MODEL PERKEBUNAN TEH UNTUK MENDORONG - PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL " DI KABUPATEN BANDUNG", JAWA BARAT
ABTSRAK Pembangunan perkebunan ditujukan untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki mutu basil, meningkatkan pendapatan, memperbesar nilai ekspor, mendukung industri, menciptakan dan memperluas kesempatan kerja, serta pemerataan pembangunan di semua wilayah. Ada tiga asas yang menjadi acuan dalam pembangunan perkebunan yang mendasari kebijakan pembangunan dalam lingkungan ekonomi dan pembangunan nasional, yaitu (1) Mempertahankan dan meningkatkan sumbangan bidang perkebunan bagi pendapatan nasional, (2) Memperluas lapangan kerja, (3) Memelihara kekayaan dan kelestarian alam dan meningkatkan kesuburan sumberdaya alam. Pembangunan subsektor perkebunan komoditas teh mengalami perkembangan yang semakin pesat dan besar dan diharapkan dapat meningkatkan pemenuhan produksi, kebutuhan ekspor yang berdampak pads peningkatan pendapatan petani, ekonomi lokal, pembangunan perdesaan, dan timbulnya multiplier effect secara sektoral maupun spasial baik nasional, regional maupun lokal. Dengan demikian, maka pengembangan komoditas teh ke arah agroindustri seharusnya memberikan dampak yang positif bagi perkembangan sektor dan wilayah, khususnya pembangunan ekonomi lokal. Secara historis dan realitasnya menunjukkan bahwa di wilayah perkebunan teh cenderung teijadinya ketimpangan kemajuan pembangunan, baik antara perkebunan rakyat, swasta, dan perkebunan negara maupun keragaan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa wilayah sentra produksi perkebunan mengalami keterlambatan dalam pembangunannya dan fenomena terjadinya leakages wilayah, dengan demikian kemajuan usaha perkebunan teh belum diikuti dengan perkembangan pembangunan lokalnya. Model perkebunan teh yang ada (existing) di Kabupaten Bandung menunjukkan perkebunan swasta dan negara (PTPN) melakukan usaha secara terintegrasi, sedangkan perkebunan rakyat secara individu dan kelompok usaha bersama yang relatif gurem dan tertinggal. v
Pada dasarnya pembangunan ekonomi lokal merupakan pendekatan pembangunan yang berupaya mendorong tumbuh dan berkembangnya wirausahaan lokal, partisipasi masyarakat lokal, peran serta secara aktif pihak swasta, masyarakat dan pemerintah daerah dalam menentukan keputusan pembangunan lokalnya. Hal ini dapat tercapai dengan dukungan kelembagaan pembangunan di wilayah itu, yang meliputi industri, universitas, pemerintah daerah, pengusaha lokal, dan asosiasi usaha. Berdasarkan realitas yang ada dan fenomena tersebut, maka dilakukan studi mengenai model pengembangan perkebunan teh bagi pembangunan lokal yang bertujuan untuk mengidentifikasi model perkebunan teh yang bagaimana yang dapat mengoptimalkan pengembangan wilayahnya dan mampu mendorong pembangunan ekonomi lokal. Studi ini mencoba melakukan perbandingan model perkebunan teh yang ada (existing) dengan model simulasi (plantation dan contract fanning) pada subwilayah dan wilayah di Kabupaten Bandung. Perbandingan model plantation dan contract farming dengan model existing ditujukan untuk memperoleh gambaran dampak dan tingkat keefektifan untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal. Beberapa variabel yang diukur adalah tingkat profitabilitas, kesempatan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan bagi wilayah, dan produksi. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang ada dari ketiga pelaku perkebunan teh di Kabupaten Bandung. Hasil studi menunjukkan bahwa model plantation sangat efektif mendorong pembangunan ekonomi lokal manakala perkebunan perkebunan swasta, PTPN, dan perkebunan rakyat dalam bentuk usaha perkebunan yang kooperatif melakukan sistem pengusahaan plantation yang didasarkan atas prinsip pengusahaan perkebunan yang terintegrasi dalam manajemen, produksi, pengolahan, pemasaran, serta memperhatikan prinsip skala usaha, efisiensi, dan optimalisasi basil usahanya. Model plantation mampu mengoptimalkan pengembangan wilayah dan mendorong ekonomi lokal pada tingkat subwilayah dan wilayah di Kabupaten Bandung. Hal ini memiliki implikasi bahwa koperasi pada perkebunan rakyat yang dibentuk bukan hanya vi
pembentukan koperasi sebagai lembaga kumpulan usaha perkebunan rakyat, namun merupakan sistem pengusahaan perkebunan yang berbentuk plantation, dimana faktor skala usaha, rasionalitas dan efisiensi usaha menjadi pertimbangan dan ukuran kegiatan usahanya, di samping fungsinya sebagai kelembagaan yang meningkatkan kemampuan petani perkebunan teh rakyat sebagai anggotanya. Model perkebunan contract farming kurang efektif dibandingkan dengan model plantation, tetapi cukup efektif dibandingkan dengan model existing untuk memperbaiki keadaan pembangunan ekonomi lokal. Berdasarkan basil studi juga menunjukkan bahwa model contract farming yang efektif untuk di setiap subwilayah adalah : (1) Model Marketing Contract Farming antara perkebunan rakyat dengan PTPN di Subwilayah Cikalong Wetan, (2) Model Integrated Contract Farming antara perkebunan rakyat dengan swasta di Subwilayah Ciwidey, (3) Model Marketing Contract Farming antara perkebunan rakyat dengan PTPN di Subwilayah Kertasari, (4) Model Integrated Contract Farming antara perkebunan rakyat dengan swasat dan PTPN, dan (5) Model Integrated Contract antara perkebunan rakyat dengan swasta dan PTPN di Subwilayah Padalarang. Penelitian ini merekomendasikan perlunya pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal melalui koperasi dengan pemahaman dan kerangka kerja usaha yang berlandaskan pads efisiensi, rasionalitas, dan dalam skala usaha basal- di kawasan perkebunan rakyat. Hal ini penting mengingat model koperasi yang demikian memiliki keunggulan komparatif dalam menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan ekonomi masyarakat, peningkatan pendapatan daerah, dan akan mendorong pembangunan ekonomi lokal. Untuk itu, langkah pendidikan, penyuluhan mengenai Cooperative membership education kepada berbagai lapisan masyarakat dan aktor pengembangan perkebunan tab, dan inkubasi kewirausahaan dapat dijadikan langkah awal membangun model koperasi yang mandiri dalam usaha perkebunan teh. Keadaan ini akan mendukung berkembangnya agroindustri teh yang kuat sehingga mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi lokal secara mandiri. vii
ABSTRACT Estate crop of agricultural development based on relative advantages by land, labor, technology, and business opportunity. The aim of estate crop development is increase and improve production, yield, enhance export value, industrial supporting, labor force, and equality regional development. There is three base estate crop policy on economic and national development issue, (1) Struggle and increase national income contribution from estate crop; (2) Widing of labor force, (3) increase and keep on resources development. Tea crop estate development to be grow up to national income contribution. One of criteria that could be existed is correlation of goals estate crop development with increasing and equality of community income. Estate crop development be expected in order to increase production for anticipating export demand and give effect for farmer's income, local economic, rural development, and multiplier effect by sectoral and regional or locally. So that, a head of time, tea crop development as integrated agroindustrial progress give positive impact for sectoral and region development, especially local economic development. As a fact, by historitically and reality have shown dispariety and inequal level of development of region; that is on tea crop outgrower farmers, private tea crop plantation, and Nusantara plantation ( PTPN) or economic growth in regional. There is trend of that region of center tea crop production to be stagnant development and leakages fenomenon. So that, the increasing tea crop development have not been overcomed local development. Local economic development based on growth up local entrepreneur ability, local community participation, roles of local privatecommunity-government activity in deciding local development policy. So that, it support by local development institution in its region, as industrial, university, local government, local private entrepreneur, and business associeted. This study identify of tea estate crop models for local economic development stimulant, as (1) identify of typology of tea crop ix
X agroindustry interaction in subregion and region in Bandung Regency, (2) Model structure of the tea crop models, (3) Identify of impact of each models for local economic development, (4) Making alternative models for dvelopment strategy of local economic development. This study use quantitative secondary data collective from tea crop estate institution in West Java. This study analyze models comparative approach in subregion and region that based on criteria and parameter include profitability level, labor forces, income of community, regional income, dan tea crop production. Despite the fact that plantation model's can promote and effectively for local economic development in each subregion and region in Bandung Regency. Farmer, private, and government tea crop estate have been plantation agroindstry system, that there is a integrated production management, efficiency, economic of scale concern, and rationality of business. Famer's tea crop estate be cooperative company that integrated production aspect of each farmer as its member's and cooperative as corporate can increasing tea crop business progress. This study has faound that contract farming models can increase local development with use spesification pattern di each subregion, as include (1) Marketing contract farming model that interaction from farmer with PTPN in Cikalong Wetan, and Kertasari subregion, (2) Integrated Contract Farming Models that interaction from farmer with private in Ciwidey, (3) Integrated Contract Fanning Models that interaction from farmer with PTPN and private in Pangalengan, (4) Integrated Contract Farming Models that interaction from farmer with PTPN in Padalarang. This study recommends that there is needs community and local institute empowerment by cooperative institute for supporting local economic development progress by plantation model's. This model's has comparative advantage as include labor forces, profitibility level, increase income, increase roles of community, and local based development progress.