BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Meliza Faomasi Laoli, 2013 Nederlandsche Zendings Vereeniging Di Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Bandung, 1999, hlm 30

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dengan sengaja ditulis Calvinis, bukan Kalvinis, karena istilah ini berasal dari nama Johannes Calvin.

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. GPIB, 1995 p. 154 dst 4 Tata Gereja GPIB merupakan peraturan gereja, susunan (struktur) gereja atau sistem gereja yang ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1 M.M. Srisetyati Haryadi, PengantarAgronomi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, p

Dalam rangka mewujudkan kehidupan bergereja yang lebih baik, GKJ Krapyak mempunyai strategi pelayanan kemajelisan sebagai berikut :

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dr. Harun, Iman Kristen (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia), 2001, hlm

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Majelis Agung GKJW, Tata dan Pranata GKJW, Pranata tentang jabatan-jabatan khusu, Bab II-V, Malang,

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN

Bab I Pendahuluan. A. Permasalahan. A.1 Latar Belakang Masalah

DAFTAR PUSTAKA. Abdulah, T. (2006). Budaya Sunda Kini, Dulu dan Masa Depan. Bandung: Kencana Utama.

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk memperoleh data lapangan guna. penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

BAB V : KEPEMIMPINAN GEREJAWI

I.1. PERMASALAHAN I.1.1.

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk kepada anak-anak. Mandat ini memberikan tempat bagi anak-anak untuk

Bab I Pendahuluan UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW. Bab I Pendahuluan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I. PENDAHULUAN. Gereja adalah suatu kehidupan bersama religius yang dijalani oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian dalam bidang daya dan kemandirian dalam bidang dana. 1 Kemandirian dalam

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. 1.1.a Pengertian Emeritasi Secara Umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang Permasalahan. Gereja Kristen Protestan di Bali, yang dalam penulisan ini selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Oikumenikal dan Evangelikal.

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Handoyomarno Sir, Benih Yang Tumbuh 7, Gereja Kristen Jawi Wetan, Malang, 1976, hal.25

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82

BAB I. Pendahuluan UKDW. atas kemauannya sendiri. Namun, gereja dihadirkan oleh Allah untuk

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!.

BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN

Bab I PENDAHULUAN. Perubahan tersebut juga berimbas kepada Gereja. Menurut Tata Gereja GKJ, Gereja adalah

Bab I Pendahuluan. LASILING, pada tanggal 20 dan 21 September 2005.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang

BAB I PENDAHULUAN. bertemunya masyarakat yang beragama, yang disebut juga sebagai jemaat Allah. 1

PERATURAN BANUA NIHA KERISO PROTESTAN (BNKP) NOMOR 04/BPMS-BNKP/2008

BAB I PENDAHULUAN A. MASALAH. A.1. Latar belakang masalah

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang Kajian

Bab I Pendahuluan Bdk. Pranata Tentang Sakramen dalam Tata dan Pranata GKJW, (Malang: Majelis Agung GKJW, 1996), hlm.

Perkembangan Gereja Protestan di Indonesia berjalan seiring. dengan berbagai gejolak politik yang terjadi sejak pertama kali

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN. A.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Bab I PENDAHULUAN. Bdk Abun Sanda, Pemerintah Blum Adil Pada Rakyatnya Sendiri, Kompas, 14 Desember hl. 1 dan Bdk Sda

UKDW. BAB I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

@UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah Perbincangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan 1 akan tetap menjadi permasalahan yang menarik, serta senantiasa menjadi bahan yang relevan untuk diamati, dikaji dan diberi penilaian. Selama manusia mengenal dan menjalankan suatu organisasi, manusia akan terus berhubungan dengan topik kepemimpinan tersebut, karena berhasil atau tidaknya usaha pencapaian suatu tujuan organisasi, sangat ditentukan oleh kepemimpinan. 2 Organisasi yang dimaksud oleh penyusun di sini adalah suatu persekutuan dari sekelompok orang yang bergabung dan mengikatkan diri dalam satu wadah, guna melakukan tugas-tugas tertentu dalam suatu kegiatan kerjasama, dalam usaha mencapai tujuan yang telah digariskan. Di dalam kelompok yang disebut dengan organisasi, dibutuhkan atau terdapat pemimpin, yaitu pribadi tertentu (sekelompok orang) yang ditunjuk sebagai pemimpin untuk menjalankan segala kebijaksanaan organisasi. Di bawah wewenang sang pemimpin (para pemimpin), berbagai kegiatan organisasi diputuskan, dijalankan dan dikontrol. Tema sekitar pemimpin dan kepemimpinan menjadi menarik untuk diamati, dikaji dan diberi penilaian, terlebih apabila manusia menyadari akan dua hal penting yang terkait tentangnya. Pertama, mengenai adanya berbagai model struktur organisasi dan pola kepemimpinan. Kedua, seringnya terjadi penyimpangan dalam sistim kepemimpinan pada suatu organisasi, misalnya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan tersedianya berbagai model struktur organisasi dan pola kepemimpinan, maka setiap organisasi diperhadapkan pada pilihan-pilihan. Apakah organisasi tersebut akan menyerahkan wewenang kepemimpinan di tangan satu orang, atau kepada sekelompok orang? Akankah sebuah organisasi memakai pola kepemimpinan yang bersifat otoriter 1 Dalam karya tulis Ini, kata kepemimpinan dipakai dalam pengertian, suatu kemampuan dan ketrampilan dari seseorang (pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain (yang dipimpin), sehingga mereka berpikir. dan bertindak (bertingkahlaku) sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Band. Sondang P. Siagian, Organisasi. Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, 1986), p.24. 2 Chris Hartono, Peranan Organisasi Bagi Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), p.22. 1

atau demokratis? Dan sederet pertanyaan lain yang senada dapat dikemukakan di sini. Tentunya setiap organisasi akan memilih sesuai dengan corak dari organisasi yang bersangkutan. Misalnya dalam suatu organisasi militer, sudah tentu pola kepemimpinan yang bersifat otoriter yang lebih cocok untuk diterapkan, karena di sana dibutuhkan disiplin dan loyalitas yang tinggi dari bawahan kepada atasannya, dan tidak mengenal kritik terhadap atasan. Mungkin dapat dikatakan bahwa model-model kepemimpinan yang dikenal dewasa ini, tumbuh dan berkembang dari nilai-nilai budaya dan kebutuhan-kebutuhan tertentu, dalam alam situasi dan kondisi tertentu. Salah satu contoh yang nyata adalah, ketika masyarakat menginginkan agar hak suaranya diperhatikan oleh sang pemimpin (para pemimpin), maka di sana muncul model kepemimpinan yang demokratis. Pada waktu sang pemimpin menghendaki pengendalian keamanan dalam wilayah kekuasaannya yang sedang bergolak, maka di sana akan diperkenalkan kepemimpinan yang otoriter, yang tugasnya hanyalah memberi perintah, aturan atau larangan. 3 Walau berbagai model kepemimpinan telah dikenal atau diperkenalkan kepada dunia, bukan berarti persoalan di sekitar pemimpin dan kepemimpinan tidak perlu lagi ditinjau dan mendapat koreksi, apabila ternyata dirasakan tidak lagi menjawab tantangan jaman. Bukan pula cerita baru, apabila dikatakan sering dijumpai berbagai praktek penyimpangan yang terjadi dalam diri pemimpin (para pemimpin) ketika ia menjalankan tugasnya (penyalahgunaan wewenang dalam praktek kepemimpinan). Permasalahan yang terjadi di sekitar model struktur organisasi, pola kepemimpinan, dan penyimpangan dalam praktek kepemimpinan, itulah yang menjadikan tema pemimpin dan kepemimpinan tetap menjadi relevan untuk diamat-amati, dikaji dan diberi penilaian setiap saat. Hal itu dilakukan guna mencari dan memberi warna yang sesuai dengan tuntutan jaman, agar dapat bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. Gema persoalan pemimpin dan kepemimpinan yang ada dalam tubuh gereja-gereja di Indonesia, telah dipantau serta dikaji dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Studi DGI, di mana hasilnya telah disusun dalam bentuk laporan nasional 3 A.M. Mangunhardjana SJ, Kepemimpinan, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), p.21. 2

mengenai keadaan seluruh gereja di Indonesia. 4 Secara khusus dalam lingkungan Gereja Kristen Pasundan, masalah pemimpin dan kepemimpinan hasil pengamatan Pdt. Koernia Atje Soejana, menunjukkan bahwa mutu kepemimpinan (pejabat gerejani) masih perlu ditingkatkan. 5 Bertolak dari hasil kedua penelitian 6 tersebut, maka masih relevan apabila karya tulis ini membahas persoalan di sekitar pemimpin dan kepemimpinan, khususnya di lingkungan GKP. Pemimpin dan pola kepemimpinan yang baik akan mampu menghadapi, menggumuli dan menjawab berbagai tantangan jaman. Itulah alasan mengapa karya tulis ini membahas persoalan di sekitar pemimpin dan kepemimpinan. Hal tersebut memang bukanlah pembahasan yang baru, tetapi pembahasan pemahaman warga jemaat terhadap pemimpin dan pola kepemimpinan dengan memakai pendekatan budaya, nampaknya memberi 'bobot khusus' dari karya ilmiah ini. Pembahasan yang menyinggung pola kepemimpinan abahisme dalam karya tulis ini, mempunyai misi untuk memperkenalkan salah satu model kepemimpinan yang pernah tumbuh dan berkembang, bahkan sampai saat ini masih terasa pengaruhnya terutama pada jemaat pedesaan, bekas pelayanan NZV di wilayah pelayanan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Misi tersebut penting, karena ada kesan negatif dari orang-orang yang tidak mengenal kebudayaan Sunda dan latar belakang historis dari pertumbuhan GKP, apabila pola kepemimpinan abah-isme dibahas. Penyusun berusaha menyoroti pola kepemimpinan abah-isme dengan memperhatikan latar belakang historis dan nilainilai budaya dibaliknya, yang memungkinkan hadir dan berkembangnya pola kepemimpinan tersebut. Kuatnya nilai-nilai budaya yang ada dibalik pola kepemimpinan abah-isme, ditambah dengan latar belakang historis dari GKP, memungkinkan beberapa ciri yang melekat padanya tetap mewarnai pemahaman warga jemaat. Walaupun telah ditawarkan aturan main yang sesuai dengan pemahaman kristiani, namun beberapa ciri yang berkembang dari pola kepemimpinan abah-isme masih tetap di lestarikan oleh warga jemaat 4 Lih. F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979), p. 442-443. Saat ini DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) telah menjadi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). 5 Koernia Atje Soejana, Benih Yang Tumbuh II. Suatu Survey Mengenai Gereja Kristen Pasundan, (Bandung- Jakarta: Badan Pekerja Sinode GKP - Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1975), p. 283. 6 Menurut penyusun, data-data mengenai pemimpin dan kepemimpinan yang terdapat dalam "Benih Yang Tumbuh II" maupun "Jerih dan Juang" masih belum banyak berubah, terutama pada gereja-gereja di pedesaan. 3

A.2. Rumusan Masalah GKP adalah kumpulan jemaat-jemaat bekas asuhan Nederlandsche Zendingsvereeniging 7 yang dinyatakan berdiri sendiri sejak tanggal 14 Nopember 1934, dan sampai kini berpusat di Bandung. 8 Struktur GKP adalah presbiterial-sinodal. 9 Di dalam lingkungan gereja, jemaat dipimpin oleh Majelis Jemaat, yaitu orang-orang yang dipilih oleh dan dari antara warga jemaat, di mana Pendeta Jemaat termasuk sebagai salah seorang anggotanya. Di dalam lingkungan klasis, kepemimpinan dipegang oleh Badan Pelaksana Klasis yang di dalamnya di wakili oleh utusan-utusan dari setiap jemaat GKP dalam lingkup klasis yang sama, dan dalam lingkungan sinode, kepemimpinan berada pada Majelis Sinode yang di wakili oleh utusan-utusan dari jemaat GKP yang di pilih dalam sidang raya sinode. Walau telah ada Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaanya, di mana di dalamnya tertulis pokokpokok yang menjadi aturan main dalam lingkungan GKP, termasuk mengatur soal pemimpin dan kepemimpinan, tetapi dalam prakteknya di lapangan, yang terjadi bukanlah seperti yang diinginkan. Misalnya di bidang kepemimpinan, hubungan-hubungan yang ada sering dipahami sebagai hubungan bawahan terhadap atasan. Demikian pula cara memahami hubungan antara Jemaat dan Sinode, sering dilihat dalam hubungan antara bawahan dan atasan. Pandangan seperti itu, bukan saja menyimpang dari apa yang tertulis dalam Tata Gereja dan aturan pelaksanaannya, tapi dapat juga menjadi penghambat terhadap lajunya perkembangan organisasi dan warga jemaat yang menjadi bagian daripadanya. Di dalam kehidupan berjemaat, walaupun menurut aturan mainnya kepemimpinan dipegang oleh Majelis Jemaat, namun masih saja terlihat peranan pendeta yang sangat menonjol (pendeta sentris), khususnya dalam jemaat-jemaat bekas pelayanan NZV. 10 Di samping kedua kecenderungan di atas, hierarkis dan pendeta-sentris, juga masih dapat ditemui suatu kecenderungan di mana warga jemaat memperlakukan pendeta sebagai tokoh pelindung seperti seorang bapak yang senantiasa siap melindungi anak-anaknya. 7 Selanjutnya akan di singkat dengan NZV. 8 Gereja Kristen Pasundan, Buku Pedoman Sidang Raya Sinode XXVI, (Majalengka, 2007), p. 14. 9 Keterangan lebih jelas tentang presbiterial-sinodal, akan penyusun paparkan lebih jauh dalam Bab II. 10 Koernia Atje Soejana, Para Pelayan Gerejawi Pribumi di Pasundan pada Masa Pelayanan Nederlandsche Zendingsvereeniging, (Sebuah tulisan dalam Buku Pedoman Sidang Raya Sinode ke XXVI, 2007), p.86 4

Koernia Atje Soejana dalam suatu penelitiannya, menghubungkan tiga kecenderungan yang masih membekas dalam jemaat-jemaat bekas asuhan NZV, yaitu hierarkis, pendeta-sentris (pejabat gereja sentris), dan paternalistis, dengan praktek kepemimpinan gereja di masa pelayanan lembaga Pekabaran Injil NZV pada parohan pertama abad ke XX. 11 Hal tersebut dilakukan untuk mengamati dan menilai keadaan kepemimpinan gereja pada masa itu, dan lebih khusus lagi, untuk melihat sejauh mana peranan pemimpin di masa itu. Tema pembahasan di sekitar pemimpin dan kepemimpinan yang akan disoroti dalam karya tulis ini, banyak terinspirasi oleh tulisan dari Koernia Atje Soejana, bahkan tesisnya sangat membantu membuka cakrawala berpikir penyusun dalam membahas masalah di sekitar pola kepemimpinan abahisme. Namun, pokok yang dibahas dalam karya tulis ini, membahas hal yang khusus dan mempunyai misi yang berbeda dengan pembahasan dalam tesisnya Koernia Atje Soejana. Oleh karena itu karya tulis ini diharapkan akan memberi sumbangan positif bagi GKP dan kepada setiap orang yang ingin memahami salah satu model kepemimpinan yang ada/di kenal di lingkungan pelayanan GKP, yaitu pola kepemimpinan abahisme. Pembahasan karya tulis ini berpusat pada masalah pemahaman akan diri sang pemimpin, sebagai sosok yang ditempatkan sempurna" oleh warga jemaat yang mengenal praktek pola kepemimpinan abah-isme. Pola kepemimpinan abahisme 12 adalah salah satu model kepemimpinan yang dikenal dalam lingkungan jemaat-jemaat GKP, di mana seorang pendeta ( pejabat gereja) dipahami sebagai tokoh abah (bapak) yang dapat memberikan perlindungan yang aman bagi anak-anaknya ketika 11 Lih, Koernia Atje Soejana, Peranan Pelayan Gerejawi Pribumi di Pasundan Pada Masa Nederlandsche Zendingsvereeniging, (Thesis M.Th., Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, 1981). 12 Dalam "Jerih dan Juang" dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan 'pola kepemimpinan' adalah pola atau patron yang terdiri, antara lain, dari sistem, prosedur dan cara-cara yang lazim dengan mana suatu badan, organisasi, kegiatan dipimpin, diurus, diawasi, diselenggarakan. Termasuk dalam pola kepemimpinan ialah "bagaimana orang yang dipimpin memandang pemimpinnya, bagaimana orang yang memimpin memandang dirinya sendiri selaku pemimpin dan mereka yang dipimpinnya, dan bagaimana pergaulan/ interaksi antara para pemimpin sendiri, dan antara pemimpin dan yang dipimpin. (F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih.), p. 152. Istilah 'abah-isme' berasal dari kata abah yang mempunyai arti yang sama dengan kata 'bapak'. Di lingkungan GKP - terutama dalam jemaat-jemaat bekas pelayanan NZV - seorang pendeta ( pejabat gerejani) sering disapa dengan sebutan "abah". Itu adalah sapaan khas yang berlaku di tanah Pasundan bagi seorang 'yang disegani' atau 'yang dituakan' dalam masyarakat. Bahkan menurut pengamatan penyusun, dalam masyarakat Pasundan di pedesaan kedudukan seorang tokoh abah sama derajatnya di mata masyarakat dengan seorang kiyai. 5

datang kesulitan dan tantangan hidup. Pendeta dilihat (dan mungkin merasa diri) sebagai tokoh yang putih bersih, serba tahu dan serba bisa. Pendeta dianggap sebagai seorang yang sempurna, yang mempunyai nilai plus dari antara seluruh warga jemaat. Kepadanya digantungkan berbagai persoalan hidup dan harapan masa depan. Tanpa bertujuan membahas lebih jauh tentang baikburuknya pemahaman tersebut pada bagian ini, namun yang jelas pemahaman tersebut melahirkan rasa ketergantungan yang berlebihan dari warga jemaat kepada sang pemimpin. Pola kepemimpinan abahisme, saat ini hanya dapat dijumpai gejala-gejalanya dalam pemahaman terhadap sang pemimpin sebagai sosok sentral di jemaat pedesaan, bekas pelayanan NZV. Pemahaman tersebut sedikit-banyaknya mempunyai pengaruh di GKP, juga terhadap jemaat-jemaat di kota atau yang baru tumbuh dan berkembang setelah tahun 1934. Kalaupun ciri-ciri dari pola kepemimpinan abah-isme masih terasa pengaruhnya, terutama dalam pemahaman warga jemaat terhadap pemimpin sebagai sosok sempurna, maka hal itu bukan karena dilestarikan oleh pemimpin di Jemaat ( pejabat gereja), tapi muncul dari pemahaman warga jemaat terhadap pemimpinnya. Untuk itu, karya tulis ini akan di awali dengan pertanyaan : "mengapa warga Kristen Sunda, cenderung melestarikan pola kepemimpinan abahisme? Dan bagaimana prosesnya sampai konsepsi tentang abah-isme tersebut dapat melekat kuat dalam kebudayaan Sunda?". Untuk kepentingan tersebut akan disoroti konsep-konsep yang berhubungan dengan pemimpin dan kepemimpinan yang ada dalam kebudayaan Sunda. Dalam karya tulis ini, penyusun akan menapaki pengaruh kebudayaan yang di bawa oleh para Zending, pengaruh dari hadirnya kebudayaan Hindu-Budha, dan yang terakhir adalah pengaruh dari kebudayaan Islam, dalam apa yang sekarang dikenal sebagai kebudayaan Sunda. Ketiga hal tersebut adalah hal-hal yang sangat mempengaruhi dan menjadikan peradaban Sunda menjadi seperti saat ini. Hal di atas penyusun lakukan untuk menapaki jejak historisitas masuknya pemahaman abahisme atau pendeta sentris di Gereja Kristen Pasundan. 6

B. Judul B.1. Rumusan Judul Sehubungan dengan kepentingan diatas, maka karya tulis ini diberi judul " POLA KEPEMIMPINAN PENDETA SEBAGAI ABAH DI GEREJA KRISTEN PASUNDAN " (Suatu Tinjauan Historis Teologis) B.2. Alasan Pemilihan Judul Pemilihan judul di atas di pilih berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: B.2.1. Menarik Berangkat dari panggilan jemaat kepada sang pendeta dengan sebutan abah. Sekilas sebutan abah tidak memberikan arti apa-apa, tetapi ketika dilihat dari penghargaan dan perlakuan yang jemaat berikan kepada pendetanya, sebutan itu menyiratkan makna yang sangat besar. Sebutan itu memuat makna bahwa jemaat menganggap pendeta tidak hanya sebagai pemimpin dalam hal spiritual, tetapi lebih dari itu, jemaat memposisikan pendeta sebagai seseorang yang memiliki kemampuan lebih (dalam segala hal). Hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang sangat besar dalam proses kelangsungan berjemaat. B.2.2 Aktual Permasalahan seputar kepemimpinan paternalistis sekilas terlihat seperti permasalahan yang klise dan ketinggalan jaman, tetapi sebenarnya hal itu adalah sebuah masalah besar yang tidak pernah selasai, dan habis dibahas sampai saat ini. Banyak gereja yang masih berkutat untuk keluar dari permasalahan tersebut, tetapi tidak semua warga jemaat sadar dan peka akan pola kepemimpinan yang bersifat paternalistis tersebut. Fakta yang memperlihatkan bahwa sampai saat ini masih ada warga GKP yang berada dalam pola kepemimpinan paternalitis menjadi berita aktual yang perlu diselesaikan. 7

B.2.3. Manfaat Manfaat yang dapat dipetik adalah ketika jemaat telah mengetahui bahwa konsep dan pola kepemimpinan yang paternalistis itu masih ada dan melekat dalam gereja, maka jemaat akan lebih peka, sadar, kritis dalam menyikapi pelayanan gereja, dan yang terpenting adalah bahwa jemaat akan dapat saling membangun hubungan yang baik (dua arah) dengan pendeta atau pemimpinpemimpin gereja yang selama ini hanya menjalankkan pola kepemimpinan dalam gereja dengan bertindak seperti atasan kepada bawahan (satu arah). C. Metode C.1. Metode Pembahasan Pendekatan yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan metode pembahasan desiriptif analitis. Penyusun akan memaparkan pendapat-pendapat dari para ahli, kemudian penyusun akan menganalisa pendapat tersebut secara kritis. C.2. Metode Pengumpulan Bahan Cara yang dilakukan oleh penyusun untuk mendapatkan data atau pendapat para ahli adalah melalui studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan buku-buku terpilih, sesuai dengan tema yang penyusun bahas dalam karya tulis ini. D. Sistematika Bab I Pendahuluan Di dalam Bab I / Pendahuluan diuraikan latar belakang permasalahan, dalam bagian ini dijelaskan sejumlah alasan mengapa dipilih tema yang berbicara di sekitar pemimpin dan kepemimpinan. Juga diuraikan mengenai tujuan dibahasnya pola kepemimpinan abah-isme dalam karya tulis ini. Uraian tentang permasalahan dan pembatasan masalah, dibuat agar pembaca mengetahui masalah khusus apa yang disoroti dalam karya tulis ini. Dalam bagian ini, juga diberikan gambaran tentang pembatasan sorotan, yaitu terhadap pemahaman warga jemaat pedesaan yang masih melestarikan pola kepemipinan abah-isme. 8

Bab II Seputar GKP dan Pola Kepemimpinannya Di dalam Bab II dibahas deskripsi seputar GKP dan Pola Kepemimpinan yang ada di dalamnya. Pada bagian ini, penyusun mengangkat dan menyoroti pola kepemimpinan yang berkembang pada masa kehadiran Belanda melalui NZV dan pola kepemimpinan pada masa pelayan pribumi. Pada bagian akhir, akan penyusun bahas mengenai kenyataan di beberapa jemaat GKP dalam hubungannya dengan cara memimpin, yang masih melestarikan pola kepemimpinan abahisme. Sebelumnya, penyusun akan menyoroti Tata Gereja dan aturan pelaksanaannya, dalam hubungannya dengan pemimpin dan kepemimpinan. Bab III Faktor-faktor Budaya yang Menciptakan dan Memperkokoh Pola Kepemimpinan Abahisme Bab III ini adalah bab yang mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi pola kepemimpinan abahisme. Untuk kepentingan tersebut, maka akan disoroti salah satu lapisan dari kebudayaan Sunda, yaitu Hindu-Budha dan Islam. Dalam bagian ini, penyusun akan menapaki jejak Hindu-Budha dan Islam dalam hubungan dengan abahisme yang ada dalam pemahaman warga jemaat GKP. Bab IV Tinjauan Teologis Di dalam bab ini akan digali dasar-dasar teologis, untuk kemudian diperhadapkan dengan pemahaman warga jemaat yang melestarikan pola kepemimpinan abahisme. Bertolak dari dasar-dasar teologis yang telah digali, diusulkan suatu konsep kepemimpinan yang dapat dikembangkan dalam kepemimpinan di gereja. Bab V Penutup Dan pada bagian akhir dari karya tulis ini, penyusun akan memasukan beberapa kesimpulan atau Hipotesa yang berhasil ditarik selama pembahasan. 9