I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

dokumen-dokumen yang mirip
Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

RUANG FISKAL DALAM APBN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu negara seperti Indonesia. Belanja Pemerintah tersebut dipenuhi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI SAL DALAM RAPBN I. Data SAL

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

VII. SIMPULAN DAN SARAN

APBN 2013: Mendorong Peningkatan Kualitas Belanja

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM APBN

pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

SEKILAS TENTANG PEREKONOMIAN DAN FISKAL INDONESIA

Konsolidasi Fiskal dan Komitmen Indonesia pada G20 1

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

I. PENDAHULUAN. 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

LAPORAN MENTERI KEUANGAN ACARA PENYERAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. telah memanfaatkan pinjaman luar negeri dalam pembangunannya. Pinjaman luar

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

Pembiayaan Defisit pada APBN-P URAIAN Realisasi APBN-P Realisasi APBN SURPLUS/(DEFISIT) (4,1) (129,8) (87,2) (98,0)

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

UMKM & Prospek Ekonomi 2006

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan dalam hal penerimaan dan pengeluaran negara. Jalur pertama dijalankan dengan melakukan diskresi fiskal, namun apabila fiscal space untuk melakukan diskresi fiskal tidak besar jumlahnya, sulit bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan fiskal yang dapat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia secara luas. Menurut Rita Helbra.dkk (2013) Fiscal space adalah ruang gerak pemerintah mengalokasikan dana untuk investasi dan pembangunan, ruang gerak akan semakin terbatas apabila proporsi anggaran belanja negara yang bersifat mengikat seperti mandatory spending ini lebih besar daripada yang tidak mengikat. Proporsi belanja negara yang mengikat dan tidak mengikat dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

2 Grafik 1. Perkembangan Komposisi Belanja Negara Mengikat Dan Tidak Mengikat Tahun 2008-2013 100% 80% persen 60% 40% 20% 0% 2008 2009 2010 2011 2012 2013 tidak mengikat 17,8 23 19,6 20 20,3 24,6 mengikat 82,2 77 80,4 80 79,7 75,4 Sumber: Kementrian Keuangan Pada grafik 1 dapat kita lihat bahwa proporsi belanja yang mengikat lebih besar dari belanja yang tidak mengikat. Jumlah belanja mengikat berkisar antara 75,4 persen sampai dengan 82,2 persen sementara jumlah belanja yang tidak mengikat berkisar antara 17,8 persen sampai dengan 24,6 persen. Jumlah belanja yang mengikat kurang lebih sepertiga kali lipat dari jumlah belanja yang tidak mengikat. Hal ini mengindikasikan fiscal space yang dimiliki oleh pemerintah terbatas. Walaupun tingkat belanja yang mengikat dari tahun 2007 sampai dengan 2012 semakin menurun akan tetapi tingkatnya masih cukup besar jika dibandingkan tingkat belanja yang tidak mengikat. Belanja yang bersifat mengikat tersebut berupa pos belanja rutin antara lain belanja pegawai, belanja subsidi dan pembayaran bunga utang. Jumlah belanja mengikat yang proporsinya lebih besar dari belanja yang tidak mengikat menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan untuk dapat melakukan kegiatan belanja negara yang berkualitas dan memberikan multiplier effect yang besar terhadap

3 perekonomian. Keleluasaan atau fleksibilitas belanja sangat diperlukan oleh pemerintah untuk mendesain program-program kegiatan yang lebih baik; yang dapat diukur melalui empat pilar dampak yang dikehendakinya: pertumbuhan ekonomi (pro growth), menciptakan kesempatan kerja (pro job), mengentaskan kemiskinan (pro poor), dan mendukung pembangunan yang inklusif, berkelanjutan dan ramah lingkungan (pro environment). (Helbra.dkk, 2013) Terdapat beberapa peluang yang dapat dimaksimalkan oleh pemerintah dalam mengatasi rijiditas fiskal ini sehingga dapat memaksimalkan fiskal space yang ada sehingga dapat menghindarkan dari situasi ekonomi yang berbahaya dengan menggunakan kebijakan fiskal. 1. Mengubah pendekatan atas penentuan anggaran pendidikan yang ditentukan 20% dari anggaran belanja ke pendekatan 20% dari pendapatan yang diterima pemerintah. Sehingga apabila terjadi penambahan pembiayaan dengan cara meningkatkan utang, tidak perlu mengalokasikan utang ini pada anggaran pendidikan sehingga utang dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk tujuan awal utang itu sendiri. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena pada dasarnya UUD 1945 hanya mengatur alokasi pendidikan 20% dari APBN tanpa menyebut dari penerimaan atau belanja, hanya UU pendidikan yang menegaskan 20% dari belanja sehingga masih dapat diubah oleh pemerintah bersama DPR 2. Mengurangi subsidi listrik dan subsidi energi secara bertahap agar tidak terlalu membebani anggaran walaupun langkah ini perlu dikaji lebih lanjut seperti apa dampaknya bila subsidi ini dikurangi, sangat berbahaya bilamana pemerintah

4 memiliki ruang fiskal yang besar namun dampak yang ditimbulkan dari pengurangan subsidi lebih besar. Subsidi yang tidak tepat sasaran juga dapat menjadi target dalam mengurangi alokasi penganggaran atas subsidi. 3. Peningkatan penerimaan baik dengan penerimaan sektor pajak ataupun dari sektor non-pajak. Sektor non-pajak ini terutama dalam pengembangan ekonomi kreatif yang saat ini sedang digalakkan pemerintah, selain usaha penambahan dari sektor pertambangan. Sekalipun hal ini tidak mengurangi prosentase discretionary spending yang dapat digunakan, namun secara jumlah dapat bertambah besar sehingga untuk menerapkan kebijakan fiskal pemerintah memiliki dana yang lebih besar daripada sebelumnya. 4. Menerapkan skema PPP (Public Private Partnership) dalam membantu pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur. Hal ini pada dasarnya dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengakali rijiditas fiskal yang terjadi, namun perlu dipertimbangkan sisi politis dan pertimbangan cost-benefit dari skema ini 5. Meningkatkan efisiensi belanja terkait pengeluaran yang bersifat artificial mandatory seperti pengeluaran operasional pemerintah. 6. Menjamin efektivitas atas belanja yang bersifat mandatory spending seperti dengan menerapkan audit kepatuhan, serta menerapkan evaluasi atas kegiatan tersebut sehingga dapat berdampak pada perekonomian nasional. 7. Memperkuat kewenangan pemerintah dalam hal melakukan usulan perubahan undang-undang dalam mempersempit mandatory spending walaupun perlu didukung oleh DPR. (Radistya)

5 Pemerintah melalui nota keuangan APBN 2014 mendefinisikan Ruang Fiskal (Fiscal Space) sebagai ketersediaan sumberdaya keuangan bagi pemerintah untuk membiayai kebijakan yang diinginkan melalui anggaran. Ruang fiskal selama ini masih terbatas, disebabkan oleh anggaran belanja negara yang setiap tahunnya lebih besar digunakan untuk membiayai belanja yang bersifat mengikat berupa pos belanja rutin antara lain belanja pegawai, belanja subsidi, dan pembayaran bunga utang. Belanja subsidi merupakan faktor pengurang terbesar terhadap fiscal space sehingga diupayakan dikurangi secara bertahap agar fiscal space bisa tetap terjaga. Selain belanja subsidi, faktor pengurang lainnya adalah belanja pegawai, pembayaran bunga utang, dan alokasi transfer ke daerah. Ketentuan peraturan perundangan yang akan diterbitkan diupayakan menghindari terciptanya mandatory spending baru, dan lebih berpihak pada ruang gerak pemerintah yang longgar dalam meningkatkan multiplier effect perekonomian, misalnya dalam bidang infrastruktur. Pelaksanaan tiga fungsi utama kebijakan fiskal di Indonesia sangat tergantung pada ruang fiskal (fiscal space) yang tersedia. Ketersediaan ruang fiskal biasanya diukur dengan besarnya anggaran diskresi (belanja tidak mengikat/wajib) yang tersedia. Semakin besar anggaran diskresi yang tersedia maka semakin fleksibel kebijakan fiskal untuk disesuaikan dengan situasi yang dihadapi tanpa harus mempengaruhi kesinambungan fiskal dalam jangka panjang. Dengan semakin besarnya anggaran diskresi, pemerintah dapat mengalokasikan anggaran sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. (Sugema.dkk. )

6 Anggaran diskresi yang rendah mengakibatkan tiga hal. Pertama, pembiayaan untuk pembangunan relatif terbatas, artinya fungsi alokasi sulit untuk dipenuhi oleh pemerintah. Kedua, prioritas pembangunan tidak sepenuhnya dapat dibiayai oleh pemerintah. Ketiga, kebijakan fiskal pastinya menjadi kurang fleksibel karena ruang geraknya yang menjadi sangat terbatas. Kecenderungan menurunnya realisasi pengeluaran yang bersifat wajib membawa konsekuensi pada keleluasaan penggunaan dana yang tersedia bagi pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pembangunan. Keleluasaan ruang gerak yang tersedia bagi pemerintah untuk melakukan intervensi fiskal menjadi relatif tidak terbatas (yaitu dalam bentuk stimulasi dari anggaran belanja negara terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja produktif maupun pengentasan kemiskinan), dikarenakan dalam beberapa tahun terakhir telah diambil beberapa kebijakan belanja negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen utama dalam kebijakan fiskal. APBN merupakan alat yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk dapat mewujudkan tujuan pembangunan nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia. Dalam UUD 1945 Amandemen keempat disebutkan bahwa APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Anggaran negara terdiri dari dua sifat yakni yang bersifat mandatory dan nonmandatory. Mandatory spending sebagai pengeluaran yang telah ditentukan oleh

7 undang-undang. Pengeluaran ini yang dalam undang-undang telah diatur berapa besarannya (biasanya dalam persentase) dan mengurangi fiscal space dalam pengelolaan kebijakan fiskal pemerintah. Non-Mandatory spending adalah pengeluaran yang dalam besarannya tidak ditentukan dalam undang-undang dan tidak mempengaruhi fiscal space walaupun pada praktiknya non-mandatory spending ini dapat berubah menjadi sifatnya seperti mandatory spending. (Helbra.dkk, 2013) Menurut Abimanyu (2010) kebijakan fiskal tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek, akan tetapi dapat dilakukan dalam jangka menengah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter dimana kebijakan fiskal bersifat rigid (kaku), sedangkan kebijakan moneter mempunyai derajat fleksibilitas yang tinggi. Rijiditas fiskal terjadi karena adanya salah satunya dari pengeluaran yang bersifat mandatory sehingga memperkecil fiscal space untuk pemerintah memberlakukan kebijakan fiskalnya. Rijiditas fiskal yang terlalu besar menyebabkan ruang gerak bagi pemerintah menyempit dan pada akhirnya dapat membuat kebijakan fiskal pemerintah menjadi tidak efektif dan tidak mencapai tujuan awal dari kebijakan fiskal itu sendiri, yakni agar kondisi ekonomi stabil. Istilah mandatory spending ini timbul karena adanya pengeluaran yang sifatnya wajib karena diperintah undang-undang (mandat). Pengeluaran mandatory ini yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya fiscal space sebagai ruang gerak pemerintah dalam memberlakukan kebijakan fiskal. Pengeluaran mandatory ini terkait APBN 2013 dalam undang-undang diantaranya adalah anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai amandemen keempat UUD 1945 pasal 31 ayat 4 tentang

8 Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBN/ APBD, penyediaan DAU sebesar 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto sesuai UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, penyediaan alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan dana Otonomi Khusus untuk provinsi Aceh dan Papua masingmasing sebesar 2 persen dari DAU Nasional. (Helbra.dkk 2013) Besarnya mandatory spending yang terdapat pada porsi pengeluaran APBN ini ditambah lagi dengan pengeluaran yang bersifat artificial mandatory seperti anggaran untuk subsidi, cicilan utang sebagai konsekuensi dari penerapan anggaran defisit, penyertaan modal pemerintah dalam lembaga internasional. Besarnya anggaran yang bersifat mandatory spending maupun artificial mandatory, menyebabkan Discretionary spending sebagai porsi anggaran yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan kebijakan fiskalnya menjadi kecil dan dapat berpengaruh pada keefektifan kebijakan fiskalnya. Grafik 2. Perkembangan Mandatory Spending, 2008-2013 (Triliun Rupiah) Sumber: RAPBN 2014

9 Dari grafik 2. dapat kita lihat bahwa jumlah mandatory spending dari tahun 2008 sampai dengan 2013 mengalami peningkatan yang cukup besar, untuk tahun 2013 jumlahnya hampir dua kali lipat dari tahun 2008. Peningkatan tersebut disebabkan penetapan besarnya mandatory spending tersebut adalah persentase dari APBN/APBD, sehingga semakin besar jumlah APBN/APBD maka semakin besar pula jumlah mandatory spending yang harus dikeluarkan dari seluruh dana APBN/APBD. Dari ketiga jenis mandatory spending yang terdapat pada grafik 2, transfer daerah memegang porsi yang paling besar, kemudian pendidikan dan kesehatan. Hal ini sejalan dengan besarnya persentase yang diwajibkan untuk masing-masing pengeluaran tersebut, yaitu transfer ke daerah sebesar 26 persen kemudian pendidikan 20 persen dan kesehatan sebesar 5 persen. Besaran mandatory dan nondiscretionary spending yang besar tersebut berakibat pada semakin sempitnya ruang fiskal (fiscal space) bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan belanja-belanja yang bersifat mendesak pada setiap tahunnya seperti belanja untuk pembangunan infrastruktur dan pemberian bantuan sosial bagi rakyat yang membutuhkan. Ketika Pemerintah benar-benar memerlukan tambahan belanja yang mendesak maka Pemerintah tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup untuk menutup kebutuhan tersebut karena mayoritas dana APBN sudah di alokasikan untuk mandatory dan nondiscretionary spending. (Aziz, 2013)

10 Sumber investasi berasal dari dua sumber yaitu swasta dan pemerintah, sumber investasi pemerintah berasal dari APBN yaitu sisi belanja negara. Belanja negara sendiri dari sisi peruntukkannya terbagi menyaji belanja wajib dan belanja diskrisioner. Selain investasi, maka tenaga kerja merupakan suatu faktor yang mempengaruhi output suatu negara. Angkatan kerja yang besar akan terbentuk dari jumlah penduduk yang besar. Namun pertumbuhan penduduk dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. (Rustiono, 2008) Menurut Todaro (2000) pertumbuhan penduduk yang cepat mendorong timbulnya masalah keterbelakangan dan membuat prospek pembangunan menjadi semakin jauh. Namun demikian jumlah penduduk yang cukup dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan memiliki skill akan mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Dari jumlah penduduk usia produktif yang besar maka akan mampu meningkatkan jumlah angkatan kerja yang tersedia dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan produksi output. Dengan pendapatan dan pengeluaran yang bergerak berlawanan anggaran secara otomatis menyesuaikan. Yaitu memperlebar ruang fiskal saat perekonomian baik dan memperkecilnya saat ekonomi memburuk. Sebuah potensi perekonomian bersandar pada dua variabel utama: ukuran tenaga kerja dan produktivitasnya. Ruang fiskal akan membesar dan mengecil sebagai respon terhadap perkembangan ekonomi, dan kebijakan anggaran akan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam kinerja.(moeis, 2012)

11 Berdasarkan kondisi tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai permasalahan ini, dan menyajikannya ke dalam bentuk penelitian ini berjudul Pengaruh Ruang Fiskal dan Produktifitas Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia periode 2001-2013 B. Rumusan Masalah Ruang fiskal merupakan suatu produk kebijakan pemerintah, Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah melihat pengaruh ruang fiskal yang merupakan hasil dari total belanja negara dikurangi belanja pegawai, pembayaran pokok bunga dan hutang, subsidi, belanja pendidikan, belanja kesehatan dan transfer daerah dan produktivitas tenaga kerja yang dihitung dengan rumus produk domestik bruto riil dibagi jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh ruang fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 2. Apakah ada pengaruh produktifitas tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 3. Apakah ruang fiskal dan produktivitas tenaga kerja secara bersama sama berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

12 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh ruang fiskal dan produktivitas tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 2001 2013. D. Kerangka Pemikiran Sumber investasi berasal dari dua sumber yaitu swasta dan pemerintah, sumber investasi pemerintah berasal dari APBN yaitu sisi belanja negara. Belanja negara sendiri dari sisi peruntukkannya terbagi menyaji belanja wajib dan belanja diskrisioner. Menurut Nota Keuangan dan APBN 2010 belanja diskrisioner merupakan hasil pengurangan total belanja dengan belanja wajib. Selisih lebih inilah yang dikenal sebagai ruang fiskal pemerintah yaitu ketersediaan dana pemerintah untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong pertumbuhan, seperti proyek-proyek infrastruktur. Risiko lain dari terbatasnya ruang gerak pemerintah dalam mengatur kebijakan fiskalnya adalah kecilnya belanja modal, baik yang dialoksikan dalam APBN maupun APBD. Khusus untuk belanja daerah, dalam periode 2008-2012, rata-rata alokasi belanja modal untuk keseluruhan daerah di Indonesia sebesar 24,3 persen. Jadi, Daerah juga mengalami keterbatasan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, waduk, irigasi, dsb.

13 Selain investasi, maka tenaga kerja merupakan suatu faktor yang mempengaruhi output suatu negara. Angkatan kerja yang besar akan terbentuk dari jumlah penduduk yang besar. Namun pertumbuhan penduduk dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Todaro (2000) pertumbuhan penduduk yang cepat mendorong timbulnya masalah keterbelakangan dan membuat prospek pembangunan menjadi semakin jauh. Namun demikian jumlah penduduk yang cukup dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan memiliki skill akan mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Dari jumlah penduduk usia produktif yang besar maka akan mampu meningkatkan jumlah angkatan kerja yang tersedia dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan produksi output. (Rustiyono, 2012) Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang menunjukkan perubahan kinerja perekonomian negara. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun dapat dilihat dari pdb rill atas dasar harga konstan. Pertumbuhan yang positif mencerminkan adanya peningkatan dalam perekonomian. Sebaliknya, jika pertumbuhan yang negatif merefleksikan terjadinya penurunan aktivitas ekonomi.

14 Ruang Fiskal Produktivitas Tenaga Kerja Pertumbuhan Ekonomi Gambar 1. Kerangka Pikiran Analisis Pengaruh Ruang Fiskal dan Produktivitas Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan di Indonesia Tahun 2001 2013 E. Ruang Lingkup Penelitian ini menggunakan pdb riil atas dasar harga konstan tahun 2000 sebagai pertumbuhan ekonomi. Data ruang fiskal diperoleh melalui penghitungan sesuai dengan definisi ruang fiskal menurut nota keuangan dan apbn 2010 yang dikeluarkan oleh kementrian keuangan.sedangkan data untuk variabel tenaga kerja digunakan data angkatan kerja yang bekerja berdasarkan statistik Indonesia yang di publikasikan oleh BPS. F. Hipotesis Hipotesis dalan penelitian ini yaitu: 1. Ruang fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 2. Produktifitas tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 3. Ruang fiskal dan produktivitas tenaga kerja secara bersama sama berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.