BAB V KESIMPULAN Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa topeng (meski sebagian tokoh mengenakan topeng, terminologi ini digunakan untuk membedakannya dengan wayang topeng) yang mengambil latar belakang cerita Ramayana atau Mahabarata dengan dialog yang dibawakan oleh penari, mengikuti pakem-pakem dramatik pada wayang kulit dan dipentaskan dengan filosofi dasar gerak tari klasik Gaya Yogyakarta. Pada dasarnya segala perubahan yang terjadi pada wayang wong secara keseluruhan dapat pula dipersempit kacamata pandangnya baik khusus untuk lakon Ramayana ataupun Mahabarata. Hal ini dikarenakan perbedaan keduanya amatlah tipis dan keduanya sama-sama merupakan bentuk drama tari klasik dengan pakem yang mengacu pada falsafah tari klasik Yogyakarta dan wayang kulit. Oleh karena itu pembahasan mengenai wayang wong dengan lakon Ramayana dengan beberapa batasan dapat dilakukan dengan menganalisis fenomena wayang wong secara keseluruhan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada wayang wong dari waktu ke waktu (masa pemerintahan HB VIII hingga kini) adalah refleksi keadaan sosial di masa tersebut. Bentuk pertunjukan wayang wong Ramayana yang kita saksikan sekarang adalah bentuknya yang telah menerima pengaruh dari budaya gegas, lugas, dan gebyar dari mentalitas global nan kekinian. Pariwisata membawa wayang wong yang sebelumnya bersifat sangat eksklusif karena hanya dipentaskan beberapa kali dalam kurun waktu sekian puluh tahun dan pada 94
95 kesempatan-kesempatan istimewa, kini dapat kita jumpai hampir setiap hari di banyak sudut tempat di Yogyakarta. Tourist arts atau pseudo-traditional art adalah langkah yang dapat diambil untuk mempertahankan eksistensi seni tradisi di masa kini. Keduanya adalah bentuk adaptif seni pertunjukan tradisi menghadapi budaya baru yang lebih gegas, praktis, dan gebyar. Tourist arts adalah langkah yang dapat diambil untuk mengangkat pamor dan mempertahankan eksistensi seni pada umumnya dan seni tari klasik Yogyakarta khususnya, meski harus dilakukan beberapa penyesuaian termasuk menghilangkan nilai sakral dari seni tersebut. Pada tahun 1981 kesenian wayang wong Yogyakarta direkonstruksi dengan banyak penyesuaian agar dapat diterima masyarakat pada saat itu. Pertunjukan pada tahun 1981 ini bertujuan untuk membangkitkan kesenian klasik Yogyakarta khususnya wayang wong setelah sempat mati suri sepeninggal Sri Sultan HB VIII. Pertunjukan wayang wong pada masa Sri Sultan HB VIII diakui dan sering digunakan sebagai rujukan mengenai bentuk wayang wong klasik Gaya Yogyakarta pada masa kini. Pada masa pra kemerdekaan pertunjukan wayang wong dapat mencerminkan situasi sosial pada masa itu dengan menunjukkan kentalnya hirarki kekuasaan dan kebangsawanan baik dalam prosesnya maupun pada saat pertunjukan berlangsung. Peran-peran istimewa seperti raja, pangeran, dewa, dan dewi hanya dapat dimainkan oleh Sultan dan kerabatnya atau bupati di bawahnya, sementara rakyat biasa hanya memperoleh peran sebagai binatang ataupun peranperan lain tanpa kontribusi signifikan. Pemilihan peran lebih didasarkan pada
96 fisik, status kebangsawanan, dan terakhir kemampuan menari. Sementara pada saat pertunjukan penegasan hirarki terlihat dari pemisahan ruang rias antara bangsawan dan rakyat jelata hingga posisi penonton, di mana Sultan duduk di atas pendapa diikuti oleh kerabat, pejabat pribumi dan Belanda, sementara rakyat berada di lingkaran terluar. Di masa kini hal ini dihilangkan dan semua penonton dan pemain dicampur tanpa ada pembedaan yang terlalu kentara. Hal ini tidak terjadi di masa kini. Nilai-nilai kebangsawanan dalam proses casting tidak lagi mendominasi meski tetap dipertimbangkan dalam kasus-kasus tertentu. Para penari memainkan peran sesuai dengan bentuk tubuh dan kemampuan olah tari masing-masing. Pemisahan-pemisahan berdasarkan strata sosial juga tidak lagi begitu kentara, terlihat bahwa hanya sebatas unggah-ungguh saja yang dipergunakan, alih-alih tindakan memisahkan ruang rias para penari. Sementara dari aspek penataan panggung, kini tidak lagi dijumpai penonton berada di atas panggung. Pendapa sebagai panggung adalah titik fokus penonton yang mengelilingi di bawahnya., atau pada arena-arena tertentu seperti di Candi Prambanan dan Taman Budaya Yogyakarta, para penonton diatur dalam tempat duduk berundak yang semakin kebelakang posisinya semakin tinggi layaknya teater arena. Usaha untuk merespon tuntutan pariwisata juga dilakukan dengan mempersingkat durasi dan meningkatkan kualitas efek audiovisual. Pemotongan durasi telah dilakukan sejak masa Pangeran Suryobrongto mendirikan Siswa Among Beksa dan mengadakan pertunjukan tahunan diikuti dengan sanggarsanggar lain. Dalam pertunjukan tahunan tersebut durasi wayang wong
97 dipersingkat hanya menjadi 2-3 jam. Hal ini menjadi pakem dalam pertunjukanpertunjukan wayang wong hingga kini. Perbaikan audiovisual dilakukan dengan menggunakan tata cahaya dan tata suara yang lebih mengesankan dan menambah efek dramatis pada cerita. Namun demikian upaya pemadatan pertunjukan wayang wong tidak dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Ada bagian-bagian yang memang tidak dapat dipersingkat ataupun dihilangkan dalam sebuah pertunjukan, seperti urutan gerakan penari yang tengah melakukan jejer. Sementara itu wayang wong dapat kembali terangkat popularitasnya salah satunya juga dikarenakan oleh peranan sendratari sebagai modifikasi dari bentuk wayang wong klasik. Keberhasilan sendratari diterima oleh masyarakat luas oleh karena faktor universalitasnya yang lebih tinggi daripada kesenian wayang wong klasik Yogyakarta. Di saat wayang wong klasik Yogyakarta menggunakan bahasa Kawi yang penuh dengan bunga bahasa dan sulit dimengerti oleh orang awam, sendratari menggunakan bahasa tubuh dan musik untuk berkomunikasi dengan penonton, sehingga sendratari mampu merangkul masyarakat dengan latar belakang kultur yang lebih beragam, seperti wisatawan dari luar daerah dan mancanegara. Salah satu pementasan sendratari yang dikenal luas saat ini adalah Ramayana Ballet Prambanan. Sendratari Ramayana Prambanan dibuat sedemikian rupa agar pesan Soekarno kepada rakyat Indonesia dan dunia tersampaikan dengan jelas. Selain tujuan ekonomi, penciptaan Sendratari Ramayana juga berperan sebagai alat legitimasi Soekarno bahwa dirinya adalah penguasa yang memiliki silsilah yang agung, dengan dimilikinya kesenian agung nan megah
98 yang telah ada sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum bangsa Indonesia dan kerajaan-kerajaan di nusantara yang masih eksis kala itu, berdiri, dan oleh karenanya kedudukan Soekarno berada di atas raja-raja nusantara. Ketika Sendratari Prambanan terbuka bagi siapa saja untuk menonton dan berpartisipasi dalam pementasan, maka putra-putri Sultan adalah simbol kehormatan keraton dan nilai kebangsawanan Jawa yang tidak dapat dibeli dengan uang, dan oleh karenanya tidak pernah berpentas di Prambanan. Terlepas dari segala pro kontranya, wayang wong dengan pengemasan yang lebih bercitarasa global mampu menarik perhatian penonton yang terkadang sulit mengerti isi pertunjukan wayang wong klasik. Selain itu juga dengan menjadi alat politik dan legitimasi Soekarno serta menjadi komoditas pariwisata, Wayang Wong Ramayana hingga kini masih eksis ditengah-tengah masyarakat meski nilai-nilai filosofis dan fungsinya telah berubah, tidak lagi menjadi media komunikasi relasi dan struktur sosial. Gerakan cinta tanah air dan budaya bangsa yang akhir-akhir ini meningkat juga membuat kesenian sebagai salah satu penanda identitas masyarakat ikut terangkat. Melalui beberapa penyesuaian yang masih berada dalam koridor, wayang wong baik dalam bentuk fragmen maupun lakon secara utuh hingga kini masih dipentaskan.