MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SURAT KETERANGAN MEDIS

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MODUL FORENSIK PENGGUGURAN KANDUNGAN. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

Menimbang: bahwa perlu ditetapkan peraturan tentang wajib simpan rahasia kedokteran.

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

RELEVANSI Skm gatra

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di RSUD Indrasari Kabupaten Indragiri Hulu Periode 1 Januari Desember 2013

BAB I PENDAHULUAN. dan penyebab pertama kematian pada remaja usia tahun (WHO, 2013).

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

Standar Pelayanan Medik

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga

BAB 1. PENDAHULUAN. dimana barang bukti yang diperiksa tersebut tidak mungkin dihadapkan di sidang

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

VISUM ET REPERTUM. 1. Definisi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

Visum et Repertum pada Korban Hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

MODUL FORENSIK PEMERIKSAAN LUAR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA


BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

MODUL FORENSIK PEMERIKSAAN KEJAHATAN SEKSUAL. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

Bagian Kedua Penyidikan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Luka Akibat Trauma Benda Tumpul a Luka Lecet (Abrasi)

P U T U S A N. Nomor :201/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi.

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract. M. Ridho Azhari 1, Rika Susanti 2, Noza Hilbertina 3

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

VISUM ET REPERTUM: A MEDICOLEGAL REPORT AS A COMBINATION OF MEDICAL KNOWLEDGE AND SKILL WITH LEGAL JURISDICTION

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO NOMOR: 203/Pid.Sus/2011/PN.Skh

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Pelayanan Forensik Klinik terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan

VISUM ET REPERTUM. handayani dwi utami

Analisis Kasus. 1

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 436 / MENKES / SK / VI / Tentang

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Fenomena maraknya kriminalitas di era globalisasi. semakin merisaukan segala pihak.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N Nomor 342/Pid/2013/PT.Bdg.

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996 TENTANG TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KUALITAS VISUM ET REPERTUM PERLUKAAN DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2013

KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DASAR HUKUM PEMERIKSAAN FORENSIK 133 KUHAP

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN [LN 2007/65, TLN 4722]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2015

NOMOR MODUL : 05/For-UA/IX/15 TOPIK : FORENSIK KLINIK DAN ASPEK MEDIKOLEGAL SUBTOPIK : PEMBUATAN VISUM HIDUP PADA KORBAN TRAUMA LEARNING OBJECTIF : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi forensik klinik b. Menjelaskan kasus yang termasuk forensik klinik c. Menjelaskan tentang deskripsi luka i. Menjelaskan cara mendeskripsikan regio ii. Menjelaskan cara mendeskripsikan koordinat iii. Menjelaskan cara mendeskripsikan derajat luka d. Menjelaskan tentang cara penentuan derajat luka i. Menjelaskan cara penentuan luka derajat III ii. Menjelaskan cara penentuan luka derajat II iii. Menjelaskan cara penentuan luka derajat I e. Menjelaskan cara penulisan derajat luka pada kesimpulan f. Menjelaskan dasar hukum dokter wajib membantu peradilan 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa tentang trauma yang dialami korban/pasien b. Mampu melakukan deskripsi luka untuk kepentingan pembuatan visum c. Mampu membuat visum hidup pada korban trauma 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada korban/penyidik yang mengantar korban b. Memberikan waktu kepada korban untuk menjelaskan kejadian yang dialami dan gejala klinis yang dirasakan c. Menerangkan kepada korban tindakan apa yang akan dilakukan d. Memberikan informed consent kepada korban (sebagai pasien)

DEFINISI 1.Forensik klinik Forensik klinik adalah salah satu cabang dari ilmu kedokteran forensik yang menangani korban tindak pidana hidup. 2. Visum et Repertum Sebenarnya nama visum et repertum tidak ditemukan di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) maupun RIB (Reglemen Indonesia yang diperbarui), melainkan hanya ditemukan di dalam Staatsblad 350 tahun 1937. PASAL 1 STAATSBLAD No 350 TAHUN 1937 Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus, sebagai dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa Dalam perkembangannya, nama visum et repertum ini demikian akrabnya dengan para dokter di Indonesia, sehingga pada pertemuan Lokakarya Visum et Repertum di Jakarta tahun 1986 maupun beberapa pertemuan lainnya disepakati bahwa keterangan ahli tertulis yang dibuat dokter untuk kepentingan peradilan tetap menggunakan nama visum et repertum. Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter yang berisi fakta dan pendapat berdasarkan keahlian / keilmuan, tentang hasil pemeriksaan medis terhadap manusia atau bagian dari tubuh manusia, baik hidup atau mati, yang dibuat atas permintaan tertulis (resmi) dari penyidik yang berwenang (atau hakim khusus untuk psikiatrik), yang dibuat atas sumpah / dikuatkan dengan sumpah, untuk kepentingan peradilan.

DASAR PENGADAAN VISUM ET REPERTUM Dasar hukum pembuatan visum et repertum adalah pasal 133 KUHAP, yaitu bila yang diperiksa adalah manusia sebagai korban atau diduga sebagai korban suatu pidana, baik masih hidup ataupun sudah mati. Pemeriksaan terhadap tersangka tidak menggunakan dasar hukum pasal 133 KUHAP. PASAL 133 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa dengan adanya kewenangan penyidik untuk meminta visum et repertum mengakibatkan kewajiban bagi orang (dokter) yang dimintai visum et repertum. Kewajiban tersebut secara nyata dituangkan dalam bentuk sanksi bagi pelanggarnya, seperti yang tertera di dalam pasal 216, dan 222 KUHP. PASAL 216 KUHP (1) Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang-siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan visum et repertum diatur di dalam KUHAP dan bersifat wajib bagi dokter dengan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya

KAITAN VISUM ET REPERTUM DENGAN RAHASIA KEDOKTERAN Di Indonesia, ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966. PASAL 1 PP No 10 TAHUN 1966 Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orangorang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran. PASAL 2 PP No 10 TAHUN 1966 Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain PASAL 3 PP No 10 TAHUN 1966 Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah : a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-Undang tentang tenaga kesehatan. b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengo-batan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan. PASAL 2 UU tentang TENAGA KESEHATAN Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan dalam undang-undang ini adalah : I. Tenaga Kesehatan Sarjana, yaitu : a. dokter b. dokter gigi c. apoteker d. sarjana-sarjana lain dalam bidang kesehatan II. Tenaga Kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah a. di bidang farmasi : asisten apoteker dan sebagainya. b. di bidang kebidanan : bidan dan sebagainya c. di bidang perawatan : perawat, fisioterapis dan sebagai-nya

d. di bidang kesehatan masyarakat : penilik kesehatan, nutrisionis dan lain-lain. e. bidang-bidang kesehatan lain. Salah satu bunyi sumpah dokter dalam lafal sumpah dokter menurut PP No 26 tahun 1960 juga berkaitan dengan rahasia kedokteran. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter. Menurut PP No 1 tahun 1966 tersebut, bagi para pelanggar wajib simpan rahasia kedokteran ini dapat diancam oleh hukuman administratif. Sedangkan KUHP mengancam pembukaan rahasia jabatan dengan hukuman pidana. PASAL 4 PP No 10 TAHUN 1966 Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan. JENIS-JENIS VISUM ET REPERTUM Dikaitkan dengan materi yang diperiksa dan pemeriksaan yang mendasarinya, dikenal pengelompokan jenis-jenis visum et repertum sebagai berikut : 1. Visum et repertum psikiatrik (kejiwaan) 2. Visum et repertum fisik a. Visum et repertum jenasah b. Visum et repertum korban hidup 1. Visum et repertum perlukaan / kecederaan 2. Visum et repertum keracunan 3. Visum et repertum kejahatan seksual STRUKTUR DAN ISI VISUM ET REPERTUM Maksud pencantuman kata "Pro justitia" adalah sesuai dengan artinya, yaitu dibuat secara khusus hanya untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai

surat resmi dan tidak memerlukan meterai untuk menjadikannya berkekuatan hukum. Di bagian atas tengah dapat dituliskan judul surat tersebut, yaitu : Visum et Repertum. Pada umumnya, visum et repertum dibuat mengikuti struktur atau anatomi yang seragam, yaitu : 1.Bagian Pendahuluan. Bagian ini sebenarnya tidak diberi judul "Pendahuluan", melainkan langsung merupakan uraian tentang identitas dokter pemeriksa beserta instansi dokter pemeriksa tersebut, instansi peminta visum et repertum berikut nomor dan tanggal suratnya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas yang diperiksa sesuai dengan yang tercantum di dalam surat permintaan visum et repertum tersebut. Waktu pemeriksaan dapat dilakukan dalam satu titik waktu dan dapat juga dalam suatu rentang waktu tertentu yang dapat pendek dan dapat pula panjang (lama). 2.Bagian Hasil Pemeriksaan ( Bagian Pemberitaan). Bagian ini diberi judul "Hasil Pemeriksaan", memuat semua hasil pemeriksaan terhadap "barang bukti" yang dituliskan secara sistematik, jelas dan dapat dimengerti oleh orang yang tidak berlatar belakang pendidikan kedokteran. Untuk itu teknik penggambaran atau pendeskripsian temuan harus dibuat panjang lebar, dengan memberikan uraian letak anatomis yang lengkap, tidak melupakan kiri atau kanan bagian anatomis tersebut, serta bila perlu menggunakan ukuran. Pencatatan tentang perlukaan atau cedera dilakukan dengan sistematis mulai dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu, yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka/cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari : a. Hasil Pemeriksaan, yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan atau cederanya serta hal-hal lain yang berkaitan dengan

tindak pidananya (status lokalis). Anamnesis yang ketat atau pemeriksaan fisik umum yang lengkap tetap diperlukan untuk menghindari terlewatkannya suatu kelainan atau perlukaan. b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya diambil. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat tidaknya kesimpulan yang diambil. Perlu diingat bahwa kadang-kadang ditemukan juga kelainan yang tidak berhubungan dengan perlukaannya, tetapi mungkin justru merupakan indikasi perawatan atau tindakannya. c. Keadaan akhir korban. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan (termasuk indera) merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan, sehingga harus diuraikan dengan jelas. 3.Bagian Kesimpulan. Bagian ini diberi judul "Kesimpulan" dan memuat kesimpulan dokter pemeriksa atas seluruh hasil pemeriksaan dengan berdasarkan keilmuan atau keahliannya. Pada kesimpulan visum et repertum sementara hanya disebutkan jenis perlukaan / cedera dan jenis kekerasan / kelainan penyebabnya, dan diakhiri dengan kalimat bahwa visum et repertum (definitif) akan dibuat kemudian setelah seluruh pemeriksaan atau perawatan selesai. 4.Bagian Penutup. Bagian ini tidak diberi judul "Penutup", melainkan merupakan kalimat penutup yang menyatakan bahwa visum et repertum tersebut dibuat dengan sebenar-benarnya, berdasarkan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah dan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. KASUS FORENSIK KLINIK Kasus korban tindak pidana hidup yang dimintakan VeR adalah : Kecelakaan lalu lintas Kecelakaan kerja Penganiayaan Percobaan pembunuhan

Kekerasan terhada perempuan Kekerasan terhadap anak Dugaan malpraktek DESKRIPSI LUKA Yang perlu dideskripsikan adalah : (1). Regio (bagian tubuh), (2). Lokasi (koordinat), (3). Jenis luka, (4). Bentuk luka, (5). Ukuran, (6). Tepi luka (dinding luka), (7). Sudut luka, (8). Dasar luka, (9). Apa yang keluar dari luka, (10). Daerah sekitarnya. Deskripsi luka memar dan lecet cukup 1-5. PEMBUATAN KESIMPULAN Kesimpulan visum et repertum adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, etika profesi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Setidaknya kesimpulan VeR perlukaan memuat : 1. Identitas korban ( jenis kelamin dan umur) 2. Kekerasan/luka pada tubuh korban. Kekerasan yang ditulis pada kesimpulan hanya secara umum saja, tidak menjelaskan luka secara rinci, tetapi hanya menjelaskan pada regio tertentu luka apa saja yang ditemukan. 3. Jenis kekerasan penyebab luka. Jenis kekerasan terdiri dari kekerasan tumpul, kekerasan tajam, kekerasan senjata api, kekerasan panas, api dan zat panas. 4. Derajat luka. Terdiri dari derajat 1, 2 dan 3. Derajat luka Salah satu yang harus diungkapkan di dalam kesimpulan sebuah visum et repertum korban perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Derajat luka sangat berkaitan dengan jenis penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku dan berat ringannya ancaman hukuman maksimum yang dapat dibebankan kepada pelaku. Pada umumnya, menentukan derajat luka tidaklah sulit bagi dokter.

Namun kadang-kadang memang dapat ditemukan kasus yang sulit ditentukan derajat lukanya. Dalam menilai derajat luka dokter telah diberi patokan, yaitu patokan tentang batasan luka ringan (derajat satu) dan patokan tentang batasan luka berat (derajat tiga), sedangkan luka yang tidak termasuk ke dalam kedua batasan tersebut praktis dapat dimasukkan ke dalam derajat luka sedang (derajat dua). Contoh luka ringan atau luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan kecil ukurannya atau memar yang kecil ukurannya. Lokasi lecet atau memar tersebut perlu diperhatikan oleh karena lecet atau memar di beberapa lokasi tertentu mungkin menunjukkan kecederaan bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit. Luka lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup parah dapat saja diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan Tata cara menentukan derajat luka adalah : Jika ada luka pada tubuh korban, dilihat apakah luka tersebut termasuk kriteria luka derajat 3. Caranya dengan melihat 7 aspek pada Pasal 90 KUHP. PASAL 90 KUHP Luka berat berarti : - jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh kembali, atau yang menimbulkan bahaya maut; - tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian - kehilangan salah satu panca indera - mendapat cacat berat (kudung) - menderita sakit lumpuh; - terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih - gugur atau matinya kandunganseorang perempuan Jika memenuhi salah satu dari poin diatas, maka kita simpulkan luka derajat 3. Untuk penulisan luka derajat 3 pada kesimpulan dengan mengambil kalimat pada pasal 90 KUHP yang sesuai dengan kondisi luka pada tubuh korban. Contoh luka tersebut telah menimbulkan bahaya maut bagi korban; luka tersebut menyebabkan gugur atau matinya kandungan korban; luka tersebut menyebabkan hilangnya salah satu panca indra korban.

Jika tidak memenuhi luka derajat 3, maka selanjutnya ditentukan apakah luka tersebut derajat 1 atau derajat 2. Beberapa hal yang dipertimbangkan dalam penentuan luka derajat 1 dan 2 adalah apakah luka memerlukan tindakan medis, ada gangguan fungsi tubuh, lokasi dan jumlah luka. Untuk penentuan luka derajat 2, kalau memenuhi salah satu kriteria diatas, maka disimpulkan luka derajat 2. Sedangkan jika tidak memenuhi kriteria diatas berarti disimpulkan luka derajat 1. Untuk penulisan luka derajat 1 pada bagian kesimpulan VeR diambil dari kalimat baku yang ada pada pasal 352 KUHP yang berbunyi luka atau cedera tersebut tidak menimbulkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan,jabatan/pencaharian. Sedangkan untuk penulisan luka derajat 2 pada bagian kesimpulan VeR diambil dari kalimat baku yang ada pada pasal 351 KUHP yang berbunyi luka atau cedera tersebut telah menimbullkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan, jabatan/pencaharian untuk sementara waktu. Jika terdapat pemeriksaan penunjang, maka hasil harus dituliskan dibagian pemberitaan dan dituangkan pada bagian kesimpulan. REFERENSI 1. Afandi D. Penulisan VeR. FK UNRI 2. Safitri O. Penulisan VeR perlukaan. FK UI. 3. Idries AM.Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.Jakarta. 4. Bagian Kedokteran Forensik FKUI.Ilmu Kedokteran Forensik.Jakarta. 5. Sampurna B,Syamsu Z.Peranan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Penegakan Hukum;sebuah pengantar.jakarta. 6. Di Maio D,Di Maio VJM.Forensic Pathology,New York. 7. Hamzah A,KUHP.Cetakan kesembilan,pt Rineka Cipta,Jakarta TUGAS 1. Sebutkan tatalaksana dalam pembuatan visum pada korban hidup 2. Sebutkan unsur apa yang harus dicantumkan dalam bagian kesimpulan dari visum et repertum korban hidup