STRUKTUR SEMANTIS VERBA TINDAKAN BAHASA INDONESIA. Drs. MULYADI. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Univrsitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba, verba

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa sistem

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam mata

KATA MENANGIS : BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Kumairoh. Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Dipnegoro. Abstrak

ABSTRAK MAKNA IDIOM BAHASA JEPANG: KAJIAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

ABSTRAK STRUKTUR DAN PERAN SEMANTIS VERBA MENYENTUH BAHASA BALI: KAJIAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI (MSA)

BAB I PENDAHULUAN. Toba. Bahasa Batak Toba sebagai bahasa ibu sekaligus bahasa sehari-hari sering

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. tersebut perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA. Allan, Keith Natural Language Semantics. Massachusetts: Blackwell.

3. Menambah referensi dalam penelitian lainnya yang sejenis.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. semantis, kategorisasi, makna, dan kebudayaan. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah mempelajari kembali temuan penelitian terdahulu atau

Irma Setiawan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram Pos-el:

STRUKTUR SEMANTIS VERBA UJARAN BAHASA SIMALUNGUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kategori kata dalam kajian gramatik bahasa Indonesia tidak. pernah lepas dari pembicaraan. Begitu kompleks dan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

STRUKTUR SEMANTIK Verba PROSES TIPE KEJADIAN Bahasa Jawa : KaJIAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. benar. Ini ditujukan agar pembaca dapat memahami dan menyerap isi tulisan

STRUKTUR SEMANTIK PRONOMINA PERSONA DALAM SISTEM SAPAAN BAHASA BALI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kategori leksikal, komplemen, keterangan, spesifier, dan kaidah struktur frasa.

16, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 Pada dasarnya, secara semantik, proses dalam klausa mencakup hal-hal berikut: proses itu sendiri; partisipan yang

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial budaya masyarakat pemakainya (periksa Kartini et al., 1982:1).

APLIKASI TEORI METABAHASA MAKNA ALAMI DALAM KAJIAN MAKNA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah metafora sudah muncul dari hasil interpretasi terhadap Kejadian di

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, dan arti atau makna yang tersirat dalam rangkaian bunyi tadi. Bunyi itu

NOMINA DAN PENATAANNYA DALAM SISTEM TATA BAHASA INDONESIA

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

RELEVANSI LFS DALAM ANALISIS BAHASA

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan-kebijakan tersebut. Di awal kemerdekaan republik ini, dunia pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pula melalui bahasa, menurut Poerwadarmita (1985; 5), bahasa adalah alat

BAB I PENDAHULUAN. segala bentuk gagasan, ide, tujuan, maupun hasil pemikiran seseorang kepada orang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSATAKA. frasa pemerlengkap. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk menghindari

BAB V PENUTUP. sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana

2016 PEMEROLEHAN KALIMAT PASIF BAHASA SUND A PAD A ANAK USIA PRASEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. Surat kabar atau dapat disebut koran merupakan lembaran-lembaran kertas

Berbahasa Dengan Logika Oleh : Drs. Trismanto, M.Pd. Fakultas Bahasa dan Budaya Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KATEGORI DAN PERAN SEMANTIS VERBA DALAM BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan komunikasi, baik

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian

Diajukan Oleh: ALI MAHMUDI A

Penggunaan bahasa. Tujuan pembelajaran:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak terlepas dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya metafora adalah suatu bentuk kekreatifan makna dalam

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berbahasa erat hubungannya dengan kemampuan berpikir.

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, menyatakan makna yang lengkap dan mengungkapkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat komunikasi secara tidak langsung yakni dalam bentuk tulisan. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Bali merupakan bahasa daerah yang masih hidup karena masih

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan tugas-tugas tersebut. Tetapi kalau memahami masalah-masalah

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang

PERILAKU KETERPILAHAN (SPLIT-S) BAHASA INDONESIA. Oleh F.X. Sawardi

BAB V PENUTUP. fungsi verba frasal berpartikel off. Analisis verba frasal berpartikel off pada tesis ini

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas Maret Surakarta

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sebab kalimat tanya tidak pernah lepas dari penggunaan bahasa sehari-hari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. penggunaan gaya bahasa kiasan metafora yang disampaikan melalui ungkapanungkapan

METODOLOGI PENELITIAN. kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong.

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA

BAB II SEMIOTIK. A. Sistem Kerja Semiotik dalam Penelitian ini

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat

Transkripsi:

STRUKTUR SEMANTIS VERBA TINDAKAN BAHASA INDONESIA Drs. MULYADI Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Univrsitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa memiliki ribuan kosakata yang dapat diklasifikasikan ke dalam sejumlah kategori atau kelas gramatikal. Anggota dari setiap kategori biasanya diberi nama yang sama karena adanya persamaan perilaku semantis, yang merefleksikan makna secara umum. Kategori nomina, misalnya, digunakan untuk mengacu pada benda, manusia, binatang, dan abstraksi yang berupa konsep atau pengertian kategori verba dipakai untuk merujuk pada tindakan atau perbuatan, proses, dan keadaani kategori adjektiva untuk menerangkan sifat atau keadaan manusia, binatang, atau benda dan lain-lain. Dalam bahasa Indonesia kategori nomina direalisasikan pada kata kekerabatan (mis. bapak, adik, paman), profesi (mis.dosen, perawat, pedagang), binatang (mis. singa, beruang, kucing), benda-benda (mis. matahari, bukit, air). Kategori adjektiva direpresentasikan pada kata warna (mis. merah, biru, kuning), ukuran (mis. besar, luas, pendek), perasaan (mis. benci, cemburu, senang). Kategori verba dimanifestasikan pada tindakan (mis. mandi, menjumpai, berlari), proses (mis. menyukai, tumbuh, pecah), dan keadaan (mis. tinggal, terlambat, bergetar). Di antara pelbagai kategori gramatikal tersebut, verba bahasa Indonesia secara semantis lebih sulit ditentukan. Ini dikarenakan batas di antara ketiga tipe itu tidak terlalu jelas. Secara umum mekanisme yang dilakukan untuk membedakannya adalah dengan menggunakan dua parameter, yaitu mengajukan pertanyaan pada subjek atau mengujinya melalui konstruksi imperatif dan duratif (periksa Tampubolon, 1979:22-28, 1988:14). Pengelompokan verba bahasa Indonesia ke dalam tiga tipe sebenarnya belum menggambarkan karakteristik semantis dari sejumlah hiponimnya. Fakta bahwa perilaku sintaktis seluruh verba sama, yakni dapat menempati fungsi predikat dalam sebuah konstruksi sintaktis, bukanlah sebuah indikasi bahwa kata mandi, menjumpai, berlari, dan melihat, yang digolongkan ke dalam satu tipe, memiliki 'makna asali' (padanan semantic primitives dari Wierzbicka, 1996) yang sama. Apa persamaan makna antara 'orang yang membersihkan tubuhnya dengan air', 'keinginan seseorang untuk bertemu dengan orang lain', 'seseorang yang berjalan dengan kencang', dan 'mata seseorang yang menerima impresi indrawi dari sesuatu? Kendala semantis yang sama juga terlihat di dalam pendeskripsian makna verba bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), misalnya, makna verba dideskripsikan secara "berputar-putar". Seperti sebuah lingkaran, jika makna sebuah kata dimulai dari titik A, maknanya akan berakhir pula di titik tersebut. Ini terjadi karena tidak adanya spesifikasimakna yang dimiliki sebuah kata 2003 Digitized by USU digital library 1

untuk membedakannya dengan makna kata-kata lain. Misalnya, kata bergerak bermakna 'berpindah', kata berpindah berarti 'beralih' atau 'beranjak', dan kata beralih dan beranjak juga bermakna 'berpindah'. Lalu, di mana batas yang dapat membedakan semua kata itu? Menurut Dixon (1989:93), kategori verba tidak menunjukkan tingkat persamaan semantis dibandingkan dengan nomina. Alasannya, kategori nomina, seperti manusia, hewan, dan benda, dapat disentuh dan dideskripsikan meskipun ada proporsi kecil yang berupa nomina abstrak. Dengan mengabaikan kategorisasi, Robins (1992:75) bahkan mengatakan bahwa mungkin tidak ada dua kata dengan makna yang persis sarna dalam semua kalimat yang dapat dimasuki oleh kata-kata tersebut. Fungsi semantis atau makna setiap kata haruslah dideskripsikan secara terpisah. Pada dua kasus di atas jelas bahwa verbanya melibatkan sejumlah gerakan atau tindakan. Namun, apakah elemen makna yang sama-sama dimiliki verba itu? Atau, apakah 'makna asali'-nya? Wierzbicka (1996:10-13) berpendapat bahwa elemen yang digunakan untuk membatasi makna kata tidak bisa didefinisikan oleh kata-kata itu sendiri. Elemennya harus diterima sebagai 'makna asali'. Untuk menemukan 'makna asali' dari sebuah kata, Wierzbicka menawarkan sebuah alternatif, yakni dengan melakukan analisis yang mendalam dari setiap bahasa alamiah, bahasa yang digunakan secara wajar dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Wierzbicka, identifikasi 'makna asali' melalui mekanisme ini dianggap akan cocok karena makna tersebut merupakan ekspresi yang berhubungan dengan konsep kemanusiaan yang mendasar. Artinya, 'makna asali' adalah fitur yang inheren dalam diri manusia atau bagian dari anugerah genetis manusia, yang tidak akan berubah meskipun kebudayaan manusia semakin berkembang sejalan dengan kemajuan pemikirannya. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menduga bahwa makna itu berbeda pada setiap bahasa. Gagasan Wierzbicka adalah bagian dari teori 'makna alamiah metabahasa' (Natural Semantic Metalanguage (NSM) Theory; selanjutnya akan disingkat teori NSM). Teori ini adalah teori mutakhir tentang analisis makna, sebuah teori yang menyatukan tradisi filsafat dan logika dalam kajian makna dengan ancangan tipologi untuk kajian bahasa. Pelopor teori ini, Anna Wierzbicka (1996:11), percaya bahwa tanpa perangkat 'makna asali' semua deskripsi makna secara aktual atau secara potensial akan menjadi berputar-putar (circular). Di Indonesia, sejauh yang diketahui, belum pernah ada upaya untuk mengaplikasikan teori NSM dalam analisis makna, khususnya makna verba (tindakan) bahasa Indonesia. Boleh dikatakan bahwa analisis semantis terhadap verba masih dilakukan secara terbatas (salah satu ancangan semantis terhadap verba; lihat Tampubolon, 1979). Bahkan, dalam dimensi yang lebih luas, perihal analisis semantis pun masih menempati posisi marginal dibandingkan dengan disiplin ilmu lain dalam peta kajian kebahasaan di negeri ini. pengaruh Bloomfield, linguis yang mengabaikan pertimbangan semantis dalam analisis bahasanya, tampaknya begitu kuat berakar dalam pikiran para linguis Indonesia. Sebagai akibatnya, di samping masih terbatasnya literatur semantik, banyak persoalan semantis belum terpecahkan sampai sekarang ini. 2003 Digitized by USU digital library 2

1.2 Masalah Dari uraian di atas terlihat bahwa makna verba (tindakan) bahasa Indonesia belum dideskripsikan dengan tepat. Untuk mendeskripsikan maknanya perlu diketahui struktur semantisnya. Jadi, masalah dalam kajian ini dapat dirumuskan dalam formulasi interogativa sebagai berikut : bagaimanakah struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia? Asumsi yang mendasari pertanyaan ini ialah jika relasi antara bentuk dan makna berkorespondensi satu lawan satu tentunya setiap verba tindakan mempunyai struktur semantis yang berbeda. 1.3 Ruang Lingkup Untuk mengeksplikasi makna semua verba tindakan dalam usaha menemukan struktur semantisnya bukanlah hal yang mudah. Disadari benar bahwa banyak kendala teknis yang akan dihadapi. Atas dasar itu, lingkup kajian dibatasi pacta enam verba, yaitu menangkap, menendang, membeli, menangis, pergi, dan bertemu. Semua verba ini kendatipun dipilih secara acak tetap didasarkan pacta perbedaan morfologis dan perilakunya pada konstruksi sintaktis. Kemudian, karena perilaku verba dalam konstruksi gramatikal mempunyai kemungkinan makna yang sangat luas, makna yang dieksplikasi di sini terbatas pada makna denotasi sebab makna ini lebih mudah untuk dipostulasikan. 1.4 Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menunjukkan bagaimana aplikasi teori NSM dalam menganalisis makna sebuah kata. Dengan perkataan lain, akan ditunjukkan bagaimana mekanisme kerja teori ini dalam mengeksplorasi makna sebuah kata, yang bersumber dari bahasa alamiah. Secara khusus, tujuannya ialah (1) mengetahui 'makna asali' verba tindakan bahasa Indonesia dan (2) memetakan struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia. 1.5 Metode Sumber data utama kajian ini diperoleh dari bahan tertulis, seperti majalah, surat kabar, buku, dan lain-lain, yang dijaring dengan teknik catat. Sumber data utama ini akan dilengkapi pula dengan beberapa orang informan, yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu, seperti dewasa (berusia di atas 30 tahun), sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia dengan baik, dan sanggup menjadi informan yang responsif. Guna informan dalam telaah ini terutama untuk pengecekan data yang Lmenimbulkan keraguan. Selain itu, kalau data yang diperlukan tidak ditemukan pada sumber data, peneliti akan berperan juga sebagai sumber data. Dalam hal ini data yang diperlukan akan dibangkitkan secara intuitif dan kemudian diuji keberterimaan atau ketakberterimaannya kepada informan. Apabila informan tidak sependapat dengan keberterimaan bentuk kalimat tertentu, bentuk itu akan ditandai dengan tanda asterisk (*) yang diletakkan pada awal kalimat. selanjutnya, jika bentuk tertentu diragukan keberterimaannya, baik menurut intuisi peneliti maupun menurut penilaian informan, bentuk tersebut akan ditandai dengan tanda tanya (?) yang diletakkan pada awal bentuk tersebut. Untuk menjaring data penelitian akan digunakan dua metode, yakni metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1993:133-140). penggunaan kedua metode ini berdasarkan kebutuhan untuk mendapatkan data selengkap-lengkapnya, yang diharapkan dapat merefleksikan aneka tipe pemakaian verba tindakan bahasa 2003 Digitized by USU digital library 3

Indonesia dalam segala konteksnya. Dengan contoh yang melimpah dan membandingkannya dengan bentuk-bentuk lain barulah makna dapat ditentukan (Samarin, 1988:292). Data yang tersedia kemudian dikelompokkan berdasarkan persamaan karakter semantisnya. Sesudah itu, seluruh data dianalisis dengan metode agih (periksa Sudaryanto, 1993:15). Makna verba akan ditentukan dari relasinya pada sebuah konstruksi sintaktis. Dalam hal ini, intuisi peneliti berperan dalam menguji keberterimaan maknanya. Untuk mencari makna yang tepat, konstruksi tersebut akan dites melalui teknik substitusi, teknik ekspansi, teknik sisip, dan teknik ekspansi, teknik sisip, dan teknik parafrase. Harus dicatat bahwa penggunaan teknik parafrase dalam makalah ini mengacu pad mekanisme Wierzbicka (1996). Seluruh perangkat maka asali' yang diusulkan Wierzbicka akan diadopsi dan kemudian dimodifikasi sesuai dengan profil bahasa ndonesia. Ini penting dikemukakan sebab belum tentu semua makna asali' itu sesuai dengan karakter semantis bahasa ndonesia. Melalui teknik ini diharapkan struktur semantis verba tindakan dapat ditemukan. Dalam menyajikan basil kajian biasanya digunakan dua metode, yakni metode formal dan metode informal. Metode formal dapat diartikan sebagai penyajian basil kajian dengan menggunakan tanda-tanda dan lambang-lambang, seperti tanda tambah, tanda panah, tanda kurung kurawal, tanda kurung siku, dan sebagainya. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, termasuk terminologi yang bersifat teknis. Untuk menyampaikan hasil kajian dalam penelitian ini akan dimanfaatkan kedua metode tersebut. Adapun teknik yang dipakai ialah dengan memakai berbagai notasi seperti disebutkan di atas dan diagram lainnya. 2.1 Beberapa Konsep BAB II BEBERAPA KONSEP DAN KERANGKA TEORI 2.1.1 Verba Tindakan Secara tradisional verba dibatasi sebagai kategori gramatikal yang merepresentasikan suatu tindakan dalam kalimat (Frawley, 1992:140). Batasan ini dianggap kurang tepat sebab dalam kenyataannya tidak semua verba merefleksikan tindakan. Hopper dan Thompson (1984, 1985; dalam Frawley, 1992:64) mencoba mendefinisikan kategori verba dalam konteks wacana. Disebutkannya bahwa tujuan wacana adalah melaporkan peristiwa yang terjadi pada partisipan, dengan verba mengenkodekan peristiwa dan nomina dengan partisipan. Apa yang dimaksud dengan peristiwa di sini ialah sebuah abstraksi yang dibentuk oleh entitas yang dinyatakan oleh argumen dan predikat (Leech, 1981:313). Untuk membatasi ranah fenomena semantis yang menyangkut peristiwa, Frawley (1992:145) menggolongkan empat tipe peristiwa (yang secara tipikal verba), yaitu tindakan, keadaan, sebab, dan gerakan (band. Leech, 1981:210; Vendler, 1967 dan Dowty, 1979 dalam Foley dan Van Valin, 1984:36; Chafe, 1970 dalam Tampubolon, 1979:9). Lebih jauh, Frawley berpendapat bahwa tipe tindakan dan keadaan pada hakikatnya merefleksikan II perbedaan antara peristiwa aktif dan statif, yang secara konseptual berbeda dari segi struktur internalnya, lingkup peristiwanya, perubahan waktu dan kedinamisannya (Frawley, 1992:146-147). 2003 Digitized by USU digital library 4

Brown dan Miller (1994:300-301) menggolongkan verba tindakan atas verba inkoatif dan verba inkoatif-kausatif. Verba inkoatif mendeskripsikan sebuah entitas yang berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, sedangkan verba inkoatifkausatif menggambarkan suatu entitas yang bertindak pacta entitas yang lain sehingga menyebabkan terjadinya perubahan keadaan. Jelas bahwa penyebutan verba tindakan dalam kajian ini berkaitan dengan tipe verba yang ditentukan berdasarkan kriteria semantis. Pada verba ini entitas yang terlibat di dalamnya melakukan suatu tindakan. Bila ada dua entitas dalam verba tersebut berarti terjadi peralihan tindakan dari entitas yang satu ke pada entitas yang lain. Penentuan verba tindakan tampaknya tidak bisa hanya mengandalkan parameter semantis karena ada kemungkinan timbulnya perbedaan interpretasi di antara penutur suatu bahasa sesuai dengan intuisinya masing-masing. Oleh karena itu, dalam menentukan verba tindakan bahasa Indonesia digunakan dua parameter struktural, yakni (1) mengajukan pertanyaan : apa yang dilakukan oleh subjek dan (2) mengujinya melalui konstruksi imperatif dan duratif. Tes ini meskipun merupakan refleksi struktural masih tetap dimotivasi oleh fakta semantis (Frawley, 1992:149). 2.1.2 Struktur Semantis Kosakata dalam suatu bahasa memiliki sejumlah sistem leksikal yang masingmasing dapat dianalisis dengan memberikan komponen atau fitur semantis dalam sebuah struktur sintaktis. Dari pemberian komponen itu dapat dibentuk struktur semantisnya berdasarkan relasi semantis di antara unsur-unsurnya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa struktur semantis adalah jaringan relasi semantis di antara kata-kata di dalam sistem leksikal suatu bahasa (Lyons, 1995:59). Karena itu pula dikatakan bahwa setiap bahasa pasti memiliki struktur semantis. Pembentukan struktur sernantis berhubungan dengan komponen semantis dan komponen inilah pada dasarnya yang menentukan struktur lahir bahasa. Proses pembentukannya dianggap sebagai gambaran proses mental pengujar-pendengar sehingga prosesnya disebut bersifat universal (Tampubolon, 1979:5-6). Sejalan dengan itu, Weinreich (1966; dalam Allan, 1986:364) mengatakan bahwa struktur sintaktis merupakan pola untuk komponen semantis sehingga struktur semantis memiliki tipe kategori dan relasi sintaktis yang sama yang ditemukan dalam sintaksis bahasa alamiah. Secara lintas bahasa, apabila rnakna suatu bahasa berko respondensi satu lawan satu dengan rnakna bahasa lain, kedua bahasa itu secara semantis dianggap isomorfis atau memiliki struktur semantis yang sama. Namun, perlu disadari bahwa tingkat isomorfisme di antara bahasa-bahasa tidaklah sama. Ini dikarenakan struktur kosakata suatu bahasa merupakan refleksi dari kekhasan kebudayaan masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Oleh karenanya, semua makna yang terdapat dalam suatu bahasa menjadi unik bagi bahasa itu dan tidak berlaku atau berhubungan dengan bahasa-bahasa lain. Wierzbicka (1996 : 15-16) juga mengetengahkan bahwa dalam sebuah bahasa setiap elemen memiliki jaringan yang unik dan menduduki tempat khusus di dalam jaringan tersebut. Dengan membandingkan dua bahasa atau lebih, menurutnya, sukar ditemukan jaringan hubungan yang sama. Yang bisa diharapkan ialah ditemukannya perangkat makna asali yang berhubungan. 2003 Digitized by USU digital library 5

Selanjutnya, jika sebuah kata dibandingkan dengan kata lain, yang secara intuitif dirasakan berhubungan, akan dapat ditemukan makna kata yang sesungguhnya. Bahkan kalau perbandingannya dilakukan dengan tepat sehingga setiap elemen yang berbeda bisa diidentifikasi, ada dua kemungkinan yang akan dijumpai, yaitu (1) ditemukan kesimetrisan dan keteraturan dalam struktur semantisnya atau (2) ditemukan ketidakteraturan dari jaringan elemennya. 2.1.3. Peran Semantis Peran semantis ialah peran yang diberikan pada argumen predikat yang secara tipikal verba. Setakat ini, diantara linguis (lihat Foley dan Van Valin, 1985; Frawley, 1992; Haegeman, 1992) belum ada kesepakatan tentang berapa banyak label peran yang harus diberikan untuk menandai argumen verba (Haegeman, 1992:41). Masalah yang mendasarinya adalah bahwa penentuan peran semantis bukanlah tugas yang mudah (Frawley, 1992:201) sebab analisis yang dilakukan biasanya bersifat intuitif. Oleh sebab itu, terbuka kemungkinan untuk mengidentifikasi peran yang berbeda pada argumen yang sama. Dalam makalah ini konsep peran semantis yang digunakan mengikuti gagasan Foley dan Van Valin (1985), yang menawarkan label aktor (actor) dan pender ita (undergoer) untuk menerangkan relasi semantis antara predikat dan argumennya. Yang dimaksud dengan aktor adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang melakukan, mempengaruhi, atau mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikat, sedangkan penderita ialah argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak melakukan, mengawali, atau mengendalikan situasi, tetapi argumen itu dipengaruhi oleh aktor dengan berbagai cara (Foley dan Van Valin, 1985:29). Aktor dan pender ita adalah sebuah peran umum (macroroles) yang di dalamnya terlibat peran-peran yang lebih khusus, seperti agen, pasien, tema, lokatif, dan sebagainya. Boleh dikatakan bahwa aktor dan pender ita hanyalah, label abstrak yang perealisasiannya pada argumen akan memunculkan berbagai peran yang berbeda sesuai dengan ciri semantis predikatnya. Sebuah hierarki tematis diketengahkan Foley dan Van Valin untuk menerangkan seluruh peran yang kemungkinan terlibat dalam pemetaan argumen. Adapun hierarkinya adalah sebagai berikut : AKTOR : PENDERITA: pasien Agen pemengaruh (Effector) Lokatif Tema Dikatakan Foley dan Van Valin bahwa hierarki aktor dimulai dari atas ke bawah, sedangkan hierarki penderita dari bawah ke atas (lihat panah). Hal ini mengindikasikan bahwa pilihan pertama untuk aktor adalah agen sementara untuk penderita adalah pasien. Peran-peran lain terletak di antara kedua peran tersebut. 2.1.4 Komponen Semantis Komponen semantis secara sederhana dapat diartikan sebagai fitur yang dimiliki oleh sebuah unsur leksikal. Dalam analisis tradisional tesnya dinamakan analisis komponensial atau analisis makna suatu bentuk ke dalam komponen semantis. Frawley (1992:12) menyebut komponen ini sebagai properti semantis, yaitu satuan yang mendasari intuisi kita tentang makna harfiah dan yang 2003 Digitized by USU digital library 6

berhubungan dengan struktur gramatikal sebuah bahasa. Jadi, secara konseptual sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar dari kedua terminologi ini. Konsep komponen semantis yang akan diadopsi untuk menemukan struktur semantis verba tindakan bersumber dari gagasanhopper dan Thompson (1980). Ada sepuluh komponen yang diketengahkan oleh kedua linguis ini, yakni (1) partisipan, (2) kinesis, (3) aspek, (4) pungtualitas, (5) kesengajaan (volitionality), (6) afirmasi (affirmation), (7) modus (mode), (8) keagenan (agency), (9) keterpengaruhan objek (affectedness of object), dan (10) pengkhususan objek (individuation of object). Dari sepuluh komponen di atas, komponen yang umum dijumpai pada sebuah verba tindakan adalah komponen kinesis, aspek, kesengajaan, dan keagenan. Ini beralasan mengingat pada sebuah verba tindakan biasanya ada tindakan yang dialihkan dari satu partisipan ke partisipan yang lain (kinesis), tindakan itu sudah selesai dilakukan (aspek), agen melakukan tindakannya dengan sengaja (kesengajaan), dan sebagai akibatnya, tingkat keagenannya tinggi. Jadi, keempat komponen tersebut merupakan ciri universal dari sebuah verba tindakan. 2.2 Kerangka Teori Kajian ini mengggunakan teori NSM. Ada tiga alasan mengapa teori ini yang dipilih. Pertama, teori NSM dirancang dan digunakan untuk mengeksplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna ilokusi, maupun makna gramatikal. Teori ini tentunya dapat digunakan untuk mengeksplikasi makna sebuah verba. Kedua, pendukung teori NSM percaya pada prinsip bahwa kondisi alamiah sebuah bahasa adalah mempertahankan satu bentuk untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk. prinsip tersebut tidak hanya diterapkan pada konstruksi gramatikal, tetapi juga pada kata. Ketiga, dalam teori NSM eksplikasi makna dibingkai dalam sebuah metabahasa, yang bersumber dari bahasa alamiah. Eksplikasi tersebut dengan sendirinya dapat dipahami semua penutur asli bahasa yang bersangkutan. Dalam teori NSM terdapat sejumlah gagasan yang mendasar secara teoretis, tetapi yang relevan dalam makalah ini adalah gagasan 'makna asali' dan pola sintaksis universal. Yang dimaksud dengan 'makna asali' adalah seperangkat terbatas dari makna yang tidak dapat berubah (Goddard, 1994:8). Makna ini merupakan makna yang pertama sekali diketahui oleh manusia dalam kehidupannya sehingga fitur yang melekat dalam makna ini tidak akan berubah meskipun manusia menderivasikannya ke dalam makna-makna yang lain sejalan dengan kebutuhannya dalam berkomunikasi. Dengan perkataan lain, perkembangan kognisi manusia tidak berpengaruh pada 'makna asali' karena makna ini justru melekat secara permanen di dalam kognisi manusia. Oleh sebab itu, sangat beralasan hila Wierzbicka (1996:9) mengatakan bahwa kunci untuk berbicara tentang makna dengan teliti dan mendalam terletak pada gagasan 'makna asali'. Setiap bahasa memiliki 'makna asali'. Makna ini dapat ditemukan dengan mengeksplikasi makna kata dari bahasa yang alamiah. Jadi, bukan bahasa yang bersifat teknis, logis, dan simbol-simbol buatan lainnya sebab makna pada bahasa ini sering tidak jelas untuk dianalisis, kecuali makna-makna tersebut diterangkan dalam bahasa sehari-hari (periksa Goddard, 1996:23). Ekplikasi yang dilakukan haruslah meliputi makna kata-kata yang secara intuituif dirasakan berhubungan atau memiliki medan semantis yang sama. Makna kata dianalisis berdasarkan komponenkomponennya. Mekanisme yang tepat diyakini akan menghasilkan sejumlah 'makna asali' dari setiap bahasa. 2003 Digitized by USU digital library 7

Implikasi teoretis dari penemuan 'makna asali' adalah untuk menjelaskan semua makna yang kompleks. Artinya, dengan menggunakan 'makna asali', semua makna yang kompleks dapat diterangkan secara lebih sederhana tanpa perlu berputar-putar dan tanpa residu. Hal ini sangat dimungkinkan karena dalam 'makna asali' terdapat keteraturan. Boleh dikatakan bahwa dari keteraturan makna itulah sebenarnya berkembang makna-makna lain yang lebih kompleks, yang cenderung memperlihatkan ketidakteraturan. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa di dalam ketidakteraturan makna itu tidak ada keteraturan yang ditemukan. Tetap saja akan ada fitur makna yang tertinggal yang menunjukkan keteraturan. Jadi, sejauhmana pun perkembangan makna dari sebuah kata dan sejauhmana pun ketidakteraturan yang diperlihatkannya, makna kata tersebut tetap akan dapat ditentukan manakala 'makna asali'-nya dapat dideskripsikan. Itulah sebabnya mengapa Wierzbicka (1996:9-10) menolak pandangan dua peneliti terkemuka tentang bahasa anak, yaitu Lucia French dan Katherine Nelson, yang membatasi konsep jika sebagai implikasi. Menurut Wierzbicka, cara kedua peneliti tersebut, yangmenjelaskan kata sederhana jika melalui kata kompleks implikasi, sangat bertentangan dengan prinsip dasar analisis semantis. Dikatakan demikian, karena untuk memahami sebuah konsep yang kompleks, orang seharusnya terlebih dahulu memahami konsep yang lebih dasar sebab apa yang lebih dasar secara semantis tentunya lebih dapat dimengerti. Jadi, secara teoritis orang tidak akan mengerti konsep implikasi tanpa mengerti konsep yang lebih dasar, yaitu jika, dan bukan sebaliknya. Sebagai seorang ilmuwan yang paling produktif dan berwawasan luas dalam bidang kajian semantik, Wierzbicka (1996) telah menyelidiki sejumlah 'makna asali' dalam bahasa Inggris. Fase penyelidikannya berlangsung secara bertahap. Menurut Goddard (1996:24), mula-mula (1972) hanya empat belas elemen yang ditemukan Wierzbicka. Kemudian, pada tahun 1980 jumlah itu bertambah menjadi lima belas dan sejumlah elemen lain disebutnya sebagai calon yang mungkin untuk dimasukkan pada fase berikutnya. Temuan Wierzbicka yang terakhir berjumlah 55 elemen, seperti tampak di bawah ini (lihat Wierzbicka, 1996:vii-viiii Goddard, 1996:26). Substantives : I, YOU, SOMEONE/PERSON, PEOPLE, SOMETHING/THING Mental predicates : THINK, KNOW, WANT, FEEL, SEE, HEAR Speech : SAY, WORDS Actions, events, movement : DO, HAPPEN, MOVE Existence : THERE IS Life and death : LIVE, DIE Determiners : THIS, THE SAME, OTHER Quantifers : ONE, TWO, ALL, MANY/MUCH, SOME Evaluators, descriptors : GOOD, BAD, BIG, SMALL Time : WHEN/TIME, AFTER, BEFORE, A LONGTIME, A SHORT TIME, FOR SOME TIME Space : WHERE/PLACE, UNDER, ABOVE; FAR, NEAR, SIDE, INSIDE, ON Logical Concepts : IF, NOT, CAN, IF...WOULD, BECAUSE, MAYBE Intensifier, augmentor : VERY, MORE Taxonomy, partonomy : KIND OF, PART OF Similarity : LIKE 2003 Digitized by USU digital library 8

Wierzbicka mengklaim bahwa perangkat 'makna asali' di atas bersifat universal karena perangkat tersebut merupakan refleksi dari pikiran manusia yang mendasar betapapun tingkatan dan kadar kebudayaan yang dimiliki oleh setiap bangsa. Bertitik tolak dari klaim ini, maka jika dua bahasa atau lebih dibandingkan akan ditemukan padanan semantis yang sempurna di antara bahasa-bahasa tersebut. Misalnya, ka a big dan small dalam bahasa Inggris berpadanan dengan kata bol'soj dan malen'kij dalam bahasa Rusia. Dalam sistem 'makna asali' bahasa Inggris dan Rusia, kata-kata itu menempati slot yang sama. Pada akhir tahun 1980-an, perhatian Wierzbicka mulai mengarah pada aspek sintaksis dari sistem yang dikembangkannya (periksa Goddard, 1994:24). Wierzbicka mulai menekankan bahwa apa yang dicarinya bukan hanya leksikon-mini, melainkan sebuah bahasa mini (mini-language) yang lengkap untuk analisis semantis. 'Makna asali' yang terdiri atas butir-butir leks ikon seharusnya mempunyai pola sintaksis universal yang dapat dan harus ditentukan. Istilah 'makna alamiah metabahasa' diadopsi untuk merefleksikan hal ini. Dengan demikian, istilah 'makna alamiah metabahasa' yang digunakan dapat diartikan sebagai sebuah bahasa mini yang dibentuk oleh leksikon dan sintaksis yang bersumber dari bahasa alamiah. Karena bersumber dari bahasa alamiah, 'makna alamiah metabahasa' yang diderivasikan dari pelbagai bahasa akan memiliki kesamaan semantis sebagai realisasi dari pola sintaksisnya. Dari uraian di atas tampak bahwa pola sintaksis universal pada dasarnya adalah basil kombinasi dari butir-butir leksikon dari 'makna asali'. Dalam bingkai NSM, pola sintaktis itu terlihat sebagai sebuah bahasa mini yang isomorfis, yang dapat digunakan sebagai padanan yang sama pada setiap bahasa. Misalnya, jika makna kalimat bahasa Rusia dijelaskan dengan memberinya glos bahasa Inggris, tidak dapat dihindarkan bahwa maknanya akan berubah sebab ditentukan berdasarkan perspektif semantis yang inheren pada bahasa Inggris. Sebaliknya, jika sebagai pengganti glos bahasa Inggris itu disediakan sebuah glos dalam NSM bahasa Inggris, perubahan makna tidak diperlukan karena NSM bahasa Inggris akan sesuai dengan bahasa Rusia. Sebagai contoh, formula NSM bahasa Rusia ja xocu eto sdelat' secara semantis sesuai dengan formula NSM bahasa Inggris I want to do this. Kalimat yang dibentuk dari perangkat 'makna asali' menu rut kaidah sintaktis universal dalam teori NSM disebut sebagai kalimat kanonis (lihat Wierzbicka, 1996:30). Kalimat ini dapat digunakan untuk menguji validitas 'makna alamiah metabahasa'. Contoh lain dari pola sintaktis universal tersebut adalah : You did something bad. I know when it happened. I want to see this. These people didn't say anything about this. If you do this, I will do the same. This person can't move. BAB III STRUKTUR SEMANTIS VERBA TINDAKAN 3.1 Verba Menangkap Verba menangkap memerlukan dua argumen dalam konstruksi gramatikal, yang masing-masing dipetakan pada slot subjek dan objek. Fitur untuk argumen subjek berupa entitas bernyawa dan untuk argumen objek berupa entitas bernyawa atau tidak bernyawa. Sebuah konstruksi menjadi tidak berterima secara semantis 2003 Digitized by USU digital library 9

(selanjutnya akan diberi notasi asterisk [*]) kalau entitas tidak bernyawa dipetakan pada slot subjek. Misalnya, (1) Kiper itu menangkap bola. (*Bola menangkap kiper itu.) (2) Dia menangkap ikan dengan jala. (3) polisi menangkap para penjahat. Argumen subjek pada (1-3) mengekspresikan bahwa partisipannya melakukan suatu tindakan pada argumen objek. Partisipan ini disebut sebagai agen. Jika dicermati pengaruh tindakan agen pada argumen objek sangat berbeda. Bola pada (1), karena entitas tidak bernyawa, tidak mender ita akibat tindakan agen. Gagasan penderitaan hanya bisa dihubungkan dengan ikan pada (2) dan para penjahat pada (3). Oleh karena itu, struktur semantis tentatif yang dapat dipetakan dalam bingkai NSM adalah 'X melakukan sesuatu pada Y' dan bukan 'X melakukan sesuatu yang buruk pada Y'. Masalahnya adalah apakah tindakan agen itu dilakukan dengan sengaja atau tidak. Pada (1-3) di atas jelas bahwa inisiatif tindakan ada pada agen. Artinya, jika agen tidak melakukan sesuatu, tidak akan terjadi apa-apa. Ini dimungkinkan karena situasi berada dalam kendali agen. Pada (1), misalnya, 'kiper'-lah yang menginginkan situasi itu terjadi ('bola itu ditangkap'). Atas dasar itu, pemetaan 'makna asali'-nya adalah 'sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu'. Situasinya berbeda dengan argumen objek. Pada (1) tidak bisa kesan terpaksa diberikan pada bola sebab entitas tidak bernyawa tidak mempunyai keinginan. Sebaliknya, dalam bahasa alamiah, ikan pada (2) dan para penjahat pada (3) pasti tidak ingin dirinya ditangkap. Namun, karena situasi bukan dalam kendali ikan dan para penjahat, situasinya tetap terjadi. Jadi, tindakan agen bukan suatu kebetulan. Ini terbukti dengan menyisipkan frase dengan sengaja, konstruksinya berterima dalam bahasa Indonesia. Misalnya, (4) a. Kiper itu dengan sengaja menangkap bola. b. Nelayan itu dengan sengaja menangkap ikan dengan jala. c. polisi dengan sengaja menangkap para penjahat. Ditambahkan bahwa ciri semantis yang inheren pada verba ini ialah agen bertindak dengan tangan, bukan dengan kaki atau indera yang lain. Kalau ada spesifikasi makna biasanya diperlukan tambahan frase oblik sebagai ciri instrumen yang digunakan untuk melakukan tindakan tersebut; misalnya, dengan jala, dengan kail, seperti pada (2). Namun, bila tidak, konstruksi (2) akan tetap dipahami bahwa agen bertindak dengan tangan. Itu sebabnya, adanya frase dengan tangan pada (1) dan (3) menghasilkan konstruksi yang tidak gramatikal. Misalnya, (5) a. *Kiper itu menangkap bola dengan tangan. b. *polisi menangkap para penjahat dengan tangan. Namun, eksplikasi ini belum bisa membedakan verba menangkap dengan verba lain yang secara intuitif dirasakan berhubungan, seperti memegang, meraba, menggenggam, menyentuh, menjamah, memukul, mencubit, dan lain-lain. Semua verba tersebut mengisyaratkan bahwa tindakan agen juga dilakukan dengan tangan. Tentunya diperlukan eksplorasi lebih lanjut pada verba ini. 2003 Digitized by USU digital library 10

Yang segera tampak ialah agen bertindak setelah argumen objek (Y) bergerak. Hal ini tidak diimplikasikan oleh verba yang lain. Pada verba memegang, misalnya, yang secara semantis lebih erat hubungannya dengan verba menangkap, sukar berterima hila dikatakan bahwa argumen objek pada verba ini bergerak. Untuk membuktikan hal ini, cermati konstruksi (6a-b). (6) a. Kiper itu berhasil menangkap bola yang ditendang pemain lawan. b. *Kiper itu berhasil memegang bola yang ditendang pemain lawan. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa struktur semantis verba menangkap adalah : X melakukan sesuatu pada Y sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu setelah Y bergerak, X melakukan sesuatu dengan ini (tangan) X melakukan sesuatu seperti ini 3.2 Verba Menendang Verba menendang mensyaratkan dua argumen yang menempati slot subjek dan objek. Argumen subjek terdiri atas entitas bernyawa, sedangkan argumen objek terdiri atas entitas bernyawa atau tidak bernyawa. Kedua entitas bernyawa dapat dipertukarkan dalam sebuah konstruksi gramatikal, seperti (7) dan (8), tetapi akan menjadi anomali hila entitas tidak bernyawa menempati slot subjek. Misalnya, (7) Adik menendang kuda itu. (8) Kuda itu menendang adik. (9) Ayah menendang meja. (*Meja menendang ayah). Sama halnya dengan verba menangkap, pada verba ini argumen subjek mengekspresikan suatu tindakan pada argumen objek. Pengaruhnya pada argumen objek juga sangat berbeda karena pada slot objek ada dua tipe entitas, yakni bernyawa dan tidak bernyawa, sehingga tidak mungkin semua entitasnya menderita akibat tindakan agen. Jadi, pola sintaksis pertama dari verba ini ialah X melakukan sesuatu pada Y. Di samping itu, pada verba ini terealisasi gagasan kesengajaan. Tindakan agen bukanlah karena adanya kekuatan lain yang memaksanya melakukan perbuatan tersebut, melainkan benar-benar karena ia menginginkannya. Bahkan, dalam bertindak agen tidak sempat memikirkan atau merencanakan perbuatannya. Ini disebabkan kepungtualan verba ini. Artinya, pada verba menendang tidak ditemukan tahap transisi antara titik awal perbuatan dengan titik akhir perbuatan. Tindakannya berlangsung dengan cepat. Tes sintaktisnya ialah bila disisipkan frase dengan lambat, konstruksinya menjadi anomali. Misalnya, (10) a. *Adik dengan lambat menendang kuda itu. b. *Kuda itu dengan lambat menendang adik. c. *Ayah dengan lambat menendang meja. Mungkin ada yang tidak sependapat kalau verba menendang tidak dapat dikaitkan dengan ketidaksengajaan. Ini menyangkut intuisi, yang bisa berbeda antara satu penutur dengan penutur lain. Kendatipun begitu, intuisi yang dikemukakan tetap beralaskan argumentasi struktural. Cobalah pertimbangkan kembali konstruksi (7-9) di atas. pada konstruksi itu, kuda itu (7) dan adik (9), seperti sudah dijelaskan, menderita akibat tindakan agen. Makna yang tersirat pada verba ini selain tindakan agen berlangsung cepat, juga dilakukan dengan kuat. Oleh 2003 Digitized by USU digital library 11

sebab itu, sulit diterima bila tindakan agen yang membuat argumen objek menderita dikatakan tidak sengaja. Dengan argumentasi itu, penyisipan frase tidak sengaja akan menyebabkan konstruksi itu tidak gramatikal. (11) a. *Adik tidak sengaja menendang kuda itu. b. *Kuda itu tidak sengaja menendang adik. c. *Ayah tidak sengaja menendang meja. Dari eksplikasi yang dilakukan, eksponen leksikal yang perlu ditambahkan pada verba ini ialah 'sesuatu terjadi (seperti kuda itu ditendang) karena X menginginkan sesuatu'. Pemetaan di atas tetap belum memadai untuk mengidentifikasi makna verba ini. Gagasan yang lebih khusus adalah perbuatan agen dilakukan dengan kaki. Terbukti bahwa adanya tambahan frase dengan kaki, konstruksi di bawah ini tidak berterima dalam bahasa Indonesia. Misalnya, (12) a. *Adik menendang kuda itu dengan kaki. b. *Kuda itu menendang adik dengan kaki. c. *Ayah menendang meja dengan kaki. Lalu, apa perbedaan makna verba ini dengan menyepak? Dalam bahasa Indonesia makna kedua verba ini tidak berbeda. Kedua kata itu dapat bersubstituasi dalam konstruksi gramatikal tanpa memiliki nuansa semantis, seperti pada (13) berikut. (13) a. Amir menendang bola itu. b. Amir menyepak bola itu. Dari eksplikasi di atas dapat dipetakan struktur semantis verba menendang sebagai berikut : X melakukan sesuatu pada Y sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu X melakukan sesuatu dengan ini (kaki) X melakukan sesuatu seperti ini 3.3 Verba Membeli Verba membeli mempunyai dua slot untuk ditempati argumen subjek dan objek. Komponen pengisi slot subjek mesti bernyawa, sedangkan pada slot objek tidak bernyawa. Adanya fitur ini tidak mengizinkan kedua argumennya dipertukarkan. Misalnya, (14) a. Ibu membeli sepatu. b. *Sepatu membeli ibu. Selanjutnya, argumen subjek pada verba ini berperan sebagai agen sebab bertindak pada argumen objek. Namun, tindakan agen tidak berpengaruh apa-apa karena sepatu (14a) tidak mengalami perubahan bentuk atau wujud setelah dikenai tindakan. Dalam kerangka NSM, eksplikasi ini menghasilkan pola sintaksis 'X melakukan sesuatu pada Y'. Properti yang lain ialah agen bertindak dengan sengaja. Gagasan ini relevan pula dengan ketidakpungtualan verba membeli. Di sini ada rentang waktu sebelum terjadinya peristiwa yang memungkinkan agen untuk memikirkan atau merencanakan tindakannya. Lagi pula, verba ini mengimplikasikan bahwa tindakan 2003 Digitized by USU digital library 12

agen terjadi di suatu tempat, yang menuntut adanya partisipan lain sebagai penjual. Dengan kata lain, agen hanya bisa membeli sepatu kalau ada seseorang yang menjualnya. Dalam situasi demikian, agenlah yang mendatangi tempat itu untuk melakukan perbuatannya sehingga komponen kesengajaan inheren pada verba ini. Mungkin saja penjual yang rnendatangi agen. Tetapi, ini bukan situasi yang alamiah. Lagi pula, apa yang diekspresikan oleh verba ini pada kenyataannya berada dalarn kendali agen. peristiwanya tidak akan terjadi kalau agen tidak rnenginginkannya. Inilah bukti lain rnengapa komponen kesengajaan bergayut dengan verba ini. Perhatikan konstruksi berikut ini. (15) a. Ibu dengan sengaja membeli sepatu. b. *Ibu tidak sengaja membeli sepatu. Eksplikasi di atas memungkinkan hadirnya makna asali dalam pola sintaksis seperti 'sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu' dan 'X melakukan sesuatu di tempat ini'. Eksplikasi ini belum tuntas. Ada properti lain yang perlu dipetakan agar verba ini berbeda dengan verba lain yang memiliki medan semantis yang sama (misalnya, membayar). Properti ini menyangkut karakteristik argumen objeknya. Pada verba membeli, fitur untuk argumen objek haruslah benda konkret, seperti rumah, baju, mobil, sepeda, dan sebagainya, sedangkan pada verba membayar bisa berupa benda abstrak. Karena itu, dalam bahasa alamiah penutur dapat mengatakan (16a), tetapi tidak (16b). (16) a. Ibu membayar utang. b. *Ibu membeli utang Eksplikasi yang terakhir mengindikasikan bahwa argumen Dbjek pada verba membeli menuntut adanya perpindahan benda yang dibeli sementara pada verba membayar hal itu tidak mutlak. Dengan perkataan lain, pada verba membeli, setelah agen (X) melakukan sesuatu (membeli sepatu), sesuatu itu (sepatu) berpindah pada agen. Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa struktur semantis verba membeli sebagai berikut : X melakukan sesuatu pada Y sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu setelah X melakukan sesuatu di tempat ini sesuatu berpindah pada X X melakukan sesuatu seperti ini 3.4 Verba Menangis Verba menangis pada struktur sintaktis hanya membutuhkan satu argumen yang menempati slot subjek. ciri semantisnya berupa entitas bernyawa dan insan dan tidak berterima bila slotnya diisi oleh entitas tidak bernyawa dan bukan insan, seperti pada (18). Misalnya, (17) Butet menangis. (18) a. *Kucing itu menangis. b. *Gunung itu menangis. Pada (17) argumen subjek bukanlah pengendali situasi. Mengikuti Voley dan Van Valin (1985), argumen ini berperan sebagai pasien. Situasinya tetap akan terjadi meskipun pasien tidak menginginkannya. Ini dimungkinkan sebab tindakan pasien 2003 Digitized by USU digital library 13

bukanlah suatu situasi yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu rangkaian peristiwa dari tindakan atau keadaan argumen lain yang bersifat implisit. Hal ini sejalan pula dengan prinsip pengendalian Givon (1975:63), yang mengatakan bahwa suatu peristiwa yang subjeknya tidak memiliki pengendali, peristiwa yang terjadi mungkin akibat suatu tindakan atau keadaan. Tes sintaktisnya bisa diuji melalui operasi kausatif, seperti pacta (19) dan (20) di bawah ini. (19) Dia menangiskan Butet. (20) a. Kematian ayahnya menyebabkan Butet menangis. b. Butet menangis karena ayahnya mati. Dari konstruksi di atas terlihat bahwa argumen dia (19) merupakan penyebab (causer) sehingga pasien melakukan tindakannya. Demikian pula, argumen kematian ayahnya atau ayahnya mati pada (20) yang digolongkan sebagai keadaan. Dari dua konstruksi itu lebih alamiah bila penyebab dari tindakan pasien adalah suatu keadaan dan bukan suatu tindakan. Artinya, pada (17) 'tindakan Butet' lebih disebabkan oleh suatu keadaan tertentu (20) dan bukan oleh tindakan tertentu (19). Pandangan ini mungkin kontroversial, tetapi pertimbangkan argumentasi berikut. Menangis bukanlah tindakan yang bersifat habitual, melainkan insidental. Dalam bahasa alamiah tindakan ini dilakukan oleh seseorang bila dia mengalami kesedihan atau kekecewaan. Sebagai ekspresi dari perasaan itulah perbuatan ini dilakukan. Oleh karenanya, perangkat 'makna asali' yang terlibat lebih tepat kalau dibentuk dalam pola sintaksis berikut : 'sesuatu terjadi karena X merasakan sesuatu yang buruk' dan bukan 'sesuatu terjadi karena Y (seseorang) melakukan sesuatu yang buruk'. Perbuatan menangis pada hakikatnya dilakukan pasien secara terpaksa. Secara normal tidak akan ada orang yang ingin melakukan tindakan ini. Namun, karena pasien tidak mampu melakukan suatu tindakan untuk mengatasi situasi yang dialaminya, ia terpaksa juga melakukannya. Pada konteks tertentu memang mungkin saja orang menangis karena keinginannyai misalnya, bila orang itu melakukannya dengan maksud-maksud tertentu. Namun, perlu diingat bahwa situasi yang dibicarakan di sini adalah situasi alamiah. Oleh sebab itu, konstruksi (21) tidak akan berterima dalam bahasa Indonesia. (21) *Butet dengan sengaja menangis. Jadi, struktur semantis verba menangis dapat dikemukan sebagai berikut : X melakukan sesuatu Sesuatu terjadi karena X merasakan sesuatu yang buruk X tidak menginginkan ini terjadi tetapi X tidak dapat melakukan apa pun karena ini, X melakukan sesuatu X melakukan sesuatu seperti ini 3.5 Verba Pergi Verba pergi mewajibkan hadirnya satu argumen pada slot jek dengan komponen semantis bernyawa dan insane Bila lentitas tidak bernyawa dan tidak insan ditempatkan pada slot subjek, yang dihasilkan adalah konstruksi anomali, seperti pada (23). (22) Nenek pergi. (23) a. *Kucing itu pergi. b. *Kursi pergi. 2003 Digitized by USU digital library 14

Pada (22) argumennya berperan sebagai agen. Di sini tidak ada perasaan terpaksa bagi agen dalam bertindak. Agen menginginkan situasinya terjadi. Ini berarti komponen kesengajaan sangat relevan pada verba ini. Perhatikan konstruksi (24) berikut. (24) a. Nenek dengan sengaja pergi. b. *Nenek tidak sengaja pergi. Melalui eksplikasi ini, pola sintaksis yang dapat dibuat ialah 'X (nenek) melakukan sesuatu' dan 'sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu' Gagasan khusus pada verba ini ialah tindakan agen melibatkan sebuah gerakan. Secara implisit agen berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, gaga san ini belum dapat mernbedakan verba pergi dengan verba lain yang dirasakan berhubungan, seperti berjalan, berlari, berangkat, dan datang. Semua kata ini juga melibatkan gerakan. Oleh karena itu, diperlukan eksplikasi lebih jauh sehingga terlihat karakteristik semantis dari verba pergi. Verba pergi tergolong verba yang telis. Tindakan agen pada (22) sudah selesai dilakukan. Dengan menggunakan komponen aspek pada semua verba tersebut, perhatikan konstruksi berikut ini. (25) a. Nenek sudah pergi. b. *Nenek sudah berjalan. c. *Nenek sudah berlari. d. Nenek sudah berangkat. e. Nenek sudah datang. Pada (25) verba pergi, berangkat, dan datang sama-sama tergolong verba telis. Bagaimana ketiga verba ini dibedakan? Sekarang cermati konstruksi berikut. (26) a. Nenek pergi ke Bandung dengan mobile b. Nenek berangkat ke Bandung dengan mobile c. Nenek datang ke Bandung dengan mobile (27) a. Nenek pergi ke kamar mandi. b. *Nenek berangkat ke kamar mandi. c. *Nenek datang ke kamar mandi. Ada dua hal yang bisa dirumuskan dari konstruksi (26-27). Pertama, pada verba pergi, agen dapat bergerak ke tempat dekat atau ke tempat yang jauh, sedangkan pada verba berangkat agen hanya bisa berpindah ke tempat yang jauh. Kedua, bertitik tolak dari posisi agen, pada verba pergi agen bergerak menjauhi posisinya atau bergerak ke luar (outer), sedangkan pada verba datang agen bergerak mendekati posisinya atau bergerak masuk (inner). Agar lebih jelas, perhatikan skema di bawah ini. pergi A B datang Lebih jauh, verba pergi, berangkat, dan datang tidak mengkhususkan tipe instrumen yang digunakan untuk bergerak. Berbeda halnya dengan verba berjalan dan berlari, yang diyakini bahwa penutur bahasa Indonesia secara intuitif pasti mengetahui bahwa tindakan agen dilakukan dengan kaki. 2003 Digitized by USU digital library 15

Berdasarkan eksplikasi di atas, struktur semantis verba pergi adalah : X melakukan sesuatu sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu X bergerak dari tempat yang dekat ke tempat yang jauh X melakukan sesuatu dengan ini (mobil, sepeda, kapal) X melakukan sesuatu seperti ini 3.6 Verba Bertemu Verba bertemu mensyaratkan dua argumen sebagai pilihan valensinya, yang diletakkan pada slot subjek dan komplemen. Ciri semantis argumennya bernyawa, seperti pada (28a) dan menjadi anomali jika entitasnya tidak bernyawa, seperti pada (28b). (28) a. Ali bertemu (dengan) Amir di pasar. b. *Kucing itu bertemu (dengan) tikus. Gagasan semantis pada verba ini ialah argumen subjek bertindak pada argumen komplemen. pada (28) Ali bertindak pada Amir, tetapi tindakan Ali tidak berpengaruh pada Amir. Tidak ada perubahan yang dialami Amir akibat tindakan Ali. Justru yang diisyaratkan adalah bahwa Amir melakukan tindakan yang sama pada Ali. Jadi, agen tidak mengendalikan situasi sebab tindakannya dilakukan secara tidak sengaja. Buktinya, dengan frase tidak sengaja, (29a) berterima, tetapi tidak (29b). (29) a. Ali tidak sengaja bertemu (dengan) Amir di pasar. b. *Ali dengan sengaja bertemu (dengan) Amir di pasar. Komponen lain yang terungkap ialah verba ini tergolong verba yang telisi artinya, tindakan agen sudah selesai dilakukan. Pemetaan komponen aspek direfleksikan pada (30a) dan tidak berterima pada (30b-c). (30) a. Ali sudah bertemu (dengan) Amir di pasar. b. *Ali belum bertemu (dengan) Amir di pasar. c. *Ali akan bertemu (dengan) Amir di pasar. Lebih khusus, pada verba ini agen dalam bertindak menggunakan mata dan bukan instrumen yang lain. Seseorang dikatakan bertemu dengan orang lain berarti setelah keduanya saling melihat, berhadapan muka, dan bahkan mungkin berbicara. Dalam bahasa alamiah, jika seseorang mengatakan bertemu dengan orang lain, maka tidak mungkin ia tidak melihatnya atau hanya melihatnya dari jauh. Oleh karena itu, penutur bahasa Indonesia akan menolak konstruksi (31a-b) karena dianggap tidak masuk akal. Misalnya, (31) a. *Ali bertemu (dengan) Amir, tetapi mereka tidak saling melihat. b. *Ali dari jauh bertemu (dengan) Amir. Properti lain yang tidak bisa dihilangkan adalah frase keterangan (tempat). Verba bertemu mensyaratkan di mana peristiwanya terjadi. Kalau seseorang memberitahukan pada temannya bahwa dia bertemu dengan orang lain, biasanya temannya pasti bertanya di mana pertemuan itu terjadi. Dari semua eksplikasi di atas, struktur semantis verba bertemu adalah : X melakukan sesuatu pada Y pada waktu itu, Y melakukan sesuatu yang sama sesuatu terjadi di tempat ini (pasar, taka) X dan Y melakukan sesuatu dengan ini (mata) X dan Y melakukan sesuatu seperti ini 2003 Digitized by USU digital library 16

BAB IV KESIMPULAN Kajian semantis terhadap verba tindakan bahasa Indonesia memperlihatkan beberapa implikasi yang menarik. Pertama, ada orelasi antara valensi verba tindakan dan komponen yang inheren pada verba tersebut, terutama pada eksponen pertama. Komponen untuk verba bervalensi satu ialah 'X melakukan sesuatu', sedangkan komponen untuk verba bervalensi dua adalah 'X melakukan sesuatu pada Y'. Kedua, struktur semantis verba tindakan tidak bersesuaian dengan tipe verbanya. Verba bervalensi dua, seperti menangkap, menendang, dan membeli dengan verba bervalensi satu, seperti pergi pada kenyataannya bertumpang tindih pada komponen kedua. Komponen yang dimaksud ialah 'sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu'. Ketiga, dari eksplikasi yang dilakukan terlihat bahwa struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia tidak memperlihatkan adanya keteraturan dalam jaringan elemennya. Karena kajian ini masih dilakukan secara terbatas, yakni hanya menggunakan enam verba sebagai sampel, kiranya diperlukan kajian yang lebih jauh pada seluruh verba tindakan bahasa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Allan, Keith. 1986. Linguistic Meaning. Vol. 1. London: Routledge & Kegan Paul. Brown, Keith dan Miller Jim. 1994. Syntax A Linguistic Introduction to Sentence structure. Edisi Kedua. London: Harper Collins Academic. Dixon, R.M.W. 1989. "Subject and Object in universal Grammar". Arnold D. (ed) Essays on Grammatical Theory and Universal Grammar, 91-118. Oxford: Claredon Press. Foley dan Van Valin Jr. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge university Press. Frawley, william. 1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Givon, Talmy. 1975. "Cause and control: On The Semantics of Interpersonal Manipulation", Kimball (ed.) syntax and Semantics, 4:59-89. New York: Academic Press. Goddard, Cliff. 1994. "Semantic Theory and Semantic universal", Goddard (ed.) cross-linguistic syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach). Amsterdam: Benjamins. -----------------.1996. Cross-Linguistic syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach). Amsterdam: Benjamins. Haegeman, Liliane. 1992. Introduction to Government and Binding Theory. Oxford: Blackwell. Hopper, Paul J. dan Sandra A Thompson. 1980. "Transivity in Grammar and Discourse, Language, Vol. 56, 251-299. Leech, Geoffrey. 1981. Semantics. England: Penguin Books. Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Samarin, william J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta : Kanisius. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University. Tampubolon, D.P., Abubakar, Sitorus, M. 1979. Tipe-Tipe Semantik Verba Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2003 Digitized by USU digital library 17