BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kajian Keramahan Alat Tangkap Ikan Hias Ramah Lingkungan from Yayasan TERANGI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

STRUKTUR ONGKOS USAHA PERIKANAN TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1. Pendahuluan IDENTIFIKASI KOMODITAS UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN INDRAMAYU

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM. 25 o -29 o C, curah hujan antara November samapai dengan Mei. Setiap tahun

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kabupaten Lamongan

3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Daerah Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

Perikanan: Armada & Alat Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENGAPA PRODUKSI KEPITING RAJUNGAN MENURUN DAN KEBIJAKAN APA YANG PERLU DILAKUKAN MENGANTISIPASINYA. Oleh. Wayan Kantun

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2004 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Kapal / Perahu

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Transkripsi:

13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kabupaten Indramayu Sebagai Kawasan Perikanan Tangkap 2.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Indramayu merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dengan letak geografis berada pada posisi 107 o 52-108 o 36 Bujur Timur dan 6 o 14-6 o 40 Lintang Selatan. Kabupaten Indramayu memiliki beberapa pulau seperti Pulau Biawak, Pulau Rakit, dan Pulau Gosong. Posisi geografis Pulau Biawak (Pulau Rakit) terletak di lepas pantai Laut Jawa, sekitar 40 km disebelah utara pantai Indramayu. Berdasarkan wilayah admiristratif Pulau Biawak, Pulau Gosong Dan Pulau Rakit Utara/ (Pulau Candikian) berada di Desa Pabean Ilir Kecamatan Kota Indramayu Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Indramayu dengan luas wilayah 204.011 hektar dan memiliki garis pantai sepanjang 147 km, yang secara administratif dibagi ke dalam 24 Kecamatan 8 Kelurahan dan 302 Desa diantaranya 37 Desa Pesisir di dalam 13 Kecamatan (Hikmayani, 2007). Batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Indramayu menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Indramayu tahun 2012 adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cirebon 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang Terdapat pulau kecil yang berada di Kabupaten Indramayu yakni Pulau Biawak, yang memiliki kelimpahan sumber daya lautan yang potensial, salah satunya terumbu karang yang memiliki nilai daya tarik tersendiri. Keadaan topografi datar, beberapa bagian pulau yang ditumbuhi mangrove tergenang air laut terutama pada saat pasang naik. Menurut Hamdan (2007) Luas pulau ± 120 Ha, terdiri dari ± 80 Ha hutan bakau dan ± 40 Ha hutan pantai/darat. Panjang

8 pulau dari timur ke barat ± 1 km dan dari utara ke selatan ± 0.5 km. Disamping itu terdapat pulau Gosong yang terletak di lepas pantai Laut Jawa, ± 50 km disebelah utara pantai Indramayu pada posisi 108 o 24 337 BT, dan 6 o 52 076 LS. Pulau Candikian (Pulau Rakit Utara) terletak sekitar 14 km arah timur laut (Pulau Biawak) seluas ± 97 Ha. Letak geografis Pulau Candikian berada pada 107 o 52-108 o 36 Bujur Timur dan 6 o 14-6 o 40 Lintang Selatan (Hikmayani 2007). Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu 2012 karakteristik Pantai Indramayu dengan topografi yang landai serta banyaknya sungai yang bermuara didalamnya (17 sungai) disamping merupakan potensi besar, juga mengandung permasalahan yang kompleks. Dari 17 sungai yang bermuara diantaranya 14 sungai dimanfaatkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut sebagai sentra usaha penangkapan atau pangkalan pendaratan ikan. Pada pengembangan tata ruang Jawa Barat, wilayah Kabupaten Indramayu memiliki peruntukkan diantaranya sebagai kawasan industri yang mendukung pengembangan Cirebon dan kawasan perikanan laut. Khusus sektor perikanan, pengembangan kawasan industri diarahkan kepada pengembangan industri pengolahan ikan, sedangkan pengembangan kawasan perikanan laut diarahkan kepada upaya pembudidayaan di laut seperti rumput laut, udang dan peningkatan produksi perikanan (Hikmayani 2007). Menurut Hikmayani (2007) Pelapisan sosial masyarakat nelayan di desadesa pantai di Kabupaten Indramayu sangat dipengaruhi oleh unsur ekonomis atau faktor keberhasilan seseorang dari kegiatan ekonomi perikanan yang dilakukan. Tiga lapisan masyarakat teridentifikasi, yaitu lapisan atas yang beranggotakan masyarakat dengan profesi juragan bakul dan pemilik usaha pengolahan ikan, lapisan menengah yaitu kelompok masyarakat dengan profesi sebagai juragan kapal dan lapisan bawah yaitu kelompok masyarakat dengan profesi sebagai anak buah kapal atau nelayan buruh. Di luar sektor perikanan, umumnya anggota masyarakat tersebut berada di lapisan menengah dan bawah.

9 2.1.2. Kegiatan Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu merupakan daerah dengan tingkat kontribusi produksi perikanan terbesar diantara daerah-daerah lainnya di wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat bagian utara. Dilihat dari jumlah nelayan menurut Data Statistik Perikanan Tangkap Jawa Barat (2011) yang melakukan penangkapan di Kabupaten Indramayu yaitu sebanyak 44.515 orang berprofesi sebagai nelayan penuh. Nelayan berdomisili dan tersebar di sebelas kecamatan di Indramayu. Dari total jumlah nelayan yang ada di Indramayu tersebut maka status nelayan pemilik hanya 20% dari nelayan buruh Jumlah nelayan yang cukup banyak ini juga tercermin dengan hasil tangkapan yang melimpah. Pada tahun 2011 produksi perikanan di daerah ini adalah sebesar 107.989,60 ton hampir sekitar 58 % dari jumlah produksi perikanan Jawa Barat. Dengan jumlah alat tangkap rata-rata sebanyak 9.113 unit, maka hasil tangkapan rata-rata per satuan unit alat tangkap dapat dihitung sebesar 11,85 ton per unit alat tangkap. Jumlah RTP perikanan tangkap kabupaten Indramayu pada tahun 2011 adalah sebanyak 5.460 yang didominasi oleh kapal motor ukuran 10-50 GT (DKP Jawa Barat 2011). Menurut Statistik Perikanan Tangkap Jawa Barat (2011) Produksi perikanan tahun 2011 tercatat hasil perikanan tangkap 107.989,60 ton yang sebagian besar didominasi oleh ikan ikan seperti peperek, manyung, bawal hitam, selar, tembang, lemuru, kakap merah, kembung, tenggiri, tongkol, dan cumi-cumi. Nilai produksi perikanan ini bernilai sekitar Rp. 1.450.021.400.000. Hasil tangkapan ini sebagian besar dipasarkan dalam bentuk segar, digarami dan dikeringkan, atau dilakukan pemindangan. Omat (2008) menyatakan bahwa pelapisan sosial masyarakat nelayan di desa-desa pantai di Kabupaten Indramayu sangat dipengaruhi oleh faktor keberhasilan seseorang dari kegiatan ekonomi perikanan yang dilakukan. Tiga lapisan masyarakat teridentifikasi, yaitu lapisan atas yang beranggotakan masyarakat dengan profesi juragan bakul dan pemilik usaha pengolahan ikan, lapisan menengah yaitu kelompok masyarakat dengan profesi sebagai juragan kapal dan lapisan bawah yaitu kelompok masyarakat dengan profesi sebagai anak

10 buah kapal atau nelayan buruh. Di luar sektor perikanan, umumnya anggota masyarakat tersebut berada di lapisan menengah dan bawah. Adapun anggota masing-masing lapisan masyarakat tersebut lebih rinci diuraikan oleh Omat (2008) adalah sebagai berikut: 1. Juragan Bakul, yaitu sekelompok individu yang mempunyai pekerjaan sebagai pengumpul ikan di hasil tangkapan nelayan, baik di TPI atau di luar TPI. Anggota kelompok ini memiliki modal yang cukup untuk memiliki kapal atau memberikan modal pada nelayan (juragan kapal) untuk memiliki kapal. Kepemilikan modal yang kuat berakibat pada kelompok sosial ini memiliki kedudukan yang tinggi disertai dengan peranan yang besar didalam kehidupan ekonomi dan politik di masyarakat; 2. Pengolah ikan, yaitu orang yang bekerja sebagai pengolah ikan, baik sebagai pemilik atau buruh pengolah ikan. Beberapa pemilik usaha pengolahan ikan terkadang bertindak pula sebagai juragan darat/bakul ikan. 3. Juragan Kapal, yaitu orang yang mempunyai pekerjaan sebagai nelayan, tetapi memiliki kapal sendiri. Hasil penjualannya dijual pada juragan bakul (jika kepemilikan kapal diperoleh dari pinjaman modal) atau dijual oleh istrinya yang berperan sebagai bakul ikan di pasar lokal. 4. Anak Buah Kapal (ABK), yaitu orang yang berkerja sebagai tenaga kerja di kapal milik orang lain. Pendapatannya sangat tergantung pada sistem bagi hasil yang ditetapkan oleh pemilik kapal dan pemilik modal (juragan bakul). Secara rinci, kelompok sosial ini sangat tergantung pada alat tangkap yang digunakan, yaitu mulai dari jaring arad yang hanya memiliki ABK 3-4 orang dengan spesialisasi pekerjaan yang rendah dan karenanya sistem bagi hasil yang sederhana pula, alat tangkap cumi-cumi dan rajungan dengan ABK sekitar 7-10 orang hingga jaring purse seine yang memiliki ABK antara 20-40 orang (tergantung ukuran kapal) dengan spesialisasi pekerjaan yang semakin tinggi pula dan karenanya bagi hasil yang diterapkan semakin rumit pula.

11 Menurut Hikmayani (2007) kelompok sosial ABK dengan spesialisasi pekerjaan yang sedikit sekali membutuhkan keahlian memiliki kedudukan terendah dan peranan yang paling sedikit di masyarakat. Masa musim angin besar (Barat dan Timur) sebagian dari mereka beralih profesi menjadi tukang becak atau tukang bangunan. Selanjutnya menurut Hikmayani (2007) sebagian lain yang tidak mau alih profesi tersebut dikarenakan adanya kendala budaya yaitu malu. Mereka umumnya berperilaku dan bertindak sesuai dengan apa yang menjadi keputusan dari kelompok sosial yang memiliki kedudukan dan peranan diatasnya (sebagai contoh sistem bagi hasil atau keputusan melaut/tidak melaut). Suasana kegiatan perikanan tangkap yang cukup terasa salah satunya berada di daerah PPI Karangsong. Menurut Karto (2008) PPI Karangsong yang merupakan sentra PPI mewakili bagian tengah Peisisr Indramayu terletak di muara Sungai Karangsong Desa Karangsong Kecamatan Indramayu. PPI ini tergolong Kelas D (referensi Kep.10/MEN/2004), dan dibangun pada tahun 2003. PPI ini memiliki jumlah nelayan paling besar jika dibandingkan dengan PPI lainnya yaitu 7.777 orang. Pengelolaan PPI Karangsong adalah Koperasi Perikanan Laut (KPL) Mina Sumitra. Pembangunan PPI Karangsong merupakan pengembangan dari PPI Brondong yang dinilai kurang layak. Wilayah operasi penangkapan ikan oleh para nelayan di PPI Karangsong dengan kapal motor 20 GT relatif jauh dan lama, pada umumnya di perairan laut Jawa hingga Sumatera, Kalimantan, bahkan Sulawesi, dengan lama melaut lebih dari satu bulan (Karto 2008). Menurut Karto (2008) Wilayah operasi sejauh itu bertujuan agar hasil tangkapan lebih banyak dari trip sebelumnya. Produksi ikan laut di tempat pelelangan ikan Karangsong Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tetap stabil karena itu pelelangan ikan terus berlangsung, kendati cuaca buruk terjadi di laut utara Pulau Jawa.

12 2.2 Alat Penangkapan Ikan di Kabupaten Indramayu Menurut standar statistik alat penangkapan ikan dilaut diklasifikasikan menjadi 9 kategori (DKP Jawa Barat 2011) antara lain : 1. Pukat Tarik (Trawl) - Pukat tarik udang Ganda - Pukat tarik udang tunggal - Pukat tarik berbingkai - Pukat tarik ikan 2. Pukat Kantong (Seine net) - Payang (termasuk lampara) - Dogol (termasuk lampara dasar, jaring arad, cantrang) - Pukat pantai 3. Pukat cincin (Purse Seine) 4. Jaring Insang (Gill net) - Jaring insang hanyut - Jaring insang tetap - Jaring insang lingkar - Jaring tiga lapis - Jaring klitik 5. Jaring Angkat (Lift net) - Bagan perahu - Anco - Bagan tancap - Jaring angkat lainnya 6. Pancing (Hook and lines) - Rawai tuna - Pancing tonda - Rawai hanyut - Pancing ulur - Rawai tetap - Pancing tegak - Rawai dasar tetap - Pancing cumi - Huhate - Pancing lainnya 7. Perangkap (trap) - Sero - Jaring Perangkap - Jermal - Perangkap lainnya - Bubu

13 8. Alat Pengumpul - Alat pengumpul rumput laut - Alat pengumpul kerang 9. Lainnya - Muroami - Jala tebar - Garpu dan tombak - Alat pengumpul teripang - Alat penangkap kepiting Tabel 1. Jenis Alat Tangkap Berdasarkan Ukuran Kapal di Kabupaten Indramayu tahun 2011. Ukuran Perahu (GT) Jenis Alat Tangkap Jumlah >0-5 >5-10 >10-20 >20-30 >30-50 >50-100 1 Payang 131 13 21 165 2 Dogol 309 187 26 3 525 3 Pukat Pantai 745 716 109 1,570 4 Pukat Cincin 27 175 65 3 270 5 J. Insang Hanyut 523 378 24 57 93 5 1,080 6 J. Insang Lingkar 56 8 112 137 313 7 J. Kelitik 250 157 407 8 Bubu 770 770 9 Pancing 37 87 27 19 15 185 10 Sero 60 165 225 11 Alat Tangkap Lainnya 423 112 21 556 Jumlah Perahu 2,864 2,090 668 325 114 5 6,066 Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap (Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Jawa Barat) 2012 Secara umum (Tabel. 1) jenis alat tangkap yang digunakan didominasi oleh pukat pantai (1.570 unit), jaring insang hanyut (1.080 unit), dan bubu (770 unit). Ketiga jenis alat tangkap ini dominan digunakan karena berdasarkan alasan teknis dan ekonomis paling mudah dioperasikan dan menguntungkan.

14 2.3 Produktivitas Alat Tangkap Ditinjau dari pandangan secara umum produktivitas merupakan hubungan perbandingan antara hasil yang diperoleh secara nyata dengan masukan yang ada. Artinya produktivitas sama dengan perbandingan hasil keluaran dengan masukan yang biasa juga disebut dengan perbandingan output dengan input. Ukuran produktivitas yang paling sering digunakan adalah berkaitan dengan tenaga kerja dengan cara membagi pengeluaran dengan jumlah yang digunakan (Sinungan 2008 dalam Prisantoso dan Syadiah 2006). Produkitvitas dalam perikanan tangkap biasanya berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai hasil tangkapan. Maka ada dua faktor utama yang menjadi perbandingan, yaitu keluaran yang digunakan serta jumlah masukan yang diterima. Sedangkan produktivitas penangkapan menurut Nelwan et al. (2011) adalah hasil tangkapan dengan satuan bobot per upaya penangkapan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 50 tahun 2008 tentang produktivitas (2008), produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan memperoleh hasil tangkapan ikan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. Ukuran tonase kapal b. Jenis bahan kapal c. Kekuatan mesin kapal d. Jenis alat penangkap ikan yang digunakan e. Jumlah trip operasi penangkapan per tahun f. Kemampuan tangkap rata-rata per trip g. Wilayah penangkapan ikan. Selanjutnya cara perhitungan produktivitas kapal perikanan melalui dua tahapan yaitu : 1. Hasil Tangkapan Per Upaya Penangkapan Hasil tangkapan per upaya penangkapan adalah pembagian antara produksi hasil tangkapan dengan Upaya penangkapan yang beroperasi dari suatu perairan. Hasil tangkapan berupa jumlah ikan hasil tangkapan dari salah satu kelompok sumber daya ikan (pelagis, demersal, dan sebaginya) dengan

15 satuan berat (ton atau kg). Sedangkan upaya penangkapan berupa jumlah unit atau trip hari operasi penangkapan. 2. Laju Tangkap Perikanan (CPUE) Laju tangkap perikanan dengan menggunakan data series, minimal selama lima (5) tahun. Semakin panjang series waktu yang digunakan semakin tajam prediksi yang diperoleh. Cara perhitungannya adalah dengan cara membagi total hasil tangkapan dengan total effort standard sebagaimana dijelaskan diatas. Catch (hasil tangkapan), Effort (upaya pengkapan) dan CPUE (hasil tangkapan per-unit upaya) adalah tiga hal yang dijadikan salah satu indikator pengelolaan perikanan berkelanjutan (Fitrianti 2011). Pola umum suatu perikanan yang di eksploitasi yang mengalami overfishing indikatornya adalah bahwa naiknya total upaya (effort) diikuti oleh naiknya hasil tangkapan (catch) yang kemudian diikuti oleh turunnya hasil tangkapan per-satuan upaya (CPUE). Pada saat menjelang overfishing diperoleh suatu kenyataan bahwa peningkatan upaya ternyata tidak dapat lagi meningkatkan hasil tangkapan, bahkan CPUE turun drastis (Badrudin dan Wudianto 2004 dalam Fitrianti 2011). Produktivitas alat tangkap dalam menangkap target spesies dapat diterangkan dengan menggunakan CPUE. Perhitungan CPUE (Catch per Unit Effort) dilakukan dengan jumlah hasil tangkapan (kg) dibagi dengan effort atau upaya penangkapan ikan. Hasil tangkapan termasuk produksi adalah data produksi yang mencakup semua hasil penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air yang ditangkap dari sumber perikanan alami baik yang diusahakan oleh perusahaan perikanan maupun rumah tangga perikanan (FAO 1995). Produksi tidak hanya jumlah penangkapan yang dijual, tetapi termasuk juga hasil penangkapan yang dimakan nelayan/rumah tangga perikanan atau yang diberikan kepada nelayan sebagai upah kerja. Upaya penangkapan yang digunakan adalah trip atau hari melaut. Trip penangkapan adalah kegiatan operasi penangkapan yang dihitung mulai/sejak perahu/kapal penangkap meninggalkan pangkalan pendaratan ikan (fishing base) menuju daerah operasi, mencari fishing ground, melakukan penangkapan ikan,

16 kemudian kembali lagi di fishing base. Jumlah trip penangkapan dari suatu unit penangkapan adalah banyaknya trip penangkapan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu. Sebagai pengecualian, pada alat-alat penangkap seperti pukat pantai, sero, jermal, alat pengumpul kerang-kerangan, dan rumput laut, dalam periode satu hari dapat melakukan beberapa kali trip penangkapan. Untuk unit penangkapan yang demikian satu hari penangkapan dihitung sebagai satu trip. Perhitungan CPUE akan memudahkan dalam membandingkan produktivitas suatu alat tangkap, karena produktivitas suatu alat tangkap dapat dicerminkan dari nilai CPUE. Secara garis besar produktivitas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi daerah penangkapan (fishing ground), ukuran kapal dan alat tangkap yang digunakan, musim, dan sumberdaya manusia (Manurung 2006 dalam Fitrianti 2011). Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan angka yang menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Nilai ini bisa digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksplotasi terus menerus. Nilai CPUE yang menurun dapat menandakan bahwa potensi sumberdaya sudah tidak mampu menghasilkan lebih banyak walaupun upaya ditingkatkan. Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan hasil tangkapan per unit alat tangkap pada kondisi bimassa yang maksimum (King 1995 dalam Fitrianti 2011). Menurut Sparre et al. (1999) produktivitas alat tangkap adalah hasil penangkapan dengan satuan bobot per upaya penangkapan, maka nilai CPUE ini dapat digunakan sebagai nilai produktivitas. Produktivitas alat tangkap selain menghitung jumlah produksi dibagi dengan jumlah trip, dapat memperhatikan faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan baik itu faktor produksi maupun faktor sumberdaya (Prisantoso dan Syadiah 2011). Hasil tangkapan dapat dipengaruhi oleh faktor produksi dan faktor sumberdaya. Faktor produksi dapat berupa tonage kapal, kekuatan mesin, jumlah ABK, lamanya setting, pemakaian BBM, ukuran alat tangkap dan sebagainya, sedangkan faktor sumberdaya adalah laju kelahiran dan laju kematian. Selain faktor yang disebutkan, faktor produksi ini disesuaikan dengan alat tangkap yang

17 dihitung produktivitasnya. Faktor-faktor tersebut berperan dalam meningkatkan produktivitas hasil tangkapan. a. Faktor Produksi - Tonase/tonage Kapal Tonase kapal adalah daya angkut kapal yang digunakan sebagai parameter besaran kapal (Ardidja 2007). Ukuran yang bisa digunakan untuk kapal penangkap ikan adalah tonase kotor atau gross tonage (GT). Tonase kotor adalah perhitungan volume semua ruang yang terletak dibawah geladak kapal ditambah dengan volume ruangan tertutup yang terletak di atas geladak ditambah dengan isi ruangan beserta semua ruangan tertutup yang terletak di atas geladak paling atas (superstructure). - Kekuatan Mesin Satuan kekuatan mesin pada kapal penangkap ikan dinyatakan dengan horse power (HP) atau PK yang besarnya sama dengan 75 kg m/detik atau sama dengan 4500 kg m/menit - Jumlah ABK Jumlah ABK berkaitan dengan ketersediaan tenaga kerja dalam pelaksanaan penangkapan ikan, semakin besar ukuran kapal biasanya berbanding lurus dengan jumlah ABK dan jumlah produksi ikan hasil tangkapan - Pemakaian BBM Untuk melaksanakan operasi penangkapan ikan dibutuhkan bahan bakar sebagai komponen utama penggerak mesin. Jumlah bahan bakar yang digunakan berkaitan dengan ukuran kapal, jenis mesin, serta seberapa jauh operasi pennagkapan dilakukan. Semakin jauh fishing ground atau semakin lama operasi pennagkapan, maka semakin banyak bahan bakar yang dibutuhkan. - Waktu Operasi Penangkapan Setiap kapal penangkapan memiliki daerah operasi penangkapan sesuai dengan fishing ground target ikan yang akan ditangkap. Semakin jauh daerah operasi maka semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk operasi penangkapan. Waktu operasi penangkapan berkaitan pula dengan target jumlah

18 tangkapan. Kapal-kapal dengan ukuran yang besar biasanya memiliki waktu operasi penangkapan yang lebih lama karena wilayah operasi penangkapan sampai ke laut lepas dengan target ikan-ikan pelagis ukuran besar. - Ukuran Alat Tangkap Alat tangkap merupakan komponen terpenting dalam produksi hasil tangkapan. Di Indonesaia banyak terdapat jenis alat tangkap yang beragam dengan ukuran yang beragam pula. Ukuran alat tangkap ini akan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan, besarnya ukuran alat tangkap disesuaikan dengan kapasitas kapal serta daerah operasi penangkapan. b. Faktor Sumberdaya Faktor sumberdaya adalah laju kelahiran dan kematian organisme, dalam hal ini ikan hasil tangkapan. Kedua faktor ini merupakan faktor alami yang dapat mempengaruhi keberadaan ikan di perairan. Dalam perhitungan produktivitas kedua faktor sumberdaya ini tidak dilibatkan dalam perhitungan karena berlangsung secara alami 2.4 Penangkapan Ikan yang Ramah Lingkungan Banyak teknologi yang digunakan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan perairan. Lingkungan perairan ini menjadi korban dari ulah kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti pembuangan limbah rumah tangga maupun industri yang menyebabkan pencemaran. Kegiatan dibidang perikanan seperti penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, racun dan alat-alat tangkap yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan juga merupakan salah satu faktor yang merusak lingkungan perairan. Sumberdaya ikan, meskipun termasuk sumberdaya yang dapat pulih kembali (renewable resources) namun bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu perlu dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan agar kontribusinya terhadap ketersediaan nutrisi, peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan (Mahyudin 2012).

19 Penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab dapat membuat dampak tangkap berlebih (overfishing) pada suatu perairan. Overfishing bisa diartikan sebagai penangkapan ikan secara berlebihan sehingga populasi ikan semaikin lama semakin berkurang dan akhirnya tidak ada lagi yang dapat ditangkap. Terdapat beberapa teori yang menyebabkan terjadinya overfishing, Israel dan Cesar (1997) menyatakan ada 4 teori yang menyatakan suatu kondisi overfishing yaitu : - Overfishing terjadi karena banyak ikan ditangkap bahkan sebelum mereka mempunyai kesempatan untuk tumbuh. - Penangkapan ikan secara berlebihan yang terjadi saat populasi ikan dewasa tertangkap dalam jumlah besar sehingga reproduksi terganggu. - Overfishing ekosistem yang terjadi ketika penurunan stock atau populasi jumlah ikan karena kerusakan ekosistem. Sehingga spesies ikan lain tidak lain dapat tumbuh secara optimal. - Overfishing/penangkapan ikan secara berlebihan karena banyaknya usaha ekonomi perikanan yang mengarah kearah komersil atau mendapatkan keuntungan yang lebih besar atau keuntungan ekonomi. Teknologi yang berwawasan lingkungan pada prinsipnya adalah teknologi yang dipergunakan untuk mengelola sumberdaya alam secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan tanpa mengganggu kualitas lingkungan hidup. Sejalan dengan hal tersebut teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan perlu diterapkan sehingga dapat terwujud sumberdaya ikan yang lestari (Martasuganda 2008 dalam Mahyudin 2012). Monintja (2000) menyatakan bahwa teknologi penangkapan ikan dikatakan ramah lingkungan apabila memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan mampu meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. 2. Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan. 3. Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan /menggunakan teknologitersebut.

20 4. Menghasilkan ikan bermutu baik dan tidak membahayakan kesehatan konsumen. 5. Hasil tangkapan yang terbuang (discards) sangat minimby-catch rendah 6. Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, tidak menangkap species yang dilindungi atau terancam punah. 7. Diterima secara sosial, artinya dimasyarakat nelayan tidak menimbulkan konflik. Menurut DKP (2006) Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF). Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. 2. Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama. Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama. 3. Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya. Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):

21 1. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas 2. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit 3. Menyebabkan sebagian habiat pada wilayah yang sempit 4. Aman bagi habitat (tidak merusak habitat) 4. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan). Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi): 1. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan 2. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan 3. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara 4. Alat tangkap aman bagi nelayan 5. Menghasilkan ikan yang bermutu baik. Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut: 1. Ikan mati dan busuk 2. Ikan mati, segar, dan cacat fisik 3. Ikan mati dan segar 4. Ikan hidup 6. Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen. Ikan yang ditangkap dengan peledakan bom pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan adalah (dari rendah hingga tinggi): 1. Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen

22 2. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen 3. Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen 4. Aman bagi konsumen 7. Hasil tangkapan yang terbuang minimum. Alat tangkap yang tidak selektif (lihat butir 1), dapat menangkap ikan/organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-target). Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi): 1. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar 2. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar 3. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar 4. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar. 8. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity). Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi): 1. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat. 2. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat 3. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat 4. Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati 9. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah.

23 Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undangundang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa: 1. Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat 2. Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat 3. Ikan yang dilindungi.pernah. tertangkap 4. Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap 10. Diterima secara sosial. Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila: biaya investasi murah, menguntungkan secara ekonomi, tidak bertentangan dengan budaya setempat, tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotan Kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari yang rendah hingga yang tinggi): Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas Bila ke sembilan kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan, menurut FAO (1995) maka dapat dikatakan ikan dan produk perikanan akan tersedia untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal yang penting untuk diingat bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi yang akan datang dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkesinambungan dan lestari. Perilaku kegiatan perikanan tangkap yang bertanggung jawab ini dapat memelihara serta mempertahankan stok sumberdaya yang selanjutnya akan memberikan sumbangan yang penting bagi ketahanan pangan (food security), dan peluang pendapatan yang berkelanjutan.