Mesin & Elektronik Ind. Instru. Kedokteran, Presisi & Optik dan Jam Ind. Kendaraan Bermotor & Alat Transportasi Lain 51 312,8 87 521.8 86 955.7 99 714.1 141 1,281.4 4 13,0 2 3.1 1 0.2 1 10.9 7 15.7 22 402,6 31 360.6 28 438.5 38 412.3 47 756.2 12 Industri Lainnya 25 101,4 29 195.9 25 117.1 24 30.2 34 34.7 Jumlah 248 2.804,6 335 3,500.6 363 3,619.7 390 4,697.0 495 4,515.2 2009 2010 2011 2012 NO. SEKTOR P I P I P I P I 1 Industri Makanan 49 552.1 194 1,025.9 330 1097,8 347 1.782,9 2 Industri Tekstil 66 251.4 112 154.8 196 498,3 149 473,1 3 Ind. Barang Dari Kulit & Alas Kaki 21 122.6 31 144.1 70 249,7 73 158,9 4 Industri Kayu 18 62.1 31 43.1 32 51 38 76,3 5 Ind. Kertas dan Percetakan 18 68.7 33 46.4 53 258,2 57 1.306,6 6 Ind. Kimia dan Farmasi 41 1,183.1 159 798.4 257 1.466,10 230 2.769,8 7 Ind. Karet dan Plastik 42 208.1 97 105.0 170 371,2 147 660,3 Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 16

2009 2010 2011 2012 NO. SEKTOR P I P I P I P I 8 Ind. Mineral Non Logam 8 19.5 8 28.4 52 137,2 48 145,8 9 Ind. Logam, Mesin & Elektronik 121 654.9 274 589.6 436 1.773,40 364 2.452,6 10 Ind. Instru. Kedokteran, Presisi & Optik dan Jam 5 5.1 3 1.4 9 41,9 4 3,4 11 Ind. Kendaraan Bermotor & Alat Transportasi Lain 52 583.4 98 393.8 164 770,2 163 1.840,0 12 Industri Lainnya 33 120.1 56 26.2 92 64,5 94 100,2 Sumber : BKPM (2013) Jumlah 474 3,831.1 1,096 3,357 1.861 6.779,50 1.714 11.770,0 CATATAN : P : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan I : Nilai Realisasi Investasi dalam US$ Juta 4. Perkembangan Ekspor dan Impor Ekspor sektor industri non-migas pada tahun 2004-2012 mengalami kenaikan, dari US$ 48,66 milyar pada tahun 2004 menjadi US$ 116,15 milyar pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 138,70%. Sektor-sektor yang nilai ekspornya besar antara lain: Industri Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit, Industri Besi Baja, Mesin dan Otomotif, Industri Tekstil, Industri Pengolahan Karet, dan Industri Elektronika. Tabel 3.6 Perkembangan Ekspor Non Migas Tahun 2004 s/d 2012 (juta US $) No URAIAN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit 4.840,30 5.419,19 6.407,27 5.419,2 6.407,3 10.476,8 17.253,8 23.179,2 23.396,9 2 T e k s t i l 7.626,15 8.584,85 9.422,75 8.584,9 9.422,8 9.790,1 11.205,5 13.234,1 12.445,9 3 Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif 4.581,84 5.949,69 7.712,68 5.949,7 7.712,7 9.606,9 10.840,0 13.194,4 14.700,6 4 Pengolahan Karet 2.954,10 3.545,82 5.465,16 3.545,8 5.465,2 6.179,9 9.522,6 14.540,4 10.817,6 5 Elektronika 7.142,50 7.853,03 7.200,19 7.853,0 7.200,2 6.359,7 9.254,6 9.536,3 9.445,6 6 Pengolahan Tembaga, Timah dll. 2.165,08 3.133,52 4.133,97 3.133,5 4.134,0 6.156,0 6.506,0 7.501,0 5.395,6 7 Pulp dan Kertas 2.817,61 3.257,48 3.983,27 3.257,5 3.983,3 4.440,5 5.708,2 5.769,0 5.517,6 8 Kimia Dasar 2.640,07 2.750,22 3.521,44 2.750,2 3.521,4 4.492,5 4.577,7 6.119,8 4.875,1 9 Pengolahan Kayu 4.461,62 4.476,25 4.757,59 4.476,3 4.757,6 4.485,1 4.280,3 4.474,7 4.537,5 10 Makanan dan Minuman 1.440,12 1.647,92 1.866,00 1.647,9 1.866,0 2.374,8 3.219,6 4.504,0 4.643,4 11 Kulit, Barang Kulit dan Sepatu/Alas Kaki 1.553,04 1.683,69 1.913,17 1.683,7 1.913,2 2.006,6 2.665,6 3.450,9 3.561,4 12 Alat-alat Listrik 1.232,73 1.456,03 1.770,93 1.456,0 1.770,9 2.148,9 2.657,9 2.995,2 3.084,9 Total 12 Besar Industri 43.455,17 49.757,71 58.154,42 68.517,9 79.066,1 65.376,6 87.691,8 108.498,9 102.422,2 Total Industri 48.660,11 55.566,99 64.990,33 76.429,6 88.351,7 73.435,8 98.015,1 122.189,2 116.145,0 Sumber : BPS, diolah Kemenperin Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 17

Impor sektor industri non-migas pada tahun 2004-2012 juga mengalami kenaikan, dari US$ 31,55 milyar pada tahun 2004 menjadi US$ 139,71 milyar pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 468,34%. Sektor-sektor industri dengan nilai impor besar umumnya adalah untuk kebutuhan barang modal dan bahan baku, antara lain: Industri Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif, Industri Elektronika, Industri Kimia Dasar, Industri Tekstil, dan Industri Makanan dan Minuman. Tabel 3.7 Perkembangan Impor Non Migas Tahun 2004 s/d 2012 (juta US $) No URAIAN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif 13.620,2 17.531,0 17.031,4 20.539,0 39.978,7 31.683,8 43.218,6 52.375,6 62.605,1 2 Elektronika 2.048,5 2.413,5 2.488,3 4.036,0 13.444,7 10.496,7 14.176,2 16.111,8 16.700,9 3 Kimia Dasar 5.690,6 5.935,3 6.315,4 7.115,7 10.716,7 8.095,1 11.431,5 15.413,2 16.076,4 4 T e k s t i l 1.036,4 1.026,8 1.085,7 1.192,0 3.901,8 3.396,9 5.031,2 6.735,1 6.805,1 5 Makanan dan Minuman 1.390,7 1.914,5 2.178,2 3.616,1 3.158,0 2.810,6 4.514,2 6.852,0 6.158,9 6 Alat-alat Listrik 724,4 877,8 852,9 1.118,3 2.470,8 2.105,8 3.142,8 3.761,7 4.190,4 7 Pulp dan Kertas 1.299,8 1.298,9 1.392,0 1.692,6 2.518,5 1.883,2 2.731,8 3.262,6 3.020,0 8 Barang-barang Kimia lainnya 1.078,1 1.167,2 1.170,0 1.293,8 1.845,6 1.661,9 2.199,3 2.589,0 2.756,6 9 Makanan Ternak - - - 1.149,5 1.741,6 1.679,1 1.871,6 2.220,5 2.799,8 10 Pengolahan Tembaga, Timah dll. - - - 877,6 1.699,1 1.027,1 1.822,1 2.195,1 2.376,8 11 Plastik - - - 527,6 1.164,9 1.034,0 1.525,1 1.859,3-12 P u p u k 431,99 518,87 624,65 761,8 2.337,6 929,1 1.509,2 2.707,0 2.918,3 13 Pengolahan Aluminium - - - - - - - - 1.972,9 Total 12 Besar Industri - - - 43.920,1 84.978,0 66.803,5 93.173,6 116.082,6 128.381,3 Total Industri 31.550,8 37.300,3 38.624,6 48.084,1 91.800,7 72.398,1 101.115,4 125.979,0 139.714,3 Sumber : BPS, diolah Kemenperin 5. Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Non-Migas Tenaga kerja sektor industri pengolahan non-migas pada tahun 2005-2012 mengalami kenaikan 22,04%, dimana pada tahun 2005 sebanyak 11.841.908 orang dan pada tahun 2012 sebanyak 14.452.333 orang (proyeksi). Jumlah tenaga kerja ini termasuk yang bekerja di industri besar dan sedang, mikro dan kecil, baik formal maupun informal. Tabel 3.8 Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Non-Migas Tahun 2004-2012 NO Jenis Industri 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* 2012* 1. Makanan, minuman & tembakau 2. Tekstil, barang kulit & alas kaki 3. Barang kayu & hasil hutan lainnya 4. Kertas dan barang cetakan 2.890.756 2.885.159 3.384.421 3.402.704 3.526.972 3.734.252 3.860.792 3.994.405 2.976.037 2.887.636 2.888.566 2.959.399 3.153.708 3.486.086 3.570.963 3.660.459 2.721.297 2.646.710 2.774.319 2.618.504 2.563.109 2.739.038 2.675.542 2.615.341 499.946 433.199 511.757 528.585 554.923 589.547 618.124 648.539 Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 18

NO Jenis Industri 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* 2012* 5. Pupuk, kimia dan barang dari karet 739.506 711.003 694.889 727.673 721.022 835.268 846.631 858.748 6. Semen dan barang galian bukan logam 771.868 803.506 1.007.794 1.097.667 1.102.982 977.241 1.002.763 1.029.668 7. Logam dasar besi dan baja 198.711 229.023 98.070 120.137 115.347 144.321 130.780 118.592 8. Alat angkut, mesin dan peralatannya 681.548 589.438 778.313 869.390 877.017 1.001.925 1.102.489 1.213.993 9. Barang lainnya 310.037 268.817 210.551 200.527 193.896 288.424 283.688 279.225 TOTAL 11.841.908 11.474.931 12.368.729 12.549.376 12.839.800 13.824.251 14.122.407 14.452.333 Sumber: Sakernas bulan Agustus berbagai tahun (BPS) *) Tahun 2011-2012 adalah data proyeksi Rencana Tenaga Kerja Sektor (RTKS) Industri 2012-2014, dengan basis data Sakernas (BPS) 6. Perkembangan Nilai Produksi Sektor Industri Pengolahan Non-Migas Nilai produksi industri pengolahan non-migas pada tahun 2006-2012 telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2006, nilai total produksi industri pengolahan non-migas adalah sebesar Rp 2.154,88 triliun dan pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 4.885,08 triliun, atau meningkat sebesar 126,70%. Peningkatan nilai produksi ini berdampak pada peningkatan pertumbuhan industri pengolahan non-migas secara nasional. Tabel 3.9 Nilai Produksi Sektor Industri Pengolahan Non-Migas Tahun 2006-2012 (Rp Triliun) No Deskripsi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 584,59 731,80 972,07 1.166,18 1.287,66 1.506,98 1.740,05 2 Industri Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit 241,44 250,06 279,05 309,45 329,56 379,98 412,34 3 4 5 6 Industri Kayu, Bambu, Rotan, Rumput dan Sejenisnya Termasuk Perabot Rumahtangga Industri Kertas dan Barang Dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan Industri Kimia dan Barang-Barang Dari Bahan Kimia, Minyak Bumi, Batu Bara, Karet dan Plastik Industri Barang Galian Bukan Logam, Kecuali Minyak Bumi dan Batu Bara 104,85 129,22 172,32 188,79 189,51 198,74 201,84 102,40 116,68 133,14 156,67 167,93 177,30 169,69 308,51 364,21 517,79 546,40 592,03 640,29 733,94 58,38 65,91 80,38 87,35 91,44 101,85 115,60 7 Industri Logam Dasar 56,14 62,19 78,79 73,11 73,37 85,82 92,82 8 Industri Barang Dari Logam, Mesin dan Peralatannya 676,79 798,24 1.002,49 1.060,84 1.177,61 1.279,77 1.383,31 9 Industri Pengolahan Lainnya 21,78 23,20 27,94 30,07 32,23 34,54 35,49 Jumlah Industri Non Migas 2.154,88 2.541,51 3.263,97 3.618,85 3.941,33 4.405,28 4.885,08 Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 19

B. KINERJA PENGEMBANGAN INDUSTRI PRIORITAS TAHUN 2004-2012 1. Program Revitalisasi dan Pengembangan Basis Industri Manufaktur a. Industri Pupuk 1) Gambaran Umum Industri pupuk adalah salah satu industri penting dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Revitalisasi industri pupuk diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri pupuk nasional sebagai penunjang pertanian pangan, sehingga diharapkan dapat membantu para petani dalam menjalankan kegiatan pertanian guna mencapai ketahanan pangan nasional. Saat ini, sebagian besar pabrik pupuk eksisting sudah berusia tua, rata-rata diatas 20 tahun. Dari 14 pabrik urea, sebanyak 8 pabrik berusia di atas 20 tahun. Kondisi ini berdampak pada tingkat efisiensi pabrik yang rendah dimana tingkat konsumsi gas bumi per ton urea rata-rata diatas 30 mmbtu. Di sisi lain, kebutuhan pupuk di masa datang terus meningkat, dimana kebutuhan pupuk urea tahun 2014 diperkirakan mencapai 9 juta ton. Kebijakan pemupukan di sektor pertanian di masa mendatang tidak hanya terfokus pada penggunaan pupuk tunggal namun juga mengarah pada penggunaan pupuk majemuk dan pupuk organik. 2) Permasalahan Permasalahan utama yang dihadapi pada Program Revitalisasi Industri Pupuk adalah sulitnya ketersediaan gas sebagai bahan baku industri pupuk, antara lain: a) Jaminan pasokan gas bumi untuk industri pupuk urea. b) Pasokan bahan baku industri pupuk NPK berupa Phosphate dan Kalium sangat tergantung dari impor. c) Bahan baku pupuk organik beraneka ragam dan lokasinya tersebar 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Menyusun program revitalisasi industri pupuk yang didasarkan pada Road Map Kebutuhan Pupuk Sektor Pertanian Tahun 2010-2025. b) Koordinasi dengan instansi terkait (Kementerian ESDM, SKK. MIGAS) dan produsen pupuk untuk mendapatkan alokasi pasokan gas revitalisasi industri pupuk urea. c) Melakukan penjajakan ke beberapa negara penghasil Phosphate (Maroko, Tunisia, Jordania, Mesir) dan Kalium (Rusia dan Belarusia) untuk kerjasama pengadaan bahan baku pupuk NPK. d) Pemetaan potensi bahan baku pupuk organik di daerah. e) Menetapkan dan memberlakukan Standar Nasional Industri (SNI) Pupuk. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 20

4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Telah disusun Master Plan Pengembangan Industri Pupuk NPK melalui Permenperind Nomor 141/M-IND/PER/12/2010 tentang Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Industri Pupuk Majemuk/NPK. b) Telah dikeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Pupuk Secara Wajib. c) Telah ditandatangani JVC antara PT. Petrokimia Gresik (Indonesia) dengan Jordan Phosphate Mines Company (JPMC) untuk membangun pabrik Phosphoric Acid (PA) di Gresik Jatim dengan kapasitas produksi 200.000 ton/tahun pada Januari 2010. d) Telah ditandatangani MoU/MoA antara Jordan Phosphate Mines Company (JPMC) dengan : (1) PT. Pusri (Persero) untuk pembangunan pabrik pupuk NPK dengan kapasitas 200.000 300.000 ton/tahun. MoU telah ditandatangani pada 3 November 2010. (2) PT. Pusri Palembang untuk pendirian pabrik Asam Phosphate dengan kapasitas 200.000 metrik ton pertahun di Palembang. MoA telah ditandatangani pada 3 November 2010. (3) PT. Petrokimia Gresik (Indonesia) untuk membangun pabrik Phosphoric Acid (PA) di Gresik Jatim dengan kapasitas produksi 200.000 ton/tahun (4) PT. Pupuk Kaltim untuk pendirian pabrik Asam Phosphate dengan kapasitas 200.000 metrik ton pertahun di Bontang. MoA telah ditandatangani pada 3 November 2010. e) Telah ditandatangani Natural Gas Supply Agreement (NGSPA) antara PT. Pupuk Kaltim dengan KKKS Eastkal pada 20 Juni 2011 untuk pasokan gas pabrik Kaltim-5 sebesar 80 mmscfd dengan jangka waktu 10 tahun (2012-2021). f) Telah ditandatangani kontrak pembangunan pabrik Kaltim-5 kapasitas 1,1 juta ton/tahun antara PT. Pupuk Kaltim dengan Konsorsium IKPT dan Toyo Engineering Corporation (TEC) pada 20 Juni 2011. g) Telah ditandatangani LoA antara PT Petrokimia Gresik dengan ExxonMobile pada 26 April 2012 untuk perpanjangan MoA terkait alokasi pasokan gas bumi untuk pabrik urea II PT. Petrokimia Gresik dari lapangan gas Cepu sebanyak 85 mmscfd. h) Telah ditandatangani PJBG dengan Pertamina EP pada 20 Desember 2012 untuk tambahan pasokan gas pabrik Pusri IIB sebesar 17 mmscfd untuk jangka waktu 2014-2017. i) Jaminan tambahan pasokan gas untuk pabrik Pusri IIB sebesar 17 mmscfd untuk periode 2018-2022 berdasarkan surat Dirjen Migas No. 17112/10/DJM.B/2012 tanggal 30 November 2012. j) Terealisasinya pasokan gas PT. Pupuk Iskandar Muda sebanyak 3 Cargo (dari kebutuhan 7 cargo selama tahun 2012). Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 21

k) Telah tersedia Peta Potensi Bahan Baku Pupuk Organik di 111 Kabupaten/Kota. l) Telah diberikan bantuan mesin peralatan pabrik pupuk organik kapasitas 1.250 Kg/jam di 13 Kabupaten/Kota. b. Industri Petrokimia 1) Gambaran Umum Industri petrokimia merupakan salah satu industri strategis yang keberadaannya sangat vital karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia mulai dari peralatan rumah tangga sehari-hari hingga produk farmasi. Industri petrokimia berperan dalam menghasilkan produk dasar yang dimanfaatkan sebagai bahan baku bagi industri hilirnya seperti industri tekstil, plastik, karet sintetik, kosmetik, pestisida, bahan pembersih, bahan farmasi, bahan peledak, bahan bakar, hingga kulit imitasi. Struktur Industri petrokimia nasional saat ini masih belum terintegrasi antara industri hulu, antara, dan hilirnya. Berdasarkan Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, industri petrokimia merupakan salah satu industri prioritas yang dikembangkan melalui pendekatan klaster. Pengembangan klaster industri petrokimia berdasarkan pada 3 (tiga) kelompok yakni: basis olefin, aromatik, dan methane-based. Fokus pengembangan klaster olefin berada di Banten, Aromatik di Tuban, dan Methane based di Kalimantan Timur. 2) Permasalahan a) Bahan baku industri petrokimia, khususnya naphta dan kondensat, masih diimpor, sementara industri migas nasional mengekspor naphta dan kondensat; b) Belum terintegrasinya industri migas dengan industri kimia hulu, industri kimia antara dan industri kimia hilir; c) Dukungan infrastruktur kurang memadai, antara lain pelabuhan, jalan akses, pembangkit listrik, dan pipanisasi masih terbatas; d) Penguasaan riset dan pengembangan teknologi industri petrokimia (teknologi produk dan proses produksi) masih terbatas; e) Belum efektifnya keringanan dan pembebasan pajak (tax holiday) untuk investasi baru atau penambahan kapasitas dan belum ada subsidi bunga pinjaman untuk revitalisasi mesin produksi. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Koordinasi dengan instansi terkait (Kementerian ESDM, SKK. MIGAS) untuk pengamanan bahan baku industri petrokimia. b) Pemanfaatan bahan baku yang beragam (multiple feedstock/horizontal differentiation). Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 22

c) Pengendalian ekspor bahan baku melalui Domestic Market Obligation bagi komoditas internasional (antara lain batubara, CPO, dsb) d) Pemberian insentif investasi berupa: Fasilitas Tax allowance, Tax holiday, BMDTP bagi bahan baku dan bahan penolong yang belum di produksi di dalam negeri, Fasilitas Bea Masuk, PPh dan PPN bagi industri yang berada dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Pembebasan bea masuk dan PPN untuk bahan baku dan barang modal selama masa project. e) Pembangunan Center of Excellence Industri Petrokimia 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Telah tersedianya alokasi gas sebesar 180 mmscfd untuk pembangunan 2 pabrik pupuk urea, kapasitas masing-masing 1 juta ton/tahun di Tangguh Papua Barat; b) Pembangunan pabrik butadiena PT. Petrokimia Butadiene Indonesia kapasitas 150 ribu ton/tahun dan investasi Rp 1,5 T di Banten c) Pengembangan investasi PT. Chandra Asri dengan kapasitas produksi 1 juta ton olefin/tahun dan nilai investasi Rp 1,7 T di Banten. d) Pembangunan pabrik kosmetika PT. L Oreal Indonesia di Cikarang, dengan nilai investasi Rp 1,25 Triliun, kapasitas produksi 200 juta unit/tahun dan menyerap tenaga kerja lebih dari 1.700 orang. e) Pembangunan pabrik Acrylic Acid kapasitas 80.000 ton/th dan Super Absorbent Polyer kapasitas 90.000 ton/th, PT. Nippon Shokubai Indonesia dan nilai investasi USD 332 juta. f) Pembangunan RCC Off Gas to Propylene Project (ROPP) di Balongan kapasitas 180 ribu ton/th oleh PT. Pertamina dan PT. Chandra Asri dan nilai vestasi USD 270 juta g) Tersusunnya Bisnis Plan Pengembangan industri petrokimia di Tangguh; h) Telah selesainya pembangunan tahap I Gedung Center of Excellence Industri Petrokimia di Cilegon, Banten; i) Telah disusunnya SNI Produk petrokimia diantaranya: polyethylene dan polypropylene untuk bahan baku gelas plastik menggunakan proses thermoforming; j) Terfasilitasinya proyek Olefin Centre PT. TPPI Tuban, Jawa Timur. k) Penguatan struktur industri petrokimia melalui realisasi investasi pabrik asam nitrat kapasitas 238.000 ton/th dan ammonium nitrat kapasitas 300.000 ton/th PT Kaltim Nitrat Indonesia; l) Penerbitan PMK No. 462/KMK.011/2012 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan dan Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Kepada PT. Petrokimia Butadiene Indonesia. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 23

c. Industri Besi Baja 1) Gambaran Umum Industri baja merupakan industri strategis yang produknya digunakan untuk sektor konstruksi, minyak dan gas bumi serta otomotif. Saat ini, konsumsi baja masih sangat rendah dan di bawah konsumsi negara-negara di Asia Tenggara. Sehingga pengembangan industri baja perlu mendapatkan perhatian yang serius dan didukung oleh instansi pemerintah dan industri terkait lainnya. Namun demikian, pada tahun 2008-2011 telah terjadi ekspor besar-besaran terhadap bijih besi sebagai bahan baku industri baja, yaitu 1,5 juta ton pada 2008 menjadi 12,8 juta ton atau meningkat sebesar 750%. Dengan cadangan bijih besi sebanyak 115 juta ton, apabila tidak segera dikembangkan industri hilirnya maka bahan baku bijih besi dikhawatirkan akan habis dalam waktu 9 (sembilan) tahun. Untuk itu, Pemerintah mendorong hilirisasi industri berbasis bahan tambang mineral, salah satunya adalah industri besi baja. Pada kurun waktu 2011-2012, pertumbuhan industri logam dasar besi baja tumbuh sangat tinggi (13,06% dan 6,45%) setelah tahun-tahun sebelumnya sempat mengalami pertumbuhan negatif khususnya tahun 2008-2009 akibat dampak krisis ekonomi global. 2) Permasalahan a) Belum optimalnya pengembangan teknologi pengolahan bahan tambang mineral. b) Belum ada industri baja dalam negeri yang mampu mengolah bijih/pasir besi dalam negeri. c) Ketergantungan bahan baku impor menjadikan posisi tawar Indonesia, baik di pasar lokal apalagi pasar global menjadi lemah. d) Adanya ketentuan salah satu limbah industri logam baja (slag baja) dimasukkan dalam kategori B3 sehingga mengganggu suplai bahan baku untuk industri lainnya. e) Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, baik fisik maupun nonfisik masih kurang memadai. f) Rendahnya kemampuan daya saing produk dalam negeri terhadap produk olahan besi baja impor. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Pelarangan ekspor bijih besi dan mendorong dibangunnya industri hilir besi baja b) Inisiasi pembentukan Pusat Teknologi Baja untuk mengembangkan industri baja nasional Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 24

c) Mempercepat proses pemeriksaan skrap impor di pelabuhan-pelabuhan utama di wilayah Indonesia agar tidak mengganggu operasional industri besi baja nasional d) Pemberlakuan SNI wajib terhadap beberapa produk industri baja (logam) dengan tujuan agar produk impor yang masuk ke Indonesia dan beredar dipasar domestik harus memenuhi persyaratan mutu SNI, dapat memberikan jamian kualitas atas K3L kepada konsumen dan terciptanya persaingan yang sehat dan adil antra produk dalam negeri dengan impor e) Pemberlakuan instrumen safeguard dan Biaya Masuk Anti Dumping (BMAD) sebagai tindakan pengamanan perdagangan untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan barang impor f) Telah dilakukan pembahasan revisi PP no. 18 tahun 1999 jo. PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) di Kementerian Lingkungan Hidup. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Telah diberlakukan 18 SNI Wajib untuk produk-produk baja, b) Telah diberikan insentif berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) atas impor barang dan bahan guna memproduksi barang/jasa untuk industri, termasuk steel cord. c) Pemberlakuan instrumen safeguard untuk beberapa produk baja yaitu, kawat seng, kawat bindrat, tali kawat baja (wire rope), tali kawat baja (flattened strand), kawat bronjong dan casing & tubing seamless d) Pemberlakuan instrumen BMAD untuk produk Hot Rolled Coil, H Section dan I Section, Hot Rolled Plate dan Cold Rolled Coil e) Pembahasan revisi PP no. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) menghasilkan adanya ketentuan limbah khusus untuk komoditas tertentu yang dijadikan sebagai bahan baku industri logam dalam negeri (slag baja, copper slag, fly ash, bottom ash, dll) sehingga tidak dikategorikan limbah umum yang dilarang. f) Terdapat beberapa investasi baru industri baja nasional, antara lain: (1) Telah beroperasinya PT. Meratus Jaya Iron & Steel yang berlokasi di Kalimantan Selatan yang mengolah bijih besi menjadi sponge iron dengan kapasitas produksi 315.000 Ton dengan nilai investasi sebesar Rp 1,17 Triliun. (2) PT. Krakatau Steel dan POSCO telah sepakat membangun pabrik baja di Cilegon dengan kapasitas total 6 juta ton per tahun untuk produk hot rolled coil, slab dan plat baja. (3) Telah beroperasinya PT. Indoferro secara komersial yang berlokasi di Cilegon, Provinsi Banten yang memproduksi Pig Iron dengan kapasitas 500 ribu ton/ tahun dan Nickel Pig Iron dengan kapasitas 250 ribu ton/ tahun dengan nilai investasi sebesar USD 110 juta. (4) Telah dilakukannya Ground Breaking PT. Batulicin Steel pada bulan Juli 2012 yang rencananya akan memproduksi baja dasar sebesar 3 juta ton/tahun dengan nilai investasi sebesar USD 1,5 Milyar, dengan Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 25

rincian Besi Beton sebesar 1 juta ton/tahun dan Ferro Nickel sebesar 600 ribu ton/tahun pada tahap awal serta H-Beam Steel dan Pelat Baja sebesar 2 juta ton/tahun pada tahap selanjutnya. (5) Rencana pembangunan PT. Jogja Magasa Iron yang berlokasi di Kulon Progo, Jogjakarta yang mengolah pasir besi menjadi pig iron dengan kapasitas produksi 1 juta ton. d. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) 1) Gambaran Umum Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Barang Kulit dan Alas Kaki merupakan industri penting di Indonesia dan salah satu komoditi andalan industri manufaktur. Industri TPT, Alas Kaki dan Penyamakan Kulit menjadi salah satu komponen utama pembangunan industri nasional, dengan tiga peran pentingnya yaitu penyumbang devisa ekspor non migas, penyerapan tenaga kerja dan pemenuhan kebutuhan sandang dalam negeri. Pertumbuhan Industri TPT, Barang Kulit dan Alas Kaki juga cukup signifikan, dimana setelah mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2007-2008 akibat dampak krisis ekonomi global, kini dapat tumbuh di atas 4%. Tenaga kerja yang terserap oleh industri TPT skala besar dan menengah pada tahun 2012 kurang lebih 1,5 juta, dengan nilai ekspor pada tahun 2012 mencapai US$ 12,45 milyar. 2) Permasalahan a) Kenaikan upah buruh, harga BBM dan tarif listrik telah meningkatkan biaya produksi. b) Membanjirnya produk impor dengan harga yang sangat murah serta banyaknya produk impor ilegal, telah membuat produk dalam negeri kalah bersaing di pasar domestik, terutama sebagai dampak dari pemberlakuan ACFTA. c) Sekitar 80% dari populasi mesin-mesin industri benang dan kain usianya sudah di atas 20 tahun, yang mengakibatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas produk rendah, sehingga makin tidak bisa bersaing. d) Tingkat Kemampuan SDM Industri yang masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara pesaing. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Melaksanakan program restrukturisasi permesinan/peralatan Industri TPT melalui pemberian potongan harga mesin peralatan dan pemberian pinjaman/kredit dengan suku bunga rendah. b) Pemberian bantuan mesin/peralatan untuk meningkatkan teknologi bagi Klaster Industri TPT khususnya IKM. c) Meningkatkan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Garmen di Semarang dengan memberikan bantuan mesin/peralatan. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 26

d) Pengembangan Teknologi Produksi ITPT melalui kerjasama dengan negara berteknologi maju, sebagaimana telah diimplementasikan dalam pilot project NEDO di bidang dyeing & finishing yang hemat energi, air dan bahan kimia di PT. Daliatex Bandung e) Memfasilitasi industri TPT untuk memperoleh fasilitas BMDTP bagi importasi bahan baku/bahan penolong yang belum diproduksi di dalam negeri, yaitu polipropilene untuk industri karpet f) Mengembangkan standard produk tekstil (SNI) melalui untuk tujuan mendorong pencapaian tingkat mutu yang unggul serta keamanan dan keselamatan, serta pengembangan standard Kompetensi tenaga kerja industri tekstil (SKKNI) g) Mengkolaborasikan antara Produsen Tekstil dengan para Designer dalam rangka meningkatkan daya saing produk TPT Nasional baik di pasar dalam negeri maupun ekspor h) Mengembangkan lembaga pendidikan Tekstil yang mampu menghasilkan tamatan yang memenuhi harapan dunia kerja i) Promosi produk TPT melalui Pameran baik didalam maupun diluar Negeri 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Dari pagu anggaran yang dialokasikan untuk Program Revitalisasi Industri TPT sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, program ini mampu menstimulus kegiatan investasi mesin/peralatan yang dilakukan oleh dunia usaha, sebagai berikut: Tabel 3.10 Perkembangan Program Restrukturisasi ITPT Tahun 2007-2012 No Tahun Peserta Unit usaha Pagu Dipa (Rp. Milyar) Nilai Bantuan (Rp. Milyar) Nilai Investasi (Rp. Milyar) Industri Tekstil dan Produk Tekstil 1 2007 92 255,00 152,31 1.550 2 2008 175 330,00 181,71 1.790 3 2009 193 240,00 170,75 1.440 4 2010 151 154,15 144,37 1.544 5 2011 109 133,50 133,03 1.391 6 2012 142 128,40 127,73 1.562 b) Program Revitalisasi Industri TPT pada tahun 2007-2012 telah menghasilkan penambahan tenaga kerja sebanyak 92.000 orang, peningkatan kapasitas produksi sebesar 16-21%, peningkatan produktivitas sebesar 6-10%, serta peningkatan efisiensi energi sebesar 5-9%. c) Pada tahun 2004-2012 telah dilakukan peningkatan kemampuan SDM dalam bentuk pelatihan industri garmen, dengan jumlah peserta sebagai berikut: Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 27

Tabel 3.11 Jumlah Peserta Pelatihan SDM ITPT Tahun 2004-2013 Jenis Pelatihan 2004-2010 (orang) Pelatihan Peningkatan Kemampuan SDM Industri TPT, Alas Kaki, Kulit dan Mainan 2011 (orang) 2012 (orang) 2013 (orang) Total 2004-2013 (orang) 2.000 - - - 2.000 Pelatihan Industri Garment - 2.520 1.300 4.050 9.270 d) Perluasan investasi dan pembangunan pabrik baru PT. Indorama Polyester Industries di Karawang, dengan total nilai investasi US$ 400 juta. e. Industri Alas Kaki 1) Gambaran Umum Industri Alas Kaki dan Barang Kulit termasuk industri yang menyerap banyak tenaga kerja (padat karya), dengan jumlah tenaga kerja industri menengah dan besar pada tahun 2012 mencapai 548.335 orang. Nilai ekspor produk industri alas kaki dan barang kulit pada tahun 2012 adalah sebesar US$ 3,56 milyar. 2) Permasalahan a) Keterbatasan ketersediaan bahan baku kulit jadi, karena bahan baku dari industri penyamakan kulit dalam negeri cenderung diekspor dan proses/prosedur karantina terhadap impor kulit jadi masih memerlukan waktu dan biaya. b) Terbatasnya kemampuan dan ketersediaan SDM dalam bidang desain produk dan teknologi produksi khususnya jahit. c) Kurangnya promosi produk bagi industri besar dan keterbatasan kemampuan dana promosi bagi IKM baik di dalam dan luar negeri. d) Mesin/peralatan yang digunakan sebagian besar sudah tua diatas 20 tahun, sedangkan untuk peremajaan kesulitan dalam sumber pembiayaan karena dianggap foot loose industry. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Memfasilitasi kepesertaan dalam pameran internasional didalam negeri. b) Fasilitasi pelatihan SDM industri alas kaki bidang teknologi produksi, manajemen keuangan dan pemasaran serta entrepreneurship motivation. c) Fasilitasi kerjasama dengan sumber pembiayaan dalam rangka peningkatan akses pembiayaan. d) Fasilitasi kerjasama aliansi strategis antara perusahaan champion dengan mitranya baik sebagai pemasok bahan baku maupun bahan penolong dan subcontracting serta lembaga penelitian dan pengujian. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 28

e) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait terutama Kementerian Pertanian, Ditjen Bea & Cukai dalam rangka kelancaran proses karantina impor kulit jadi. f) Mempersiapkan penerapan SNI wajib untuk Safety Shoes. g) Melaksanakan program restrukturisasi mesin/peralatan industri alas kaki dan penyamakan kulit yang dimulai dari tahun 2009 hingga sekarang 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Dari pagu anggaran yang dialokasikan untuk Program Revitalisasi Industri Alas Kaki dan Penyamakan Kulit sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, program ini mampu menstimulus kegiatan investasi mesin/peralatan yang dilakukan oleh dunia usaha, sebagai berikut: Tabel 3.12 Perkembangan Program Restrukturisasi Industri Alas Kaki & Penyamakan Kulit Tahun 2009-2012 No Tahun Peserta Unit usaha Pagu Dipa (Rp. Milyar) Nilai Bantuan (Rp. Milyar) Nilai Investasi (Rp. Milyar) Industri Alas Kaki & Penyamakan Kulit 1 2009 26 52,50 13,60 136 2 2010 24 24,45 18,30 183 3 2011 19 19,00 18,38 191 4 2012 19 17,00 16,76 175 b) Program Revitalisasi Industri Alas Kaki dan Penyamakan Kulit pada tahun 2009-2012 telah menghasilkan penambahan tenaga kerja sebanyak 102.000 orang, peningkatan kapasitas produksi sekitar 35%, peningkatan produktivitas sekitar 9%, serta peningkatan efisiensi energi sebesar 4-7%. c) Pada tahun 2004-2012 telah dilakukan peningkatan kemampuan SDM dalam bentuk pelatihan industri garmen, dengan jumlah peserta sebagai berikut: Tabel 3.13 Jumlah Peserta Pelatihan SDM Industri Alas Kaki Tahun 2004-2013 Jenis Pelatihan 2004-2010 (orang) Pelatihan Peningkatan Kemampuan SDM Industri TPT, Alas Kaki, Kulit dan Mainan 2011 (orang) 2012 (orang) 2013 (orang) Total 2004-2013 (orang) 2.000 - - - 2.000 Pelatihan Industri Alas Kaki - 480 5.100 1.050 6.630 d) Telah memfasilitasi pameran produk-produk industri TPT, Alas Kaki & Barang Kulit pada kurun waktu 2005-2012 sebanyak 70 event baik nasional maupun internasional. e) Dalam rangka perlindungan terhadap produk-produk industri alas kaki dan barang kulit, telah dilakukan pemberlakuan SNI wajib untuk sepatu Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 29

f. Industri Semen pengaman (safety shoes) dengan sistem Goodyear Welt, sol karet cetak vulkanisir, serta sol poliuretan dan termoplastik poliuretan cetak injeksi. 1) Gambaran Umum Semen merupakan salah satu komoditi strategis sebagai penunjang dalam perekonomian nasional melalui pembangunan infrastruktur dan perumahan, gedung serta fasilitas umum lainnya. Peruntukan semen pun semakin meluas untuk membangun prasarana jalan beton yang mempunyai banyak keunggulan dibandingkan aspal. Pertumbuhan industri semen selama periode tahun 2004-2012 cenderung positif. Setelah mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2008 dan 2009, industri semen dan barang galian bukan logam kembali tumbuh tinggi hingga lebih dari 7% pada tahun 2011-2012. Selain berdampak pada penambahan kapasitas, pertumbuhan industri semen juga diikuti oleh upaya-upaya peningkatan daya saing yaitu diversifikasi produk semen, efisiensi energi, penggunaan batu bara kalori rendah dan bahan bakar alternatif. Lokasi pabrik semen saat ini masih terpusat di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Sementara itu, permintaan/kebutuhan semen mengalami kenaikan yang cukup besar, dimana tahun 2011 meningkat 17,7%., sedangkan pada tahun 2015 kebutuhannya diperkirakan mencapai 70 juta ton. 2) Permasalahan a) Konsumsi energi yang diperlukan untuk produksi semen di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara lain. b) Beberapa produsen semen menemui kendala pada pemanfaatan lahan tambang batu kapur dan tanah liat untuk bahan baku c) Pasokan energi listrik dan batubara belum terpenuhi secara kontinu d) Prasarana dan sarana transportasi terbatas, khususnya di Kawasan Timur Indonesia dimana fasilitas dermaga yang sangat terbatas dan waktu bongkar yang lama. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Mengamankan pasokan dalam rangka pemenuhan kebutuhan nasional; b) Meningkatkan efisiensi dan konservasi energi; c) Memperkuat kemitraan antara industri semen dengan industri hilir. d) Mengembangkan industri semen nasional, khususnya di Kawasan Timur Indonesia; e) Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia dalam rekayasa, fabrikasi dan konstruksi pabrik semen; f) Mengamankan pasokan batubara melalui pemanfaatan potensi yang ada untuk industri semen nasional; Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 30

g) Meningkatkan kemampuan rekayasa dan pabrikasi pabrik-pabrik semen generasi baru yang lebih efisien dan hemat energi. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Pada tahun 2004-2012, telah terjadi peningkatan kapasitas dan nilai produksi dan utilitasisasi industri semen. Tabel 3.14 Profil Industri Semen Nasional Tahun 2004-2012 TAHUN ASPEK 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Kapasitas 47.490 46.090 45.090 44.890 44.890 45.890 51.850 52.940 55.940 Produksi 33.014 33.918 33.030 35.030 38.556 38.000 37.843 45.438 38.877 Impor 1.055 1.213 1.200 1.631 1.383 1.284 1.057 876 Utilitas (%) 69,5 75,6 73,2 78 85,9 82,8 72,8 85,8 92,7 Total Pemasaran - - - 34.171 38.070 36.900 40.777 47.999 39.615 b) Realisasi pembangunan oleh PT. Semen Gresik Group: (1) Unit pengantongan semen di Sorong, Papua Barat oleh PT. Semen Gresik yang direncanakan mulai beroperasi pada awal tahun 2013; (2) Unit pabrik baru PT. Semen Gresik di Tuban, Jawa Timur (Tuban IV) dengan kapasitas 2,5 juta ton per tahun, telah beroperasi pada pertengahan tahun 2012; (3) Unit pabrik baru PT. Semen Tonasa di Pangkep, Sulawesi Selatan (Tonasa V) dengan kapasitas 2,5 juta ton per tahun, akan beroperasi pada awal tahun 2013. c) Realisasi pembangunan oleh PT. Semen Bosowa: (1) Unit penggilingan semen di Banyuwangi, Jawa Timur dengan kapasitas 1,2 juta ton per tahun. Pembangunan dimulai bulan Mei 2012, dan direncanakan selesai pada tahun 2013; (2) Unit pabrik baru di Maros, Sulawesi Selatan dengan kapasitas 2,5 juta ton per tahun. Pembangunan dimulai bulan November 2012, direncanakan selesai pada tahun 2014. d) Realisasi pembangunan pabrik baru oleh PT. Holcim Indonesia di Tuban, Jawa Timur, dengan kapasitas 1,7 juta ton per tahun. Saat ini dalam proses konstruksi pabrik dan direncanakan selesai pada tahun 2014. e) Realisasi pembangunan pabrik oleh investor baru: (1) State Development and Investment Cooperation (SDIC) di Manokwari, Papua Barat dengan kapasitas 1 juta ton per tahun, saat ini dalam proses pembebasan lahan. (2) Anhui Conch Cement Co., Ltd. di Tanjung, Kalimantan Selatan dengan kapasitas 2,5 juta ton per tahun, saat ini dalam proses pembebasan lahan. (3) China Trio Int. Engineering Co. Ltd. Di Subang (Jabar) dengan kapasitas 1,5 juta ton/tahun Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 31

g. Industri Keramik (4) Siam Cement (Akuisisi Boral/Jaya Readymix) di Sukabumi (Jabar) dengan kapasitas 1,8 juta ton/tahun (5) Wilmar, Semen Merah-Putih di Bayah (Banten) dengan kapasitas 1,2 juta ton/tahun (6) PT. Jui Shin Indonesia Semen Karawang/Paku Bumi di Karawang (Jabar) dengan kapasitas 2,5 juta ton/tahun (7) Semen Grobogan/Gajah Tunggal (China Triumph Int Eng Co. Ltd./CTIEC) di Grobogan (Jateng) dengan kapasitas 1,5 juta ton 1) Gambaran Umum Industri Keramik Nasional didominasi oleh keramik tile untuk keperluan bahan bangunan, kramik peralatan rumah tangga, barang seni dan kebutuhan untuk membersihkan (sanitair). Proses industri keramik yang membutuhkan proses pembakaran suhu tinggi (lebih dari 1.000 C) memerlukan banyak bahan bakar dan proses pembakaran yang bersih. Gas memiliki komponen yang dibutuhkan industri keramik, namun sering kali terkendala dengan pasokannya yang lebih banyak diekspor ke luar negeri. Ketidakpastian akan pasokan gas bumi pada industri keramik menyebabkan ketidakpastian dalam hal produksinya. Perbankan menilai bahwa industri keramik memiliki risiko yang besar, sehingga bunga yang dibebankan pada industri keramik juga besar. Hal ini membuat daya saing industri keramik nasional kurang kompetitif dengan produk pesaing, meskipun di dunia Industri keramik Nasional menduduki peringkat ke 6 (enam). 2) Permasalahan a) Tidak adanya kepastian jaminan pasokan gas untuk industri keramik nasional untuk jangka pendek dan jangka panjang. b) Kualitas bahan baku masih belum standar, terutama feldspar. Sedangkan kaolin, pasir kuarsa dan ball clay sudah memenuhi standar. c) Masih lemahnya penguasaan teknologi produksi dan desain produk keramik. d) Sekolah-sekolah desain keramik perlu mendekatkan diri dengan dunia usaha. e) Industri keramik perlu meningkatkan inovasi dalam proses produksi yang hemat energi. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Koordinasi pengamanan pasokan gas untuk industri keramik; b) Promosi investasi bahan baku keramik; c) Peningkatan efisiensi energi melalui penerapan konservasi energi; d) Pengembangan desain produk industri keramik; e) Meningkatkan pengamanan dan kualitas produk keramik melalui SNI; Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 32

f) Melakukan revitalisasi Unit Pelayanan Teknis (UPT) Industri Kecil dan Menengah Keramik. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Tercapainya pengamanan kebutuhan gas untuk keperluan industri keramik di Jawa dengan PT. Perusahaan Gas Negara. b) Lokus klaster keramik yang akan mengembangkan pengolahan bahan baku di Kalimantan Barat. c) Adanya realisasi perluasan pabrik keramik PT. Arwana Citramulia. d) Jumlah Entitas kolaborasi klaster industri semen dan industri keramik sebanyak 104 telah tercapai. e) Dibentuknya Forum Komunikasi Pengguna Gas dalam rangka upaya pengamanan sumber energi gas bagi industri keramik dan kaca. f) Fasilitasi Pengembangan Unit Clay Center di Kalimantan Barat. g) Pada tahun 2008-2012, terjadi perkembangan produksi keramik nasional. Ubin keramik mengalami penurunan dari tahun 2008-2010, kemudian sedikit meningkat pada tahun 2011 dan 2012 namun masih lebih rendah dibanding tahun 2008. Sedangkan produksi alat makan keramik (tableware), keramik sanitary, barang keramik lainnya dan keramik untuk laboratorium mengalami kenaikan. Tabel 3.15 Perkembangan Produksi Industri Keramik Nasional Tahun 2008-2012 Jenis Keramik Unit 2008 2009 2010 2011 2012 Ubin keramik Ton 4.015.323 3.330.000 3.370.572 3.720.352 3.794.759 Alat makan keramik (Table ware) Ton 40.000 40.800 41.616 42.448 43.306 Keramik sanitary Ton 57.369 56.104 56.104 57.226 58.371 Barang keramik lainnya Ton 57.369 56.104 56.104 57.226 58.371 Keramik untuk laboratorium Ton 23.763 24.238 24.723 25.217 25.722 h. Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Barang Karet 1) Gambaran Umum Indonesia memiliki perkebunan karet terluas di dunia, yaitu 3,4 juta ha pada 2012, dimana 85%-nya merupakan perkebunan karet rakyat yang banyak menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja industri karet di sektor on-farm kurang lebih 2,1 juta kepala keluarga, dan di sektor off-farm (industri pengolahan) sekitar 100 ribu orang. Produksi karet alam Indonesia adalah sebesar 3,0 juta ton pada tahun 2012 (lebih dari 80% diekspor) dengan tingkat produktivitas 1 ton/ha, yang menempatkan Indonesia sebagai negara produsen karet nomor 2 (dua) dunia setelah Thailand. Nilai ekspor produk pengolahan karet Indonesia pada tahun 2012 mencapai US$ 10,82 milyar, meningkat 267% dibandingkan tahun 2004 yang sebesar Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 33

US$ 2,95 milyar. Dengan potensi yang dimiliki tersebut, Indonesia masih berpeluang meningkatkan produktivitas dan nilai tambah industri karet melalui hilirisasi industri karet. 2) Permasalahan a) Masih rendahnya kualitas bokar yang dihasilkan sebagai bahan baku utama produk barang karet hilir, dan masih dikenakannya PPN 10% terhadap bokar sebagai bahan baku sehingga mengurangi daya saing produk barang karet hilir. b) Masih kurangnya dukungan industri pendukung dan penolong bagi industri karet hilir seperti industri permesinan, industri bahan kimia (Carbon Black, Silika, Kaolin, Tyre Cord, Processing Oil) sehingga masih dibutuhkan impor dalam jumlah cukup besar. c) Masih banyaknya beredar produk barang karet illegal bermutu rendah dan belum memenuhi SNI sehingga membahayakan konsumen. d) Alih teknologi belum sepenuhnya berjalan (masih menggunakan merek principal) disebabkan Principal otomotif masih mendatangkan barang karet dari negara asal meskipun sudah diproduksi di DN. e) Dukungan Infastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan komunikasi yang belum memadai. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Telah dilakukan inisiasi pembentukan klaster industri karet di 4 (empat) lokasi yaitu melalui kegiatan Forum Komunikasi dan Working Group di empat lokus yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Jawa Barat. b) Telah dipetakan dan diinventarisasi beberapa wilayah potensi perkebunan karet serta industri pengolahan karet hilir potensial, yaitu di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. c) Fasilitasi bantuan mesin dan peralatan : (1) Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi untuk mesin/peralatan pengolahan karet kompon dan vulkanisir ban. (2) Provinsi Papua untuk mesin/peralatan pengolahan karet setengah jadi. (3) Provinsi Jawa Barat untuk mesin/peralatan Computer Numeric Control (CNC) untuk memproduksi barang karet high precision keperluan otomotif kepada Koperasi Pengusaha Industri Suku Cadang Mesin (Kopisma) Bandung sebagai champion klaster barang karet otomotif yang secara alamiah telah lama terbentuk. d) Pengembangan Industri barang-barang karet melalui promosi investasi dan fasilitas untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu atau daerah tertentu (PP No. 52/2012). Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 34

4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Telah dilakukan kajian cara pendeteksian dini vulkanisat karet dalam Bahan Olah Karet (BOKAR). b) Telah disusunnya buku Blueprint dalam rangka mendukung pengembangan industri karet dan barang karet. c) Telah dikeluarkannya SK Menteri Keuangan No. 162/PMK.011/2008 tanggal 31 oktober tahun 2008 tentang penghapusan Bea Masuk Anti Dumping untuk komoditi Karbon Black. d) Telah diberlakukannya SNI Wajib untuk selang karet untuk kompor gas LPG, ban luar dan ban dalam dan rubber seal tabung gas LPG. e) Pembangunan pabrik ban Hankook kapasitas 5,3 juta ban KBM roda 4 per tahun dan 840 ribu ban truk/radial pertahun dengan nilai investasi USD 1,1 miliar di Jawa Barat. f) Tersusunnya kajian pengembangan industri karet terpadu di Sei Bamban yang direncanakan akan terintegrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus, Sei Mangkei; g) Pelatihan peningkatan konservasi energi industri karet remah di Palembang. h) Fasilitasi pengembangan industri karet karet hilir untuk meningkatkan kemampuan pembuatan kompon karet dan produksi vulkanisir ban melalui bantuan mesin pengolahan barang karet di Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat. 2. Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Agro a. Industri Pengolahan Kelapa Sawit 1) Gambaran Umum Indonesia bersama dengan malaysia merupakan negara penghasil CPO (Crude Palm Oil/minyak sawit mentah) utama dengan penguasaan pasar hampir 85% pasokan minyak sawit di dunia. Sejak tahun 2009, Indonesia mengungguli Malaysia dalam produksi minyak sawit dengan jumlah produksi hampir 18 Juta Ton. Meskipun sebagai produsen CPO terbesar, namun sebagian besar produksi minyak sawit masih diekspor dalam bentuk mentah (ekspor CPO mencapai 50% dan ekspor CPKO mencapai 85%) karena harga internasional yang lebih menarik dan adanya komitmen pasokan bagi industri di luar negeri. Nilai ekspor pengolahan kelapa/kelapa sawit terus meningkat, sejak tahun 2004-2012 terjadi peningkatan sampai dengan 383%. Meskipun demikian, pertumbuhan ekspor pengolahan kelapa/kelapa sawit mulai menurun pada tahun 2012. Penurunan ekspor ini merupakan dampak krisis ekonomi di Amerika dan Eropa yang merupakan negara tujuan ekspor. Hal ini seyogyanya bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk meningkatkan hilirisasi industri hilir kelapa sawit di dalam negeri. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 35

2) Permasalahan a) Infrastruktur pendukung di KEK Sei Mangkei belum tersedia dengan baik dengan kewenangan bertingkat (Pusat Provinsi Kabupaten Swasta); b) Biaya logistik yang tinggi dan minimnya proyek baru pembangunan fasilitas logistik seperti pelabuhan curah cair dan kontainer di daerah baru produsen Minyak sawit (Sumatera, Sulawesi, Papua); c) Penumbuhan industri hilir terhambat karena integrasi rantai nilai industri hulu hilir belum dirasakan secara langsung oleh pelaku usaha industri. d) Kecenderungan mengekspor bahan baku karena kontrak internasional sehingga menghambat investasi bidang industri hilir; e) Belum tersedianya Centre of Excellence for Oleochemical Industry sebagai lembaga koordinasi formal klaster IHKS dan pusat pembentukan SDM SDM berkualitas; f) Ketergantungan pada penyediaan lisensi teknologi industri, inovasi formulasi produk, dan industri permesinan dari luar negeri; g) Hambatan fiskal (perpajakan) dan moneter (suku bunga) tinggi bagi penumbuhan industri hilir kelapa sawit; h) Adanya Kampanye negatif produk minyak sawit Indonesia oleh LSM Internasional. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Mempertahankan Kebijakan Restrukturisasi Tarif Bea Keluar melalui PMK Nomor 75 Tahun 2012; b) Mempertahankan kebijakan insentif investasi (Tax Allowance & Tax Holiday) serta memberikan kemudahan administrasi; c) Pelaksanaan Program Nasional Konversi Minyak Goreng Curah Menjadi Minyak Goreng Kemasan Sederhana; d) Program dan alokasi dana khusus pembangunan hard infrastructure di kawasan Sei Mangkei Sumut, Dumai Kuala Enok, Riau, dan Maloy Kaltim; e) Program dan alokasi dana khusus perbaikan soft infrastructure meliputi Promosi Investasi, Peningkatan SDM, teknologi, dan centre of excellence; f) Penyelesaian hambatan prosedur adminsitrasi perpajakan dan insentif investasi. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Utilisasi Industri Minyak Goreng/Refinery dalam negeri, pada tahun 2010 hanya sekitar 45% meningkat menjadi 70% pada awal tahun 2012; b) Meningkatnya Investasi di bidang industri hilir kelapa sawit dengan total komitmen investasi hingga tahun 2014 mencapai Rp. 20 Triliun; c) Pergeseran Kinerja Ekspor dari produk Mentah CPO menjadi Produk Hilir Minyak Sawit; Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 36

d) Groundbreaking proyek Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy sebagai Lokus Pengembangan Klaster IHKS di Kalimantan Timur; e) Beroperasinya Pabrik PKO Mill kapasitas 400 Ton/hari dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Sawit 2x3,5 MW di Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumut; f) Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 Tahun 2012 tentang Restrukturisasi Bea Keluar CPO dan Produk Turunannya dengan partisipasi aktif Kementerian Perindustrian; b. Industri Kakao 1) Gambaran Umum Indonesia merupakan penghasil biji kakao ketiga terbesar di dunia dengan jumlah produksi biji kakao pada tahun 2012 mencapai 833.310 setelah Pantai Gading sebesar 1.510.000 ton dan Ghana sebesar 1.050.000 ton. Namun demikian, sebelum tahun 2010 sebagian besar masih disekpor dalam bentuk biji kakao. Pada tahun 2010 Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan melalui PMK No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao. Dengan penerapan bea keluar kakao ini, terjadi penurunan ekspor biji kakao. Pada tahun 2012, ekspor biji kakao sebesar 163.501 ton, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010. Sebaliknya, nilai ekspor produk olahan kakao selalu meningkat dari tahun 2010 sebesar 119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012 mencapai 215.791 ton. Pada tahun 2012, devisa yang disumbangkan dari komoditi kakao mencapai USD 1,05 milyar. 2) Permasalahan a) Terbatasnya infrastruktur seperti akses jalan dan energi (listrik dan gas) di sentra produksi kakao; b) Terbatasnya R & D untuk diversifikasi produk olahan; c) Mutu biji kakao masih rendah (ada kadar kotoran, jamur dan masih banyak yang belum difermentasi); d) Produktifitas di tingkat on farm masih rendah; e) Utilisasi kapasitas industri olahan kakao masih rendah (66%); f) Adanya perbedaan Bea Masuk kakao olahan di negara-negara tujuan ekspor, antara lain: Afrika dikenakan bea masuk 0%, sementara dari Indonesia sebesar 7,7%-9,6% untuk ekspor ke UE; g) Masih adanya kakao bubuk palsu yang beredar di pasaran. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 37

3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; b) Pengenaan bea keluar biji kakao; c) Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk kakao bubuk; d) Pembebasan bea masuk atas pengimporan mesin, barang dan bahan untuk industri; e) Pemberian fasilitas tax allowance dan tax holiday untuk industri kakao; f) Pengawasan bersama peredaran cocoa shell powder dalam rangka pelaksanaan penerapan SNI wajib kakao bubuk; g) Penyusunan RSNI untuk produk cokelat; h) Pemberian bantuan mesin dan peralatan industri pengolahan kakao dan cokelat di daerah potensial; i) Promosi produk dan investasi industri pengolahan kakao dan cokelat baik di dalam negeri maupun luar negeri. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Terdapat 5 (lima) perusahaan industri kakao yang beroperasi kembali, 8 (delapan) perusahaan melakukan perluasan investasi dan masuknya investasi baru dari 5 (lima) perusahaan; b) Pada tahun 2012, jumlah industri pengolahan kakao mencapai 16 perusahan dengan kapasitas produksi mencapai 660.000 ton/tahun dengan utilisasi mencapai 60,6% dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 4.300 tenaga kerja; c) Peningkatan jumlah biji kakao yang diolah di dalam negeri, yaitu sebesar 400 ribu pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar 250 ribu ton; d) Meningkatknya tingkat konsumsi Kakao perkapita di Indonesia dari 0,2 menjadi 0,25 kg/kapita/tahun; e) Mengusulkan penurunan tarif bea masuk mesin untuk pembuatan kembang gula, kakao atau dalam negeri. c. Industri Gula 1) Gambaran Umum Gula merupakan salah satu bahan pangan yang masuk kelompok komoditas strategis. Mengacu pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Komoditas Pangan Strategis dan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 2004, Pemerintah menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan sehingga harus dijamin ketersediaannya dan harganya terjangkau. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 38

Pertumbuhan Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi langsung, diasumsikan setara dengan pertumbuhan penduduk yaitu 1,23% per tahun dan peningkatan daya beli sebesar 0,6% per tahun. Adapun pertumbuhan Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri diasumsikan tumbuh sebesar 5% per tahun. Seiring dengan peningkatan konsumsi gula baik GKR maupun gula rafinasi, Kementerian Perindustrian telah melaksanakan program revitalisasi industri gula sejak tahun 2010. 2) Permasalahan a) Pabrik Gula (PG) yang berada di Pulau Jawa, relatif berumur teknis sudah tua, sehingga efisiensi pabrik relatif rendah dibandingkan PG baru; b) Kemampuan PG untuk melakukan restrukturisasi mesin dan peralatan terkendala oleh terbatasnya kemampuan investasi; c) Tidak dilaksanakannya intensifikasi pertanian dengan baik sehingga produktivitas lahan dan kadar gula dalam tebu relatif rendah; d) Tidak tersedianya lahan yang diperlukan untuk ekstensifikasi perkebunan tebu baru guna mendukung pembangunan PG baru, sehingga target swasembada gula pada 2014 sulit akan tercapai; e) Terbatasnya kemampuan pendanaan Pemerintah dibandingkan dengan kebutuhan investasi untuk penggantian mesin/peralatan utama yang diperlukan; f) Kurangnya dukungan dari instansi terkait, antara lain terkait masalah penyediaan lahan, dukungan riset (untuk penyediaan bibit unggul), dan lain-lain; g) Ancaman persaingan dengan produk impor, terutama Thailand melalui AEC (ASEAN Economic Community) pada tahun 2015; h) Pabrik gula rafinasi yang ada (8 pabrik) seluruhnya masih menggunakan bahan baku (raw sugar) impor dan belum berproduksi secara optimal (utilisasi kapasitas sekitar 77% pada tahun 2012). 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula, baik melalui bantuan keringanan pembiayaan mesin/peralatan dan bantuan langsung mesin/peralatan; b) Nilai investasi bantuan keringanan pembiayaan mesin/ peralatan dari tahun 2010-2012 sebesar Rp. 115,81 milyar dan bantuan langsung mesin/ peralatan sebesar Rp. 554,46 milyar; c) Penyusunan kajian Business Plan Pembangunan Pabrik Gula Baru di 4 (empat) Wilayah (Kab. Merauke-Papua, Kab. Sambas-Kalbar, Kab. Purbalingga-Jateng dan Kab. Konawe Selatan-Sultra); d) Penyusunan kajian Daftar Komponen Mesin dan Peralatan Yang Dapat Diproduksi di Dalam Negeri Untuk Mendukung Revitalisasi Pabrik Gula ; Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 39

e) Audit Teknologi PG Existing untuk memotret permasalahan yang dihadapi oleh pabrik-pabrik gula secara tepat, agar program-program revitalisasi dapat dilakukan secara efektif, efisien dan tepat sasaran; f) Fasilitasi penyediaan lahan perkebunan tebu untuk gula baru. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Terlaksananya audit teknologi PG eksisting, sehingga diketahui perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan, baik on-farm maupun offfarm; b) Pelaksanaan Konsultasi dan Bimbingan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 yang diberikan kepada 16 PG terpilih dalam rangka penerapan SNI GKP yang rencananya akan diberlakukan wajib pada tahun 2013; c) Meningkatnya jumlah pabrik gula rafinasi dari 2 unit usaha di tahun 2003 menjadi 8 unit usaha pada tahun 2008; d) Meningkatnya jumlah produksi GKR dari sebesar 722.000 ton pada tahun 2005 menjadi sebesar 2,74 juta ton pada tahun 2012; e) Meningkatnya kapasitas giling terpasang sebesar 11,78% dibanding kapasitas tahun 2010; f) Meningkatnya rendemen PG BUMN yang rata-rata pada tahun 2010 sebesar 5,93%, meningkat menjadi 7,75% pada 2012 (naik 16,19%). g) Meningkatnya efisiensi PG BUMN dilihat dari Overall Recovery (OR) yang pada tahun 2010 rata-rata sebesar 62,73% meningkat menjadi 79,66% pada tahun 2012. d. Industri Furniture 1) Gambaran Umum Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya akan sumber daya hutan. Hutan tropis yang dimiliki Indonesia menghasilkan bahan baku yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memiliki kawasan hutan tropis seluas ±133,84 juta hektar (Data Strategis Kehutanan, 2009), terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Zaire. Pertumbuhan barang kayu & hasil hutan lainnya dari tahun 2004-2012 hampir selalu negatif, hanya tumbuh positif pada tahun 2008 dan 2011. Ekspor furniture dan kerajinan rotan (keranjang, tikar, dan kerajinan lainnya) mulai meningkat pada tahun 2006-2007 sebagai akibat positif dari kebijakan tidak diperbolehkannya ekspor rotan WS pada periode sebelum tahun 2005. Pada tahun 2008-2011, nilai ekspor furniture dan kerajinan rotan mengalami penurunan yang cukup signifikan, sebagai dampak dibukanya ekspor bahan baku sejak tahun 2005. Oleh karena itu pada tahun 2011 telah diterbitkan kebijakan Larangan Ekspor Rotan dalam bentuk bahan baku. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong dan mengembangkan industri pengolahan rotan di dalam negeri, sehingga akan meningkatkan nilai tambahnya. Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 40

2) Permasalahan a) Makin terbatasnya pasokan bahan baku kayu terhadap industri furniture di dalam negeri; b) Masih adanya praktek illegal logging dan iilegal trade; c) Masih terbatasnya kemampuan desain dan finishing produk. Sebagian besar desain ditentukan secara job order (desain ditentukan oleh buyer); d) Produktivitas dan tingkat efisiensi industri furniture nasional relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara pesaing, seperti China dan Vietnam; e) Adanya hambatan tarif dan non-tarif seperti: The US Lacey Act, REACH, tuntutan sertifikasi ekolabel, dan lain-lain, di beberapa negara tujuan ekspor utama; f) Munculnya pesaing-pesaing baru yang potensial, seperti Malaysia, China dan Vietnam yang kemungkinan sebagian bahan bakunya diperoleh secara illegal dari Indonesia. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Pendirian unit pelayanan teknis di sentra produksi dan sentra bahan baku rotan, pengembangan SDM termasuk pelatihan, magang dan studi banding dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas; b) Untuk mendukung pengembangan klaster industri furniture, pada tahun 2006 telah dibentuk Forum Komunikasi Industri Furniture; c) Meningkatkan penggunaan produk rotan di kantor pemerintah dan BUMN, serta penggunaan meja/bangku di sekolah-sekolah; d) Pengembangan pasar dengan mengikuti promosi yang bertaraf internasioal baik di dalam maupun di luar negeri; e) Sosialisasi penerapan Sertifikasi Legalitas Kayu/SVLK pada industri furniture kayu; f) Menyusun standar SNI produk furniture; g) Mengoptimalkan Pusat Desain Furniture Kayu di Jepara dan Rotan di Cirebon dalam rangka menciptakan desain baru yang bercirikan budaya lokal; h) Menyelenggarakan lomba desain furniture yang bertaraf nasional dan pemberian penghargaan serta workshop pengembangan desain. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Telah didirikan Pusat Inovasi Rotan untuk melakukan diversifikasi pemanfaatan bahan baku rotan; b) Telah dibuka Klinik desain furniture rotan di Cirebon dan Klinik desain furniture kayu di Jepara; c) Pelarangan ekspor bahan baku rotan dan penataan industri rotan, berdasarkan paket kebijakan antar-kementerian: Permendag No.35/M- DAG/PER/11/2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan, Permendag No.36/M-DAG/PER/11/2011 tentang Pengangkutan Rotan Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 41

Antar Pulau, Permenperin No.90/M-IND/PER/11/2011 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Furnitur Tahun 2012-2016, dan Permenhut No. SK-24/MENHUT-VI/2012 tentang Penetapan Jatah Produksi Rotan Lestari Secara Nasional Periode Tahun 2012. d) Meningkatnya ekspor produk furniture rotan pada tahun 2012 mencapai USD 151 juta dibandingkan tahun 2011 yang mencapai USD 128 juta; e) Telah dibangun Pusat Pengembangan Industri Pengolahan Rotan dengan bekerjasama dengan Pemda Katingan, Pemda Palu, Pemda Barito Timur dan Pemda Pidie; f) Telah dibangun sekolah kejuruan bidang rotan melalui kerjasama dengan Pemda Palu dan Pemda Katingan; g) Telah difasilitasi pameran furniture rotan baik di dalam maupun di luar negeri. h) Terselenggaranya Diklat Peningkatan Kompetensi SDM Bidang Desain dan Bidang Teknik Produksi Furniture Rotan di daerah sumber bahan baku, serta pelatihan Mutu dan Craftmenship Building Furniture Rotan di daerah sentra industri; i) Peningkatan penggunaan meja-kursi rotan untuk sekolah-sekolah dengan memanfaatkan dana CSR dari BUMN/Swasta; j) Pendampingan kepada perusahan di bidang furniture kayu untuk memenuhi Standar Legalitas Bahan Baku Kayu. e. Industri Kertas 1) Gambaran Umum Industri pulp dan kertas (IPK) merupakan industri unggulan nasional yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi proses, tingkat pendidikan dan ketersediaan bahan baku kertas (pulp dan kertas bekas), yang telah terbukti memiliki daya saing tinggi. Pada saat ini di Indonesia beroperasi 12 industri pulp dan 79 industri kertas dengan kapasitas terpasang masing-masing 7,9 juta ton/tahun pulp dan 12,99 juta ton/ tahun kertas. Pertumbuhan industri kertas dan barang cetakan dari tahun 2004-2012 cenderung fluktuatif dan pada tahun 2012 industri kertas tumbuh negatif karena harga jual kertas turun. Harga kertas turun akibat krisis ekonomi dunia yang melanda Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Kebutuhan kertas dunia diperkirakan akan tumbuh rata-rata sebesar 2,1% per tahun. Saat ini kebutuhan kertas dunia diperkirakan sekitar 394 juta ton, dan akan meningkat menjadi sekitar 490 juta ton pada tahun 2020. 2) Permasalahan a) Hutan Tanaman Industri (HTI) belum sepenuhnya mampu memasok seluruh kebutuhan bahan baku industri pulp; b) Tingkat produktivitas sebagian industri pulp dan kertas masih rendah; Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 42

c) Masih terbatasnya penguasaan teknologi di bidang industri pulp dan kertas, terutama di bidang rancang bangun dan perekayasaan permesinan industri pulp dan kertas; d) Masih banyaknya industri kertas yang kapasitasnya relatif kecil (<100.000 ton/th) dan menggunakan teknologi yang konvensional sehingga sulit bersaing dengan industri serupa yang kapasitasnya besar dan menggunakan teknologi modern; e) Adanya hambatan tarif dan non-tarif, seperti The US Lacey Act, REACH, tuntutan sertifikasi ekolabel, dan lain-lain, di beberapa negara tujuan ekspor utama. f) Adanya tuduhan dumping di negara tujuan ekspor yang memproduksi produk sejenis; g) Meningkatnya harga kertas bekas yang selama ini masih diimpor untuk memenuhi kebutuhan baku industri kertas di dalam negeri. 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Memfasilitasi pengembangan klaster industri pulp dan kertas di Jawa Barat melalui pembentukan Working Group; b) Memfasilitasi dilakukan kerjasama pengembangan kemitraan usaha dan jaringan kerja industri kertas dengan industri barang-barang dari kertas (publikasi, percetakan, industri grafika lainnya); c) Menarik investasi baru di sektor Industri pulp dan kertas; d) Mendorong pengembangan industri pulp yang terpadu dengan Hutan Tanaman Industri (HTI), terutama di arahkan kawasan timur Indonesia dengan pola pendekatan klaster; e) Peningkatan pemanfaatan bahan baku non kayu dan peningkatan efisiensi produksi; f) Meningkatkan peran perguruan tinggi dan lembaga R&D untuk mendukung pengembangan industri pulp dan kertas; g) Membantu penyelesaian masalah perlakuan dagang tidak sehat (unfair trade) melalui lembaga internasional; h) Insentif perpajakan berupa Tax Allowance dan Tax Holiday untuk industri pulp dan kertas di daerah tertentu guna mempercepat pembangunan industri pulp dan kertas. 4) Hasil-hasil Yang Dicapai Tahun 2004-2012 a) Telah dibentuk Tim Klaster Industri Pulp dan Kertas di Jawa Barat dalam memfasilitasi permasalahan yang dihadapi pada industri pulp dan kertas, antara lain yang terkait dengan bahan baku, produksi dan pemasaran hasil; b) Telah disusun Petunjuk Teknis Penanganan Limbah Padat pada Industri Kertas, setelah diterbitkannya SK Menteri tentang Penanganan Limbah Padat pada Industri Kertas; Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 43

c) Telah disusun buku pedoman teknis mengenai carbon footprint dan mengenai disgetasi anaerobic limbah padat industri pulp dan kertas untuk produk biogas sebagai energi alternatif; d) Perusahaan pulp dan kertas telah banyak mengaplikasikan buku pedoman teknis sehingga banyak perusahaan yang telah mendapat nilai PROPER (Program Peningkatan Kinerja Perusahaan) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup; e) Telah dilaksanakan pendampingan kepada industri pulp dan kertas untuk memenuhi Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK); f) Telah disusun dan Revisi Standar Nasional Indonesia untuk produk Pulp dan Kertas; g) Telah disusun Rancangan Standar Kompetensi SDM Industri IPK sebagai syarat pelaksanaan dan penerapan sertifikasi profesi. 3. Program Penumbuhan Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi a. Industri Alat Transportasi Darat (Otomotif) 1) Gambaran Umum Industri Otomotif merupakan salah satu industri yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Indonesia. Cabang industri ini tumbuh dengan sangat pesat, memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja yang cukup signifikan baik di sektor Hulu (Industri Komponen) maupun di sektor Hilir (Service dan perbengkelan), kontribusi terhadap pertumbuhan industri pengolahan non-migas, dan kontribusi terhadap ekspor nasional. Struktur industri otomotif di Indonesia semakin kuat dan kokoh, karena didukung oleh industri komponen, pemasaran, dan aftersales services. Struktur industri KBM R-4 dan KBM R-2 dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 1. Struktur Industri KBM Roda 4 Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 44

Gambar 2. Struktur Industri KBM Roda-2 2) Permasalahan a) Ketergantungan teknologi proses dan teknologi produk yang masih tinggi kepada prinsipal atau pemilik teknologi di luar negeri b) Ketergantungan bahan baku/komponen impor terutama alat transmisi dan mesin masih tinggi c) Infrastruktur teknologi pendukung (sertifikasi, laboratorium uji komponen, dll) masih belum memadai d) Lemahnya hubungan antara lembaga Litbang dengan Perusahaan Industri e) Tuntutan pasar semakin meningkat terutama yang berkaitan dengan aspek keselamatan dan lingkungan 3) Langkah-langkah Yang Telah Dilakukan a) Membangun pusat R&D pengembangan kendaraan bermotor dan komponennya b) Meningkatkan kerjasama industri otomotif, industri bahan baku dan perguruan tinggi c) Meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga uji yang bertaraf internasional dengan memberikan bantuan peralatan uji d) Meningkatkan kerjasama industri dengan industri kendaraan bermotor utama di dunia e) Memanfaatkan jaringan pemasaran global bagi produk komponen kendaraan bermotor f) Melakukan akselerasi peningkatan kapasitas produksi dengan melakukan kegiatan pengembangan LCGC (Low Cost Green Car) dan LCE (Low Carbon Emission) Laporan Perkembangan Program Kerja Kementerian Perindustrian 2004-2012 45